PEMETAAN SUPPLY CHAIN USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM) DI PALEMBANG (Studi Kasus: Kain Songket Tradisional)

 

PEMETAAN SUPPLY CHAIN

USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM) DI PALEMBANG

(Studi Kasus: Kain Songket Tradisional)

 

M. Amirudin Syarif

Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi

Universitas Bina Darma

Palembang, Indonesia

e-mail: amirudinsyarif@mail.binadarma.ac.id, amirudinsyarif@gmail.com

Abstrak

Pemerintah kota Palembang telah mencanangkan kota Palembang sebagai kota wirausaha, (sumber: http://www.palembang.go.id/?nmodul=berita&bhsnyo=id&bid=183). Sebagai kota yang telah memproklamirkan diri maka setiap kegiatan pembangunan diupayakan untuk mengembangkan UKM.

Kota Palembang menganggap bahwa UKM merupakan potensi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat kota Palembang. Potensi ini berhubungan dengan ketersediaan bahan baku, dan pasar yang sangat besar. Sebagai kota dengan pengelolaan manajemen modern maka ketersediaan bahan baku, akses kepada informasi, dan integrasi bisnis sangat diperlukan. Pemanfaatan Teknologi Informasi melalui aplikasi dibidang Supply Chain Management (SCM) dalam hal ketersediaan bahan baku, proses produksi di pabrikasi untuk ketersediaan produk dalam memenuhi permintaan konsumen dan kemampuan distribusi menjadi sangat penting.

Secara definisi, menurut Caccetta dan Syarif (2008), Supply Chain (SC) adalah jejaring yang mempunyai fungsi sebagai pengatur supply bahan baku dari supplier ke pusat produksi; mengubah bahan baku menjadi produk, mengatur produk tersebut pada pergudangan, yang kemudian akan di distribusikan ke konsumen oleh pusat pusat distribusi. Berdasarkan kepada definisi tersebut maka dilakukan upaya pemetaan SC dari UKM kain songket yang merupakan salah satu industri kecil tradisional andalan kota Palembang. Paper ini membahas pemetaan SC UKM Songket berdasarkan pada proses dan referensi operational SC (SCOR ver 10: Supply Chain Operation Reference) yang dikeluarkan Council of Supply chain.

Kata kunci: Supply Chain Management (SCM), Songket, Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Pemetaan

Abstract

The government city of Palembang has launched Palembang as an entrepreneur city (source: http://www.palembang.go.id/?nmodul=berita&bhsnyo=id&bid=183).  As a city that has proclaimed itself as an entrepreneurial city, every activity, and the attempted must refer to SMEs development effort.

SMEs in the city of Palembang has considerable potential to improve economic. This potential is related to availability of raw materials, and a viable market. As a city that running a modern management then continuity of raw materials, access to information, and business integration still required. According to implementation of  Information Technology (IT) in supply chain management (SCM) through the readiness of supply of raw materials, then processed or manufactured into a product or service, and thereafter distributed to consumers that also still at the level of discourse.

By defintion of Caccetta and Syarif (2008), Supply Chain (SC) is a network that has the function as a regulator of supply of raw materials from suppliers to production centers; transform raw materials into products, regulate products at the warehouse, which will then be distributed to consumer by a central distribution center. Based on the definition then the mapping of SC has been made. This paper discusses the mapping of SC SMEs of Songket Palembang which is one of the traditional fabrics. It is based on process and operational SC operation (SCOR ver 10: Supply Chain Operations Reference) issued by the Council of Supply chain.

Key words: Supply Chain Management (SCM), Songket, SMEs, Mapping

 

  1. PENDAHULUAN

Kota Palembang telah mencanangkan diri sebagai kota wirausaha (entrepreneur city) sebagaimana dalam: http://www.palembang.go.id/?nmodul=berita&bhsnyo=id&bid=183). Konsekuensi dari pencanangan ini adalah setiap program pembangunan yang dilaksanakan harus mengacu pada upaya membangun dan mengembangkan kewirausahaan di masyarakat. Salah satu UKM yang telah ada sejak lama adalah usaha tenun songket Palembang. Industri tenun songket adalah salah satu industri kecil. Industri ini bersifat personal karena ke khas an dalam proses pembuatan kain songket.  Dari bahan, proses pemintalan, design, sampai dengan proses finishing yang bersifat pekerjaan tangan (handmade). Sebagai contoh, untuk alat tenun yang digunakan sampai saat ini adalah alat tenun bukan mesin (atbm). Karakteristik yang spesial ini menyebabkan industri ini perkembangannya masih berskala kecil. Untuk menjadi industri yang kuat pada era sekarang adalah dengan cara mengikuti trend teknologi dan manajemen.  Hal ini diperlukan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas kerja yang merupakan syarat utama dalam keberhasilan bisnis.  Supply Chain (SC) adalah jejaring yang mempunyai fungsi sebagai pengatur supply bahan baku dari supplier ke pusat produksi; mengubah bahan baku menjadi produk, mengatur produk tersebut pada pergudangan, yang kemudian akan di distribusikan ke konsumen oleh pusat-pusat distribusi (Caccetta dan Syarif, 2008). Sedangkan peta SC adalah suatu bentuk matrik yang secara vertikal merupakan area dari Supply, produk dan permintaan dan secara horizontal menunjukkan hubungan proses yang bersilangan sebagaimana desain produk dan peramalan permintaan (Lepercq, 2007)

Sebagai salah satu UKM industri kecil maka usaha untuk menerapkan Supply Chain Management (SCM) perlu dilakukan bagi industri songket. Berdasarkan kepada definisi SC tersebut di atas maka dilakukan upaya pemetaan SC dari UKM kain songket yang merupakan salah satu industri kecil tradisional andalan kota Palembang. Paper ini membahas pemetaan SC UKM Songket berdasarkan pada proses dan referensi operational SC (SCOR ver 8.0 : Supply Chain Operation Reference) yang dikeluarkan Council of Supply chain.

  1. Metodologi Penelitian

            Penelitian ini dilaksanakan melalui serangkaian proses dan metodologi untuk memetakan  SC songket pada UKM di kota Palembang. Industri songket adalah industri kecil yang telah ada sejak berpuluh tahun yang lalu. Industri ini bersifat sangat personal dikarenakan karakteristik pembuatan songket yang sangat spesifik, dari bahan baku, proses desain, pemintalan benang, dan proses akhir yang dikerjakan seluruhnya dengan kerajinan dan keahlian pribadi si pembuat songket. Sebagai contoh mesin tenun yang digunakan saat ini masih sangat sederhana dan hanya dapat digunakan oleh si perajin dan tidak dapat digunakan oleh perajin lain. Dikarenakan sifat atau karakteristik yang sangat khusus ini maka metodologi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan in depth study untuk mendapatkan data dan informasi yang spesifik. Pengumpulan data dengan cara mendatangi secara langsung ke kampung songket yang merupakan sentra kerajinan songket Palembang. Serangkaian interview kepada para perajin dilakukan dengan cara interview terbuka (wawancara). Hal ini dilakukan agar bisa mendapatkan data dan informasi yang utuh dan lengkap mengenai informasi bahan baku yang diperlukan dan digunakan dalam berproduksi, kontinuitas pasokan, asal supplier, jumlah bahan baku yang dibutuhkan, tipe tipe songket yang diproduksi,  mutu dari bahan baku dan produk, jalur distribusi yang digunakan, dan pelanggan.

Data yang telah didapatkan ini lalu diolah untuk ditabulasikan dan dibuatkan diagram alir proses produksi. Diagram alir (flow diagram) ini kemudian dijadikan sebagai dasar dalam pemetaan SC songket dengan mengacu pada SCOR. Langkah berikut ini digunakan sebagai referensi pemetaan SC:

  1. Desain Peta. Mengacu pada Gardner dan Cooper (2003). Desain peta adalah memetakan SC secara visual dengan membuat representasi dari arus informasi, proses produksi, dan uang yang merupakan arus utama dari SC. Pemetaan ini harus dapat menunjukkan arus hulu maupun hilir dari SC.
  2. Pemusatan atau fokus pada tujuan dan strategi dari industri. Fokus tersebut adalah pada keuntungan yang dapat diperoleh pada masa pendek maupun panjang.
  3. Pemetaan SC banyak menggunakan simbol simbol, oleh karena itu pertimbangan dalam penggunaan simbol dan konsistensi penggunaan simbol adalah menjadi perhatian yang sangat penting. Simbol juga harus memperhatikan kemudahan interpretasi dari simbol simbol tersebut.

UKM songket adalah salah satu dari banyak UKM yang menjadi penyokong bergeraknya perekonomian di kota Palembang. Tidak hanya dari sisi jumlah secara statistik tetapi juga secara per satuan dari UKM songket adalah pengerak ekonomi. Hal ini dikarenakan para perajin songket adalah individu sosial yang khusus dan specifik dalam produksi songket. Kemampuan skill individu yang secara kerajinan tangan tidak dapat digantikan dengan mudah oleh orang yang baru menjadi perajin ataupun mesin tenun. Karena sifat khusus ini maka dipandang perlu menjaga kualitas mutu dan ketersediaan kain songket Palembang. Hal penting yang juga menjadi perhatian adalah yang berkaitan dengan kualitas yang lebih baik, inovasi, dan penyiapan infrastruktur berupa alat tenun dan alat alat lainnya. Di dalam penelitian ini dicoba untuk memetakan SC dan penyiapan infrastruktur SC untuk UKM agar dapat lebih kompetitif. Hal ini menjadi bagian penting karena beberapa hal: a) adanya ketidakpastian yang makin tinggi dalam sisi penawaran maupun permintaan, adanya pasar yang semakin mengglobal, semakin cepatnya siklus hidup produk dalam hal desain maupun penggunaan, adanya potensi untuk bekerjasama secara bilateral maupun multinasional melalui e-bisnis. Proses pemetaan menggunakan framework dari SCOR Model yang merupakan konsep model dengan struktur generik. Gambar.1 adalah framework untuk proses pemetaan berdasarkan SCOR ver. 8.0.

Gambar. 1. Proses Pemetaan  SCOR ver 8.0

 

  1. PEMBAHASAN
  1. A.    Proses Produksi dan Pemetaan

       Proses pemetaan dimulai dari melihat daftar materi penyusun produk (bill of material). Pada proses produksi songket Palembang dapat dilihat bahwa materi yang menyusun adalah terdiri dari benang, zat pewarna yang berasal dari beragam sumber. Secara detil proses produksi so

ngket adalah rumit. Songket adalah kain dengan tingkat artistik tinggi dan bernilai jual ekonomis yang juga tinggi. Membutuhkan keuletan dan kesabaran yang cukup besar.

Proses produksi pembuatan songket menggunakan Lungsi yaitu benang sutra yang kemudian akan menjadi kain tempat dimana benang emas menjadi pemberi corak dari kain songket. Benang yang digunakan juga dapat berupa benang kapas. Negara asal benang yang digunakan adalah dari Cina, India dan Thailand. Untuk zat pewarna yang digunakan berasal dari warna alami tanaman, walaupun pada saat ini para perajin ada juga yang menggunakan bahan pewarna sintetis. Adapun warna dominan yang digunakan adalah warna merah yang berasal dari hasil pengolahan kayu. Warna lain seperti warna kuning diperoleh dari kunyit sedangkan biru dari indigo.

Proses produksi dimulai dengan design songket (pola kain yang ditenun). Pola ini dibuat sedemikian rupa oleh perajin dengan melakukan proses cukit, yaitu melakukan pembuatan pola dengan menggunakan alat semacam jarum yang sangat besar yang dilalukan melalui benang benang Lungsi sebagai benang pakan. Pola ini yang akan menentukan motif dari songket yang diproduksi. Ada beberapa motif yang populer antara lain adalah songket Limar atau songket Lepus, untuk motif lain adalah: motif bunga intan, motif tretes, motif janda beraes, bunga china, bunga paciek.

Songket Palembang menggunakan benang emas. Ada tiga jenis benang emas yang digunakan yaitu: benang emas Cabutan, benang emas Sartibi, dan benang emas Bangkok. Benang emas Cabutan; sesuai dengan sebutannya adalah benang emas yang berasal dari kain-kain songket yang kainnya sudah rusak. Benang emas dari songket yang rusak ini lah yang kemudian dicabuti untuk dipakai lagi. Benang emas cabutan biasanya adalah benang yang sangat baik karena mengandung lapisan emas 24 karat. Jadi makin tua benang emas cabutan ini akan makin mahal harganya. Untuk benang Sartibi adalah benang sintetis yang berasal dari pabrik benang di Jepang, sedangkan benang emas Bangkok adalah berasal dari Thailand.

Secara ringkas alat dan bahan bahan yang digunakan untuk membuat songket Palembang adalah: alat tenun, rungsen, benang emas, benang merah, baliro, lidi, buluh, pleting. Untuk proses pembuatan sebuah songket membutuhkan paling cepat 15 hari sampai 30 hari. Tahapan proses pembuatan adalah sebagai berikut:

  1. Pencelupan; pada proses ini dilakukan pencelupan benang untuk diwarnai sesuai dengan rencana warna songket. Biasanya songket dominan warna merah, tetapi ada juga yang bewarna hijau, kuning, bahkan biru. Warna ini dapt juga sesuai dengan pesanan. Pewarnaan benang sutera dilakukan dengan cara pencelupan yang kemudian dikeringkan dengan cara penjemuran dengan bambu panjang ke terik matahari.
  2. Benang sutera yang sudah dikeringkan digunakan untuk membuat kain songket. Ukuran lebar kain 90 cm, untuk selendang ukurannya adalah 60 cm dengan panjang 165 cm sampai dengan 170 cm. Benang yang sudah kering ini kemudian dilakukan proses pendesainan yang disebut dengan istilah pencukitan dengan menggunakan lidi sesuai dengan motif yang diinginkan.
  3. Proses penenunan dilakukan setelah desain motif selesai dilakukan. Penenunan menggunakan alat tenun yang dibantu baliro yang fungsinya untuk menyentak benang, dan pelenting yang fungsinya untuk memasukkan benang pakan.

Alir proses produksi kain songket ini kemudian dipetakan dengan mengikuti frameworks dari SCOR ver.8 yang di publish oleh Supply chain Council.  SCOR adalah singkatan dari The Supply-Chain Operation Reference Model. Merupakan standar global untuk alat manajemen dalam mengelola efisiensi supply chain. Oleh sebab itu peneliti menggunakan SCOR ver 8.0 untuk mencoba membuat peta proses produksi songket Palembang. Peta proses ini kemudian akan dijadikan acuan untuk membuat peta SC songket. Berikut pada gambar 2 adalah peta proses dari produk songket.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. Alur proses produksi

Dari alur proses ini kemudian diupayakan untuk melengkapi peta SC songket.

 

 

 

 

 

  1. B.     Peta Supply Chain Songket

           Pemetaan SC dapat dilakukan melalui dua metoda, metode pertama adalah fokus pada SC struktur dan relasionship antara antar anggota SC. Metoda kedua menggunakan fokus pada waktu yang tersedia. Gambar. 3 menunjukkan pemetaan dengan menggunakan metoda pertama (Lambert and Cooper, 2000)

 

Gambar 3. Simbol yang digunakan dalam pemetaan.

Pada gambar 4 adalah peta SC Songket:

 

 

SS

 

 

Gambar 4. SC songket

Keterangan gambar:

S : Supplier

  1. benang sutera dan benang emas. Negara: Thailand, China, dan Jepang
  2. Bahan pewarna : warna merah (dari kayu sepang dan mengkudu), warna biru (dari indigo), warna kuning (dari kunyit), hijau orange dan ungu (dari campuran warna merah, biru, dan kuning). Negara: Indonesia
  3. Anti luntur warna adalah tawas. Negara Indonesia

P: Produsen

  1. Alat tenun: benang vertikal (lungsi), benang horizontal (pakan). Negara : Indonesia
  2. Rungsen, Baliro, lidi, buluh, pleting. Negara Indonesia

I: Inventory; D: Distributor; C: Customer

  1. KESIMPULAN

Dari hasil pemetaan SC songket, dapat disimpulkan bahwa industri kecil ini cukup rentan dari sisi bahan baku. Walaupun sebagian besar bahan baku berasal dari dalam negeri, tetapi bahan pokok yaitu benang emas dan sutera masih di impor dari negara lain. Pemetaan SC songket ini masih dalam taraf studi awal, masih diperlukan riset yang lebih banyak lagi agar SC songket ini bisa terkoneksi dengan usaha industri kecil lain yang bersinggungan, seperti peralatan yang digunakan dan bahan baku pewarna.

 

DAFTAR PUSTAKA

Caccetta, L., and Syarif, A. (2008), IMPROVING THE PERFORMANCES OF SUPPLY CHAIN NETWORKS. Round table discussion at Curtin University of Technology. Western Australia.

Erlend Y. Haartveit, Robert A. Kozak, and Thomas C. (2005). Supply Chain Management Mapping for the Forest Products Industry: Journal of Forest Products Business Research Volume No. 1, Article No. 5 Maness from Western Canada.

Gardner, J. T. and Cooper, M. C. (2003), STRATEGIC SUPPLY CHAIN MAPPING APPROACHES. JOURNAL OF BUSINESS LOGISTICS, 24: 37–64. doi: 10.1002/j.2158-1592.2003.tb00045.x”

Lambert, D.M. and M.C. Cooper. (2000). Issues in supply chain management. Industrial Marketing Management. 29(1): 65-83.

Lepercq, P. (2007), MAPPING INTEGRATED SUPPLY CHAIN SYSTEMS AND PROCESSES. White paper “Delivering business solution through innovative IT consulting”. Oracular Denver Colorado

 

 

Designing Data Collection for Better Policy

DESIGNING DATA COLLECTION FOR BETTER POLICY IN Small Medium Enterprise’s (SME’s) FINANCING (Case study: SME’s Database Bank Indonesia’s Project in South Sumatera)

M. Amirudin Syarif, Lin Yan Syah UNIVERSITAS BINA DARMA PALEMBANG Email: amirudinsyarif@gmail.com, lin_yan_syah@yahoo.com ABSTRACT Financing for SMEs held by banking in Indonesia using equivalent criteria that compare to big corporations. The criteria are the application of classical criteria with 5C (capital, character, collateral, capacity, and condition) which are the main analytical tool in the financing to be provided. It should not be compared with the same analytical tools because there are many difficulties faced by SMEs in meeting the funding criteria. That’s why; most of the SMEs have failed in the evaluation of financing (could not passing to get credit). The Impact of its difficulties is the main problem for SMEs to grow to be a big business. Besides the inability to meet the criteria 5C, Researchers have been suspected the other problems, namely: the process of data collection is not optimal, so that the data is not reliable. The study seeks to overcome these problems by proposing a modified 5C criteria evaluation. Modifications to the evaluation carried out by using the criterion of Laplace, Wald, and Hurwicz, the trade-off method of Game Theory. In order for the application of a evaluation modified can be done, then the design of data collection is key to the success of the policy-making better. An example is the policy in terms of its passing or not financing that proposed by the unit SMEs. Applications of designing the data collection was done by re-design of data collection and form data. Re-design is done qualitatively using the approach pattern Forums Group Discussion (FGD). The results of the study is the criteria that have been modified 5C, design a reliable form of data collection, and decision making optimal financing for SMEs.

Key words: designing data collection, 5C (capital, character, collateral, capacity, and condition), Small Medium Enterprise’s (SMEs), financing, Forum Group Discussion (FGD), Game theory.

COLLABORATION MODELING AMONG UNIVERSITY, BUSINESS, AND INDUSTRY TO ACHIEVE ENTREPRENEURIALISM

COLLABORATION MODELING

AMONG UNIVERSITY, BUSINESS, AND INDUSTRY

TO ACHIEVE ENTREPRENEURIALISM

(Case study: Bina Darma University, Palembang)

M. Amirudin Syarif 1 , Devita Aryasari 2

Dosen Universitas Bina Darma

Jalan Jenderal Ahmad Yani No.12 Palembang

Email: amirudinsyarif@mail.binadarma.ac.id  1 , devips98@gmail.com 2

 

ABSTRAK

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Budidaya kewirausahaan di Indonesia adalah salah satu titik awal dari upaya pemerintah untuk membangun budaya kewirausahaan (wirausaha). Dalam 16 tahun, dari tahun 1995 hingga 2011, dapat dikatakan bahwa gerakan ini belum berhasil karena penduduk Indonesia dikategorikan sebagai pengusaha hanya 0,18% dari total penduduk per Januari 2011.Perguruan Tinggi (PT) adalah salah satu pilar dalam pembangunan bangsa yang bisa menjadi menjadi akselerator dalam mencapai cita-cita tujuan gerakan ini. Sebagai agen perubahan, universitas dapat memberikan kontribusi dalam hal membangun sebuah komunitas pengusaha di kampus. Akulturasi kewirausahaan dapat dilakukan dengan bekerja sama melalui kerja sama dengan bisnis dan industri.Kolaborasi ini dilakukan melalui nota kesepahaman (MOU) atau nota kesepakatan (Deptan) harus dikejar untuk efektif dan efisien. Untuk itu harus ada upaya studi ilmiah (model kolaborasi). Dalam menentukan kerjasama yang dilakukan ini harus mengacu pada kekuatan masing-masing institusi (HE, bisnis dan industri) untuk menutupi kelemahan, yang biasanya dikaitkan dengan teori dan praktek, juga mengacu pada peluang dan tantangan yang mereka miliki. Hal penting melalui kolaborasi ini diharapkan sinergi antara HE, bisnis dan perencanaan industri strategis. Untuk alasan ini, perlu untuk membangun model kolaborasi.Model dibangun dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menciptakan sinergi antara HE, usaha industri, dan serta efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya masing-masing lembaga dalam menciptakan komunitas pengusaha melalui budaya kewirausahaan (wirausaha). Budaya kewirausahaan dalam konteks penelitian ini adalah semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang untuk menangani usaha atau kegiatan yang mengarah untuk mencari, membuat, dan menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik atau mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Pengusaha dalam konteks penelitian ini adalah pejuang kemajuan suatu yang mendedikasikan dirinya kepada masyarakat dalam bentuk dedikasi dan penentuan sendiri untuk membantu memenuhi pertumbuhan kebutuhan masyarakat, memperluas lapangan kerja, berpartisipasi dan berusaha untuk ketergantungan yang berakhir pada asing negara.Model kolaborasi dalam penelitian ini telah dibangun dengan menggunakan teori pendekatan Hirarki Kebijakan Bromley. Analisis SWOT digunakan untuk evaluasi, kekuatan sumber daya dan kelemahan, kesempatan dan ancaman. Untuk menguji dan untuk menemukan akar penyebab digunakan analisis tulang ikan.

Hasil dari penelitian ini adalah model kolaborasi dari bisnis HE, dan industri. Model yang telah dibangun diharapkan menjadi alat referensi dalam membantu pemerintah Indonesia untuk mempercepat upaya untuk membangun wirausaha di Indonesia. Diharapkan bahwa keluaran dan hasil dari model ini dapat memberikan pencapaian 2% dari populasi untuk menjadi pengusaha

Kata Kunci : kolaborasi, pemodelan, wirausaha, efektivitas, efisiensi

Abstract

President Instruction (InPres) No. 4 of 1995 on the National Movement Promoting and Cultivating entrepreneurship in Indonesia is one of the starting points of the government’s efforts to build a culture of entrepreneurship (entrepreneurialism). Within 16 years, from 1995 to 2011, it can be said that this movement has not succeeded because of the population ofIndonesiais categorized as an entrepreneur is only 0.18% of the total population as of January 2011.Higher Education (HE) is one of the pillars in nation-building that could become to be an accelerator in reaching goals ideals of this movement. As agents of change, university could be contributed in terms of building a community of entrepreneurs on campus. Acculturation of entrepreneurship can be done by working together through collaboration with business and industry.The collaboration is done through a memorandum of understanding (MOU) or memorandum of agreement (MOA) must be pursued for effective and efficient. For that there must be efforts to scientifically study (a model of collaboration). In determining the co-operation carried out this must refer to the strengths of each institution (HE, business and industry) to cover the weakness, which usually is associated with the theory and practice, also refers to the opportunities and challenges they have. Another important thing through this collaboration is expected synergy among HE, business and industry strategic planning. For this reason, it is necessary to build model of collaboration.The model built in this research is intended to create synergies among HE, business, and industry as well as efficiency and effectiveness of use of resources of each institution in creating a community of entrepreneurs through entrepreneurial culture (entrepreneurialism). Entrepreneurial culture in the context of this study is the spirit, attitude, behavior, and the person’s ability to handle the business or activity that leads to the search for, create, and implement a way of work, technology, and new products by improving efficiency in order to provide better service or obtain greater benefits. Entrepreneurs in the context of this study is an advancement fighters who dedicate themselves to the public in the form of dedication and determination of its own to help meet the growing needs of the community, expand employment, participate, and make an effort to ended dependence on foreign country.Model of collaboration in this study has been built using the approach theory of Bromley Policy Hierarchy. SWOT analysis is used for the evaluation of the resources, strengths and weaknesses; opportunities and threats. To test and to find root cause is used fish bone analysis.The result of the study is a collaboration model of the HE, business and industry. Model that has been constructed is expected to be a reference tool in helping the Indonesian government to accelerate efforts to build entrepreneurialism in Indonesia. It is expected that the outputs and outcomes of the model could deliver the achievement of 2% of the population to be entrepreneurs.

Key words: collaboration, modeling, entrepreneurialism, effectiveness, efficiency.

 

  1. INTRODUCTION

President Instruction (InPres) No. 4 of 1995 on the National Movement Promoting and Cultivating entrepreneurship in Indonesia is one of the starting points of the government’s efforts to build a culture of entrepreneurship (entrepreneurialism). Within 16 years, from 1995 to 2011, it can be said that this movement has not succeeded because of the population ofIndonesiais categorized as an entrepreneur is only 0.18% of the total population as of January 2011.

On the other hand, there are problems of the employment today. The problem is the number of unemployed educated as an undergraduate or bachelor’s degree is only a little wish to become an entrepreneur or businessman. Higher Education (hereinafter referred to as HE) is still a machine of the biggest contributor of the problems of unemployment inIndonesia.

A growing trend today is believed that the best effort of government’s to cope with unemployment is to create a paradigm shift. This paradigm shift can occur by starting the creation of entrepreneurial culture at HE. It will be effective through collaboration with business / industry, and government. Currently, the collaboration in the form of cooperation as outlined in the MoU. However, some of MoU was not focused on efforts to achieve entrepreneurial culture. It required a model of collaboration that can adopted goals, and the creation of entrepreneurial culture.

2. LITERATURE REVIEW AND METHODOLOGY

According to Strzelec (2010) Collaboration is a concerto of multiple enterprises that working together to execute business processes while sharing responsibility, quality, and accountability. It proposed at two complementary levels: the strategic and operational levels of collaboration. Strategic point of view is focusing on two specific factors: competences and activities while operational point of view is focusing on concrete information among members (Antonelli et al, 2011).

Collaboration of HE with the industries could be a solution for problem of the gap between the HE and industry / business. This happened in the field of science and social agendas, such as economic and political democracy, sustainable development and cultural. It is as a scientific collaboration can also be defined from the standpoint of behavior, task and social background (Sonnenwald, 2006). Collaboration becomes a means of transfer of knowledge and technology to the business world, and become a means of transfer of practice and experience of application of science and technology from the business to HE.

Experience collaborating based on science and technology can be developed even further to the subject of innovation and entrepreneurship. According to Garrick et al. (2004), collaboration between PT and business / industry can be classified into four kinds of collaboration are: 1) collaboration of teaching and learning, 2) collaboration of research and development, 3) collaboration of business development, 4) collaboration of community development, and regional industry.

As part of the building blocks of a country then the HE can become agents of change. Of the four types of collaboration mentioned above, HE can seek collaboration refer to the university toward to the entrepreneur. Changing the culture of academic entrepreneurship into cultured of entrepreneur.

In this research we tried to build a model of cooperation that aims to cultivate entrepreneurialism. This model is designed so that any collaboration that can be focused on that goal. Object of study is cooperation on a case study conducted in the form of MOU UBD. Some basic theory used in building this model is: the approach of Bromley Policy Hierarchy theory. SWOT analysis, and fish bone analysis.

According to Bromley (1989), there are classify of three levels associated with the hierarchy of policy formulation process. It is namely the policy level, organizational level, and operational levels. The policy level is the level of the policy at the institutional level (leadership), while the organization level is at the policy level implementing medium-term, and the operational level on the policy level technical short-term.

SWOT analysis is a technique of analysis made ​​by Albert Humphrey, is a strategic planning method used to evaluate the strengths (strengths), weakness (Weaknesses), opportunities (opportunities), and threats (threats) in a project. His process involves determining the specific goals of the business venture or project and identifying the internal and external factors that support and which do not support in achieving that goal. Its application is how the power (strengths) are able to take advantage (advantage) of opportunities (opportunities) that exist, how to overcome weaknesses (Weaknesses) that prevent the benefits (advantages) of the opportunity (opportunities) that exist, then how the power (strengths) are able to face threats (threats) that exist, and the last is how to overcome weaknesses (weaknesses) are capable of making threats (threats) be real or created a new threat (Valentin, 2005).

The Fishbone Diagram (Ishikawa diagram) is a tool for analyzing process dispersion. The diagram illustrates the main causes and sub causes leading to an effect (symptom). It is a team brainstorming tool used to identify potential root causes to problems.  The main goal of the Fishbone diagram is to illustrate in a graphical way the relationship between a given outcome and all the factors that influence this outcome. The main objectives of this tool are:

  • Focusing on a specific issue without resorting to complaints and irrelevant discussion.
  • Identifying areas where there is a lack of data

Its could be applied when it is wanted to focus attention on one specific issue or problem, focus the team on the causes not the symptoms, Organize and display graphically the various theories about what the root causes of a problem may be, show the relationship of various factors influencing a problem, reveal important relationships among various variables and possible causes, provide additional insight into process behaviors (Ishikawa, 1986).

To develop model in this research we are using flow chart as follow :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Fig1. Flow chart research

3. THE PROPOSED MODEL

In this research, we develop a model of collaboration to assist Universitas Bina Darma (UBD) to achieve specific goal. The model is a model of cooperation that can be effectively support the achievement of objectives, namely: entrepreneurialism. This research attempted to analyze the policies that have been done, strengths and weaknesses and the opportunities and challenges facing UBD to achieve that goal.

UBD’s data cooperation with the agency business or industry, government, and other colleges are used as a case study in building a prototype model. The following summary data:

Institution

Type of collaboration

Institution

Type of collaboration

Guna Darma university

1

CV. Multi Usaha

2

Sriwijaya University

1

Hogeschoolzeeland

1

International Japanese education

1

Microsoft

4

PT. PLN

1

PT. Agra Bangun Bangsa

1

Assosiation of Japanese Palembangnese studies

1

PT. ASKES

4

SMK Toboali

1

PT. Inti Komp.

3

StaD ASMI

1

Dirjen Pajak

4

ICT Community

4

PT. Telkom

3

BRI

3

Bank SumSel

4

BAPEDA kota PagarAlam

2

Poltek Sekayu

1

 

Institution

Type of collaboration

Institution

Type of collaboration

PT. Adiniaga Sentra

4

Foresec

1

PT. Lintas Artha

3

CV. Arling Jaya

3

Bank Mandiri

4

PT. Pos Indonesia

3

NIIT

1

TVRI Palembang

1

Planet Edupro

1

Masyarakat Linguistik

1

Hagenberg University

1

UniSel

1

Certif

1

SMKN 1 Inderalaya

1

HIPMI

3

Bank Syariah Mandiri

4

BPR

1

PT. Inhealth

4

PT. Multi Educindo

1

UTeM

1

BNI 46

3

Bank Danamon

4

STT Garut

1

BRI Syariah

4

Legends:  1) teaching and learning collaboration,  2) research and development collaboration., 3)business development collaboration, 4)  regional, industri, and community collaboration.

Total MoU ( ∑ X ) =  44,  Xn = 1, 2, 3, 4

Xn

Modus

X1

23

X1

X2

2

X3

8

X4

11

∑ X

44

The data show that the mode of the UBD’s MoU is a Teaching and Learning as much as 23 times. Collaboration in regional cooperation, industry and community as much as 11 times while business development collaboration only 8 times, and for research and development collaboration only 2 times. By this case, the mode shows a tendency that in UBD is still dominant on the strengthening of Teaching and Learning, therefore if UBD want to achieve new goals, or setting a new goal, namely to civilize entrepreneurship in UBD then this proposed collaboration model can be a tool to achieve success.

Figure 2 is a model of collaboration that has been proposed. This is a process to develop the model. Simulation as follows: first of all, set goals. Then check whether new or previously. If the new destination, then run a SWOT analysis. Analysis of fishbone used if there is a problem. After the roots problem can be found and solved then the theory of Bromley policy hierarchy is used. Collaboration Model can be used as a model of effective inters institution. Cheap and efficient for policy level that has been established, and able to accommodate the results of the planned (What has been established).

 

 

Fig. 2. Proposed of Collaboration Model

4. CONCLUSION AND RECOMMENDATION

Model that has been proposed by researcher is very useful to make collaboration more effisient and effektive. Just like an orchestra is more sophisticated when all of members are among in the best situation. That is why, in this model need equality among members.

We recommend to our respected scholars to implement and tested the model that we have been proposed, so that the model can be more useful.

REFERENCES 

  1. Antonelli, D., X. Bouncher., and P. Burlat. 2011. Collaboration Analysis for SME Networks. Ch3 of Book: Managing Cooperation in Supply Network Structure and Small or Medium sized Enterprises. Springer Verlag London Limited. p35-63.
  2. Bromley, D.W. 1989. Economic Interest and Institution: The Conceptual Foundations of Public Policy. New York: Basil BlackWell.
  3. Garrick, J., A. Ghan., J. Lai. 2004. University Industri Partnership: Implication for Industrial Training, Oppotunities for New Knowledge. Journal of European Industrial Training. Vol 28 (2-4), p329-338.
  4. Ishikwa, K. 1986. Guide to Quality Control. Tokyo. Japan: Asian Productivity Organization.
  5. Sonnenhawald, D.H. 2006. Scientific Collaboration: a Synthesis of Challenges and Strategies. Annual Review of Information Science and Technology. Vol. 4, p1-37.
  6. Strzelec, P. 2010. Achieving The Potential of Network Collaboration. Industri Perspective. http://strzelec.ASCET.com. (TANGGAL, BULAN DAN TAHUN AKSES)
  7. Valentin, E.K. 2005. Away with SWOT Analysis: Use Defensive/Offensive Evaluation Instead. The Journal of Applied Business Research. Spring. Vol 21. Number 2. p91-105.

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

Energi Alternatif: Double Trap Kincir Musi

RINGKASAN

Listrik adalah salah satu kebutuhan penting di era modern ini. Kebutuhan akan listrik terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Untuk itu kebutuhan akan listrik harus terpenuhi, jika tidak tentu akan terjadi krisis. Adanya krisis akan berdampak kepada kehidupan masyarakat terutama pada kegiatan ekonomi.

Kota Palembang adalah salah satu kota yang memiliki perkembangan ekonomi yang pesat. Pertumbuhan ekonomi di kota Palembang terpusat dan menyebar di kawasan sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Musi. Untuk menunjang pertumbuhan ekonomi ini membutuhkan ketersediaan listrik yang besar. Namun, pada kenyataannya ada kekurangan pasokan listrik, sehingga terjadilah krisis listrik. Hal ini ditandai dengan terjadinya pemadaman listrik bergilir yang telah terjadi dari tahun 2000. Permasalahan ini menjadi tantangan bagi semua pihak untuk menemukan gagasan mengatasi permasalahan ini, terutama permasalahan krisis listrik di sepanjang DAS Musi.

Sungai Musi yang menjadi pusat kegiatan ekonomi dan industri masyarakat di kota Palembang memiliki potensi yang besar untuk mengatasi krisis listrik di sepanjang DAS Musi yakni dengan memanfaatkan potensi berupa energi kinetik dari arus air dan angin di atas permukaan sungai Musi yang dapat menjadi penggerak kincir untuk menghasilkan listrik melalui kincir, yang kami namakan Double Trap (DT) Musi.

Kincir DT Musi diharapkan dapat menghasilkan listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di DAS Musi sehingga melalui gagasan ini, krisis listrik masyarakat di sepanjang DAS Musi dapat teratasi.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Palembang adalah salah satu kota di bagian barat Indonesia yang kegiatan ekonominya cukup tinggi. Perkembangan Kota Palembang menjadi kawasan perkotaan tidak terlepas dari sejarah perkembangannya sebagai kota pelabuhan yang berada di bagian Ilir Sungai Musi.

Sungai Musi adalah sungai dengan panjang sekitar 750km yang membelah Kota Palembang menjadi dua bagian yaitu Seberang Ulu dan seberang Ilir. Sungai ini merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera, (Wikipedia,2011). Sejak dahulu Sungai Musi telah menjadi urat nadi perekonomian di Kota Palembang. Pada abad ke-17 keberadaan pelabuhan berkembang pesat di daerah Palembang karena didukung oleh adanya Sungai Musi sebagai jalur perdagangan yang merupakan penghubung jaringan pusat-pusat perniagaan Indonesia barat dengan jaringan perdagangan Asia (Hanafiah, 2008). Sejarah perkembangan Kota Palembang sebagai penghubung perdagangan antar negara menyebabkan Kota Palembang mengalami perkembangan perekonomian yang sangat pesat. Hampir sebagian besar wilayah Palembang merupakan aliran sungai. Maka dipilihlah kawasan 16 Ilir yang berada di tepian Sungai Musi sebagai pasar dan pusat perekonomian masyarakat Palembang. Bahkan seiring waktu, Pasar 16 Ilir terus berkembang dan tercatat sebagai pusat grosir di Palembang. Sebagaimana sifat orang Melayu Palembang, kawasan tepian sungai –terutama Sungai Musi– merupakan lokasi “favorit” untuk pemukiman. Pilihan ini juga merupakan “pilihan cerdas” mengingat saat itu jalur transportasi adalah air. Perahu-perahu yang berasal dari pedalaman (hulu) dengan tujuan utama berdagang.(sumatera ekspres,13:2011)

Sayangnya Kota yang dijuluki Venice of the East(“Venesia dari Timur”) sampai saat ini masih mengalami krisis listrik, ini dapat dilihat dari masih seringnya terjadi pemadaman listrik secara bergilir di Kota Palembang. Hal ini tentu saja berdampak terhadap kegiatan ekonomi masyarakat. Blackout atau mati lampu semakin sering saja terjadi. Upaya-upaya penghematan penggunaan listrik dan pemadaman aliran listrik secara bergilir saat ini menunjukkan bahwa untuk mempertahankan ketersediaan listrik yang ada sekarangpun tidak sanggup. Kalau keadaan ini tidak segera ditangani secara tepat dan cepat, maka tidak akan mungkin dapat memenuhi target pencapaian kebutuhan listrik pada masa depan.

PLN beralasan seringnya pemadaman listrik sekarang ini disebabkan keterbatasan daya pembangkit, baik yang dimiliki PT PLN (Persero) maupun swasta. Keterbatasan daya pembangkit yang terjadi sekarang ini tidak terlepas dari dampak krisis ekonomi pada 1998 lalu. Krisis ekonomi telah membuat PLN kehilangan momentum membangun pembangkit baru. Pemerintah baru berpikir membangun pembangkit pada 2005 melalui program percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW dan sejak 2006 dilaksanakan pembangunannya. Proyek ini diharapkan akan mengatasi ketimpangan antara harga penjualan listrik yang hanya Rp626,86/kWh dengan biaya produksi Rp1.304/kWh.(Kompas ,13:2009)

Daerah Sungai Musi sebagai Pusat perekonomian masyarakat juga memberikan potensi alam berupa energi kinetik, yaitu yang dihasilkan oleh pergerakan arus air dan angin di atas permukaan Sungai Musi. Sayang nya potensi yang diberikan oleh alam itu dibiarkan begitu saja dan di anggap kurang atau bahkan tidak memberikan manfaat.

Dalam gagasan tertulis ini, penulis menawarkan solusi untuk mengatasi permasalahan krisis energi listrik tersebut adalah dengan memanfaatkan aliran arus air dan angin diatas permukaan Sungai Musi Palembang untuk mengatasi krisis listrik melalui teknologi tepat guna yaitu dengan menggunakan teknologi generator yang dibangkitkan oleh energi dari angin dan arus air yang ditangkap oleh kincir. Kincir ini ada di atas permukaan sungai dan ada di kedalam air sungai, prinsip  double trap. Penulis memberi nama ide kincir ini yaitu, kincir Double Trap Musi (DT Musi).

Tujuan

  1. Memanfaatkan potensi dari arus air sungai Musi sebagai sumber energi mikro hidro dan sumber energi angin di atas permukaan Sungai Musi Palembang yang di konversi menjadi energi listrik melalui kincir double trap.
  2. Memanfaatkan hasil konversi energi listrik untuk pemenuhan kebutuhan listrik sehari – hari masyarakat di sepanjang daerah aliran Sungai Musi .
  3. Menghidupkan atau mengoptimalkan perekonomian masyarakat sepanjang daerah akiran Sungai Musi melalui ketersediaan energi listrik.

Manfaat

  1. Menjadi ide atau gagasan Bagi pemerintah kota Palembang dalam upaya mengatasi permasalahan ketersediaan listrik masyarakat sepanjang daerah aliraan sungai Musi Palembang.
  2. Memberikan jaminan akan tersedianya listrik bagi masyarakat sepanjang daerah aliraan sungai Musi Palembang.
  3. Sebagai kontribusi penulis bagi masyarakat dan kota Palembang.
  4. Gagasan dalam karya ini dapat diaplikasikan menjadi sumber alternatif penghasil energi listrik terbarukan.

GAGASAN

Kondisi kekinian

Jumlah energi listrik terjual pada tahun 2010 sebesar 147.297,47 GWh, meningkat 9,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Kelompok pelanggan Industri mengkonsumsi 50.985,20 GWh (35%), Rumah Tangga 59.824,94 GWh (41%), Bisnis 27.157,22 GWh (18%), dan Lainnya (sosial, gedung pemerintah dan penerangan jalan umum) 9.330,11 GWh (6%). Penjualan energi listrik untuk semua jenis kelompok pelanggan yaitu Industri, Rumah Tangga, Bisnis dan Lainnya mengalami peningkatan masing-masing sebesar 10%, 9%, 9% dan 8%. Jumlah pelanggan pada akhir tahun 2010 sebesar 42.435.387 meningkat 6% dari akhir tahun 2009. Harga jual listrik rata-rata per kWh selama tahun 2010 sebesar Rp 699,09 lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar Rp 670,02.(Statistik PLN : 2010)

Selama tahun 2010, jumlah energi listrik produksi sendiri (termasuk sewa) sebesar 131.710,07 GWh, meningkat 9,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Beban puncak pada tahun 2010 mencapai 24.917,42 MW, meningkat 6,31% dibandingkan tahun sebelumnya (Statistik PLN : 2010).

Seringnya pemadaman listrik bergilir merupakan salah satu bukti kurangnya cadangan listrik. Pemadaman listrik bergilir ini tentu saja sangat merugikan semua kalangan terutama bagi orang-orang yang berkecimpung di bidang industri. Sebagai ilustrasi, tak kurang dari 50 ribu warga di Kota Palembang sepanjang Kamis, 15 September 2011, harus menjalani harinya tanpa penerangan listrik. Pemadaman selama 14 jam yang terjadi sejak pukul 07.00 pagi lantaran adanya perbaikan Gardu Induk Talang Kelapa. Sejumlah kalangan pengusaha di Kota Palembang mengeluhkan peningkatan frekuensi pemadaman bergilir di sepanjang jam kerja. Krisis listrik ini membuat beban yang harus ditanggung pengusaha semakin bertambah, mengingat dampak krisis global juga belum berakhir sampai sekarang.

 Solusi yang pernah ditawarkan

Sebelumnya, PLN berencana terus memperkuat sistem kelistrikan di wilayah Kota Palembang khusus nya daerah sepanjang aliran sungai Musi yang merupakan  daerah pusat industri dan perekonomian masyarakat kota Palembang. Beberapa Solusi penanganan krisis listrik tersebut seperti pemberian genset cadangan, dan pembelian listrik dari pihak swasta yaitu sumber energi listrik dari Pertamina dan PT.Pusri. (Sumatera Ekspres .8:2009). Namun Upaya tersebut di nilai kurang efektif dan terlalu banyak mengerluakan dana.

 Gagasan baru yang ditawarkan

                                                                                   

Sungai Musi adalah Sungai yang membelah kota Palembang menjadi dua bagian yaitu, seberang ulu dan seberang ilir. Arus air dan angin  yang kuat di atas permukaan Sungai Musi merupakan sumber energi kinetik yang tersia-sia. Jika kita lebih jeli melihat peluang serta potensi dari Sungai Musi, ini dapat dijadikan sebagai sumber energi untuk mengatasi krisis listrik terutama di Kota Palembang khususnya di Daerah Aliran Sungai Musi melaui teknologi tepat guna yaitu kincir double trap  yang di gerakan oleh arus air dan angin di atas permukaan Sungai Musi Palembang. 

a. Kincir Air trap Musi

Kincir air adalah sebuah alat berbentuk lingkaran yang dibangun di sungai. Alat ini berputar pada sumbunya karena adanya dorongan aliran air sungai yang cukup deras. Kincir air menggerakan sebuah turbin untuk menghasilkan energi listrik. Sebuah kincir air yang berskala kecil atau yang digerakan oleh air sungai dapat disebut juga dengan pembangkit listrik tenaga air mikrohidro (PLTMH).

Pembangkit listrik tenaga air pada dasarnya mengubah energi gerak menjadi arus listrik. Energi gerak tersebut dihasilkan melalui putaran roda kincir air yang bergerak dengan cara berputar mengikuti pergerakan arus air. Dari pergerakan kincir tersebut dihasilkan energi yang menggerakkan turbin. Turbin berperan mengubah energi air yang merupakan energi potensial yaitu energi kinetik menjadi energi mekanik dalam bentuk putaran poros. Putaran poros ini kemudian diubah oleh generator menjadi tenaga listrik.

b. Kincir angin trap Musi

Kincir angin adalah digerakkan oleh tenaga angin. Pada zaman dulu kincir angin digunakan untuk menumbuk biji-bijian/menggiling padi, memompa air, dan untuk mengairi sawah. Kincir angin modern adalah mesin yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik, disebut juga dengan turbin angin.

Pada Prinsipnya kincir angin bekerja sebagai “Penerima Energi”, artinya dia menerima energi (kinetik) dari angin dan merubahnya menjadi energi lain yang dapat digunakan seperti listrik. Angin yang datang akan menumbuk sayap kipas (baling-baling) pada kincir angin, sehingga sayap kipas akan berputar.

Kemudian sayap kipas akan memutar poros di dalam nacelle (berbentuk tabung di belakang sayap kipas kincir angin). Poros dihubungkan ke gearbox (semacam roda bergerigi), di gearbox kecepatan perputaran poros ditingkatakan dengan cara mengatur perbandingan roda gigi dalam gearbox. Gearbox dihubungkan ke generator yang akan merubah energi mekanik menjadi energi listrik. Dari generator energi listrik mengalir menuju transformer (alat yang digunakan untuk menaikkan atau menurunkan tegangan) untuk menaikan tegangannya.

Berdasarkan data dari WWEA (World Wind Energy Association), sampai dengan tahun 2007 perkiraan energi listrik yang dihasilkan oleh turbin angin mencapai 93.85 GigaWatts, menghasilkan lebih dari 1% dari total kelistrikan secara global.

Kincir angin trap Musi merupakan kincir angin yang memanfaatkan gerakan angin di atas permukaan air sungai Musi untuk menghasilkan energi listrik yang di dapat melalui gerakan turbin dari kincir angin.

  1. Kincir Double Trap Musi

Kincir Double Trap Musi (DT-M) merupakan gabungan kincir air dan kincir angin yang memanfaatkan energi kinetik yang merupakan energi potensial dari arus air sungai Musi dan arus angin di atas permukaan sungai Musi Palembang. Konsep menggabungkan kedua kincir ini, yang kami beri nama doble trap adalah berupaya mengoptimalkan ketersediaan energi potensial yang ada dengan cara yang efektif dan efisien.

Efektivitas menurut Siagian (2001), adalah pemanfaatan sumber daya dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atau jasa kegiatan yang dijalankannya. Untuk konteks kincir DT-M yang konsepnya kami ajukan ini, efektivitas yang dimaksud adalah

Gambar 1. Prototype kincir double trap Musi (DT-Musi) 

Perpaduan turbin air dan angin yang kemudian akan menggerakkan atau membangkitkan generator untuk menghasilkan listrik. Efektif karena; tidak akan ada pengangguran (iddle) nya sumber daya. Jika energi angin sedang tidak tersedia maka akan ditutupi (cover) oleh energi dari arus air, demikian pula sebaliknya. Harapan akan tersedia nya energi untuk membangiktkan listrik sepanjang tahun dapat terjamin. Prototipe dapat dilihat pada gambar1.

Pihak-pihak yang dapat mengimplementasikan gagasan

Gagasan ini dapat terwujud melalui partisipasi aktif pihak-pihak sebagai berikut :

Tabel 1. Identifikasi pelaksana, sumber dana dan program penerapan DT-M

Pelaksana

Sumber dana

Program yang diterapkan

Pemerintah kota

Alokasi dana APBN dan APBD pemerintah

Penggunaan Kincir double trap di kawasan daerah aliran sungai musi

Perusahaan Listrik Negara (PLN)

Alokasi dana dari PLN

Menberi pelatihan mengenai system konversi energy listrik

Masyarakat

Pengajuan usulan kepada perusahaan CSR

Pelatihan pemeliharaan kincir double trap kepada masyarkat

Perguruan tinggi/ mahasiswa

Dana pinjaman dengan bunga rendah dari bank milik pemerintah

Pelatihan & pelaksanaan pembuatan kincir double trap musi

Langkah-langkah strategis implementasi gagasan

 

Dalam realisasi gagasan diperlukan beberapa tahapan untuk menjamin gagasan Kincir DT-M mampu dieksekusi secara berkesinambungan. Berikut adalah tahapan yang disarankan. Tahapan tersebut dapat dianalogikan sebagai tonggak pencapaian yang disertai evaluasi dan improvisasi setiap waktu.

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah telaah teknis pada rancangan. Hal ini terkait dengan penentuan desain yang paling optimal, besar energi yang dapat dihasilkan oleh Kincir DT-M. Langkah ini dapat dilakukan oleh pihak yang berminat untuk realisasi gagasan ini lebih lanjut disertai dukungan dana maupun teknologi dari pemerintah serta perguruan tinggi. Keluaran yang diharapkan dari langkah ini adalah kelayakan teknologi.

Langkah kedua yang adalah uji coba di lapangan terbatas. Langkah ini dapat berupa serangkaian percobaan terhadap Kincir Double Trap Musi.  Langkah ini dapat dieksekusi oleh lembaga resmi yang memiliki kewenangan seperti BPPT, pemerintah daerah, atau perguruan tinggi. Keluaran yang diharapkan dari langkah ini adalah kelayakan implementasi secara luas.

Langkah ketiga yang dibutuhkan adalah sosialisasi lebih lanjut di masyarakat. Sosialisasi dapat berupa keikutsertaan gagasan ini dalam pameran-pameran teknologi, informasi di media cetak, pengenalan di sekolah-sekolah dasar, menengah, dan tinggi. Selain itu, sosialisasi dapat juga berupa pemakaian secara permanen kincir double trap Musi di daerah aliran sungai Musi Palembang. Langkah ini dapat dieksekusi oleh pemerintah, para ilmuwan, pers, dan masyarakat yang terlibat. Keluaran yang diharapkan dari langkah ini adalah meluasnya informasi mengenai gagasan ini di masyarakat.

Langkah selanjutnya adalah implementasi di lapangan secara luas disertai inovasi. Pemerintah, masyarakat, dan PLN merupakan eksekutor dari langkah ini. Hal tersebut baru akan terjadi saat efek positif dan kelayakan sudah benar-benar dirasakan. Itu merupakan dampak dari sosialisasi yang dilakukan pada langkah sebelumnya. Implementasi di lapangan ini diharapkan mampu memberikan kehidupan yang lebih baik di masyarakat.

 

 

Gambar 2. Flow chart tahapan rinci kegiatan

 IMPLEMENTASI

Inti Gagasan

 

Pemanfaatan potensi alam di sepanjang daerah aliran sungai Musi berupa energi kinetik dari arus air dan angin di atas permukaan sungai yang dikonversi menjadi energy listrik melaui kincir double trap Musi (DT-M) guna mengatasi krisis listrik dan mengoptimalkan kegiatan ekonomi masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai Musi yang merupakan daerah pusat kegiatan industri dan kegiatan perekonomian masyarakat Palembang.

Teknik Implementasi Gagasan

Gagasan pemanfaatan aliran arus dan angin diatas permukaan Sungai Musi Palembang untuk mengatasi krisis listrik ini dapat di implementasikan dengan baik apabila didukung oleh hal-hal strategis sebagai berikut :

  1. Melakukan pendekatan secara gradual (bertahap) kepada tokoh masyarakat sebagai awal pelaksanaan kerjasama dengan masyarakat
    1. Keikutsertaan masyarakat, pemerintah, dan universitas secara aktif dan terintegrasi.
    2. Adanya rasa saling membutuhkan dan bertanggung jawab atas keberhasilan projek DT-M yang akan dilakukan.
    3. Adanya dukung finansial dari para pemangku kebijakan yang terkait.
    4. Adanya dukungan teknis secara penuh dari PLN, dan Kementrian terkait.

 Prediksi Keberhasilan Gagasan

Gagasan pemanfaatan aliran arus dan angin diatas permukaan Sungai Musi Palembang untuk mengatasi krisis listrik tentunya memberikan efek positif terhadap kehiduapan masyarakat sepanjang daerah aliran sungai Musi Palembang terutama masyarakat yang mempunyai kegiatan usaha atau industri. Hal ini tentunya juga berdampak terhadap kegiatan ekonomi masyarakat yang teroptimalkan dengan sumber energi listrik yang di dapat dari kincir DT-M.

Jika gagasan ini di apliasikan dan diterapkan di sepanjang daerah aliran sungai Musi, maka krisis energi di daearah aliran sepanjang aliran sungai musi dapat teratasi dan bukan tidak mungkin daerah tersebut akan menjadi daerah mandiri dan tidak bergantung lagi kepada layanan listrik dari Perusahaan Listrik Negara.

Keberhasilan dari gagasan ini sangat tergantung dari komitmen para stackholder pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan. Secara teknis teknologi yang digunakan adalah teknologi tepat guna. Ini arti nya secara teknis dapat dilaksanakan karena simple dan sederhana nya teknologi yang dipakai.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Sungai Musi. http://id.wikipedia.org/. [7 februari 2012]

Anonim. 2009. Membuat Listrik dari Angin, Manfaatkan Potensi Alam yang Melimpah . http://lembagaenergihijau.blogspot.com. [14 februari 2012]

Anonim. 2009. Krisis Energy Listrik . http://id.wikipedia.org/. [12 februari 2012]

Anonim. 2009. Palembang . http://id.wikipedia.org/. [7 februari 2012]

Badan Statistik PLN. 2010. Neraca Daya . 2010 . http://www.pln.go.id. [7 Februari  2012]

Kompas. 2008. Artikel Pemadaman Bergilir Dalam Rangka Atasi Krisis Eergi. http://rizkypoenya.blog.uns.ac.id/. [7 Februari 2012]

Sumatera Ekspres. 2008. Pusat Grosir Kota Palembang. http:// //www.sumeks.co.id/. [7 Februari 2012]

Sumatera Ekspres. 2009. Krisis Listrik. http:// //www.sumeks.co.id/. [8 Februari 2012]

Siagian, Sondang P. 2001. Sistem Informasi Manajemen, Ed. 2. Bumi Aksara. Jakarta.