Penyesuaian perkawinan

25 February 2014

Memasuki dunia perkawinan antara dua orang individu dalam sebuah perkawinan dan mulai berbagi dalam hal kehidupan baik perbedaan antara mereka dalam aspek psikolois, sosial, kebudayaan yang kemudian bercampur dalam cara tertentu sehingga membuat perkawinan menjadi unik. Pada pasangan perkawinan tradisional, posisi peran suami dan istri secara jelas dibedakan. Sementara perkawinan kontemporer lebih memiliki banyak pilihan dan alasan pilihan, sehingga perkawinan benar-benar ditandai oleh kebutuhan-kebutuhan yang unik dengan keinginan dan harapan-harapan yang unik pula.

komunikasi merupakan pusat cara kedua pasangan untuk hidup harmonis satu sama lain. Serentak setelah dua pasangan berkomunikasi, maka merek berbagi dalam sistem interaksi yang selalu berubah dan bergerak maju seraya terjadinya perubahan fase kehidupan pada masing-masing pasangan disamping berbagi perasaan, pengasuhan anak-anak, waktu-waktu yang menyenangkan dan waktu-waktu menghadapi masalah.

Masa transisi dalam awal kehidupan perkawinan diharapkan dapat dilalui dengan penuh romantisme dan membahagiakan. Untuk beberapa pasangan memang demikian kejadiannya, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa pasangan tersebut juga menghadapi beberapa kesulitan dalam masa transisi tersebut,biasanya berlanjut pada kehidupan selanjutnya dalam perkawinan. Pada umumnya dalam mencari titik temu dari berbagai perbedaan antar pasangan, akan memungkinkan kedua pasangan menghadapi berbagai dilema mendasar yang akan menciptakan permasalahan serius.

Perkawinan yang terdiri dari dua individu yang unik membawa history dari pengalaman-pengalaman, memori, dan cara bertingkah laku pada masa lalunya. Dimana perilaku masing-masing pasangan dibentuk an dipengaruhi oleh faktor genetik, fisiologis, psikologis, sosial dan budaya yang dibawa sejak lahir. Sehingga dapat dibayangkan sulitnya dua perbedaan yang mendasar dapat menyatu dengan harmonis dalam ikatan perkawinan yang mereka jalin karena sulit ditemukan cara yang membuat pendapat dan perasaan kedua pasangan terakomodasi. Kemampuan untuk mengekspresikan ide, perasaan dan mendengar pesan pasangan merupakan inti dari proses “Komunikasi”.

 

 

 

 

Reaksi Negatif Terhadap Otoritas Perempuan

25 February 2014

Diskriminasi berdasarkan gender adalah suatu yang illegal di berbagai Negara. Hasilnya, bisnis, sekolah, dan organisasi social tidak lagi menolak pelamar pekerjaan atau tes masuk hanya karena wanita (atau pria). Bahkan pada saat ini banyak wanita yang mampu menjadi pemimpin yang efekif. Wanita telah terpilih untuk menduduki jabatan di kantor-kantor besar, dalam beberapa contoh direktur perusahaan besar dan organisasi. Akan tetapi, bagaimana orang bereaksi terhadap wanita dengan posisi otoritas? Apakah orang-orang memandang mereka sama tinggi dengan pria? Jawaban terhadap kedua pertanyaan tersebut tampaknya adalah tidak. Bawahan sering kali menyatakan hal yang sa,a terhadap pemimpin perempuan dan laki-laki, mereka sebenarnya hal yang sama terhadap pemimpin perempuan dan laki-laki, mereka sebenarnya mendemostrasikan tingkah laku nonverbal yang lebih negative terhadap pemimpin wanita (Butler & Geis, 1990).

Fakta yang bahkan lebih mengganggu daripada hal ini adalah ketika wanita menjadi pemimpin, mereka cenderung menerima evaluasi yang lebih buruk dari bawahannya daripada pria. Hal ini khususnya benar bagi pemimpin perempuan yang mengadposi gaya kepimpinan yang dipandang   streotipe maskulin (otokratik, mengarahkan), di bidang mana sebagian besar pemimpin laki-laki, dan ketika orang yang mengevaluasi pemimpin tersebut laki-laki. Penelitian menyatakan bahwa wanita terus menerus menghadapi tekanan yang tersamar bahkan ketika mereka mencapai posisi kepemimpinan dan otoritas.

Proyeksi Komplementer

24 February 2014

Ketika berjalan sendirian di mala hari pada gang yang sempit, saat menelusuri jalan tersebut, ada rasa cemas dan takut. Suara-suara gaduh tikus pun dirasakan sebagai suatu yang terdengar sangat jelas dan menambah perasaan cemas pada diri sendiri. Saat melihat kearah ujung jalan, dan melihat seorang laki-laki berjaket berjalan menuju kitsa. Kecemasan yang dirasakan berubah menjadi perasaan takut. Laki-laki berjaket tersebut digambarkan sosok yang mengancam. Kita pun mencoba menambah irama jalan sedikit lebih cepat bakhan bertambah sampai berlari.

Kondisi tersebut di dalam istilah psikologis dinamakan kondisi proyeksi komplementer. Proyeksi komplementer adalah suatu kondisi berupa kecemasan, marah atau ketakutan dalam diri sendiri yang mempengaruhi gambaran ketika menilai orang lain. Saat muncul perasaan takut pada diri seseorang, maka orang tersebut akan menggambarkab orang lain yang mencurigakan, tidak dikenal, dan yang telah dipandang negative sebagai sesuatu yang mengancam.

Ketika kondisi cemas atau takut yang dirasakan penyebabnya bukan dari kesalahan internal, maka penyebab akan diproyeksi ke orang lain. Dengan kata lain, orang lain dijadikan sebagai penyebab rasa cemas dan rasa takut. Cara yang lebih dalam mengilustrasikannya dengan mempelajari proses proyeksi komplementer dengan penelitian eksperimen

Mengurangi dampak kesalahan-kesalahan dalam atribusi

21 February 2014

Pemahaman tentang suatu kondisi emosional seseorang dapat sangat bermanfaat dalam berbagai hal, dimana dapat memahami sifat-sifat individu yang lebih menetap dan mengetehui penyebab di balik perilaku tersebut.  Menurut para ahli psikologi sosial, bahwa tidak hanya mengetahui sebab akibat seseorang berperilaku  tapi yang lebih jauh kita ingin tahu bagaimana seseorang berbuat demikian. Proses  di mana kita mencoba mencari informasi ini disebut dengan Atribusi. Atribusi adalah suatu usaha untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus, juga penyebab dibalik perilaku kita sendiri (Baron & Byrne, 2009)

Atribusi sangat rentan terhadap kesalahan, padahal kesalahan ini bisa berakibat fatal baik bagi kita maupun bagi orang yang bersangkut. Maka ada perlunya untuk menghindari kekeliruan yang terjadi.

Bias Korespondensi : Kesalahan Atribusi Fundamental

Mengatribusikan perilaku orang lain pada faktor-faktor internal (disposisional), meskipun faktor-faktor eksternalnya (situasional) jelas-jelas ada dan mungkin berpengaruh. Untuk mengurangi kesalahan ini mencoba untuk berada di posisi orang yang sedang diatribusikan. Dengan kata lain, melihat dari sudut pandang orang tersebut. Setelahnya menyadari bahwa dari perspektif mereka, ada banyak faktor eksternal yang berperan dalam membentuk tingkah laku mereka.

Efek Aktor-Pengamat : “Saya berbuat begini karena pengaruh situasional, dan sebaliknya”

         Kesalahan ini ini biasanya lebih melihat diri kita dari  aspek-aspek eksternal, dan melihat orang lain dari aspek-aspek internal. Sehingga kesalahan dapat menyebabkan kesalahan menggeneralisasi orang dan sifat-sifat yang dimilikinya. Untuk menghindari kesalahan seperti ini, mencoba membayangkan diri sendir sebagai orang tersebut dan menanyakan pada diri sendiri, “Mengapa saya melakukan hal itu?”. Setelah itu kita akan menyadari bahwa ada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tingkah laku tersebut. Lalu  menanyakan kembali kepada diri sendiri, ” Apakah saya berbuat demikian karena sifat saya memang begitu, atau disebablan motif-motif yang lain yang tidak saya sadari?” Hal ini akan membantu untuk mengapresiasi penyebab-penyebab dari perilaku.

Bias Mengutamakan Diri Sendiri : “Saya Memang Bagus; Kamu Hanya Beruntung.”

         Kemungkinan kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mengatribusi kesuksesan pada faktor internal, seperti kemampuan diri atau kerja keras, namun mengatribusi kegagalan pada faktor eksternal seperti nasib atau kekuatan diluar diri. Kencenderungan ini dapat membuat terlalu berlebihan dalam mengukur kontribusi suatu proyek kerja kelompok, yang kemudian dapat memicu perselisihan yang tidak perlu terjadi dalam suatu kelompok. Hal ini dapat mengurangi kesempatan untuk mampu belajar mengambil hikmah dari suatu kegagalan. Cara mengurangi kesalahan ini cukup menyadari keberadaannya, jadi akan sadar bahwa kesuksesan tidak selamanya berasal dari faktor internal diri, dan bahwa kegagalan disebabka salah satunya oleh faktor dalam diri.

 

 

 

 

 

Membentuk kesan tentang orang lain

29 October 2013

Kesan ketika kita pertama kali bertemu pada orang lain akan menjadi sebuah penilaian tentang kepridbadiannya atau menyusun hipotesis tentang jenis orang itu.
Kajian bagaimana orang membentuk kesan tentang orang lain, ada enam prinsip umum yang harus diketahui, yaitu :
1. orang membentuk kesan tentang orang lain dengan cepat
berdasarkan informasi minimal dan kemudian menyebutkan
ciri-ciri umum dari orang lain.
2. Orang memberi perhatian khusus pada ciri yang paling
menonjol dari seseorang, bukan memerhatikan seluruh ciri
seseorang.
3. Dalam memproses informasu tentang orang lain kita akan
memberi makna yang koheren pada perilaku mereka.
4. Kita menata persepsi dengan mengorganisasikan atau
megelompokkan stimuli.
5. Menggunakan struktur kognitif untuk memahami perilaku orang
lain.
6. Kebutuhan pihak yang memahami dan tujuan personal juga
akan mempengaruhi bagaimana dia memandang orang lain.

Proposal penelitian

9 April 2012

HUBUNGAN ANTARA GAYA PENGASUHAN CONSTRAINING DENGAN KOMITMEN DALAM BIDANG PENDIDIKAN PADA MAHASISWA PSIKOLOGI ANGKATAN 2010 UNIVERSITAS BINA DARMA PALEMBANG

DWI  HURRIYATI, S.Psi.,M.Si.

081509262

A. Latar Belakang Masalah

Remaja merupakan generasi penerus bangsa memegang peranan penting dalam pembangunan bangsa Indonesia karena di tangan remaja terletak masa depan bangsa dan negara. Remaja sebagai generasi penerus dituntut memiliki kualitas sebagai sumber daya manusia sehingga kelak mampu menjalankan fungsinya sebagai motor penggerak dan pelaku utama pembangunan bangsa serta mampu bersaing dengan Negara-negara lain.

Mencermati kecenderungan perkembangan masyarakat masa kini, maka tantangan utama bangsa Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkab dari bangsa-bangsa  lain adalah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam konteks peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas ini, pendidikan dipandang memainkan peran yang sangat penting dan strategis. Begitu pentingnya peran pendidikan dalam upaya peningkatan sumber daya manusia, maka banyak kalangan yang mengatakan bahwa kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan. Artinya, sumber daya manusia yang berkualitas hanya akan lahir dari pendidikan yang berkualita pula. (Kompas, 7 Mei 2005)

Pemerintah telah menempatkan pembangunan bidang pendidikan sebagai salah satu pilat pengembangan sumber daya manusia dalam sector pembangunan nasional yang sama pentingnya dengan sektor-sektor  pentingnya dengan sektor-sektor lainnya. Dalam konteks pembangunan di bidang pendidikan ini, salah satu jenjang pendidikan adalah perguruan tinggi. Di perguruan tinggi memiliki strategi untuk mempersiapkan calon tenaga kerja yang akan memasuki lapangan pekerjaan. Dengan perkataan lain, remaja dipandang sebagai generasi penerus yang akan menentukan kualitas kehidupan bangsa di masa depan. Menciptakan remaja manusia  yang berkualitas ini, jelas dibutuhkan pendidikan yang berkualitas pula. Oleh karena itu, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam masalah pendidikan, telah merancang berbagai strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Ditinjau dari perspektif psikologi perkembangan, mahasiswa pada jenjang perguruan tinggi merupakan individu yang tengah berada dalam tahap perkembangan masa remaja. Masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari kanak-kanak menuju kedewasaan, yang ditandai dengan perkembangan pesat, tidak saja dalam aspek biologis atau fisik, melainkan juga dalam aspek kognitif dan sosial emosional. Pada masa ini juga remaja dihadapkan pada tugas perkembangan yaitu dapat merencanakan apa yang harus dilakukan setamat sekolah dan dapat memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan (Hurlock,2006)

Marcia (Bosma, 2003) menegaskan bahwa idealnya remaja telah mencapai identitas diri di bidang pendidikan. Lebih lanjut Marcia (2005) mengemukakan, bahwa individu yang dikatakan telah mencapai identitas bidang pendidikan adalah individu yang telah (1) mampu menilai kemampuan serta minatnya, (2) mampu melihat peluang yang dapat mereka raih, (3) mampu bereksplorasi, serta (4) dapat membuat komitmen terhadap pilihan pendidikan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Keyakinan dan kemantapan dalam memilih pendidikan sejak SMU hingga perguruan tinggi dan memiliki kemampuan merencanakan bidang pendidikan yang akan ditekuni merupakan hal yang penting bagi individu remaja. Bila pemilihan pendidikan sesuai dengan minat dan kemampuannya, kemungkinan besar mereka akan mencapai keberhasilan dalam mengikuti pendidikan. Keadaan ini akan menumbuhkan kepuasan pribadi serta akan mendorong mereka dalam mengatasi masalah penyesuaian diri yang harus mereka jalani saat menginjak “dunia” kerja.

Kemampuan remaja untuk menentukan pilihan jurusan di perguruan tinggi dan merencanakan bidang pendidikan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya ditentukan oleh sejauhmana informasi yang mereka miliki tentang minat dan kemampuan akademis serta ruang lingkup berbagai jurusan di perguruan tinggi. Selanjutnya, untuk dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, remaja diharapkan sedini mungkin telah membuat komitmen yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Komitmen remaja dalam bidang pendidikan diartikan sebagai kemantapan remaja untuk membuat pilihan yang relatif menetap tentang satu bidang pendidikan yang akan ditekunin. Archer (2004) mengemukakan bahwa komitmen merupakan titik akhir dari proses eksplorasi sebagai usaha pembentukan identitas. Komitmen merupakan aktifitas yang relatif tegas dan menarik tentang elemen-elemen identitas remaja, berperan sebagai pengarah menuju tindakan penuh arti pada sesuatu, yang dipilih dengan disertai keyakinan, kesetiaan, dan sulit untuk digoyang atau dipengaruhi.

Adapun tingkat komitmen remaja dalam bidang pendidikan sejauhmana keteguhan pendirian remaja tersebut terhadap bidang yang dipilihnya, dan sebagaimana digambarkan intensitas aspek-aspek yang dikemukakan Marcia (2005), yaitu : a) kemampuan mengetahui, b). aktivitas yang diarahkan untuk mengimplementasikan apa yang menjadi pilihannya, c). keadaan emosi , d). identifikasi dengan orang lain yang signifikan, e). proyeksi ke masa depan, f). daya tahan terhadap goncangan.

Permasalahan yang terjadi pada remaja madya saat ini masih banyak remaja yang merasa tidak yakin akan pilihannya dalam menekuni suatu bidang pendidikan. Terutama setelah mereka telah memasuki tahap awal menduduki perguruan tinggi, dimana mereka ragu apakah mereka bisa menyelesaikan pendidikannya atau berhenti sebelum menyelesaikannya. Bahkan ada remaja yang mengambil keputusan untuk pindah jurusan lain dalam satu universitas atau universitas lainnya.

Mahasiswa sebagai remaja diberi kesempatan menetapkan komitmennya pada satu jurusan atau bidang pendidikan tanpa takut dikritik karena kebebasan menetapkan komitmen disertai adanya empati dari orang tua serta sikap penerimaan dari orang tua terhadap alasan-alasan atau pendapat yang dikemukakan sehubungan dengan pilihan yang telah ditentukan. Dengan situasi seperti itu remaja akan menampilkan dirinya sebagai individu yang percaya diri, stabil dan optimis terhadap masa depannya sehubungan dengan pilihannya terhadap jurusan yang telah ditekuninya.

Marcia (2005) menyatakan bahwa faktor gaya pengasuhan orang tua, yang berperan terhadap pembentukan identitas dalam berkomitmen, sebagaimana menurut Grotevant dan Cooper (Archer, 2004) bahwa keluarga memegang peranan penting dalam pembentukan identitas, yaitu melalui gaya pengasuhan orang tua. Gaya pengasuhan orang tua adalah kecenderungan orang tua bertingkah laku dalam berinteraksi dengan anak-anaknya, baik yang bersifat memberi dukungan atau yang menghambat komitmen anak dalam pencapaian status identitasnya.

Adapun gaya pengasuhan yang akan digunakan dalam konteks pencapaian status identitas dalam penelitian ini adalah salah satu gaya pengasuhan orang tua yang dikemukakan oleh Hauser (Archer,2004) yaitu gaya pengasuhan constraining. Gaya pengasuhan orang tua constraining adalah gaya pengasuhan yang bercirikan orang tua yang menghambat remaja melakukan aktivitas komitmen dalam tercapainya status identitas bidang pendidikan.

Menurut Grotevant, dkk (Archer,2004) menginformasikan bahwa perkembangan identitas remaja dipengaruhi oleh interaksi antara orang tua dengan remaja, dimana identitas remaja akan terhambat  apabila pola interaksi orang tua mencerminkan hubungan yang constraining.

Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan constraining, cenderung menghambat keinginan remaja dalam membuat komitmen yang berhubungan dengan bidang pendidikan dan tidak adanya pengakuan orang tua terhadap adanya perbedaan individual dalam diri remaja. Hal ini tercermin dari sikap orang tua yang tidak bersedia menerima idea atau pendapat yang dikemukakan oleh remaja sehubungan dengan pilihannya terhadap jurusan diperguruan tinggi yang dihadapi remaja. Dalam situasi seperti ini, maka remaja kurang memiliki kesempatan yang memadai untuk membuat komitmen pada bidang pendidikan yang ditekuninya. Dengan tidak terjadinya proses pertukaran informasi antara orang tua dan remaja, maka dalam keluarga tersebut tidak tersedia  sumber informasi tentang bidang pendidikan yang diperlukan remaja sehubungan dengan komitmen yang mereka lakukan.

Gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua tersebut akan selalu diamati, dinilai, dan dimaknakan oleh remaja. Remaja menilai pengasuhan orang tuanya sebagai pengasuhan yang dapat mempermudah proses dalam menetapkan komitmen atau akan menghambat proses dalam menetapkan komitmen  terhadap pendidikan yang ditekuninya. Gaya pengasuhan orang tua sangat mewarnai aktifitas komitmen dalam pencapaian status pendidikan remaja.

Bentuk gaya pengasuhan berperan dalam dunia pendidikan yang berkaitan dengan upaya individu dalam memutuskan sendiri (komitmen) hal yang berkaitan dengan pendidikan yang dijalaninya.  Marcia (2005). Maka peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul HUBUNGAN ANTARA GAYA PENGASUHAN CONSTRAINING DENGAN KOMITMEN DALAM BIDANG PENDIDIKAN PADA MAHASISWA PSIKOLOGI TAHUN AKADEMIK 2010-2011

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan pada pendahuluan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara gaya pengasuhan constraining dengan komitmen bidang pendidikan pada mahasiswa psikologi angkatan 2010 Universitas Bina Darma Palembang

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara gaya pengasuhan constraining dengan komitmen bidang pendidikan pada mahasiswa psikologi angkatan 2010 Universitas Bina Darma Palembang

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah dalam bidang psikologi pendidikan  yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya

1. Manfaat Teoritis :

Memberikan informasi, gambaran, kontribusi ilmiah sehingga peneliti selanjutnya dapat menggali dalam pengembangan ilmu psikologi khususnya perkembangan psikososial yang berkaitan dengan gaya pengasuhan dan komitmen dalam bidang pendidikan

2. Manfaat Praktis :

Bahan informasi yang dapat memberikan implementatif bagi orang tua, tenaga pendidik dalam rangka menciptakan kondisi pola asuh untuk menstimulir kearah komitmen remaja dalam dunia pendidikan.

E. Tinjauan Pustaka

Masa remaja mempunyai arti khusus dalam perkembangan seseorang. Menurut Marcia (2005) mengklasifikasikan usia remaja dalam tiga kelompok, yaitu : remaja awal antara usia 12 – 15 tahun (usia sekolah menengah pertama), remaja pertengahan antara usia 15 – 18 tahun (usia sekolah menengah atas), dan remaja akhir antara usia 18 – 22 tahun (usia perguruan tinggi).

Masa remaja atau adolescence ini merupakan masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Istilah adolescence mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Individu dianggap telah matang secara pribadi karena menunjukkan ciri-ciri kematangan mental, yaitu remaja telah mampu berpikir secara abstrak, mampu menganalisis suatu masalah kemudian menarik kesimpulan bagi pemecahan masalah dengan tetap memperhatikan realitas. Remaja juga menunjukkan kematangan emosi, yaitu dapat mengendalikan reaksi emosinya sesuai dengan situasi dan norma sosial yang berlaku. Usia remaja dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dalam situasi sosial serta bertanggung jawab dan mandiri (Hurlock, 2006)

Gaya pengasuhan orang tua adalah kecenderungan orang tua bertingkah laku dalam berinteraksi dengan anak-anaknya, baik yang bersifat member dukungan atau menghambat eksplorasi dan komitmen anak. (Archer, 2004). Menurut Hauser, dkk (Archer, 2004) gaya pengasuhan constraining adalah gaya pengashan yang bersifat menghambat perkembangan psikososial sehingga menghambat aktivitas komitmen remaja. Aspek-aspek gaya pengasuhan orang tua constraining, yaitu : aspek kognitif dan aspek afektif.

Marcia (2005) menyatakan bahwa komitmen adalah investasi yang stabil terhadap satu tujuan, nilai dan kepercayaan yang dibuktikan dengan aktivitas yang mendukung.  Aspek-aspek komitmen yang dikemukakan Marcia (2005), yaitu : 1). Kemampuan mengetahui, 2). Aktivitas yang diarahkan untuk mengimplementasikan apa yang menjadi pilihannya, 3) Keadaan emosi, 4). Identifikasi 5).Proyeksi, 6). Daya tahan.

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan antara gaya pengasuhan constraining dengan komitmen bidang pendidikan pada mahasiswa psikologi angkatan 2011 Universitas Bina Darma Palembang.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara gaya pengasuhan constraining dengan komitmen bidang pendidikan pada mahasiswa psikologi angkatan 2010 Universitas Bina Darma Palembang. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel tergantung (dependent variabel) yaitu komitmen  dan variabel bebas (independent variabel) yaitu Gaya Pengasuhan Constraining. Definisi operasional variabel penelitian ini yaitu Komitmen adalah kemantapan mahasiswa psikologi untuk membuat pilihan yang relative menetap tentang satu bidang pendidikan yang ditekuninya Sedangkan Gaya Pengasuhan constraining adalah interaksi orang tua cenderung menghambat dan mengahalangi anak untuk melakukan aktivitas komitmen dalan bidang pendidikan. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa psikologi angkatan 2010 yang memiliki pola pengasuhan constraining sebanyak 50 orang.  Mengingat jumlah populasi yang terbatas menurut Arikunto (2006) jika total populasi dibawah 100 maka total populasi dijadikan sampel penelitian yang disebut sampel total. Data penelitian ini diambil dengan menggunakan metode observasi, interview, serta  metode skala untuk komitmen dan skala gaya pengasuhan constraining yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan metode skala likert. Tehnik analisis statistik yang digunakan adalahanalisis jalur  untuk menguji hubungan antara gaya pengasuhan constraining dengan komitmen bidang pendidikan.

H. Jadwal Pelaksanaan

Adapun jadwal pelaksanaan penelitian  dapat dilihat pada tabel berikut  ini :

Tabel 1.  Jadwal Kegiatan Penelitian

No.

Kegiatan

Waktu (Bulan )

1 2 3 4 5
1. TAHAP  PERSIAPAN
Menentukan Populasi dan Sampel
Membuat kuisioner
2. TAHAP PELAKSANAAN
Penyebaran kuisioner
Analisis data
Interpretasi hasil analisis data
3. TAHAP PENYUSUNAN LAPORAN
Membuat draft laporan
Seminar hasil
Membuat laporan akhir
Publikasi

Jurnal Psyce 3

18 August 2011

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN BEBAN KERJA DENGAN DISIPLIN KERJA PADA KARYAWAN PT. X PALEMBANG

Dwi  Hurriyati

Dosen Universitas Bina Darma, Palembang

Jalan Jenderal Ahmad Yani No.12, Palembang

Pos-el : dee.psy2009@gmail.com1

Abstract :The objective of research was to find out the correlation between self-concept and work-overload with work-dicipline of the employee at PT. X Palembang. The population of the research was 91 employee at PT. X Palembang. The Scale’s spreading was done through the used simple random sampling technique. The method of the collecting data in this research used the self-concept scale, work-overload scale with NASA TLX, and work-dicipline scale. The data analysis was done through multiple regression analysis techniques. The analysis data was done through statistical packages for social science (SPSS) version 11.00. The conclusion that taken from the research result is there is very significant correlation between self-concept and work-overload with work-dicipline of the employee at PT. X Palembang with correlation value r=0,784; p<0,000 or p<0,01. The effective amount that given by self-concept and work-overload variable with work-dicipline of the employee at PT. X Palembang was 60,3% (Adjusted R Square=0,603).

Key word : Self-Concept, Work-Overload, Work-Dicipline ,

Abstrak :Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara konsep diri dan beban kerja dengan disiplin kerja pada karyawan PT. X Cabang Palembang. Populasi dalam penelitian ini adalah 91 karyawan PT. X Cabang Palembang. Penyebaran skala dilakukan dengan menggunakan teknik Simple Random Sampling. Metode pengambilan data dalam penelitian ini menggunaka skala konsep diri, alat ukur beban kerja NASA TLX, dan skala disiplin kerja. Analisis data yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi ganda (multiple regression). Semua perhitungan dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS (Statistical Packages for Social Science) Versi 11.00. Kesimpulan Yang diambil dari hasil penelitian ini adalah ada hubungan yang sangat signifikan antara konsep diri dan beban kerja dengan disiplin kerja pada karyawan PT. X Cabang Palembang (r=0,784; p<0,000 atau p<0,01). Selanjutnya, besarnya sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel konsep diri dan beban kerja terhadap disiplin kerja pada karyawan PT. X Cabang Palembang adalah sebesar 60,3 % (Adjusted R Square=0,603).

Kata Kunci : Konsep diri, Beban Kerja, Disiplin Kerja


1.              PENDAHULUAN

Sumber daya manusia dalam suatu perusahaan, industri dan organisasi mempunyai peranan yang sangat penting, karena tujuan dalam suatu organisasi dapat berhasil atau tidak, tergantung dari faktor manusianya. Manusia di dalam suatu organisasi berperan sebagai  perencanaan, pelaksana, pengendali dan penggerak dari sumber daya yang lain baik itu sumber daya alam maupun teknologi yang digunakan.

Tenaga kerja Indonesia agar mempunyai daya saing yang tinggi dan tidak kalah dibandingkan dengan kualitas tenaga asing, dalam rangka memasuki era pasar bebas, pemerintah mencanangkan Gerakan Disiplin Nasional (GDN). BUMN dan pihak swasta, GDN ini ditindak lanjuti melalui upaya meningkatkan disiplin kerja misalnya dengan melakukan pelatihan-pelatihan untuk menanamkan atau  mensosialisasikan nilai-nilai yang ada dalam kedisiplinan dan melakukan penegakan peraturan untuk lebih meningkatkan disiplin kerja para pegawai dan karyawan.

Peraturan disiplin merupakan peraturan yang mengatur kewajiban, larangan, dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau dilanggar oleh karyawan perusahaaan swasta maupun pegawai negeri sipil. Menurut Jackclass (Sudrajat,2008) membedakan disiplin dalan dua kategori, yaitu self dicipline dan social dicipline. Self dicipline merupakan disiplin pribadi karyawan yang tercermin dari pribadinya dalam melakukan tugas kerja rutin yang harus dilaksanakan, sedangkan social dicipline adalah pelaksanaan disiplin dalam organisasi secara keseluruhan.

PT. X  cabang Palembang adalah salah satu yang bergerak di bidang pendistribusian obat-obatan ke apotik-apotik di Indonesia. PT X  dihadapkan pada suatu per-masalahan yaitu penurunan pemesanan obat oleh apotik, sehingga pendapatan PT. X  menurun dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Hal ini terjadi karena suatu permasalahan yang menyangkut bidang kedisiplinan kerja, dikarenakan dalam melaksanakan tugas sehari-hari mengalami kemunduran dalam penegakan disiplin kerja.

Gibson dkk. (1996) mengemukakan beberapa perilaku karyawan tidak disiplin yang dapat dihukum adalah keabsenan, kelambanan, meninggalkan tempat kerja, tidur ketika bekerja, mengulangi prestasi buruk, melanggar aturan dan kebijaksanaan keselamatan kerja, memperlambat pekerjaan, menolak kerja sama dengan rekan, menolak kerja lembur, memiliki dan menggunakan obat-obatan ketika bekerja, merusak peralatan, menggunakan bahasa atau kata-kata kotor, pemogokan secara ilegal serta adanya ketidak jujuran dalam membuat laporan penjualan untuk keuntungan pribadi.

Menurut Schultz & Schultz (2005) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kedisiplinan, yaitu a) Nilai sosial karena pada setiap negara memiliki variasi yang berbeda dalam sebutan disiplin, b) Faktor pribadi, merupakan bagaimana individu tersebut menyikapi pekerjaannya c) Kondisi ekonomi perusahaan, d) Pegawai yang tidak merasa aman, e) Pekerjaan, pekerjaan yang menantang, terlalu sulit ataupun terlalu mudah dapat menyebabkan kebosanan yang mengarah pada kedisiplin para karyawan.

Berdasarkan faktor yang dikemukakan Schultz & Schultz (2005) dan Kartono (2002) tersebut, bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi disiplin kerja adalah faktor pribadi yang diantaranya konsep diri. Menurut Hurlock (2004), konsep diri adalah pemahaman atau gambaran seseorang mengenai dirinya dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis. Gambaran fisik diri terjadi dari konsep yang dimiliki individu tentang penampilannya, kesesuaian dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan perilakunya, dan gengsi yang diberikan tubuhnya di mata orang lain. Sedangkan gambaran psikis diri atau psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuannya, harga dirinya dan hubungannya dengan orang lain.

Menurut Hurlock (2004) konsep diri yang positif akan berkembang jika seseorang mengembangkan sifat-sifat yang berkaitan dengan good self-esteem, good self-confidence, dan kemampuan melihat diri secara realistik. Seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu. Sebaliknya konsep diri yang negatif, akan muncul jika seseorang mengembangkan perasaan rendah diri, merasa ragu, kurang pasti serta kurang percaya diri. Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika karyawan meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan tidak memiliki daya tarik terhadap hidup.

Faktor yang turut mempengaruhi disiplin kerja pada pegawai selain konsep diri seperti yang dikemukakan Schultz & Schultz  (2005) yaitu pekerjaan, baik yang ringan maupun berat yang ditanggung oleh karyawan itu sendiri. Pekerjaan yang terlalu berat atau beban kerja adalah frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing pekerjaan dalam jangka waktu tertentu (Munandar,2001). Menurut Schultz & Schultz (2005) beban kerja dibedakan menjadi 2 yaitu, beban kerja kuantitatif dan beban kerja kualitatif. Beban kerja kuantitatif menunjukkan adanya jumlah pekerjaan yang besar yang harus dilakukan pada satuan waktu, misalnya jam kerja yang tinggi derajat tanggung jawab yang besar, tekanan kerja sehari-hari dan sebagainya. Sementara beban kerja kualitatif terjadi apabila pekerjaan yang dihadapi terlalu sulit.

Garret (Sudrajat,2008) menyebutkan bahwa bila dalam instruksinya seorang karyawan dari unit kelompok kerja mempunyai pimpinan yang telah mencoba untuk membantu melakukan tugasnya secara baik, dan pimpinan memberikan kebijaksanaan kritikan dalam menjalankan tugasnya, namun seseorang karyawan tersebut masih tetap gagal untuk mencapai standar kriteria tata tertib. Hal ini berarti bahwa disiplin kerja, merupakan sikap dan perilaku untuk mentaati peraturan organisasi muncul dari dalam diri karyawan, tergantung bagaimana karyawan mempersepsikan diri atau konsep diri, lingkungan dan kejelasan tugas serta mendengarkan masalah yang perlu dilakukan dalam tugasnya. Ditambahkan pula oleh Schultz & Schultz (2005) bahwa kedisiplinan dapat dipengaruhi oleh pekerjaan yang terus-menerus dan terlalu sering dilakukan/berulang-ulang yang menimbulkan beban kerja serta adanya pengaruh dari dalam diri karyawan yang diantaranya konsep diri. Hal ini dapat mendorong kegelisahan, ketidakpuasan, kekurangan minat dan energi.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan ingin menuangkannya dalam bentuk laporan studi akhir yang berjudul Hubungan antara Konsep Diri dan Beban Kerja terhadap Disiplin Kerja karyawan PT. X .

METODOLOGI    PENELITIAN

Penelitian ini untuk melihat hubungan  antara Konsep Diri Dan Beban Kerja Dengan Disiplin Kerja pada Karyawan PT. X CABANG PALEMBANG. Dasar  teori mengaju pada  pendapat Koentjaraningrat (Kartono,2002) juga menyatakan bahwa disiplin kerja masyarakat Indonesia yang masih rendah disebabkan oleh mentalitas bangsa Indonesia yang berisi kelemahan-kelemahan berupa sifat meremehkan mutu, kurang percaya diri, dan suka mengabaikan tanggung jawab. Disiplin kerja merupakan hasil proses interaktif antara faktor luar dan faktor dari dalam individu. Faktor dari dalam individu tersebut dapat berupa penilaian-penilaian terhadap diri sendiri maupun lingkungan yang disebut dengan konsep diri, sedangkan faktor dari luar individu termasuk adalah pekerjaan yang dilakukan oleh individu tersebut, semakin baik konsep diri karyawan maka akan memudahkan dalam mengatasi masalah yang ada di dalam diri maupun di luar dirinya.

Menurut Yulista (2008), mengenai penelitian disiplin kerja yang meneliti tentang hubungan antara stress kerja dengan disiplin kerja ditinjau dari pembagian waktu kerja pada perawat Instalasi Rawat Inap RSI Siti Khodijah Palembang, dimana hasil yang didapat adalah terdapat hubungan yang negatif sangat signifikan antara stress kerja dengan disiplin kerja ditinjau dari pembagian waktu kerja.

Berdasarkan konsep teori tersebut  maka dapat diajukan  hipotesis sebagai berikut : Ada hubungan antara konsep diri dan beban kerja dengan disiplin kerja pada karyawan PT. X  cabang Palembang.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan PT. X cabang Palembang sebanyak 91 orang karyawan, kemudian diambil lagi menjadi sampel penelitian.

Jumlah populasi sebanyak 86 karyawan berdasarkan tabel Krecjie dan Morgan (Sugiyono,2005)  didapat sampel penelitian sebanyak 71 orang karyawan dan sisanya sebanyak 15 orang karyawan akan diambil sebagai sampel uji coba (try out) penelitian. Jumlah sampel penelitian dan try out dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini :

Definisi Konsep dan Operasional Variabel

1. Variabel tergantung (dependent variable)                : Disiplin kerja

2. Variabel bebas ( independent variable)                   : konsep diri dan beban kerja

Disiplin Kerja

Disiplin kerja adalah kesadaran dari karyawan PT. X  cabang Palembang untuk menghormati, menghargai, patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

.

Konsep Diri

Konsep diri adalah pandangan diri karyawan PT. X  mengenai diri sendiri, bila karyawan berfikir mampu atau bisa maka yang dilakukan dapat berjalan lancar namun bila karyawan berfikir akan gagal maka sebenarnya karyawan tersebut menyiapkan diri untuk gagal.

Beban Kerja

Beban kerja adalah pekerjaan yang terlalu banyak atau terlalu sulit dan yang  dilakukan secara terus-menerus/berulang-ulang serta dilakukan dalam satuan waktu oleh karyawan PT. X  Cabang Palembang, sehingga menimbulkan beban bagi karyawan untuk segera menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Pengujian Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini dilakukan pengujian instrumen terhadap 47 orang yang digunakan adalah metode skala dengan memberikan daftar pernyataan kepada responden dan wawancara dengan responden terpilih. Adapun tryout instrumen dilakukan terhadap 46 orang.

Berdasarkan judul penelitian di atas maka dapat dijelaskan bahwa terdapat dua instrumen didalamnya yaitu:

1.      Instrumen untuk mengukur variabel disiplin kerja

2.      Instrumen untuk mengukur variabel konsep diri

3.   Instrumen untuk mengukur variabel beban kerja menggunakan pengukuran beban kerja psikologis NASA TLX

HASIL PENELITIAN

Pengolahan data dari hasil penyebaran skala yang dilakukan pada karyawan PT.X cabang Palembang dengan menggunakan teknik uji regresi ganda

Berdasarkan uji regresi ganda untuk menguji hipotesis mayor, diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar r=0,653 dengan taraf signifikansi (p) kurang dari 0,01 yaitu sebesar 0,000. Hal ini berarti bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara konsep diri dan beban kerja dengan disiplin kerja pada karyawan PT. MPI cabang Palembang. Kemudian, nilai sumbangan konsep diri dan beban kerja pada disiplin kerja yaitu sebesar 41%, yang berarti bahwa masih terdapat 59% faktor lain yang mempunyai hubungan dengan disiplin kerja namun tidak diteliti lebih lanjut oleh penulis, antara lain kesadaran dan kesediaan kerja, teladan pemimpin, kesejahteraan, pengawasan melekat, sangsi hokum dan lain-lain.

Schultz & Schultz (2005) mengemukakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kedisiplinan, yaitu a) Nilai sosial karena pada setiap negara memiliki variasi yang berbeda dalam sebutan disiplin, b) Faktor pribadi, merupakan bagaimana individu tersebut menyikapi pekerjaannya c) Kondisi ekonomi perusahaan, d) Pegawai yang tidak merasa aman, e) Pekerjaan, pekerjaan yang menantang, terlalu sulit ataupun terlalu mudah dapat menyebabkan kebosanan yang mengarah pada kedisiplin para karyawan

Pengujian yang dilakukan setelah pengujian hipotesis mayor adalah pengujian pada hipotesis minor yang dilakukan dengan menggunakan uji regresi sederhana. Berdasarkan pengujian tersebut diperoleh hasil pada hipotesis minor a) tentang adanya hubungan antara konsep diri dengan disiplin kerja dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,642 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 pada taraf signifikansi 1% (p=0,01). Hal ini berarti, ada hubungan antara konsep diri dengan disiplin kerja pada karyawan dan jika konsep diri karyawan positiff maka disiplin kerja juga tinggi, namun sebaliknya jika konsep diri negatif maka disiplin kerja juga rendah dengan nilai sumbangan konsep diri pada disiplin kerja yaitu sebesar 41,2%.

Adanya hubungan antara konsep diri dengan disiplin kerja tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kartono (2002) bahwa pendisiplinan dan tanggung jawab itu timbul dari kesadaran yang melibatkan proses kognisi dimana suatu konsep diri tidak akan mungkin ada tanpa kapasitas untuk berfikir, hati nurani serta kelompok itu sendiri. Didukung pula oleh Rakhmat (Rahman,2008), menjelaskan bahwa konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tapi juga penilaian diri individu tentang diri individu itu sendiri. Jadi konsep diri meliputi apa yang dipikirkan dan apa yang individu rasakan tentang diri individu itu sendiri. Adanya proses perkembangan konsep diri menunjukan bahwa konsep diri seseorang tidak langsung dan menetap, tetapi merupakan suatu keadaan yang mempunyai proses pembentukan dan masih dapat  berubah.

Uji regresi sederhana kemudian dilakukan pada hipotesis minor b) tentang adanya hubungan antara beban kerja dengan disiplin kerja, hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut adalah nilai koefisien korelasi sebesar 0,309 dengan nilai signifikansi sebesar 0,009 pada taraf signifikansi 1% (p=0,01). Hal ini berarti, terdapat hubungan yang sangat signifikan antara beban kerja dengan disiplin kerja, jika beban kerja tinggi maka disiplin kerja akan rendah dan sebaliknya, jika beban kerja rendah maka disiplin kerja akan tinggi. Besaran nilai sumbangan antara beban kerja dengan disiplin kerja adalah sebesar 9,5%.

Hubungan antara beban kerja dan disiplin kerja tersebut didukung oleh Fraser (1992) bahwa bila para karyawan telah merasakan beban kerja maka akan menurunkan disiplin kerja karyawan tersebut, ini dikarenakan para karyawan cenderung untuk beristirahat, menenangkan pikiran, dan pengumpulkan kembali energi. Menurut Schultz & Schultz (2006) beban kerja adalah terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam satu satuan waktu, atau pekerjaan tersebut terlalu sulit untuk dilakukan oleh karyawan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan diterima, baik hipotesis mayor maupun hipotesis minor. Kesimpulan dari hipotesis mayor tersebut adalah ada hubungan yang sangat signifikan antara konsep diri dan beban kerja dengan disiplin kerja pada karyawan PT. X cabang Palembang. Semakin baik konsep diri dan beban kerja yang rendah pada karyawan maka akan meningkatkan disiplin kerja pada karyawan, hal ini dapat didukung pula oleh nilai sosial, kondisi ekonomi perusahaan yang baik dan karyawan yang merasakan kenyamanan dalam bekerja sehingga disiplin kerja akan meningkat pada karyawan PT. X cabang Palembang.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data dan pembahasan, maka penulis menarik tiga kesimpulan yaitu sebagai berikut :

1.      Ada hubungan yang sangat signifikan antara konsep diri dan beban kerja dengan disiplin kerja pada karyawan PT. X Cabang Palembang.

2.      Ada hubungan yang sangat signifikan antara konsep diri dengan disiplin kerja pada karyawan PT. X Cabang Palembang.

3.      Ada hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan disiplin kerja pada karyawan PT. X Cabang Palembang.

DAFTAR  RUJUKAN

Ansor. 2006. Perilaku Organisasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Edisi Revisi. Cetakan ke enam. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Fraser, T.M. 1992. Stress & Kepuasan Kerja (alih bahasa oleh Ny. L. Mulyana). Jakarta : PT. Sapdodadi.

Gibson,J.L., dkk. 1996. Organization. Jilid II (alih Bahasa oleh Drs Djakarsih, MPA). Jakarta: Erlangga.

Hurlock, Elizabeth. 2004. Psikologi Perkembangan. Jakarta : PT. Erlangga

Kartono, K. 2002. Psikologi Sosial Untuk Manajemen, Perusahaan, & Indstri. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Malayu, H. H. 2005. Manajemen Sumber Daya Tenaga Manusia. Jakarta : Bumi Aksara.

Munandar, A. S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : UI-Press.

Rahman. 2008. Konsep Diri. Jakarta : Arcan

Schultz, D., & Schultz, W. 2005. Work In Organizational Today nineth edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall.

Sudrajat. 2008. Disiplin Kerja. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Widyanti, A., dkk. 2006. Pengukuran Beban Kerja Mental. Jurnal UNDIP. Diunduh pada laman http://eprints.undip.ac.id/12413/1/1.pdf. tanggal 10 April 2010

Yulista. 2008. Hubungan antara stress kerja dengan disiplin kerja ditinjau dari pembagian waktu kerja pada perawat instalasi rawat inap rumah sakit Siti khodijah Palembang. Skripsi (Tidak Diterbitkan) Palembang. Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma.

Jurnal Psyce

18 August 2011

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGY COPING

PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG

AUTIS DI LEMBAGA TERAPI KOTA PALEMBANG

Dwi Hurriyati

Dosen Universitas Bina Darma Palembang

Jalan Jenderal Ahmad Yani No.12 Palembang

Pos-el : dee.psy2009@gmail.com

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan strategy coping pada ibu yang memiliki anak autis di Lembaga Terapi Kota Palembang. Hipotesis yang digunakan yaitu ada hubungan antara dukungan sosial dengan strategy coping pada ibu yang memiliki anak penyandang autis di Lembaga Terapi Kota Palembang. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 100 ibu yang memiliki anak autis di Lembaga  Terapi Kota Palembang dengan jumlah sampel yang digunakan sebanyak 80 ibu yang didapat melalui teknik simpel random sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala dukungan sosial dan skala strategy coping. Teknik analisis menggunakan teknik analisis regresi sederhana.Berdasarkan hasil analisis data penelitian, diperoleh koefisien korelasi r = 0,983 dengan nilai p= 0,000. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara dukungan sosial dengan strategy coping pada ibu yang memiliki anak penyandang autis di Lembaga Terapi Kota Palembang.

Kata Kunci : Dukungan Sosial dengan Strategy Coping

ABSTRACT

This research was purposed to know the corelation between social support and coping strategy on mothers of children with autism institutions therapy in  city Palembang. Hypothesis used was the existency of relationship between social support and coping strategy on mothers of children with autism institution therapy in city Palembang.

The Population of samples in this research was 100 subjects, with 80 subjects of them taken from simple random sampling technique.Measurement used in this research was social support scale and coping strategy scale. Data analysis used simple regression analysis

Based on research’s data analysis, correlation coeficiency was r = 0,983 and p = 0,000. It showed that there was a corelation between social support and coping strategy on mothers of children with autism at the of therapy in city Palembang.

Keywords : Social support and  coping strategy


PENDAHULUAN

Anak adalah anugerah yang bisa meneruskan regenerasi dan semangat hidup dalam suatu rumah tangga. Anak yang sehat dan cerdas itu idaman semua orang tua. Orang tua ingin selalu menjaga dan merawat dengan sebaik mungkin bahkan selalu memperhatikan perkembangan anak setiap saat. Tetapi semua itu terkadang orang tua tidak melihat kondisi anak. Kebanyakan orang tua tidak bisa terima kenyataan, dengan anak yang pola perkembangannya berbeda dengan anak-anak yang lain. Anak-anak  inilah yang disebut anak berkebutuhan khusus atau anak penyandang autisme.

Autisme merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi beberapa aspek, bagaimana anak melihat dunia dan belajar dari pengalamannya. Biasanya anak-anak ini kurang minat untuk melakukan kontak sosial dan tidak ada kontak mata. Selain itu anak-anak autisme memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dan terlambat dalam perkembangan bicaranya. Menurut Hogan (Yuwono, 2009) autisme merupakan gabungan cacat perkembangan terlihat sepanjang tiga tahun pertama, ini dapat berakibat dalam bentuk bahasa, komunikasi, emosi, behavior, baik keahlian motorik kasar dan sosial interaksi.

Adanya hambatan dalam emosi dan perilaku, menyebabkan anak autisme sulit untuk dirangkul secara emosional, sulit berkomunikasi karena tidak adanya kontak mata, membuat ibu berbicara pada anak, namun anak tidak mengerti dan sebaliknya. Perilaku anak autisme yang hiperaktif juga menjadi salah satu sumber masalah bagi ibu, dimana ibu mengalami kesulitan untuk mengendalikan dan mengontrol perilaku anak autisme tersebut (Nurhayati, 2003).

Beberapa keterlambatan perkembangan pada anak autisme bila di bandingkan dengan anak lain yang sebaya, menuntut adanya penanganan yang lebih intensif oleh ibu yang memiliki anak autisme. Munculnya tuntutan tersebut dapat berpotensi menimbulkan stress bagi ibu yang memiliki anak autisme dan membutuhkan adanya penanganan strategy coping.

Menurut lazarus (Davinson dkk, 2006) coping adalah: bagaimana orang berupaya mengatasi masalah atau menangani emosi yang umumnya negatif yang ditimbulkannya. Mu’tadin, (2002) juga menambahkan bahwa strategy coping adalah: segala upaya dan usaha baik mental maupun perilaku untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, meminimalis situasi atau kejadian yang penuh tekanan.

Mu’tadin, (2002) mengatakan strategy coping dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, sebagai berikut: (a) kesehatan fisik, (b) keyakinan dan pandangan positif, (c) keterampilan memecahkan masalah, (d) keterampilan sosial, (e) social support dan materi.

Sering mengeluh pada pihak–pihak yang terkait yaitu suami, orang tua, sahabat dan tetangga seperti sulitnya punya anak autisme, lebih enak mengurusi anak yang normal. Bersikap menerima, bersabar, dan bertawakal, terkadang tanpa disadari ibu menangis sambil berdo’a saat tengah malam dalam hati, memohon kepada Allah Yang Maha Esa sehingga diberi kekuatan dalam menghadapi anak autisme dan diberi ketenangan dalam menghadapi hidup ini.

Davison dkk, (2006) Penggunaan coping dengan penghindaran meningkatkan kemungkinan efek stress terhadap emosi dan fisik. Faktor penting lain yang dapat mengurangi efek stress adalah dukungan sosial. Mu’tadin, (2002) juga mendukung bahwa strategy coping dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu dukungan sosial yang meliputi dukungan kebutuhan informasi dan emosional.

Dukungan sosial adalah bahwa suatu diantara fungsi pertalian atau ikatan sosial sebagai fungsionalnya mencakup dukungan emosional mendorong adanya ungkapan, perasaan, memberi nasehat atau informasi, pemberian bantuan material Smart (Kurniawati, 2007).

Sumber dukungan sosial bisa berasal dari suami atau istri, teman atau sahabat. Adapun faktor-faktor dukungan sosial menurut Marcer (Purwandari, 2008) membagi empat faktor dukungan sosial yaitu: (a) dukungan emosional: perasaan mencintai, penuh perhatian, percaya diri dan mengerti, (b) dukungan informasi: membantu individu untuk menolong dirinya sendiri dengan memberi informasi yang berguna dan berhubungan dengan masalah atau situasi,(c) dukungan fisik: pertolongan yang langsung, seperti membantu merawat anak autisme (d) dukungan penilaian informasi yang menjalankan tentang peran pelaksanaan, bagaimana menampilkan perannya, hal ini memungkinkan individu mampu mengevaluasi dirinya sendiri yang barhubungan dengan penampilan peran orang lain.

Dukungan ini yang sangat diperlukan bagi seorang ibu yang memiliki anak autisme dimana dukungan sosial merupakan mediator yang penting dalam menyelesaikan masalah ibu yang memiliki anak autisme. Hal ini ibu sangat memerlukan bantuan dari keluarga, teman, terutama suami yang dapat berperan aktif dalam penanganan anak autisme baik secara langsung atau pun tidak, sehingga peran orang-orang terdekat dapat mempengaruhi ibu dalam mengatasi permasalahan yang ada.

Berdasarkan penelitian Wardani, (2009) yang meneliti tentang strategy coping orang tua menghadapi anak autisme. Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui orientasi strategy coping yang digunakan oleh orang tua untuk menghadapi anak mereka yang mengalami gangguan autisme, bentuk perilaku coping yang digunakan, dan dampak perilaku coping tersebut bagi orang tua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategy coping pada orang tua yang mempunyai anak autisme berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi fokus pada masalah (problem focused coping), sedangkan bentuk perilaku coping yang muncul yaitu aksi instrumen ( instrumental action) yang termasuk dalam fokus pada masalah (problem focused coping) dan pengendalian diri (self-controlling), penolakan (denial), dan berdoa (seeking meaning) yang termasuk dalam fokus pada emosi (emotion focused coping). Dampak positif dari perilaku coping yang dilakukan oleh orang tua yaitu perhatain (exercised caution) dan berdoa (seeking meaning), sedangkan dampak negatif yang muncul diatasi orang tua dengan intropersitiv (intropersitive), negosiasi (negotiation), dan menerima (accepting responbility)

TINJAUAN PUSTAKA

Strategy Coping

Koping berasal dari kata coping yang bermakna harfiah pengatasan atau  penanggulangan mengatasi, menanggulangi (to cope with) atau dengan kata lain coping adalah: bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan. menurut (Siswanto, 2007). Suls dkk (Carole dkk, 2007) mendefinisikan bahw coping adalah mengatur diri sendiri saat sakit, atau memperbaiki situasi yang penuh stres.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi strategy coping menurut  Susman (Santrock, 2003) yaitu: Faktor fisik,  Faktor lingkungan, Faktor kepribadian,Faktor kognitif, Faktor sosial budaya, Faktor strategi penanganan stres

Adapun faktor yang mempengaruhi  strategy coping menurut Mu’tadin, (2002) yaitu: Kesehatan Fisik, Keyakinan atau pandangan positif, Keterampilan memecahkan masalah, Keterampilan social, Dukungan social, Materi

Bentuk-bentuk Strategy Coping Menurut Lazarus dan Folkman (Rustiana, 2003) coping terdiri atas strategi yang bersifat kognitif dan behavioral.

Dukungan Sosial

Menurut Neale dkk (Fausiah dkk, 2006) dukungan sosial adalah: keberadaan para saudara, teman dan kenalan dalam menghadapi stres dapat membantu seorang berhasil menggunakan pokus masalah( problem focused coping) atau pokus emosi (emotion focused coping).

Smart dkk 1994 (Kurniawati, 2007) dukungan sosial adalah: sebagai suatu diantara fungsi pertalian atau ikatan sosial sebagai fungsionalnya mencakup dukungan emosional mendorong adanya ungkapan, perasan, memberi nasehat atau informasi, pemberian bantuan material. Selain itu menurut Gottlieb dkk 1983 (Kurniawati, 2007) juga berpendapat dukungan sosial terdiri atas informasi atau nasehat verbal atau nonverbal, bantuan nyata atau tindakan karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima

Jocobson (Kurniawati dkk, 2007 ) membagi menjadi tiga faktor dukungan sosial yaitu: Dukungan  emosional (emotional support), Dukungan  kognitif (cognitive support)

Dan Dukungan materi (material support). Menurut Marcer ( Purwandari, 2008) membagi empat faktor dukungan sosial yaitu:  Dukungan emosional, Dukungan informasi, Dukungan fisik dan Dukungan penilain

Neale, Davison & Haag ( Fausiah, 2006) ada dua aspek dukungan sosial yaitu : Dukungan sosial stuktural dan  Dukungan sosial fungsional.  Sedangkan menurut Barrera (Suhita, 2005) terdapat lima aspek dukungan sosial yaitu: Bantuan materi, bantuan fisik, bimbingan, umpan balik, partisipasi social.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan penjelasan diatas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara strategy coping dengan dukungan sosial pada ibu yang memiliki anak penyandang autis di Lembaga Terapi Kota Palembang.

METODE PENELITIAN

Identifikasi Variabel Penelitian

Pada penelitian ini variable yang dipergunakan adalah : Variabel Tergantung ( dependent variable ): Strategy coping dan Variabel Bebas ( independent variabel ): Dukungan sosial

Definisi Operasional Variabel Penelitian

Strategy Coping

Strategy coping adalah usaha yang dilakukan ibu yang memiliki anak penyandang autisme di Lembaga Terapi Kota Palembang dalam menghadapi masalah dengan cara mengurangi, meminimalisir, berupa tekanan yang bersumber dari stressor. Variabel Strategy coping dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala model Likert, yang dibuat sendiri oleh penulis dengan mengacu pada bentuk-bentuk Strategy coping yang dikemukakan menurut Lazarus dan Folkman (Rustiana, 2003) yang meliputi: a. fokus pada masalah (problem focused coping) yaitu: kehati-hatian (exercised caution), aksi intrumen (instrumental action), negosiasi (negotiation) b. fokus pada emosi (emotion focused coping), menghindar (escapism), pengabaian (minimization), menyalahkan diri (self blame), berdoa (seeking meaning).

Dukungan Sosial

Dukungan sosial adalah: pertolongan diberikan pada ibu yang memiliki anak autisme di Lembaga Terapi Kota Palembang berupa informasi, nasehat dimana berasal dari orang-orang terdekat seperti suami, tetangga, saudara dan keluarga dekat yang dapat menimbulkan perasaan dihargai, diperhatikan dan dicintai. Dukungan sosial dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala model Likert yang dibuat sendiri oleh penulis dengan mengacu pada aspek yang mempengaruhi dukungan sosial pada teori Barrera (Suhita, 2005) yaitu bantuan materi, bantuan fisik, bimbingan, umpan balik, partisipasi sosial

Populasi dan Sampel Penelitian

Menurut Azwar, (2005) populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian, sedangkan sampel menurut Hadi, (2004) adalah sebagian individu yang diselidiki dan dapat mewakili populasi. Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak penyandang autisme di Lembaga Terapi Kota Palembang. Populasi dalam penelitian ini yang akan dijadikan sampel dengan menggunakan teknik random sampling sederhana yaitu, setiap ibu yang memiliki anak penyandang autisme yang memenuhi karakteristik sebagai populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Usman dan Akbar, 2003).

Adapun karakteristik populasi yang dimaksud adalah sebagai berikut: Ibu yang memiliki anak autisme yang di Lembaga Terapi Kota Palembang dan Usia ibu sekitar 25 tahun keatas.

Menentukan ukuran sampel table Krejcie dan Morgan (Sugiono, 2005) sebagai berikut :

Tabel 3.1

Distribusi Populasi Penelitian

No

Lembaga

Jumlah

Penelitian

Uji Coba

1

Bina Autis Mandiri

50

40

10

2

Bina Potensi

30

24

6

3

Pelita Hati

20

16

4

Jumlah

100

80

20

Berdasarkan table for determining sample size researc activities Krijcie, dkk (Sugiyono, 2005) jumlah populasi sebanyak 100 ibu yang memiliki anak penyandang autisme maka dapat di ambil sampel sebanyak 80 ibu yang memiliki anak penyandang autisme dengan uji coba 20 ibu yang memiliki anak penyandang autisme.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang relevan, adekuat, dan reliabel. Prosedur ini sangat penting karena baik buruknya penelitian tergantung pada teknik pengumpulan data ( Hadi, 2004).

Metode pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode skala. Menurut Azwar, (2005) alasan yang digunakan dalam menggunakan metode skala ini yaitu karena subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri. Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku atribut yang bersangkutan.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik penskalaan dengan metode Likert yang telah dimodifikasi dengan menggunakan 4 alternatif jawaban,  yaitu : sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju  (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Alternatif untuk jawaban ragu-ragu sengaja dihilangkan dengan maksud untuk menghindari respon tendensi central effect yaitu jawaban yang cenderung mengumpul di tengah atau kecenderungan pada satu alternatif. Pemberian skor jawaban responden dinyatakan dalam tabel di bawah ini

Skala yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua skala pengukuran yaitu skala strategy coping dan skala dukungan sosial .

1. Skala strategy coping

Skala pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala strategy coping. Skala ini disusun oleh penulis berdasarkan bentuk-bentuk strategy coping yang dikemukakan menurut Lazarus dan Folkman (dalam Rustiana, 2003) yaitu coping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) dan coping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping)

Skala strategy coping terdiri atas 84 aitem yang terdiri dari 42 aitem Favourable dan 42 aitem Unfavourable yang harus direspon oleh subjek. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin positif strategy coping yang dilakukan subjek dan sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin negatif strategy coping yang dilakukan subjek. Dalam tabel di bawah ini akan terlihat distribusi aitem skala strategy coping sebelum uji coba sebagai berikut :

2. Skala dukungan sosial

Skala kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala dukungan sosial. Skala ini disusun oleh penulis berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan Barrera (Suhita, 2005) terdapat lima aspek dukungan sosial yaitu: materi, fisik, bimbingan, umpan balik, partisipasi sosial.

Skala dukungan sosial terdiri atas 80 aitem yang terdiri dari 40 aitem Favourable dan 40 aitem Unfavourable yang harus direspon oleh subjek. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin positif dukungan sosial yang dilakukan subjek dan sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin negatif dukungan sosial yang dilakukan subjek.

Pengujian Alat Ukur

Menyelesaikan penelitiaan ini, penulis terlebih dahulu melakukan pengujian terhadap alat untuk digunakan dengan melakukan uji validitas dan uji reliabilitas.

Metode Analisis Data

Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik. Terlebih dahulu menguji data melalui uji normalitas dan uji linieritas. Apabila hasil uji diatas menunjukan variabel penelitian memenuhi persyaratan, maka dapat dilanjutkan dengan melakukan uji hipotesis. Untuk menguji hipotesis penelitian, penulis menggunakan teknik analisis regresi sederhana.. Secara keseluruhan analisis dalam penelitian ini menggunakan bantuan program komputer dari Statistical packages for social sciences (SPSS) versi 12.00.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Data

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov- Smirnov melalui program Statistical packages for social sciences (SPSS) versi 12.00. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui normalitas sebaran data adalah jika p>0,05 sebaran dikatakan normal atau jika p<0,05 maka sebaran dianggap tidak normal.

Berdasarkan analisis normalitas diatas, diperoleh hasil sebaran skor variabel strategy coping adalah KS-Z 0,771dengan p= 0,592 dan dikatakan berdistribusi normal karena p> 0,05. Hasil sebaran skor variabel dukungan sosial adalah KS-Z= 0,812 dengan p= 0,525 dan dikatakan berdistribusi normal karena p>0,05.

2. Uji Linieritas

Melalui uji liniearitas dapat pula diketahui taraf penyimpangan dari linieritas hubungan tersebut. Hubungan antara variabel bebas (Y) dan variabel tergantung (X) dikatakan liniear jika tidak ditemukan penyimpangan dari liniear hubungan tersebut. Uji liniear dilakukan dengan teknik analisis varians. Kaidah uji yang digunakan adalah jika p<0,05 maka hubungan antara variabel bebas (Y) dengan variabel tergantung (X) dinyatakan liniear, atau jika p> 0,05 maka hubungan tidak liniear.

Berdasarkan uji linieritas menunjukkan bahwa hubungan antara variabel strategy coping dan dukungan sosial memiliki F= 2268,094 dengan p=0,000 sehingga hubungan kedua variabel tersebut linier karena p=<0,05.

3. Hasil Uji Hipotesis

Hipotesis penelitian ini diuji dengan analisis regresi sederhana menggunakan bantuan program komputer Statistical packages for social sciences (SPSS) versi 12.00. KKoefisien korelasi antara variabel dukungan sosial dengan strategy coping pada ibu yang memiliki anak autis di Lembaga Terapi Kota Palembang adalah (r=0,983;p=0,000atau p<0,01.Hal tersebut menunjukan bahwa hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah ” ada hubungan antara dukungan sosial dengan strategy coping pada ibu yang memiliki anak penyandang autis di Lembaga Terapi Kota Palembang.

Diketahui R Square R² atau sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel dukungan sosial dengan stategy coping pada ibu yang memiliki anak autis di Lembaga Terapi Kota Palembang adalah 96,7% (R²= 0,967). Hal ini berarti 96,7% strategy coping pada ibu di pengaruhi oleh dukungan sosial. Sisanya merupakan pengaruh dari faktor- faktor yang tidak diungkapkan dalam penelitian ini

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana, diperoleh koefisien korelasi (r) antara dukungan sosial dengan strategy coping pada ibu yang memiliki anak penyandang autis di Lembaga Terapi Kota Palembang yaitu sebesar 0,983 dengan p= 0,000 dimana p< 0,01. Hal tersebut menunjukan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan strategy coping pada ibu yang memiliki anak  penyandang autis di Lembaga Terapi Kota Palembang.

Sumbangan efektif dukungan sosial dengan strategy coping dapat dilihat dari koefisien determinan (R²) yaitu sebesar 0,967. Dukungan sosial dengan strategy coping memberikan sumbangan efektif sebesar 96,7% terhadap strategy coping pada ibu yang memiliki anak  penyandang autis di Lembaga Terapi Kota Palembang, sementara sisanya sebesar 3,3% lagi adalah aspek yang berasal dari luar dukungan sosial.

Kelompokan subjek dikatagorikan mempunyai strategy coping yang rendah jika skor X< 115 dan tinggi jika skor X >115. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada 43 ibu (53,75%) yang memiliki strategy coping yang rendah dan 37 ibu (46,25%) yang memiliki strategy coping yang tinggi. Berdasarkan katagori tersebut maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata ibu yang memiliki  anak autis di Lembaga Trapi Kota Palembang memiliki strategy coping dengan kata gori rendah.

Selanjutnya kelompok subjek dikatagorikan dalam dukungan sosial yang kurang baik jika skor X<108 dan baik dalam mendapatkan dukungan sosial jika skor X>108. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 80 ibu yang dijadikan subjek penelitian, ada 41 ibu (51,25%) dalam dukungan sosial yang kurang baik dalam mendaptkan dukungan sosial dan 39 ibu (48,75%) yang baik dalam mendapatkan dukungan sosial. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata ibu kurang baik dalam mendapatkan dukungan sosial pada keluarga terdekat terutama pada suami terhadap ibu yang memiliki anak autis di Lembaga Terapi Kota Palembang.

Adapun hubungan antara strategy coping dengan dukungan sosial dinyatakan oleh Davison dkk, (2006) penggunaan coping dengan penghindaran meningkatkan kemungkinan efek stress terhadap emosi dan fisik. Faktor penting lain yang dapat mengurangi efek stress adalah dukungan sosial. Dukungan sosial yang dimiliki ibu yang memiliki anak  penyandang autis di Lembaga Terapi Kota Palembang berkorelasi dengan strategy coping pada ibu tersebut. Strategy coping yang dalam penelitian ini tentang dukungan sosial.

Sumbangan setiap aspek dalam dukungan sosial pada  strategy coping ,dimana pada aspek materi memberikan sumbangan sebesar 75.3%, aspek bantuan fisik sebesar 89,5%, aspek bimbingan sebesar 76%, pada aspek umpan balik sebesar 78,8%, dan aspek partisipasi sosial sebesar 78,4%. Sehingga aspek bantuan fisik dalam dukungan sosial yang memberikan sumbangan terbesar pada strategy coping yaitu 89,5%, bahwa bentuk dukungan fisik ini sejalan dengan masalah yang ada pada fenomena.

KESIMPULAN

Berdasarkan urain dan pembahasan pada data terlebih dahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: ada hubungan yang  sangat signifikan antara dukungan sosial dengan strategy coping pada ibu yang memiliki anak penyandang autis di Lembaga Terapi Kota Palembang.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto.S.2006.Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik.Jakarta: Rineka  cipta

Azwar. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Jakarta: Pustaka Pelajar.

______2006. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Carole dkk. 2007.  Psikologi Ed ke-9.Jakarta: Erlangga.

Davison dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Fausiah dkk. 2006. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: Universitas  Indonesia.

Gusmilizar. 2008. Hubungan Antara coping strategy dengan stres pengasuh pada    ibu yang memiliki anak autis: Bina Darma Palembang.

Hadi. 2004. Metodologi Research I. Yogyakarta: Andi Offset.

Kurniawati dkk. 2007. Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS Ed pertama. Jakarta: Salemba Madika.

Mitchell. 2006. Peran depresi, social support dan gender keputusan individu atas meninggalkan peran     depresi. Diunduh dalam           laman  http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/17076883 diakses pada tanggal 3 juni 2010.

Mu’tadin. 2002. Strategi Koping. Diunduh dalam laman tanggal   http/ www.e-psikologi.com/ 220702. htm. Diakses pada tanggal 16 Desaember 2009.

Nugraha. 2009. Hubungan Antara Social Support dan stres pada Panderita Penyakait Kusta Kediri :Universitas Negri Malang.

Nurhayati. 2003. Dinamika Psikologi Orang Tua Penderita Autis. Tesis. Fakultas Psikologi. Universitas Muhadiah Malang. Tidak dipublikasik.

Purwandari. 2008. Konseb kebidanaan : sajarah & profesionalisme. Jakarta: Kedokteran EGC.

Rustiana. 2003. Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan Perilaku Coping Anak-Anak Korban Kerusuhan Maluku Utara. Tazkiya.

Santrock. 2003. Adolescence: Perkembngan Remaja Ed. 6. Jakarta: Erlangga.

Simon dkk. 2006. The child with special needs anak berkebutuhan khusus mendorong pertumbuhan intelektual & emosional. Jakarta : Yayasan Ayo Main.

Siregar. 2004. Statistik teparan untuk penelitian. Jakarta: PT Grasindo

Siswanto. 2007. Kesehatan Mental Konsep Cakupan dan Perkembangan Yogjakarta: C.Vandi Offset.

Sugioyono. 2005. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Bandung.

Suhita. 2005.   Apa itu Dukungan Sosial?. Diunduh          dalam laman  (http://www.masbow.com/2009/08/apa-itu-dukungan-sosial.html/. Diakses pada tanggal 18 Mei 2010.

Taylor. 2003. Helth Psychology. 3 th  Edition Boston: Mc.Graw Hill.

Trihendradi.Kornelius.2009. Stab by stab SPSS 16 Analisis data statistik . Jogjakarta: Andi.

Usman dkk. 2003. Metode Penelitian sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Utaminingsih. 2005. Pengaruh Social Support dan Optimisme dengan kecendrungan penggunaan Emotional Focused Coping pada remaja awal (tesis).Diunduh dalam laman

http://www laptunila p-gdl-res-2006-diahutamin-396-2005- lp- pdf- adobe  reader. Lampung: Universitas Lampung. Pada  tanggal 3 juni 2010.

Wardani. 2009. Stratregy Coping orang tua menghadapi anak autis. Tesis. Diunduh          dalam  laman http://etd.eprints.ums.ac.id/6290/Surakarta:Muhammadiyah Surakarta. Diakses pada  tanggal 3 juni 2010.

Willin. 2008,  Strategi, stres, aktivitas fisik dan tidur pada pasien dengan nyeri dada           tak       diterangkan.      Jurnal.        Diunduh          dalam laman.http://www.lib.umd.edu/drum//biststrem/1903/3316/1umi-umd-3153.pdf . Diakses pada tanggal  3 juni 2010.

Winarsunu. 2002. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Yuwono. 2009. Memahami Anaa Autistik (Kajian teori dan empirik). Bandung: Alfabeta, CV.

Zainudin, S.2002. Social Support pada lansia. Di unduh dalam laman. www.e- psikologi.com. Diakses pada tanggal 6 juni 2010 .

Jurnal Psyche

13 January 2011

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KERJA DENGAN DISIPLIN KERJA

PADA GURU SMA “XY”

(THE RELATIONSHIP BETWEEN WORK SATISFACTION AND WORK DICIPLINE INSENIOR HIGH SCHOOL TEACHER OF “XY”)

Dwi Hurriyati

Sekolah Tinggi Ilmu Psikologi (STIPSI) Abdi Nusa

Jln. Veteran No.12, Plaju, Palembang

Pos-el: dee.psy2009@gmail.com

Abstracts: This research has aim to detect how far the relationship between work satisfaction with the work discipline at teacher. The hypothesis which propose in this research is there relation which are positive between work satisfaction with the work discipline. This research was conducted in teacher ‘s SMA “XY” with 50 subject. Using research with regression analysis the result points a that there is no significant relation between working satisfaction and the work discipline R = 0,893 with the signicant level of 96%. The effection contribution of working satisfaction to the work discipline is namely 64,5%. [95, sebaiknya 100-150]

Keywords: work satisfaction, work discipline

Abstrak: Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara kepuasan kerja dengan disiplin kerja karyawan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui ada hubungan positif antara kepuasan kerja dengan disiplin kerja. Penelitian ini dilakukan pada guru SMA “XY” sebanyak 50 orang guru. Hasil penelitian dengan menggunakan teknik analisis regresi menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dengan disiplin kerja yang menghasilkan R = 0, 803 dengan taraf signifikan 95%. Sumbangan efektif dari kepuasan kerja terhadap disiplin kerja yaitu 64,5%. [83, sebaiknya 100-150]

Kata-kata Kunci: Kepuasan Kerja, Disiplin Kerja.



1. PENDAHULUAN

Perkembangan  industri dengan segala penemuan teknologi yang demikian canggih dan pesat tidak dapat terlepas dari sumber daya manusianya, dimana manusia merupakan sumber daya yang akan berperan aktif sebagai perencana, pelaksana dan pengendali dalam mewujudkan tujuan dari suatu perusahaan atau organisasi. Manusia dalam mewujudkan tujuan perusahaan mempunyai pikiran, perasaaan dan keinginan yang dapat mempengaruhi kualitas pekerjaannya, sehingga permasalahan yang sering muncul dalam suatu perusahaan atau organisasi tidak terlepas dari pengelolaan sumber daya manusia.

Rasa kecintaan seorang pekerja terhadap pekerjaannya dapat memberikan kepuasan akan hasil yang telah diperolehnya. Kepuasan kerja adalah perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya (Mangkunegara, 2000). Pada umumnya kepuasan kerja terhadap pekerjaan merupakan hal yang bersifat individual karena setiap pekerja memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya.

Fenomena yang terjadi di SMA “XY”, dimana semua guru dituntut untuk bertanggung jawab mendidik muridnya namun setelah guru tersebut berhasil mendidik anak muridnya, seperti siswa SMA “XY” mendapat nilai paling besar dalam hasil akhir ujian nasional. Mereka tidak mendapatkan penghargaan dari pihak sekolah. Kesulitan untuk mengembangkan diri dikarenakan setiap guru harus mematuhi peraturan bahwa mereka tidak diperbolehkan mengajar disekolah lain, apabila ada guru yang melanggar peraturan tersebut akan dikenakan sangsi pemecatan. Sehingga untuk menambah penghasilan guru tersebut secara diam-diam bekerja tempat lain ketika sedang tidak mengajar atau setelah selesai jam sekolah. Menurut mereka gaji yang selama ini diterima tidak memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kepuasan dalam bekerja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya diperoleh melalui pujian akan hasil kerja, penempatan, perlakuan, fasilitas yang diberikan, suasana lingkungan kerja yang baik dan ada sebagian orang yang menganggap bahwa kepuasan kerja itu dapat diperoleh dari pekerjaan itu sendiri daripada insentif yang diterimanya meskipun insentif itu penting tetapi ada sebagian orang lainnya menganggap bahwa kepuasan kerja itu diperoleh melalui insentif yang  diterima daripada pelaksanaan tugasnnya.

Gilmer (1999), mengemukakan faktor-faktor yang dapat menpengaruhi kepuasan kerja antara lain disiplin kerja. Kedisiplinan dalam suatu pekerjaan diperlukan untuk mendukung terciptanya kondisi kerja yang baik dalam melakukan suatu pekerjaan.

Kedisiplinan dalam suatu perusahaan atau organisasi seringkali menimbulkan konotasi yang negatif yang tidak menyenangkan seperti halnya teguran, peringatan hingga hukuman yang lebih berat untuk merubah sikap dan perilaku pekerja tetapi sebenarnya kedisiplinan yang dimaksud di sini merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seorang pekerja atas prakasa sendiri dalam melaksanakan tugas tertentu (Drever dalam Rachmatika, 2000). Wujud dari usaha itu adalah kontrol terhadap perilaku yang berupa ketaatan terhadap peraturan, baik yang ditetapkan sendiri maupun yang ditetapkan oleh pihak lain.

Guru-guru SMA “XY” sering melakukan pelanggaran hal ini terlihat dari hasil wawancara pihak SDM sekolah yang mengatakan setiap tahun terjadi pelanggaran oleh guru, seperti: 1)  sering terlambatnya datang ke sekolah dengan berbagai alasan, 2) meninggalkan tempat kerja sebelum waktunya, 3) tidak menggunakan seragam yang telah ditentukan, dan 4) tidak hadir tanpa keterangan kepada kepala sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan Disiplin Kerja pada Guru SMA “XY” ”.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepuasan Kerja

Beberapa ahli memberikan defenisi mengenai kepuasan kerja, diantaranya Wexley dan Yulk (1999) mengemukakan  bahwa  kepuasan  kerja adalah perasaaan seseorang terhadap pekerjaannya, di mana kepuasan kerja merupakan sikap seseorang yang menggambarkan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dalam pekerjaan. Menurut Mangkunegara (2000) bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pekerja yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya. Dan menurut Keith Davis (1998) bahwa kepuasan kerja adalah perasaan menyokong atau tidak menyokong yang dialami pekerja dalam bekerja.

Dari pendapat di atas mengenai kepuasan kerja maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan kerja adalah “perasaan seseorang terhadap pekerjaan dan kondisi diri seseorang”.

Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Herzberg dibagi menjadi dua factor (Schultz, 1994), yaitu 1) Motivator Factor, dan 2) Hygiene Factor.

2.1.1 Motivator Factor

Motivator factor terdiri dari beberapa aspek, yaitu: 1) Keberhasilan menyelesaikan tugas (Achievement). 2) Penghargaan (Recognition). 3) Pekerjaan itu sendiri (Work it self). 4) Tanggung jawab (Responsibility). 5) Kemungkinan untuk mengembangkan diri (Possibility of growth). dan 6) Kemungkinan untuk maju (Advancement).

2.1.2 Hygiene Factor

Hygiene factor terdiri dari beberapa aspek, yaitu: 1) Kondisi kerja (Working condition). 2) Hubungan antar pribadi (Interpersonal relation).

3) Kebijaksanaan perusahaan dan pelaksanaannya (Company policy and administration). 4) Teknik pengawasan (Supervision Technical). dan 5) Perasaaan aman dalam bekerja (Job Security).

2.2 Disiplin Kerja

Ada beberapa pengertian disiplin dari beberapa ahli, diantaranya Keith Davis (1999), yang mengemukakan bahwa disiplin kerja adalah pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman–pedoman organisasi. Sedangkan menurut Nitisemito (1999) mengartikan bahwa disiplin kerja adalah suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan dari perusahaan baik yang tertulis maupun tidak.

Disiplin kerja menurut Manullang (2000) adalah kesediaan suatu sikap, perilaku atau perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan perusahaan baik yang tertulis maupun tidak. Dan Hasibuan (2002) mengemukakan bahwa disiplin kerja adalah kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma–norma sosial yang berlaku.

Pada penelitian ini penulis lebih menulis defenisi disiplin kerja menurut Hasibuan (2002) yaitu kesediaan seorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku.

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan pekerja suatu organisasi (Hasibuan, 2002): 1) Tujuan dan kemampuan., 2) Teladan pimpinan, 3) Balas jasa., 4) Waskat. Waskat (pengawasan melekat), 5) Sanksi hukuman. dan 6) Hubungan kemanusiaan.

2.3 Hubungan Antara Kepuasan Kerja dengan Disiplin Kerja

Di dunia industri manusia berperan penting sebagai sumber daya untuk menjalankan roda tujuan dari perusahaan. Manusia selain memproduksi barang dan jasa ia juga merupakan manusia yang mempunyai kebutuhan yang hendak dicapai dan diinginkannya.

Kepuasan kerja itu dipengaruhi oleh dua faktor baik dari dalam diri pekerja maupun dari luar diri pekerja, seperti yang dikemukakan oleh Herzberg (Schultz,1994) kepuasan kerja yang berasal dari dalam diri disebut juga motivator factor atau faktor intrinsik,  dan faktor kepuasan kerja yang berasal dari luar diri disebut hygiene factor atau faktor ekstrinsik

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja adalah disiplin kerja (Gilmer, 1999).

Disiplin yang dimaksud di sini adalah suatu sikap atau perilaku yang dilakukan secara sukarela dengan penuh kesadaran dan kesediaan mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau perusahaan baik tertulis maupun tidak tertulis.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja mempengaruhi tingkat kedisiplin karyawan, artinya jika kepuasan diperoleh dari pekerjaan maka kedisiplinan karyawan baik. Sebaliknya jika kepuasan kerja kurang tercapai dari pekerjaan maka kedisiplinan karyawan rendah (Hasibuan, 2002). Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Lawler dan Porter (2001) mengatakan bahwa kepuasan kerja mengakibatkan timbulnya kedisiplinan, terjadi bila para karyawan memandang bahwa ganjaran intrinsik dan ekstrinsik bertautan dengan disiplin kerja, dalam suatu situasi di mana seorang karyawan mendapatkan kepercayaan menyelesaikan tugas–tugas menantang yang menuntut kecakapan–kecakapan penting dengan berhasil. Sepanjang ganjaran-ganjaran  intrinsik dan ekstrinsik ini dianggap adil, maka karyawan yang tinggi kepuasan kerjanya cenderung lebih disiplin.

2.4 Hipotesis

Ada hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan disiplin kerja.

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Identifikasi Variabel Penelitian

Pada penelitian ini variable yang dipergunakan adalah: 1) Variabel bebas: kepuasan kerja, dan 2) Variabel terikat:            disiplin kerja.

3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Ada dua definisi operasional padapenelitin ini, yaitu: 1) Kepuasan kerja adalah perasaan senang atau tidak senang seseorang guru SMA “XY” terhadap pekerjaannya sebagai hasil dari penilaiannya terhadap beberapa aspek dari pekerjaan tersebut. Skala kepuasan kerja yang digunakan mengacu pada teori kepuasan kerja Herzberg yang meliputi indikator keberhasilan menyelesaikan tugas, penghargaan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kemungkinan untuk mengembangkan diri, kesempatan untuk maju, kondisi kerja, hubungan antar personal, kebijaksanaan perusahan dan pelaksanaannya, teknik pengawasan dan perasaan aman, dan 2) Disiplin Kerja adalah suatu kesediaan seseorang guru SMA “XY” untuk mematuhi peraturan serta melaksanakan tugas–tugasnya, baik secara sukarela maupun terpaksa. Skala disiplin kerja yang digunakan mengacu pada indikator yang dikemukan Hasibuan (2002) yaitu tujuan dan kemampuan, teladan pimpinan, balas jasa, sanksi hukuman, waskat dan hubungan kemanusiaan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh guru yang ada di SMA “XY” berjumlah 50 orang guru

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan obyek penelitian atau sumber data yang sebenarnya dari suatu penelitian (Poerwanti, 1998). Mengingat jumlah populasi-nya kurang dari 100 orang maka sampel yang digunakan adalah teknik populasi.  Sehingga jumlah sampel yang digunakan sama dengan jumlah populasinya, yaitu berjumlah 50 orang guru.

3.4 Alat Pengumpulan Data

Instrumen penelitian ini menggunakan dua skala, skala pertama adalah skala kepuasan kerja, skala kedua adalah skala disiplin kerja.

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistic. Adapun metode analisis datanya menggunakan analisis regresi, diolah dengan program SPSS 12.

4. PEMBAHASAN

4.1 Hasil Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini menggunakan model analisis statistik regresi sederhana. Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas sebaran dan uji homogenitas varian. Uji asumsi dalam penelitian ini menggunakan fasilitas komputer SPSS 11.0 for windows.

4.2 Uji Normalitas

Uji kenormalan atau kesimetrian bentuk sebaran data dapat dilakukan dengan uji Lilliefors. Dalam program SPSS uji Lilliefors (uji K-S dan uji Shapiro Wikls). Hasil analisis dengan uji Lilliefors dibuat hipotesis statistik mengenai distribusi sebagai berikut: 1) Ho: diterima jika L hitung < L tabel, dan 2) Hi: ditolak jika L hitung > L tabel.

Hasil analisa menunjukkan bahwa besar-nya L hitung = 0,098 dan nilai L dengan  n =  50  dan   alpha   0,05  diperoleh   L tabel =  0,125.  Dengan demikian L hitung < L tabel berarti hipotesis nol (Ho) diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa populasi berdistribusi normal.

4.3 Uji Homogenitas

Uji kesamaan ragam (Homogeneity of variances) dalam program SPSS dilakukan dengan uji Levene.  Hipotesis  statistik dalam penelitian mengenai uji kesamaan ragam sebagai berikut: 1) Ho: diterima jika  F > Fa, dan 2) Hi: ditolak jika F < Fa.

Hasil analisis menunjukkan bahwa  besar-nya  nilai   statistik  Levene = 1.247 dengan probabilitas 0,373. Karena nilai probabilitas ini lebih besar dari taraf nyata a = 0,05, maka hipotesis nol (Ho) diterima artinya yang  ke lima puluh sampel mempunyai ragam yang sama.

4.4 Pengujian Hipotesis

Untuk mengetahui adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan disiplin kerja pada guru di SMA YKPP 1 Plaju, maka digunakan regresi sederhana. Dari hasil  regresi yang diperoleh adanya hubungan yang signifikan  antara  kepuasan  kerja  dengan  disiplin  kerja, di mana   harg  F hitung sebesar 87.096 lebih besar daripada Ftabel sebesar 82,32 di mana  probabilitas 0,000 (lebih kecil dari taraf nyata 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara variabel kepuasan kerja (X) dan disiplin kerja (Y) dalam persamaan regresi Y = 0,55 + 20,533 X bersifat nyata.

4.5 Pembahasan

Hipotesis yang dikemukan pada awal penelitian yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan disiplin kerja telah terbukti. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan teknik regresi linier menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan (F = 87,096: P < 0,05) antara tingkat kepuasan kerja dengan disiplin kerja. Dengan kata lain semakin tinggi kepuasan kerja semakin tinggi disiplin kerja dan semakin rendah kepuasan kerja semakin rendah pula disiplin kerja. Dengan rata-rata empirik untuk kepuasan kerja sebesar 117,04 dan rata-rata empirik untuk disiplin kerja sebesar 81,64. Ini terlihat bahwa seorang pekerja yang mempunyai pekerjaan sesuai dengan keinginan kerjanya cenderung merasa puas akan pekerjaannya dan mempunyai kedisiplinan yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kualitas kerjanya. Hal ini sesuai dengan penelitian Lawler (Gilmer, 1999) yang menunjukkan, bahwa pekerja yang mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya memperlihatkan  kepuasan kerja dibandingkan dengan pekerja yang mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaannya sehingga akan meningkatkan kedisiplinan dalam melakukan pekerjaannya, dan sebaliknya sikap negatif dapat menimbulkan rasa ketidakpuasan terhadap pekerjaannya sehingga pekerja sering melakukan pelanggaran. Keadaan ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Morse (dalam Gilmer, 1999) bahwa ketidaksesuaian antara keinginan seorang pekerja dengan pekerjaannya akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap pekerjaannya. Bila ketidakpuasan kerja terjadi maka akan mengakibatkan dua macam perilaku, yaitu perilaku penarikan diri pekerjaannya, seperti kurang terlibat dalam pekerjaan, tingkat absensi yang tinggi serta perilaku agresif yang bisa bersifat negatif dan merugikan seperti pelanggaran-pelanggaran  terhadap peraturan kerja, aksi mogok kerja, perusakan alat-alat kerja dan sebagainya Perilaku dan tindakan  yang muncul seperti  di atas termasuk pelanggaran disiplin kerja dan menunjukkan bahwa ada disiplin kerja pekerja yang rendah. Terpenuhnya keinginan terhadap pekerjaan yang ditekuninya akan memberikan kepuasan terhadap pekerja sehingga kepuasan yang dirasakan pekerja dapat mendorong munculnya disiplin kerja.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi disiplin kerja, dimana terdapat koefesien determinannya sebesar 0,645 menunjukkan bahwa kepuasan kerja menyumbang 64,5% terhadap disiplin kerja. Sumbangan kepuasan kerja tersebut sudah baik, namun masih ada 35,5% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak di teliti antara lain jenis kelamin, usia, lama mengajar dan sebagainya.

5. SIMPULAN

Setelah dilakukan penelitian terhadap hipotesa penelitian yang telah dirumuskan, maka dapat di tarik kesimpulan:

1)      Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara kepuasan kerja dengan disiplin kerja pada guru di SMA ”XY”, artinya, semakin tinggi kepuasan kerja maka semakin tinggi pula disiplin kerja. Sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja maka disiplin kerjapun semakin rendah.

2)      Beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai umpan balik:

a) kepuasan kerja dan disiplin kerja guru SMA “XY” yang sudah cukup baik ini hendaknya dipertahankan, memperhati-kan dan berusaha memenuhi kebutuhan dalam bekerja para guru, baik yang berasal dari dalam pekerjaan maupun dari luar pekerjaan seperti diberikannya peng-hargaan pada guru yang berprestasi baik itu berbentuk materi maupun non materi (pujian) sehingga guru tersebut merasa bahwa ia dihargai dalam mengajar dan membuatnya menjadi bersemangat untuk mengajar,

b) untuk penelitian selanjutnya dapat memperhatikan mem-perhatikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi disiplin kerja, misalnya jenis kelamin, usia, iklim kerja dan sistem kerja, serta bagi peneliti yang tertarik ingin mengadakan penelitian di SMA “XY” pada guru sebaiknya mencari apakah ada hubungan antara kepuasan kerja dengan fasilitas kerja.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suhartini. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Renika Cipta. Jakarta.

Blum, 1997. Organizational  Behavior  and  Personnel  Psychology. McGraw-Hill Book  Company, Inc. New York.

Gilmer, E. H. 1999. Industrial Psychology. McGraw-Hill Book  Company, Inc. New York.

Hasibuan,  Malayu.  2002. Manajemen Sumber  Daya  Manusia.  Bumi Aksara. Jakarta.

Keith, Davis.  1998. Work satisfaction by Industry Psychology. Publication  Team Webmaster, (Online), (diakses http://www.IndustryJournal.or.id, diakses pada Agustus 2001).

Lawler & Porter. 2001. Human Resources Management. Prentice Hall, Inc. New Jersey.

Mangkunegara, Anwar Prabu.  2000. Manajemen  Sumber  Daya  Manusia  Perusahaan.  Remaja Rosdakarya. Bandung.

Manullang. 2000. Manajemen Personalia. Ghalia  Indonesia. Jakarta.

Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Nitisemito, Alex S.  1999.  Manajemen  Personalia. Ghalia  Indonesia. Jakarta.

Poerwanti. 1998. Dimensi-Dimensi Riset Ilniah. UMM  Press. Malang.

Rachmatika, Heny. 1995. Hubungan Tingkat Kesesuaian Aspirasi Kerja Terhadap Pekerjaan yang Ditekuni Dengan Disiplin Kerja. Skripsi. Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta.

Schultz, Duane P. 1994. Psychology and Work Today : An Introduction to Industrial and Organizational Psychology. Macmillan Publishing Company. New York.

Wexley,  K.N. &  Yukl,  G.A.  1999. Organizational  Behavior  and  Personnel  Psychology. Illinois  Richard D. Irwin, Inc.

Wijaya. 2001. Analisis Statistik dengan Program SPSS 11.0. Alfabeta. Bandung.

Mengatasi Negativisme Anak

16 December 2009

Mengatasi Negativisme Anak

Setiap anak akan mengalami fase negativisme yang ditunjukkan dengan perilaku penolakan dan membangkang. Bagaimana mengatasinya agar tak berlanjut?

Penting dipahami, semakin anak dilarang, perilaku negativitik akan semakin menjadi. Nah, agar hal tersebut tak terjadi, inilah beberapa hal yang perlu dilakukan orangtua:

– Hindari terlalu banyak menggunakan kata “tidak” atau “jangan”. Untuk melarang anak sebaiknya pilih kata positif. Contoh, “Sayang, kita main air di kamar mandi yuk sekalian mandi sore”, ketimbang, “Mama kan sudah bilang, jangan main air kran. Basah semua deh.”

– Beri kesempatan pada anak untuk melakukan apa yang diinginkannya – tentu saja sejauh tidak membahayakan- tapi tetap dengan pendampingan. Misal, anak ingin membantu menyiram tanaman, sediakan gembor/gayung kecil, lalu ajari anak bagaimana menyiram tanaman dengan air secukupnya.

Biasakan mengajak anak berdialog sejak kecil, meski perkembangan bahasanya masih terbatas. Umpama, anak menolak permintaan orangtua, tanyakan mengapa ia tidak mau, pancing jawabannya lalu coba arahkan bagaimana seharusnya. Terlebih di usia prasekolah, umumnya penolakan anak disertai dengan alasan. Contoh, “Aku enggak mau makan. Sayurnya pahit.”

Ini karena kemampuan kognitif dan bahasa anak sudah semakin berkembang, demikian juga kemampuan sosialnya. Pada usia ini anak semakin menyadari bahwa mereka dapat bertindak secara mandiri, sesuai keinginannya. Dengan kata lain anak mulai menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan (power) untuk bertindak sesuai kehendaknya.

– Berikan pilihan terbatas. Misal, anak tidak mau segera tidur, orangtua bisa menggunakan kata, “Adek mau gosok gigi dulu atau ganti baju dulu baru tidur?” Dengan begitu anak merasa dilibatkan saat pengambilan keputusan.

– Hindari ancaman/paksaan. Selain membuatnya makin menolak, jadi anak belajar bahwa segala hal bisa diselesaikan dengan ancaman/paksaan bukan dengan dialog dan saling mendengarkan.

Next Page »