Transformasi Organisasional dan MSDM

Transformasi Organisasional dan MSDM: Hambatan dan

Implikasinya pada Rekrutmen dan Seleksi

Publish olehWin Sumber : Licen Indahwati Darsono

Staf Pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

 

ABSTRAK

Perubahan yang cepat dalam lingkungan merupakan kekuatan eksternal yang

mengakibatkan transformasi dalam sebuah organisasi. Pada dasarnya, tujuan utama

dari transformasi tersebut adalah merubah struktur organisasi agar menjadi lebih

fleksibel dan mampu bersaing, dengan tingkat structural yang sedikit, serta jumlah

manajer dan karyawan yang lebih kecil. Transformasi tersebut harus menyeluruh,

dan hal ini dapat menyebabkan resistensi dari para anggota organisasi yang

memperhambat perubahan tersebut. Resistensi itu bisa menyebabkan perubahan

tersebut batal, oleh karena itu organisasi harus mencari jalan untuk mengurangi

hambatan-hambatan tersebut. Pertama, organisasi harus belajar keanekaragaman dari

budaya dan nilai anggotanya. Kedua, organisasi harus mengembangkan budaya

organisasi sendiri melalui komunikasi yang baik dengan anggotanya. Untuk

mendukung usaha mengembangkan budaya organisasi, harus ada perubaban pada

kebijakan sumber daya manusia, terutama dalam rekrutmen dan seleksi karyawan.

Kata kunci: transformasi, resistensi, budaya organsisasi.

ABSTRACT

Rapid change of environment is an external force that causes the organization to

transform. Fundamentally, the main purpose of the transformation is to change the

organizational structure to be more flexible and competitive with fewer hierarchial

levels, managers, and employees. The transformation needs to be radical, causing

resistance from the organization’s members. Their resistance can cause the

transformation to fail, therefore organization must find ways to lessen this

resistance. First, organization must learn about the diversity of its members’

cultures and values. Second, organization must build its own organizational culture

which can support the success of the transformation, by communicating it with the

members of the organization. To support organizational culture building efforts, it

needs changes in human resources practices, especially recruitment and selection.

Key words: transformation, resistance, organizational culture.

PENDAHULAN

Persaingan global yang makin intensif, teknologi yang berkembang pesat, pergeseran

demografi, keadaan perekonomian yang fluktuatif, dan perubahan-perubahan dinamis

lainnya telah memicu perubahan kondisi lingkungan di sekitar organisasi. Lingkungan

bisnis telah mengalami perubahan, lingkungan yang mulanya stabil, dapat diprediksi,

 

Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 4, No. 2, September 2002: 77 – 90

Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/management/

78

berubah menjadi lingkungan yang penuh ketidakpastian, kompleks, dan cepat berubah.

Organisasi berdiri dan beroperasi di tengah-tengah lingkungan di sekitarnya, dan

organisasi selalu berinteraksi dan dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Organisasi

tidak dapat mengendalikan lingkungan di sekitarnya, sebaliknya organisasi harus selalu

adaptif terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya.

Menghadapi perubahan tersebut, perusahaan harus lebih kompetitif dan lebih

fleksibel. Organisasi harus meninggalkan kebijakan dan praktek manajemen yang

sifatnya hirarki dan fungsional, dan bergeser pada praktek-praktek baru di bidang

manajemen yang lebih fleksibel. Fleksibilitas, saat ini menjadi persyaratan penting bagi

organisasi, karena fleksibilitas dalam organisasi memungkinkan organisasi untuk lebih

inovatif, dan adaptif dalam merespon lingkungan yang cepat berubah.

Manajemen sumber daya manusia (MSDM) harus menjadi penggerak perubahan

praktek manajemen dalam organisasi, karena MSDM yang mempunyai peran strategis

dalam menyusun struktur organisasi, membangun budaya organisasi, menyusun strategi

staffing, menyusun program pelatihan dan pengembangan, menyusun sistem penilaian

karyawan dan penghargaan karyawan. Ada tiga alasan yang menyebabkan MSDM harus

menjadi pelopor transformasi organisasional adalah sebagai berikut:

1. Persaingan yang makin intensif menuntut organisasi untuk dapat menurunkan biaya.

Penurunan biaya dapat dilakukan dengan menghilangkan non-value added work.

Selama ini Departemen Sumber Daya Manusia lebih banyak melakukan pekerjaan-

pekerjaan yang sifatnya administratif. Pekerjaan administratif merupakan non-value

added work yang membutuhkan banyak tenaga kerja dan menyita waktu cukup

banyak. Akibatnya, kontribusi biaya SDM juga cukup besar atas biaya keseluruhan

yang harus ditanggung perusahaan.

2. Persaingan yang makin intensif menuntut organisasi untuk memberikan kualitas

pelayanan yang lebih tinggi. Kualitas layanan yang lebih tinggi harus didukung oleh

peningkatan kualitas layanan di semua bagian organisasi, termasuk Departemen

Sumber Daya Manusia. Departemen Sumber Daya Manusia harus menyediakan

layanan dengan cepat dan tepat kepada Departemen lain dalam organisasi. Untuk

mendukung kesuksesan transformasi organisasional, proses dan sistem informasi HR

harus dirombak total. Sistem HR tradisional cenderung tidak praktis, tidak efisien,

kompleks, tidak terintegrasi dengan baik, tidak user-friendly, dan tidak fleksibel.

Idealnya, sistem HR harus dirancang sebagai satu sistem yang terintegrasi dengan baik

3. Praktek manajemen tradisional yang cenderung bersifat birokratis harus dirubah untuk

mendukung kesuksesan transformasi organisasional.

Manajemen tradisional menekankan pengendalian, konsistensi, dan kepastian. Semua

perencanaan yang dibuat menekankan pencapaian tujuan finansial dan resiko adalah hal

yang harus dihindari oleh manajemen. Manajer dikader dan dipromosikan dari dalam,

jenjang karir karyawan telah dibuat secara jelas dan terstruktur. Pengembangan karir

dilakukan melalui training-training yang sifatnya formal. Penghargaan karyawan

diberikan dalam bentuk salary, employee benefit, dan job security.

Karakteristik manajemen tradisional tersebut di atas tidak dapat mengakomodasi

fleksibilitas yang dibutuhkan organisasi. Dalam kondisi lingkungan yang penuh

ketidakpastian dan cepat berubah, praktek manajemen yang sifatnya langsung dan

informal diperlukan untuk fleksibilitas organisasi menghadapi lingkungan yang cepat

berubah, tetapi praktek manajemen yang sifatnya formal dan menekankan disiplin juga

 

diperlukan untuk koordinasi. Artinya, praktek manajemen yang fleksibel harus

menekankan keseimbangan antara fleksibilitas dan koordinasi dalam organisasinya. Oleh

karena itu cara yang dipilih organisasi untuk menjadi lebih kompetitif dan lebih fleksibel

adalah dengan merombak struktur organisasi, atau dengan kata lain organisasi harus

melakukan transformasi organisasional. Akibatnya muncul bentuk-bentuk organisasi

baru, antara lain: boundaryless organization, virtual organization, empowered

organization, high-performing work teams, dan process reengineered organization. Jadi,

sebenarnya bentuk-bentuk organisasi baru adalah produk transformasi organisasional

yang dilakukan organisasi.

Sayangnya, implementasi transformasi organisasional tidak selalu sukses, ada banyak

hambatan dalam proses perubahan tersebut. Hambatan terbesar yang sering ditemukan

adalah penolakan anggota organisasi terhadap perubahan tersebut. Tujuan utama artikel

ini memaparkan hambatan terbesar dalam implementasi transformasi organisasional, dan

berusaha memberikan alternatif solusi memperkecil hambatan tersebut, serta memaparkan

implikasinya terhadap praktek-praktek Human Resources (HR), terutama rekerutmen dan

seleksi. Ada beberapa pertanyaan penting yang harus dijawab oleh organisasi sebelum

melakukan transformasi organisasional, yaitu:

1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan transformasi organisasional?

2. Apa faktor kunci kesuksesan transformasi organisasional?

3. Apa yang menyebabkan resistensi terhadap transformasi organisasional?

4. Usaha apa yang perlu dilakukan untuk memperkecil resistensi terhadap transformasi

organisasional?

5. Apa Implikasi transformasi organisasional terhadap praktek HR, terutama rekrutmen

dan seleksi?

APAKAH TRANSFORMASI ORGANISASIONAL ITU?

Pada dasarnya semua perubahan-perubahan yang dilakukan mengarah pada efektifitas

organisasi, dan proses pengelolaan perubahan harus mencakup dua gagasan dasar, yaitu:

(1) redistribusi kekuasaan dalam struktur organisasi, dan (2) redistribusi ini dihasilkan

dari proses perubahan yang bersifat pengembangan (Handoko, 1996).

Berdasarkan teori tersebut di atas, sebenarnya, yang dimaksud dengan transformasi

organisasional adalah perubahan-perubahan organisasional yang disebabkan oleh

kekuatan-kekuatan internal dan eksternal, sifatnya radikal, atau evolusioner. Tetapi,

dalam konteks transformasi organisasional sebagai wujud respon organisasi terhadap

perubahan lingkungan, Ross Perot seperti dikutip oleh Walker (1988) menyatakan: “slow,

gradual, evolutionary change is the same as none at all.” Perubahan-perubahan yang

sifatnya lambat, bertahap, evolusioner dipandang tidak dapat mengakomodasi perubahan

lingkungan yang cepat. Jadi, perubahan-perubahan organisasional yang evolusioner tidak

relevan dengan perubahan lingkungan yang cepat.

Perubahan radikal dalam transformasi organisasional memunculkan tantangan berat

bagi organisasi saat ini, bagaimana organisasi dapat melakukan transformasi

organisasional tanpa menimbulkan masalah, atau dampak yang menyakitkan bagi anggota

organisasinya. Perubahan tidak selalu diterima oleh anggota organisasi, lebih-lebih oleh

anggota yang terkena dampak perubahan tersebut. Agar perubahan yang dilakukan dapat

berhasil, dan tidak menimbulkan dampak yang menyakitkan bagi anggota organisasi,

 

organisasi tidak boleh melakukan perubahan secara terus-menerus, organisasi harus

mengetahui kapan saat yang tepat untuk melakukan perubahan. perubahan besar dan

perubahan kecil harus dilakukan pada interval waktu yang tepat. Ini disebut dengan

dynamic stability (Abrahamson, 2000).

Misalnya, General Electric betul-betul mengetahui kapan saat yang tepat baginya

untuk melakukan perubahan besar, kapan saatnya untuk berhenti melakukan perubahan,

dan kapan saatnya untuk melakukan perubahan kecil. Tahun 1980-an, GE melakukan

perubahan besar, melakukan restrukturisasi, downsizing, penutupan sebagian unit

bisnisnya. Perubahan besar ini tentu mempunyai dampak yang menyakitkan, tetapi

perubahan ini harus dilakukan, jika tidak hal yang lebih menyakitkan akan terjadi di masa

yang akan datang. Tahun 1990-an GE melakukan perubahan kecil, berupa struktur

organisasi dirubah menjadi boundaryless, mengutamakan kualitas layanan kepada

pelanggan. Perubahan ini berjalan lancar, tanpa hambatan (Abrahamson, 2000).

Ada banyak cara atau pendekatan yang dilakukan oleh perusahaan dalam melakukan

transformasi organisasional, yaitu dengan melakukan reengineering, membentuk virtual

organization, high performing work teams, globalized self-managing work teams, total

quality management, empowered organization, boundaryless organization.

 

APAKAH KUNCI KEBERHASILAN TRANSFORMASI

ORGANISASIONAL?

Transformasi organisasional yang dilakukan tidak selalu sukses, ada hal penting yang

harus dipertimbangkan oleh organisasi, yaitu: kemungkinan terjadinya penolakan

terhadap perubahan. Transformasi organisasional yang dilakukan dengan reengineering

misalnya mempunyai resiko untuk gagal yang disebabkan oleh resistensi terhadap

perubahan oleh status quo (Yeung and Brockbank, 1996). Artinya, jika organisasi dapat

memperkecil resiko terjadinya resistensi terhadap transformasi organisasional, maka

transformasi organisasional yang dilakukan akan berhasil.

Selain itu, untuk mensukseskan transformasi organisasional dibutuhkan dukungan dan

keterlibatan manajemen puncak, visi perubahan yang jelas, model perubahan khususnya

untuk Human Resources direncanakan secara matang, melibatkan semua pihak pada

berbagai tingkatan manajemen dalam merencanakan dan mengimplementasikan

transformasi organisasional, karyawan juga harus lebih diberdayakan.

Tetapi, tantangan terberat saat ini adalah bagaimana organisasi dapat memperkecil

resiko terjadinya resistensi terhadap perubahan. Jadi, faktor kunci kesuksesan

transformasi organisasional terletak pada bagaimana organisasi mengantisipasi dan

memperkecil resiko terjadinya resistensi terhadap transformasi organisasional.

APA YANG MENYEBABKAN RESISTENSI TERHADAP

TRANSFORMASI ORGANISASIONAL?

Sebelum membahas tentang faktor-faktor penyebab resistensi terhadap transformasi

organisasional, resistensi itu sendiri menurut Zaltman and Duncan “any conduct that

serves to maintain the status quo in the face of pressure to alter the status quo” (1977:

 

Ada beberapa teori yang menyatakan faktor penyebab penolakan terhadap perubahan

(T. Hani Handoko, 1996):

1. Orang mungkin menyangkal bahwa perubahan sedang terjadi. Bila ini terjadi

organisasi kemungkinan akan terus kehilangan efektifitasnya.

2. Orang mungkin mengabaikan perubahan. Manajer mungkin menangguhkan

keputusan-keputusan dengan harapan bahwa masalah yang terjadi akan hilang dengan

sendirinya.

3. Orang mungkin menolak perubahan. Karena berbagai alasan manajer dan karywan

mungkin menentang perubahan.

4. Orang mungkin menerima perubahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan

tersebut.

5. Orang juga mungkin mengantisipasi perubahan dan merencanakannya, seperti yang

banyak dilakukan perusahan-perusahaan progresif.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Yeung dan Brockbank (1996) ditemukan

beberapa alasan yang menyebabkan kegagalan reengineering (reengineering adalah salah

satu cara atau pendekatan melakukan transformasi organisasional), salah satunya adalah

an endemic fear of change. Oleh karena itu, dari kelima faktor tersebut di atas, faktor

penyebab yang paling relevan dalam konteks resistensi terhadap transformasi

organisasional adalah orang mungkin menyangkal bahwa perubahan sedang terjadi, dan

orang mungkin menolak perubahan dengan berbagai alasan. Alasan yang menyebabkan

orang menolak dan takut terhadap perubahan inilah yang harus diketahui oleh organisasi,

karena hal tersebut merupakan akar penyebab resistensi terhadap transformasi

organisasional. Beberapa penelitian, dan pendapat berikut ini mungkin dapat membantu

organisasi memahami alasan ketakutan seseorang terhadap perubahan:

1. Kirkman and Shapiro (1997) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan

resistensi terhadap Globalized SMWT adalah budaya yang dibawa karyawan masuk ke

dalam organisasi.

2. Wellins and Rick (1995) berpendapat usaha-usaha reengineering seringkali gagal

diimplementasikan karena perusahaan terlalu fokus pada proses dan pekerjaan,

mengabaikan faktor manusia yang terlibat dalam proses tersebut.

3. Pernyataan yang senada dikemukakan oleh Yeung dan Brockbank (1996) perubahan

radikal dalam proses reengineering mempunyai resiko akan ditolak oleh status quo

saat ini, oleh karena itu proses HR juga harus di-reengineering agar dapat mendukung

perubahan budaya organisasi.

Alasan seseorang untuk takut terhadap perubahan ternyata dipengaruhi oleh faktor

budaya yang dibawa oleh karyawan itu sendiri (budaya dan nilai-nilai individual), serta

organisasi yang mengabaikan faktor manusia yang menjadi obyek proses perubahan

tersebut. Artinya, organisasi sendiri belum berupaya untuk membangun budaya organisasi

yang dapat mendukung proses transformasi organisasional.

Di Gambar 1 di bawah digambarkan alur berpikir timbulnya resistensi terhadap

transformasi organisasional sebagai berikut:

 

Gambar 1. Resistensi Terhadap Tranformasi

Jadi, ada dua faktor penyebab resistensi terhadap transformasi organisasional, yaitu:

budaya yang dibawa masuk oleh karyawan dalam organisasi, dan belum adanya upaya

untuk membangun budaya organisasi yang dapat mendukung proses perubahan tersebut.

USAHA APA YANG PERLU DILAKUKAN UNTUK MEMPERKECIL

RESISTENSI TERHADAP TRANSFORMASI?

Dewasa ini, keanekaragaman karyawan dalam sebuah organisasi adalah hal yang

sangat wajar dan dapat ditemui dengan mudah pada hampir semua organisasi. Karyawan

mungkin tidak berasal dari satu daerah yang sama, tidak berjenis kelamin sama, tidak

mempunyai agama yang sama, berasal dari ras yang berbeda. Keanekaragaman tersebut

membawa satu implikasi penting bagi organisasi, yaitu: budaya dan nilai-nilai yang

diyakini oleh karyawan juga akan berbeda-beda. Tetapi, sayangnya banyak organisasi

yang mengabaikan hal tersebut. Organisasi tidak menyadari dan memperhatikan

perbedaan tersebut, organisasi selalu berpegang pada asumsi bahwa orang lain akan

mempunyai nilai dan budaya yang sama seperti dirinya, organisasi tidak pernah

melakukan komunikasi secara terbuka dengan anggota organisasinya. Akibatnya adalah

sering terjadi cross-cultural miscommunication (Kirkman and Shapiro, 1997). Kesalahan

tersebut berpotensi besar untuk menimbulkan resistensi terhadap transformasi

organisasional.

Idealnya, organisasi harus menyadari adanya perbedaan-perbedaan tersebut, dan

memikirkan bagaimana cara mengelola perbedaan-perbedaan tersebut sehingga

perbedaan yang ada justru menjadi peluang bagi organisasi untuk meningkatkan kinerja

dan efektifitasnya. Kirkman and Shapiro (1997) menyarankan organisasi untuk menyusun

daftar cultural values yang berpotensi memunculkan resistensi. Kirkman and Shapiro

(1997) mengidentifikasi ada lima cultural values yang berpotensi memunculkan

resistensi, antara lain: sampai seberapa jauh suatu komunitas menerima ketidakadilan

distribusi kekuatan dalam sebuah institusi atau organisasi, orientasi karyawan terhadap

pekerjaan, kepercayaan seseorang terhadap kekuatan dirinya sendiri dalam menentukan

nasib hidupnya, sikap karyawan terhadap kebersamaan, kekeluargaan, dan

kegotongroyongan. Berdasarkan cultural values yang berpotensi memunculkan resistensi,

 

organisasi dapat memetakan posisi anggota organisasinya saat ini, dan memprediksikan

sikap anggota organisasi terhadap proses transformasi organisasional. Hasil prediksi

tersebut akan menjadi pedoman bagi organisasi dalam merumuskan dan

mengimplementasikan transformasi organisasional.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, belum adanya upaya membangun budaya

organisasi yang dapat mendukung proses transformasi organisasional menyebabkan

terjadinya resistensi. Mengapa budaya organisasi menjadi isu yang sangat penting dalam

proses transformasi organisasional? Goffes and Jones (1996) menyatakan: “Without

culture, a company lacks values, direction, and purpose”. Namun, sayangnya banyak

organisasi yang justru tidak memahami apa yang dimaksud dengan budaya organisasi.

Budaya itu sendiri secara semantik diartikan sebagai suatu komunitas. Budaya adalah

hasil dari interaksi individu-individu dalam sebuah komunitas. Reichers dan Schneider

seperti dikutip Nelson (1996) menyatakan: “culture refers to subconscious assumptions,

shared meanings, and ways of interpreting things that pervade the whole organization”.

Selain mengetahui potret budaya dan nilai-nilai yang diyakini anggota organisasinya,

adalah penting bagi organisasi untuk mengetahui potret budaya organisasinya sendiri saat

ini. Mengapa penting? Karena jika organisasi tidak tahu budaya organisasinya sendiri,

maka sangat mustahil bagi organisasi untuk membangun budaya organisasi yang dapat

mendukung transformasi organisasional. Berdasarkan dimensi sociability dan solidarity,

menurut Goffe and Jones (1996) ada empat tipe budaya organisasi yang digambarkan

dalam matriks berikut ini:

High

NETWORKED

COMMUNAL

Low

FRAGMENTED

MERCENARY

Low

High

S

O

C

I

A

B

I

L

I

T

Y

S O L I D A R I T Y

Gambar 2. Two Dimension, Four Cultures

Yang dimaksud dengan sociability adalah ukuran keramahtamahan, intensitas

komunikasi antar anggota komunitas, dengan kata lain sociability mengukur hubungan-

hubungan emosional antar anggota komunitas. Solidarity adalah ukuran kemampuan

komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara cepat dan efektif, dengan kata lain

solidarity mengukur hubungan-hubungan yang didasarkan atas common tasks, mutual

interests, or shared goals. Berdasarkan dua dimensi ini, ada empat tipe budaya, yaitu:

1. Networked, ditandai dengan adanya high sociability dan low solidarity. Perilaku

anggota-anggota organisasi dengan tipe budaya seperti ini cenderung seperti sebuah

keluarga, mereka sering bersama-sama menghadiri suatu acara, merayakan ulang

tahun salah satu anggotanya, menghadiri pesta perkawinan, dll. Karakterisitk

networked cultures lain adalah hirarki dalam organisasi tersebut sangat rendah, jarang

ditemui, tetapi informalitas dalam organisasi tersebut sangat tinggi. Informalitas

 

tersebut akan menyebabkan tingkat fleksibilitas organisasi lebih tinggi, karena jalur-

jalur birokrasi akan terpotong oleh informalitas. Informalitas ini menyebabkan

hubungan interpersonal sangat tinggi intensitasnya, akibatnya toleransi antar anggota

organisasi sangat tinggi. Akhirnya, tingkat toleransi terhadap kinerja yang buruk juga

tinggi.

2. Mercenary, ditandai dengan low sociability dan high solidarity. Karakteristik

mercenary cultures adalah semua komunikasi yang dilakukan dalam organisasi

berfokus pada masalah bisnis, kemampuan untuk merespon ancaman dan peluang di

luar organisasi sangat cepat dan kohesif, ada dinding pembatas antara pekerjaan dan

kehidupan sosial, hubungan interpersonal sangat rendah sehingga tidak ada toleransi

atas kinerja yang buruk.

3. Fragmented, ditandai dengan low sociability dan low solidarity. Karakteristik

fragmented cultures adalah kesadaran anggota organisasi bahwa dirinya adalah

anggota organisasi tersebut sangat rendah, tingkat keterlibatan anggota organisasi

sangat rendah, hubungan interpersonal sangat rendah, sering terjadi perdebatan

tentang tujuan yang harus dicapai organisasi.

4. Communal, ditandai dengan high sociability dan high solidarity. Communal cultures

biasanya ditemui pada perusahaan kecil yang baru berkembang pesat. Tetapi, ada juga

perusahaan yang mempunyai tipe budaya ini. Karakteristiknya adalah karyawan

memiliki tingkat kesadaran yang tinggi atas status dan identitas organisasinya,

kehidupan berorganisasi dilakukan dengan social events, saling berbagi penghargaan

dan resiko antar anggota yang tinggi, sangat menghargai keadilan, setiap anggota

organisasi mengetahui misi organisasinya dengan jelas, setiap anggota organisasi

mengetahui dengan jelas siapa pesaing organisasi.

Tidak ada satu pun tipe budaya organisasi yang terbaik, yang terpenting adalah

organisasi harus mengetahui potret budaya organisasinya saat ini, dan kemudian

mengevaluasinya apakah budaya organisasi tersebut dapat mendukung proses

transformasi organisasional. Untuk mengidentifikasi budaya yang ada dalam sebuah

organisasi, Goffe and Jones (1996) memberikan panduan berupa serangkaian pertanyaan

yang dapat membantu organisasi menemukan potret budayanya.

Perlu ditegaskan kembali, di awal tulisan ini, telah dikemukakan transformasi

organisasional adalah suatu perubahan yang sifatnya radikal. Perubahan-perubahan

radikal dalam suatu organisasi pasti memerlukan perombakan budaya organisasi itu

sendiri. Ilustrasi berikut ini akan lebih memperjelas alasannya:

Dalam interview dengan para pemenang Malcolm Baldrige National Quality Award,

Blackburn dan Rosen (1993) menemukan adanya perubahan-perubahan praktek HR

dalam perusahaan pemenang award untuk dapat mencapai Total Quality Management.

Perubahan-perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang revolusioner dalam hal

pelatihan dan pengembangan, pemberdayaan, penilaian, penghargaan terhadap

individual dan terhadap tim. Perusahaan pemenang harus membawa anggota dalam

perusahaan dalam budaya yang sama lebih dahulu, yaitu: total quality culture, untuk

memperlancar dan mempermudah karyawan menerima transformasi organisasional

yang dilakukan perusahaan.

 

Goffe and Jones (1996) mengemukakan langkah-langkah yang lebih detil dan spesifik

untuk melakukan upaya membangun budaya organisasi yang mendukung transformasi

organisasional, yaitu:

1. Meningkatkan usaha-usaha untuk saling berbagi ide, minat, dan emosi dengan cara

merekrut orang-orang yang kira-kira cocok dengan organisasi, dan menjadi “teman”

bagi organisasi.

2. Meningkatkan interaksi sosial di antara anggotanya dengan membuat acara-acara

informal di dalam dan di luar organisasi, misalnya pesta, pertemuan mingguan, klub

olahraga, dll.

3. Mengurangi formalitas antar anggota organisasi. Manajer dapat menata ruangannya

sedemikian rupa sehingga anggota organisasi lain tidak merasa canggung untuk

berinteraksi dengannya.

4. Membatasi perbedaan-perbedaan yang lebih disebabkan oleh unsur hirarki dalam

organisasi. Ini dapat dilakukan dengan menghapus tingkatan-tingkatan yang ada dalam

organisasi, serta menghilangkan fasilitas-fasilitas dan penghargaan yang diberikan

karena unsur hirarki.

5. Pimpinan organisasi harus menunjukkan sikap peduli dan bertindak seperti layaknya

seorang teman kepada anggota organisasinya.

6. Meningkatkan komitmen anggota organisasi untuk mencapai tujuan bersama.

Usaha membangun budaya organisasi yang dapat mendukung transformasi

organisasional membutuhkan alat, alat utamanya adalah komunikasi. Komunikasi efektif

dengan semua anggota organisasi akan memperlancar usaha membangun budaya

organisasi. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang sifatnya top-down,

horizontal, lateral, dan multidirectional. Selama ini organisasi cenderung berkomunikasi

dari atas ke bawah saja, sehingga tidak terjadi interaksi yang sesungguhnya antara

organisasi dengan anggotanya. Dengan komunikasi yang efektif, organisasi dapat

mengomunikasikan pentingnya perubahan, organisasi dapat menampung saran, masukan

dari anggota organisasi, hubungan antar anggota organisasi akan lebih baik, keterlibatan

anggota organisasi makin tinggi. Tingginya keterlibatan anggota organisasi dalam segala

hal yang dilakukan organisasi akan menjamin suksesnya upaya membangun budaya

organisasi yang dapat mendukung transformasi organisasional, alasannya adalah semua

anggota pasti akan mendukung perubahan tersebut (Blackburn and Rosen, 1993).

APA IMPLIKASI TRANSFORMASI ORGANISASIONAL TERHADAP

PRAKTEK-PRAKTEK HR?

Transformasi organisasional pada dasarnya ingin merubah struktur organisasi agar

menjadi lebih fleksibel, dengan lebih sedikit karyawan dan lebih sedikit jenjang hirarki.

Struktur organisasi yang lebih fleksibel tentunya membutuhkan kebijakan dan praktek

HR yang berbeda. Struktur organisasi yang lebih fleksibel akan berusaha meminimumkan

level dan kompleksitas struktur organisasi dengan lebih banyak mendelegasikan

wewenang, menumbuhkan inisiatif dan keinovatifan anggotanya. Organisasi akan

merubah job responsibilities and activities untuk memenuhi tuntutan lingkungan yang

berubah cepat (Walker, 1988). Konsekuensinya adalah perubahan job description, job

responsibilities, dan job requirements. Perubahan-perubahan tersebut tentunya akan

mempengaruhi praktek rekrutmen dan seleksi organisasi. Implikasinya adalah karyawan

mempunyai tanggung jawab atas tugas dan pekerjaan yang lebih banyak, lebih fleksibel,

cenderung generalis bukan lagi spesialis. Implikasi tersebut membawa dampak cukup

besar bagi rekrutmen dan seleksi karyawan dengan kriteria seperti apa yang cocok dengan

situasi perusahaan saat ini. Seperti telah disebutkan sebelumnya, untuk membangun

budaya organisasi hendaknya organisasi merekrut orang-orang yang cocok (compatible)

dengan organisasi. Praktek rekrutmen dan seleksi tradisional tidak cocok lagi digunakan,

alasannya:

1. Traditional job description, hanya mencantumkan tugas dan tangung jawab spesifik,

akan jarang dipergunakan oleh organisasi. Ini semua dikarenakan organisasi yang

makin fleksibel membuat batas-batas fungsional dan lingkup pekerjaan semakin kabur

(Miner dan Robinson, 1994).

2. Struktur organisasi yang fleksibel cenderung tidak bersifat hirarki, struktur organisasi

cenderung flat, lean (Walker, 1988), dan boundaryless (Nelson, 1996).

Praktek rekrutmen dan seleksi tradisional berdasar pada filosofi; organisasi akan

merekrut orang yang mampu melakukan pekerjaan tertentu, jika ternyata persyaratan

pekerjaan menuntut kemampuan yang lebih tinggi, maka organisasi dapat men-training

orang tersebut. Praktek rekrutmen dan seleksi dalam organisasi yang lebih fleksibel

mempunyai filosofi yang berbeda. Filosofinya adalah organisasi akan merekrut orang

yang tidak hanya mampu melakukan pekerjaan tertentu, tetapi juga harus mempunyai

nilai-nilai yang cocok dan dapat mendukung budaya organisasi (Ashkenas, et.al., 1995).

 

Bowen, Ledford, and Nathan (1991) mengemukakan 2 praktek rekrutmen dan seleksi:

1. Praktek seleksi konvensional, merekrut karyawan yang KSA (Knowledge, Skill dan

Ability) “fit” dengan persyaratan pekerjaan tertentu. Praktek ini mengabaikan

karakteristik personal dalam rekrutmen, dengan alasan karakteristik personal tidak

relevan dengan persyaratan pekerjaan tertentu, lebih sering disebut “person-job fit” .

2. Praktek seleksi model baru, merekrut karyawan “seutuhnya”, direfleksikan pada

orientasi karyawan yang direkrut tidak hanya “fit” antara KSA dengan persyaratan

pekerjaan, tetapi juga harus “fit” antara karakteristik personal dengan budaya

organisasi, lebih sering disebut dengan “person-organization fit”.

Selama ini dikenal dua teknik untuk melakukan rekrutmen dan seleksi, yaitu: work

oriented dan worker oriented. Work oriented menekankan pada mencocokkan KSAs

(Knowledge, Skill, Abilities) kandidat dengan persyaratan pekerjaan. Worker oriented

menekankan pada perilaku yang seperti apa yang dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan

tersebut (Gatewood dan Field, 1994). Kedua teknik ini dikritik terlalu tidak fleksibel,

terlalu legalistic (Drucker, 1987), terlalu kuno (Sanchez, 1994).

Masalah yang kemudian muncul adalah: bagaimana langkah-langkah melakukan

person-organization fit? Person-organization fit dapat dilakukan dengan mencocokkan

individual cultural preferences dengan organizational cultures (O’Reily, et.al., 1991;

Ashkenas,et. al., 1995) dan mencocokkan KSA kandidat dengan persyaratan pekerjaan

(Bowen, Ledford, and Nathan, 1991). Bowen, Ledford, and Nathan (1991)

mengemukakan ada 4 langkah untuk melakukan person-organization fit:

1. Assess The Overall Work environment. Organisasi harus melakukan job analysis dan

organizational analysis. Organizational analysis dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi karakteristik organisasi, hasilnya berupa organization’s philosophies

dan values, sedangkan job analysis dapat dilakukan dengan mengidentifikasi

karakteristik pekerjaan, hasilnya berupa job requirements. Organizational analysis

juga perlu dilakukan karena job analysis akan cepat usang (disebabkan lingkungan

pekerjaan yang cepat berubah), sedangkan filosofi dan nilai-nilai yang diyakini

organisasi relatif lebih stabil dan konsisten.

2. Infer The Type of Person Required. Organisasi merumuskan tipe kandidat yang

dibutuhkan dengan filosofi organisasi akan “hire total person”. Yang dimaksud “total

person” adalah individu dengan:

technical knowledge, skills and abilities

social skill

personal needs, values, and interests, personality traits

3. Design “Rites of Passage” that allow organization and the individual to assess fit.

Organisasi harus mendesain proses rekrutmen dan seleksi sedemikian rupa sehingga

memungkinkan organisasi dan kandidat untuk saling menilai apakah ada kecocokan di

antara mereka. Ada banyak teknik yang bisa digunakan, antara lain:

Tests of Cognitive, Motor, and Interpersonal Abilities

Interview by Potential Co-workers and others

Personality Tests

Realistic Job Previews, Including work samples

4. Reinforce Person-Organization Fit at Work. Organisasi juga harus mengupayakan

agar Person-Organization fit ini benar-benar diimplementasikan dalam pekerjaan,

caranya adalah dengan:

 

Reinforce skills and knowledge melalui task design and training

Reinforce personal orientation through organization design

Hal penting yang juga harus dipertimbangkan oleh organisasi yang melakukan

rekrutmen dan seleksi dengan person-organization fit adalah mengenai pemilihan teknik.

Menurut Karren dan Graves (1994), teknik Person-Organization fit yang ideal harus

memenuhi lima kriteria:

Comprehensiveness, teknik yang dipilih harus menyajikan gambaran tentang individu

dan situasi organisasi secara komprehensif.

Commensurate dimensions, teknik yang dipilih juga harus menyajikan gambaran

tentang individu dan situasi organisasi dalam dimensi yang seimbang, proporsional,

tidak berat sebelah.

Systematic error, teknik yang dipilih juga sedapat mungkin dapat meminimumkan

munculnya systematic error. Systematic error adalah error yang muncul dari pihak

kandidat, kandidat biasanya sering mengatakan yang baik-baik atau selalu berusaha

menyamakan dirinya dengan organisasi agar dapat diterima oleh organisasi.

Unsystematic error, teknik yang dipilih juga sedapat mungkin meminimumkan

munculnya unsystematic error. Unsystematic error adalah error yang muncul akibat

ketidaktepatan sistem dan alat pengukuran yang digunakan.

Theory development, teknik yang dipilih harus mempunyai potensi untuk berkembang

lagi.

Seperti dikemukakan oleh Bowen, Ledford, and Nathan (1991) 2 praktek seleksi tadi

tidak bersifat saling meniadakan. Dengan adanya praktek seleksi baru, person-

organization fit, bukan berarti person-job fit adalah model yang tidak bermanfaat dan

tidak perlu digunakan. Dua model seleksi tersebut akan saling melengkapi. Perusahaan

tidak mungkin merekrut dan menyeleksi kandidat yang hanya “fit” dengan organisasi, dan

mengabaikan kesesuaian KSA dengan persyaratan pekerjaan. Disarankan perusahaan

memakai person-organizational fit di samping person-job fit, karena perusahaan merekrut

kandidat untuk organisasi secara keseluruhan, bukan hanya untuk pekerjaan tertentu.

Selain itu Bowen, Ledford, and Nathan menyatakan Person-organization fit bermanfaat

untuk “reinforcement of organizational design (such as support for work design and

desired organizational culture)” (1991: 46) Artinya, Person-Organization fit dapat

membantu upaya perusahaan membangun budaya organisasi yang diinginkan, Person-

Organization fit membantu keberhasilan transformasi organisasional.

Untuk menghindari munculnya isu homegenitas, perusahaan harus melakukan seleksi

kandidat atas dasar organization’s core values, dan proses hiring dengan Person-

Organization fit tidak akan menjadikan karyawan yang satu persis sama dengan karyawan

lain, karena dalam proses pencocokkan, masih ada variabilitas dalam karakteristik lain,

yang bukan core values organisasi. (Schneider, 1987 seperti dikutip oleh Nelson, 1996;

Bowen, Ledford, dan Nathan, 1991)

Jadi, untuk menunjang keberhasilan transformasi organisasional harus dimulai pada

perubahan praktek rekrutmen dan seleksi. Perusahaan harus menambahkan P-O fit dalam

praktek rekrutmen dan seleksinya.

 

KESIMPULAN

Lingkungan yang berubah cepat adalah kekuatan eksternal yang memaksa organisasi

untuk melakukan transformasi organisasional. Transformasi organisasional yang

dilakukan pada dasarnya ingin merubah struktur organisasi agar menjadi lebih fleksibel,

dengan lebih sedikit tingkat hirarki, lebih sedikit manajer, dan lebih sedikit karyawan.

Transformasi organisasional ini mensyaratkan perubahan yang sifatnya radikal, sehingga

dalam pelaksanaannya sering muncul hambatan-hambatan. Hambatan terbesarnya adalah

resistensi dari anggota organisasi terhadap perubahan tersebut. Faktor kunci keberhasilan

transformasi organisasional adalah memperkecil resistensi anggota organisasi terhadap

perubahan. Oleh karena itu harus dilakukan upaya-upaya untuk memperkecil terjadinya

resistensi dari anggota organisasi, yaitu: (1) Organisasi harus mau belajar dan memahami

bahwa anggota organisasinya mungkin mempunyai budaya dan nilai yang berbeda

dengan budaya organisasi, sehingga organisasi dapat memprediksi kemungkinan

terjadinya resistensi dan telah mempersiapkan langkah-langkah untuk mengantisipasinya.

(2) Membangun budaya organisasi yang dapat mendukung keberhasilan transformasi

organisasional harus dilakukan oleh organisasi. Ini dapat dilakukan dengan usaha-usaha

komunikasi yang efektif antara organisasi dengan anggotanya. Dengan budaya organisasi

yang kuat, akan dapat memperkecil terjadinya resistensi.

Untuk menunjang upaya membangun budaya organisasi maka diperlukan perubahan

praktek-praktek HR, terutama rekrutmen dan seleksi, dengan menerapkan person-

organization fit dalam rekrutmen dan seleksi.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abrahamson, E. 2000. “Change without Pain”. Harvard Business Review. July-August.

hal 75-79.

Ashkenas, R., D. Ulrich, T. Jick, dan S. Kerr. 1995. The Boundaryless Organization

Breaking the Chains of Organizational Structure. San Fransisco: Jossey-Bass.

Blackburn, R., dan B. Rosen. 1993. “Total quality and human resources management:

Lessons learned from Baldrige award-winning companies”. Academy of Management Executive. Vol. 7, No. 3. hal. 49-66.

Bowen, D.E., G.E. Ledford, dan B.R. Nathan. 1991. “Hiring for the Organization, Not the Job”. Academy of Management Executive. Vol. 5, No. 4. hal. 35-51.

Drucker, P.F. 1987. “Workers Hands Bound by Tradition”. Wall Street Journal. August

18.

Gatewood, R.D., dan H. Field. 1994. Human Resource Selection. 3rd. edition. Fort Worth:Harcourt Brace.

Goffe, R., dan G. Jones. 1996. “What Holds the Modern Company Together?” Harvard

Business Review. November-December. hal. 133-148.

Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 4, No. 2, September 2002: 77 – 90

Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/management/90

Karren, R.J., dan L.M. Graves. 1994. “Assessing Person-Organization Fit in Personnel

Selection: Guidelines for Future Research.” International Journal of Selection and

Assessment. Vol. 2, No. 3. hal. 146-156.

Miner, A.S., dan D.F. Robinson. 1994. “Organizational and Population Level Learning as

Engines for Career Transitions.” Journal of Organizational Behavior. hal. 345-364.

O’ Reilly, C.A., L. Chatman, dan D.F. Caldwell. 1991. “People and Organizational

Culture: A Profile Comparison Approach to Assessing Person-Organization Fit.”

Academy of Management Journal. Vol. 34. hal. 487-516.

Nelson, J.B. 1996. “The Boundaryless Organization: Implications for Job Analysis,

Recruitment, and Selection. Human Resource Planning. hal. 39-49.

Sanchez, J.I. 1994. “From Documentation to Innovation: Reshaping Job Analysis to Meet

Emerging Business Needs.” Human Resource Management Review. Vol. 4. hal.

51-74.

T. Hani Handoko. 1996. Manajemen. Edisi kedua, BPFE –Yogyakarta.

Walker, J.W. 1988. “Managing Human Resources in Flat, Lean and Flexible

Organizations: Trends for the 1990’s.” Human Resource Planning. Vol. 11, No. 2.

hal. 125-132.

Wellins, Richard, dan S. Rick. 1995. “Taking Account of The Human Factor.” People

Management. Vol. 21. hal. 30-33.

Yeung, A., dan W. Brockbank. 1996. “Reengineering HR Through Information

Technology.” Human Resource Planning. hal. 24-37.

Zaltman, G., dan R. Duncan. 1977. Strategies for Planned Change. New York: Wiley.

 

This entry was posted in ARTIKEL EKONOMI, EKONOMI, JURNAL EKONOMI, MANAJEMEN SDM, MATERI KULIAH EKONOMI, ORGANISASI and tagged , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *