MISKIN ATAU KAYA HATI?

KITA MISKIN atau KAYA HATI ?

Siapakah sesungguhnya orang yang miskin itu ?. Kadangkala kita mengecap orang itu adalah orang yang tidak memiliki apa- apa. Tidak mempunyai tempat tinggal yang layak atau lebih kita cap dengan hal itu bahwa orang yang miskin adalah orang yang tidak mempunyai dalam aspek keuangan. Namun yang sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh agama adalah miskin yang benar- benar miskin, yaitu lebih fakir daripada orang yang miskin atau yang kita kenal saat ini miskin nya iman. Inikah yang dikatakan miskin dari segi agama.

Sekarang kita banyak menemui orang yang miskin hati nya daripada miskin hartanya, karena jika sesuatu miskin hatinya dengan keimanan mereka kadangkala menutup mata hati mereka untuk membuka lembaran harapan yang masih ada walau kesempitan sedang melanda dirinya.

Rasulullah Muhammad Shalallahu Alayhi Wassalam bersabda:

“Bukanlah kaya itu disebabkan banyak harta, tetapi kaya yang sebenarnya itu adalah kaya hati.” ( HR Buhari)

miskin dalam hal agama juga dikaitkan dengan merenungi diri dan tidak rubahnya ketabahan dan kekuatan iman yang menimbulkan hal inilah yang tidak mempunyai harga sekalipun baik di dunia dan akhirat. Dengan miskinnya keminan ini orang akan mudah putus asa dan mudah mengeluh pada dirinya sediri.Karena kemiskinan dari keimanan ini lah orang akan mudah terbawa dengan sikap yang membodohkan diri sendiri, merusak keadaan dirinya sendiri, yang akhirnya mengakibatkan dirinya semakin tenggelam dalam lumbung dosa- dosa.

khubeib bin Adi RA berkata, “Kami sedang berada di suatu majelis, tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan di kepalanya terdapat bekas air.” Sebagian dari kami berkata, “Kami melihat engkau berjiwa tenang.” Beliau mejawab, “Ya, Alhamdulillah.” Kemudian orang-orang berdiskusi panjang lebar tentang hakikat kekayaan. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang bertakwa dan kesehatan bagi orang bertakwa lebih baik dari kekayaan, sedangkan kenyamanan dan kekayaan jiwa termasuk dalam kenikmatan.” (HR Ibnu Majah).

Kekayaan hakiki tidak terletak pada banyaknya harta, deposito, saham, dan properti. Tidak sedikit pemilik harta yang gelisah dan sengsara. Dia berusaha siang malam menumpuk harta, namun kikir bersedekah karena takut miskin. Dia tidak ridha dengan rezeki yang dibagi oleh Allah sehingga miskin hati. Kemiskinan hati inilah yang mendorong manusia mati-matian menumpuk harta dan enggan berjuang di jalan Allah.

Orang kaya pastikah selalu merasa cukup? Belum tentu. Betapa banyak orang kaya namun masih merasa kekurangan. Hatinya tidak merasa puas dengan apa yang diberi Sang Pemberi Rizki. Ia masih terus mencari-cari apa yang belum ia raih. Hatinya masih terasa hampa karena ada saja yang belum ia raih.

Coba kita perhatikan nasehat suri tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)

Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzarradhiyallahu ‘anhu berkata,

قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits inishahih sesuai syarat Muslim)

Inilah nasehat dari suri tauladan kita. Nasehat ini sungguh berharga. Dari sini seorang insan bisa menerungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia bukanlah jalan untuk meraih kebahagiaan senyatanya. Orang kaya selalu merasa kurang puas. Jika diberi selembah gunung berupa emas, ia pun masih mencari lembah yang kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, kekayaan senyatanya adalah hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya qona’ah. Itulah yang disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya

Makna hakiki kekayaan dalam pandangan Rasulullah SAW adalah kekayaan jiwa. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dll).

Kemiskinan hati adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa memedulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis, mengurangi timbangan, mencuri, dan korupsi. Para sahabat adalah teladan orang-orang yang kaya jiwa. Mereka meletakkan harta di tangan bukan di hati. Mereka tidak ragu memberikan hartanya untuk jihad fi sabilillah. Pada saat pengiriman jaysul ‘usrah Umar bin Khattab ra memberikan separuh hartanya, Abu Bakar menginfakkan semua hartanya, demikian juga sahabat-sahabat yang lain.

Pemilik dunia adalah orang yang memiliki tiga kriteria; hidup tenteram dan aman di tengah masyarakatnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan cukup untuk sehari itu. (HR Tirmidzi).

Imam Syafi’i menegaskan, “Bila anda memiliki hati yang serba puas maka anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia.” Agar memiliki kekayaan hakiki kita harus; Pertama, tidak melihat pada harta orang lain. (QS. Thaha: 131). Kedua, puas dengan pembagian rezeki dari Allah. “Puaslah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).

Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang maka dijadikanlah kekayaan jiwanya dan ketakwaannya berada di hatinya dan bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang maka dijadikanlah kemiskinan itu berada di pelupuk matanya. (HR Ibnu Asakir dan Baihaqi).

Ketiga, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal harta “karena hal demikian lebih layak dan tidak meremehkan nikmat Allah atas kamu.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Orang kaya hati akan bahagia di dunia dan akhirat.

Firman Allah S.W.T :

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni’mat yang banyak.” (QS. Al kautsar:1)

Ingatlah bahwa dunia ini diciptakan oleh Allah begitu luas. Kehilangan sesuatu bukan berarti kehilangan segala-galanya, putusnya cinta bukan berarti tidak mempunyai peluang untuk membentuk keluarga, kegagalan bukan berarti kita gagal menuai kesuksesan nanti, hilangnya sesorang bukan berarti kiamat bukan. Jadi, jangan lah persempit hati kita dengan hanya memfokuskan kita kepada masalah itu saja. Cobalah kita lihat diluar sana. Masih banyak peluang yang harus kita cari yang masih membuka pintu untuk kekayaan hati kita. Bukankah Allah akan memberi kan dari pada sesuatu kehilangan dari pada kita itu digantikan yang lebih baik daripada yang telah hilang.

Hilangnya harta didunia, tidak menutup peluang kita untuk mencari RidhoNya karena kita masih memiliki harta ( keimanan) yang mampu menunutun kita dalam kesuksesan( karena kita selalu mentaati perintah Allah ). Miskin disini adalah hilangnya keimanan kepada Allah, karena miskin keimanan akan merugiakan diri baik didunia walaupun di akhirat kelak. Maka, sama-samalah kita melihat kembali kehidupan kita, kuatkan kembal keimanan kita, karena kita harus menyadari bahwa Allah menciptakan dunia ini sangat luas dan dipenui oleh rahmat-Nya disekeliling kita..

Firman Allah S.W.T ; (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”( QS Asy syu’araa 88-89)

لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ

“Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih)

Dari sini bukan berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)

Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta pada Allah dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أنَّ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Oleh : Abizakkysetiawan)

This entry was posted in AGAMA. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *