Penerapan pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Syariah

By on July 23rd, 2013. This post has No Comments »

PENERAPAN PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN (PSAK) – SYARIAH

Poppy Indriani

Dosen tetap pada Universitas Bina Darma

Jalan Jenderal Ahmad Yani No.12 Palembang

Pos-el: poppy_indriani@mail.binadarma.ac.id

________________________________________________________________________________

Abstract: This research intended to provide an understanding of the Islamic financial accounting standards. The purpose of this basic framework is used as a reference for the formulation of Islamic financial accounting standards in performing the tasks, the preparation of financial statements, as a reference in the auditor give an opinion and the users of financial statements. Islamic principles are the rules of Islamic law based on an agreement between the bank and another party to deposit funds or financing activities, or other activity that is expressed in accordance with sharia. In exercising the principles of sharia, Islamic banks also need to uphold the values of fairness, trust, partnership, transparency and mutual benefit for both the bank and the customer who is a pillar in muamalah activity. Therefore, the product should be provided to banking services can provide added value in improving employment opportunities and economic well-being of society which is based on Islamic values. In Indonesia, the main application of the principles stipulated in Bank Indonesia regulations and the Statement of Financial Accounting Standards (SFAS) No. 59 on Accounting for Islamic Banking (Amendment 2003).

 

Keywords: Statement Of Financial Accounting Standard-Islamic, Mudarabah, Musharakah, Salam Accounting, Istih’na

 

Abstrak:  Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman atas standar akuntansi keuangan syariah. Adapun tujuan kerangka dasar ini adalah  digunakan sebagai acuan bagi penyusunan standar akuntansi keuangan syariah dalam melaksanakan tugas, dalam penyusunan laporan keuangan, sebagai acuan auditor dalam memberikan pendapat dan para pemakai laporan keuangan. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Dalam menjalankan prinsip syariahnya, bank syariah juga harus menjunjung nilai-nilai keadilan, amanah, kemitraan, transparansi dan saling menguntungkan baik bagi bank maupun bagi nasabah yang merupakan pilar dalam melakukan aktivitas muamalah. Oleh karena itu, produk layanan perbankan harus disediakan untuk mampu memberikan nilai tambah dalam meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Di Indonesia, penerapan prinsip tersebut utamanya diatur dalam peraturan Bank Indonesia dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah (Revisi 2003).

 

Kata Kunci: Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan-Syariah, Mudarabah, Musyarakah, Akuntansi Salam, Istih’na.

 

 

1.             PENDAHULUAN

 

Islam sebagai agama yang universal dan komprehensif, sangat mampu menjawab problematika-problematika kehidupan manusia yang kompleks termasuk di dalamnya masalah perekonomian. Allah SWT berfirman (QS.17:9) “Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal kebajikan bahwa bagi mereka adalah pahala besar”. Sekarang bagaimana solusi Islam dalam menjawab permasalahan ekonomi umat?

Salah satu faktor penting dalam pembangunan suatu negara adalah adanya dukungan dari sistem keuangan yang sehat dan stabil, demikian pula dengan negara Indonesia. Sistem keuangan negara Indonesia sendiri terdiri dari tiga unsur, yakni sistem moneter, sistem perbankan dan sistem lembaga keuangan bukan bank.

Perkembangan perekonomian yang semakin kompleks tentunya membutuhkan ketersediaan dan peran serta lembaga keuangan. Kebijakan moneter dan perbankan merupakan bagian dari kebijakan ekonomi yang diarahkan untuk mencapai sasaran pembangunan. Oleh sebab itu peranan perbankan dalam suatu negara sangat penting. Lembaga keuangan menjadi sangat penting dalam memenuhi kebutuhan dana bagi pihak defisit dana dalam rangka untuk mengembangkan dan memperluas suatu usaha atau bisnis. Lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi berfungsi memperlancar mobilisasi dana dari pihak surplus dana ke pihak defisit dana.

Saat ini ada dua jenis lembaga keuangan yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, sedangkan lembaga keuangan bukan bank adalah lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat melalui penjualan surat-surat berharga. Bentuk dari lembaga keuangan bukan bank ini adalah modal ventura, anjak piutang, dana pensiun, dan pegadaian.

Lembaga keuangan perbankan merupakan lembaga keuangan yang bertugas menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat guna memenuhi kebutuhan dana bagi pihak yang membutuhkan, baik untuk kegiatan produktif maupun konsumtif. Lembaga perbankan di Indonesia telah terbagi menjadi dua jenis yaitu, bank yang bersifat konvensional dan bank yang bersifat syariah. Bank yang bersifat konvensional adalah bank yang pelaksanaan operasionalnya menjalankan sistem bunga (interest fee), sedangkan bank yang bersifat syariah adalah bank yang dalam pelaksanaan operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip syariah Islam. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.

Dalam menjalankan prinsip syariahnya, bank syariah juga harus menjunjung nilai-nilai keadilan, amanah, kemitraan, transparansi dan saling menguntungkan baik bagi bank maupun bagi nasabah yang merupakan pilar dalam melakukan aktivitas muamalah. Oleh karena itu, produk layanan perbankan harus disediakan untuk mampu memberikan nilai tambah dalam meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Di Indonesia, penerapan prinsip tersebut utamanya diatur dalam peraturan Bank Indonesia dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah (Revisi 2003). Kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan Bank Syariah yang berisi tentang tujuan akuntansi keuangan, tujuan laporan keuangan, asumsi dasar atas sistem pencatatan dasar aktual, karakteristik kualitatif laporan keuangan dan unsur laporan keuangan. Ternyata PSAK 59 tidak mampu bertahan lama, tahun 2006 muncul exposure draft akuntansi entitas syariah yang secukupnya lebih luas, yaitu PSAK 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah, PSAK 102 Akuntansi Murabahah, PSAK 103 Akuntansi Salam, PSAK 104 Akuntansi Istishna, PSAK 105 Akuntansi Mudharabah, dan PSAK 106 Akuntansi Musyarakah.

Bentuk pembiayaan perbankan berdasarkan prinsip syariah antara lain adalah berdasarkan prinsip jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati (murabahah), pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayarannya dilakukan di muka (salam), pembelian barang yang dilakukan dengan kontrak penjualan yang disepakati (istishna’), pemindahan hak guna atas barang dan jasa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ijarah), kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan modal 100% sedangkan pihak lain menjadi pengelola (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), jaminan yang diberikan oleh bank kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (kafalah), pengalihan hutang (hawalah), dan pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih dan diminta kembali (qardh).

Berdasarkan uraian d iatas maka permasalahan yang akan diteliti dari penelitian ini adalah “Penerapan Pernyataan Akuntansi Keuangan (PSAK)-Syariah”.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi berupa penerapan pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK)-Syariah. Adapun ruang lingkup penelitian ini yaitu membahas mengenai PSAK-Syariah No. 101 sampai dengan PSAK 106.

 

 

  1. 2.             METODOLOGI PENELITIAN

 

2.1         Kerangka Penelitian

 

Standar Akuntansi Keuangan (SAK) berbasis syariah telah dipisah dengan SAK-Konvensional atau yang lebih dikenal IFRS. Entitas yang melakukan kegiatan ekonomi berbasis syariah, berhak melakukan standar keuangan yang berbasis syariah, yaitu PSAK 101 sampai dengan PSAK 106.

 

2.2         Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

 

Data yang dikumpulkan oleh Penulis sebagai bahan penulisan ini menggunakan data sekunder. Adapun pengertian data sekunder akan dijelaskan secara singkat yaitu data sekunder adalah data penelitian yang menjadi landasan perbandingan melalui literatur-literatur yang relevan dengan objek yang diteliti maupun buku-buku bacaan lainnya yang berhubungan dengan judul penelitian.

Data sekunder dapat diperoleh melalui studi kepustakaan, teknik ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data sekunder atau data penunjang yang berfungsi sebagai landasan teori yang berguna untuk mendukung penelitian ini, penelitian ini dilakukan dengan mengkaji dan menelaah buku-buku yang berhubungan dengan PSAK-Syariah maupun ilmu cabang terapan syariah. Adapun hal seperti ini dapat dilakukan dengan cara mendatangi perpustakaan Universitas Bina Darma atau juga men-download artikel-artikel yang berjudul syariah.

 

 

  1. 3.             HASIL

 

3.1         Perbankan Syariah

 

Pengertian bank menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008 yaitu “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat”.

Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.31, bank didefinisikan sebagai berikut: Bank adalah lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan antara pihak yang memiliki dana serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.

Sedangkan pengertian bank syariah menurut UU No. 21 Tahun 2008 dalam pasal (1) yaitu: bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan syariah.

 

3.2         Landasan Hukum Bank Syariah

 

Bank Syariah mempunyai beberapa landasan. Landasan hukum dari bank syariah dapat diuraikan berikut ini:

1)      Landasan Syariah

Landasan syarian pertama adalah berdasarkan Al-Qur’an. Ketentuan dalam Al-Qur’an yang mengharuskan umat Islam untuk melakukan investasi dan perdagangan ada dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah (2:275): “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka yang diambilnya dahulu (sebelum, datang larangan) dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal didalamnya. (Q.S. Al Baqarah (2):275)”.

Serta dalam Q.S. Ali Imran (3:130) yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Ali Imran (3:130)”.

Landasan syariah kedua adalah berdasarkan Al Hadist. Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah”.

 

2)      Landasan Hukum

Pemberian landasan hukum bagi beroperasinya perbankan syariah dalam perubahan UU No. 14 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Perbankan menjadi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah dicantumkan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan perbankan dengan prinsip bagi hasil yang selanjutnya diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank dan Bagi Hasil.

Setelah UU No. 7 Tahun 1992 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dapat dilihat jelas tentang Bank Syariah, karena pada undang-undang ini sudah tercantum kata-kata Bank Syariah. Bahkan Pasal 1 angka 3 menetapkan bahwa salah satu bentuk usaha adalah menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Namun selebihnya, menurut undang-undang tersebut Bank Syariah harus tunduk pada seluruh peraturan Bank Umum yang berlaku, yang pada umumnya belum mengakomodir keunikan Bank Syariah. Bank Indonesia selaku pemegang otoritas perbankan di Indonesia bertugas menjaga kestabilan sistem dan menjamin kepatuhan perbankan syariah terhadap prinsip-prinsip syariah. Bank Indonesia mengeluarkan beberapa produk hukum, terkait dengan instrumen pengaturan kegiatan Perbankan Syariah.

Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berdasarkan nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Begitu juga dengan kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah yang semakin meningkat, dikarenakan perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional, serta UU No. 7 Tahun 1992 yang telah diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, belum spesifik mengatur mengenai perbankan syariah, maka dibentuklah UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini, mengatur tentang perbankan yang berdasarkan prinsip syariah sehingga perbankan syariah telah mempunyai kedudukan hukum yang jelas di Indonesia.

 

3.3         Tujuan dan Keistimewaan Bank Syariah

 

Bank-bank syariah dibentuk dengan tujuan: 1) Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara Islam khususnya muamalah yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur haram dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam, juga menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi umat. 2) Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi, dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar, antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan modal. 3) Untuk meningkatkan kualitas hidup umat, dengan jalan membuka peluang usaha yang lebih besar terutama kepada kelompok miskin yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian berusaha. 4) Untuk membantu menanggulangi (mengentaskan garis kemiskinan), yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama. 5) Untuk menjaga kestabilan ekonomi dan moneter pemerintah. Dengan aktivitas-aktivitas bank syariah yang diharapkan mampu menghindarkan inflasi akibat penerapan sistem bunga, menghindarkan persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan, khususnya bank dan menanggulangi kemandirian lembaga keuangan, khususnya bank dari pengaruh gejolak moneter baik dari dalam maupun luar negeri. 6) Untuk menyelamatkan ketergantungan umat islam terhadap bank non-islam yang menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan bank, sehingga umat Islam tidak bisa melaksanakan ajaran agamanya secara penuh, terutama di bidang kegiatan bisnis dan perekonomiannya.

Bank Syariah memiliki keistimewaan-keistimewaan yang juga merupakan perbedaan jika dibandingkan dengan bank konvensional. Sumitro (2004:22) memberikan pemahamannya mengenai keistimewaan bank syariah: 1) Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang saham, pengelola bank dan nasabahnya. 2) Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, akan menimbulkan akibat-akibat yang positif. 3) Di dalam Bank Syariah, tersedia fasilitas kredit kebaikan (al-Qardhul Hasan) yang diberikan secara cuma-cuma. 4) Keistimewaan yang paling menonjol dari bank syariah adalah melekat pada konsep (built in concept). 5) Keistimewaan lain bank syariah adalah dengan penerapan sistem bagi hasil berarti tidak membebani biaya diluar kemampuan nasabah dan akan menjamin adanya keterbukaan. 6) Adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan ekonomi masyarakat modern cenderung menimbulkan pengeksploitasian kelompok kuat (kuat ekonomi dan politik) dan kelompok lemah. Kenyataan ini menimbulkan reaksi balik dari kelompok lemah yang mayoritas untuk berkreasi bagi munculnya kehidupan ekonomi yang berkeadilan .

 

3.4         Akuntansi Syariah vs. Akuntansi Konvensional

 

Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al-Qur’an, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah akuntansi konvensional. Kaidah-kaidah akuntansi syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat Islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan akuntansi tersebut.

Persamaan kaidah akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut: 1) Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi; 2) Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan; 3) Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal; 4) Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang; 5) Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya); 6) Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan; 7) Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah,  terdapat pada beberapa hal. Pertama, para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas.

Kedua, modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang.

Ketiga, dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai.

Keempat, konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko.

Kelima, konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal.

Keenam, konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem akuntansi syariah islam dengan akuntansi konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

 

3.5         Landasan PSAK 59

 

Akuntansi Perbankan Syariah di Indonesia berpedoman terhadap PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 59 yang diadobsi dari AAOIFI singkatan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions, lembaga regulasi keuangan Islam internasional yang berkedudukan di Abu Dhabi, UEA. AAOIFI telah mengeluarkan Standar Akuntansi dan Auditing untuk lembaga keuangan Islam (Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions) tahun 1998.

PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 59 merupakan pernyataan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengenai Akuntansi Perbankan Syari’ah. Standar ini banyak merujuk pada AAOIFI.

 

3.6         Pemahaman PSAK 59

 

Sebagaimana telah dijelaskan di dalam kerangka teori, yang berupa pengertian bank, pengertian syariah serta perbedaan antara bank konvensional dengan bank syariah, serta pengadobsian PSAK 59 berdasarkan AAOIFI singkatan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions). Akhirnya di Indonesia pada awal 1992-2002 atau 10 tahun Bank Syariah tidak memiliki PSAK khusus. Para ahli dan pakar praktisi akhirnya mengesahkan PSAK 59 sebagai dasar hukum dari standar akuntansi perbankan syariah di Indonesia.

Produk DSAK – IAI ini perlu diacungkan jempol dan merupakan awal dari pengakuan dan eksistensi Akuntansi Syariah di Indonesia. PSAK ini disahkan tgl 1 Mei 2002, berlaku mulai 1 Januari 2003 atau pembukuan yang berakhir tahun 2003. Berlaku hanya dalam tempo 5 tahun.

Berdasarkan pernyataan yang dikutip dari SAK Mei 2002, menjelaskan tentang: “PSAK No.59 adalah awal lahirnya standar mengenai akuntansi syariah. PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada tanggal 1 Mei 2002. Walaupun PSAK 59 sudah tidak berlaku lagi, namun inilah tonggak dari keperluan kita akan akuntansi syariah”.

Adapun inti dari PSAK 59 yaitu pernyataan ini bertujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi (pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan) transaksi khusus yang berkaitan dengan aktivitas bank syariah. Ruang lingkup dalam pernyataan ini diterapkan untuk bank umum syariah, bank perkreditan rakyat syariah, dan kantor cabang syariah bank konvensional yang beroperasi di Indonesia. Hal-hal umum yang tidak diatur dalam pernyataan ini mengacu pada PSAK yang lain dan/atau prinsip akuntansi yang berlaku umum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Pernyataan ini bukan merupakan pengaturan penyajian laporan keuangan sesuai permintaan khusus (statutory) pemerintah, lembaga pengawas independen, dan bank sentral (Bank Indonesia).

Laporan keuangan bank syariah yang lengkap terdiri atas beberapa komponen yaitu neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan penggunaan dana zakat, infak, dan shadaqah, laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan, dan catatan atas laporan keuangan.

Pernyataan ini berlaku untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2003. Penerapan lebih dini dianjurkan.

 

3.7         Pencabutan PSAK 59

 

Setelah 10 tahun perbankan Indonesia tidak mempunyai standar akuntansi syariah, akhirnya pada 1 Mei 2002, disahkanlah PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah. Masa berlaku PSAK 59 ini terbilang lama, dan belum ada revisi dalam kurun waktu tersebut.

PSAK ini hanya berlaku selama 5 tahun dan akhirnya dibentuklah standar khusus akuntansi syariah. Ada beberapa alasan mengapa PSAK 59 ini dicabut, yaitu: 1) PSAK 59 ini dianggap tidak dapat mengakomodir perkembangan akuntansi syariah yang semakin pesat, 2) Akuntansi syariah bukan hanya terbatas terhadap penyajian laporan keuanganan saja, tetapi sangatlah luas, meliputi beberapa hukum syariah. 3) Perbankan syariah sudah tumbuh dan sangat berkembang pesat, sehingga dibutuhkan suatu standar yang lebih baik. 4) Dibutuhkan suatu standar khusus mengenai perbankan syariah, walaupun standar tersebut masih merupakan bagian dari SAK. 5) Pengkhususan standar akuntansi khusus syariah merupakan langkah serius dalam mengembangkan perekonomian di Indonesia, khususnya perbankan syariah. 60 Dengan adanya standar khusus syariah, diharapkan dapat menarik minat investor untuk menanamkan.

 

3.8         Penerbitan Standar Akuntansi  Khusus Syariah

 

Seiring dengan berjalannya waktu, ekonomi syariah pun mulai menjadi salah satu fokus di dalam lembaga keuangan, yang tidak lagi hanya sebagai alternatif atas kekurangan ekonomi konvensional, tetapi sudah menjadi perekonomian solutif dalam memecahkan persoalan ekonomi. Oleh karena itu, keberadaan akuntansi syariah mutlak diperlukan untuk mengimbangi laju perkembangan ekonomi syariah ini.

Keberadaan PSAK Syariah yang baik akan mendorong terciptanya sistem akuntansi yang baik pula, sehingga akan tersedia informasi yang dapat dipercaya. peran keberadaan PSAK Syariah yang matang, berimbas pada perkembangan Lembaga Keuangan Syariah.

Hingga saat ini Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah menerbitkan 9 (sembilan) PSAK Syariah yaitu: penyajian laporan keuangan syariah, akuntansi murabahah, akuntansi salam, akuntansi istishna, akuntansi mudharabah, akuntansi musyarakah, akuntansi ijarah, asuransi syariah, dan akuntansi, zakat, infak & sedekah (belum di terbitkan namun sudah disahkan).

 

3.9         Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah

 

Kerangka dasar ini menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi para penggunanya. Tujuan kerangka dasar ini adalah untuk digunakan sebagai acuan bagi: 1) Penyusun standar akuntansi keuangan syariah, dalam pelaksanaan tugasnya; 2) Penyusun laporan keuangan, untuk menanggulangi masalah akuntansi syariah yang belum diatur dalam standar akuntansi keuangan syariah; 3) Auditor, dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan keuangan disusun sesuai dengan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum; dan 4) Para pemakai laporan keuangan, dalam menafsirkan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan syariah.

 

 

 

3.10     PSAK 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah

 

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur penyajian dan pengungkapan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statements) untuk entitas syariah, yang selanjutnya disebut “laporan keuangan”, agar dapat dibandingkan baik dengan laporan keuangan entitas syariah periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas syariah lain.

Ruang Lingkup Pernyataan ini diterapkan dalam penyajian laporan keuangan entitas syariah untuk tujuan umum yang disusun dan disajikan sesuai dengan PSAK. Entitas syariah yang dimaksud di PSAK ini adalah entitas yang melaksanakan transaksi syariah sebagai kegiatan usaha berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang dinyatakan dalam anggaran dasarnya.

Pernyataan ini bukan merupakan pengaturan penyajian laporan keuangan sesuai permintaan khusus (statutory) seperti pemerintah, lembaga pengawas independen, bank sentral, dan sebagainya.

Laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas syariah yang meliputi aset, b) kewajiban, dana syirkah temporer, ekuitas, pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian, arus kas, dana zakat, dan dana kebajikan.

Pernyataan ini berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas syariah yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang berhubungan dengan pengaturan penyajian laporan keuangan bank syariah.

Hal ini untuk meningkatkan daya banding antara entitas syariah dan entitas konvensional (yang menggunakan PSAK 1 (revisi 2009) dan efektif 1 Januari 2011) dan adanya keterkaitan penyajian laporan keuangan dengan SAK.

 

3.11     PSAK 102 Akuntansi Murabahah

 

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi mudharabah. Ruang Lingkup Pernyataan ini diterapkan untuk entitas yang melakukan transaksi mudharabah baik sebagai pemilik dana (shahibul maal) maupun pengelola dana (mudharib).

Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana.

Adapun karakteristik akuntansi murabahah adalah 1) Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli. 2) Jika aset yang telah dibeli penjual mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan ke pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi tanggungan penjual dan akan mengurangi nilai akad. 3) Akad murabahah memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda sebelum akad murabahah dilakukan. Namun jika akad tersebut telah disepakati, maka hanya ada satu harga (harga dalam akad) yang digunakan. 4) Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual, sedangkan biaya perolehan harus diberitahukan. Jika penjual mendapat diskon sebelum akad murabahah, maka diskon itu merupakan hak pembeli. 5) Penjual dapat meminta pembeli menyediakan agunan atas piutang murabahah, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari penjual dan atau aset lainnya. 6) Penjual dapat meminta uang muka kepada pembeli sebagai bukti komitmen pembelian sebelum akad disepakati. Uang muka penjadi bagian pelunasan piutang murabahah, jika akad murabahah disepakti. Jika akad murabahah batal, maka uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah dikurangi kerugian rill yang ditanggung oleh penjual. Jika uang muka itu lebih kecil dari kerugian, maka penjual dapat meminta tambahan dari pembeli. 7) Jika pembeli tidak dapat menyelesaikan piutang murabahah sesuai dengan yang diperjanjikan, maka penjual dapat mengenakan denda kecuali dapat dibuktikan bahwa pembeli tidak atau belum mampu melunasi disebabkan oleh force majeur. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu membuat pembeli lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana kebajikan. 8) Penjual boleh memberikan potongan pada saat pelunasan piutang murabahah. 9) Penjual boleh memberikan potongan dari total piutang murabahah yang belum dilunasi.

Pernyataan ini berlaku efektif untuk laporan keuangan entitas yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah, yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan mudharabah.

 

3.12     PSAK 103 Akuntansi Salam

 

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi salam. Ruang lingkup pernyataan ini diterapkan untuk entitas yang melakukan transaksi salam, baik sebagai penjual atau pembeli.

Salam adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu.

Adapun karakteristik akuntansi salam, yaitu:  1) Entitas dapat bertindak sebagai pembeli dan/atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika entitas bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam, maka hal ini disebut salam paralel. Salam paralel dapat dilakukan dengan syarat: akad antara entitas (sebagai pembeli) dan produsen (penjual) terpisah dari akad antara entitas (sebagai penjual) dan pembeli akhir; dan kedua akad tidak saling bergantung (ta’alluq). 2) Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Dalam hal bertindak sebagai pembeli, entitas dapat meminta jaminan kepada penjual untuk menghindari risiko yang merugikan. 3) Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus bertanggungjawab atas kelalaiannya. 4) Alat pembayaran harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa kas, barang, atau manfaat. Pelunasan harus dilakukan pada saat akad disepakati dan tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang penjual atau penyerahan piutang pembeli dari pihak lain. 5) Denda yang diterima oleh pembeli diakui sebagai bagian dana kebajikan.

Pernyataan ini berlaku efektif untuk laporan keuangan entitas yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah, yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi salam.

 

3.12     PSAK 104 Akuntansi Istishna’

 

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi istishna’. Ruang lingkup pernyataan ini diterapkan untuk lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang melakukan transaksi istishna’, baik sebagai penjual maupun pembeli.

Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).

Berdasarkan akad istishna’, pembeli menugaskan penjual untuk menyediakan barang pesanan (mashnu’) sesuai spesifikasi yang disyaratkan untuk diserahkan kepada pembeli, dengan cara pembayaran di muka atau tangguh. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad.

Adapun Karakteristik Akuntansi Istishna’ adalah 1) Berdasarkan akad istishna’, pembeli menugaskan penjual untuk menyediakan barang pesanan (mashnu’) sesuai spesifikasi yang disyaratkan untuk diserahkan kepada pembeli, dengan cara pembayaran dimuka atau tangguh. 2) Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. 3) Barang pesanan harus memenuhi kriteria: memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati; sesuai dengan spesifikasi pemesan (customized), bukan produk massal; dan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. 4) Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang diserahkan salah atau cacat maka penjual harus bertanggung jawab atas kelalaiannya. 5) Entitas dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna’. Jika entitas bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain (produsen atau kontraktor) untuk membuat barang pesanan juga dengan cara istishna’ maka hal ini disebut istishna’ paralel. 6) Istishna’ paralel dapat dilakukan dengan syarat akad pertama, antara entitas dan pembeli akhir, tidak bergantung (mu’allaq) dari akad kedua, antara entitas dan pihak lain. 7) Pada dasarnya istishna’ tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi: kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya; atau akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad. 8) Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas:jumlah yang telah dibayarkan; dan penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.

Pernyataan ini berlaku efektif untuk laporan keuangan entitas yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah, yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi istishna’.

 

3.13     PSAK 105 Akuntansi Mudharabah

 

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi mudharabah. Ruang lingkup pernyataan ini diterapkan untuk entitas yang melakukan transaksi mudharabah baik sebagai pemilik dana (shahibul maal) maupun pengelola dana (mudharib).

Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana.

Adapun karakteristik Akuntansi Mudharabah: 1) Entitas dapat bertindak baik sebagai pemilik dana atau pengelola dana. 2) Mudharabah terdiri dari mudharabah muthlaqah, mudharabah muqayyadah, dan mudharabah musytarakah. Jika entitas bertindak sebagai pengelola dana, maka dana yang diterima disajikan sebagai dana syirkah temporer. 3) Dalam mudharabah muqayadah, contoh batasan antara lain: tidak mencampurkan dana pemilik dana dengan dana lainnya; tidak menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa penjamin, atau tanpa jaminan; atau mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga. 4) Pada prinsipnya dalam penyaluran mudharabah tidak ada jaminan, namun agar pengelola dana tidak melakukan penyimpangan maka pemilik dana dapat meminta jaminan dari pengelola dana atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. 5) Pengembalian dana mudharabah dapat dilakukan secara bertahap bersamaan dengan distribusi bagi hasil atau secara total pada saat akad mudharabah diakhiri. 6) Jika dari pengelolaan dana mudharabah menghasilkan keuntungan, maka porsi jumlah bagi hasil untuk pemilik dana dan pengelola dana ditentukan berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil usaha yang diperoleh selama periode akad. Jika dari pengelolaan dana mudharabah menimbulkan kerugian, maka kerugian finansial menjadi tanggungan pemilik dana.

 

3.14     Prinsip Pembagian Hasil Usaha

 

Pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil atau bagi laba. Jika berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dasar pembagian hasil usaha adalah laba bruto (gross profit) bukan total pendapatan usaha (omset). Sedangkan jika berdasarkan prinsip bagi laba, dasar pembagian adalah laba neto (net profit) yaitu laba bruto dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah.

Pernyataan ini berlaku efektif untuk laporan keuangan entitas yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah, yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan mudharabah.

 

3.14.1    PSAK 106 Akuntansi Musyarakah

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi musyarakah. Ruang lingkup pernyataan ini diterapkan untuk entitas yang melakukan transaksi musyarakah. Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah (sukuk) yang menggunakan akad musyarakah.

Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. Dana tersebut meliputi kas atau aset nonkas yang diperkenankan oleh syariah.

Karakteristik akuntansi musyarakah adalah 1) Para mitra (syarik) bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai suatu usaha tertentu dalam musyarakah, baik usaha yang sudah berjalan maupun yang baru. Selanjutnya salah satu mitra dapat mengembalikan dana tersebut dan bagi hasil yang telah disepakati nisbahnya secara bertahap atau sekaligus kepada mitra lain. 2) Investasi musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas, atau aset nonkas. 3) Karena setiap mitra tidak dapat menjamin dana mitra lainnya, maka setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang disengaja. Beberapa hal yang menunjukkan adanya kesalahan yang disengaja adalah pelanggaran terhadap akad, antara lain, penyalahgunaan dana investasi, manipulasi biaya dan pendapatan operasional; atau pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. 4) Jika tidak terdapat kesepakatan antara pihak yang bersengketa maka kesalahan yang disengaja harus dibuktikan berdasarkan keputusan institusi yang berwenang. 5) Keuntungan usaha musyarakah dibagi di antara para mitra secara proporsional sesuai dengan dana yang disetorkan (baik berupa kas maupun aset nonkas) atau sesuai nisbah yang disepakati oleh para mitra.  Sedangkan kerugian dibebankan secara proporsional sesuai dengan dana yang disetorkan (baik berupa kas maupun aset nonkas). 6) Jika salah satu mitra memberikan kontribusi atau nilai lebih dari mitra lainnya dalam akad musyarakah maka mitra tersebut dapat memperoleh keuntungan lebih besar untuk dirinya. Bentuk keuntungan lebih tersebut dapat berupa pemberian porsi keuntungan yang lebih besar dari porsi dananya atau bentuk tambahan keuntungan lainnnya. 7) Porsi jumlah bagi hasil untuk para mitra ditentukan berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil usaha yang diperoleh selama periode akad, bukan dari jumlah investasi yang disalurkan. 8) Pengelola musyarakah mengadministrasikan transaksi usaha yang terkait dengan investasi musyarakah yang dikelola dalam catatan akuntansi tersendiri.

 

Prinsip Pembagian Hasil Usaha

Untuk pertanggungjawaban pengelolaan usaha musyarakah dan sebagai dasar penentuan bagi hasil, maka mitra aktif atau pihak yang mengelola usaha musyarakah harus membuat catatan akuntansi yang terpisah untuk usaha musyarakah tersebut.

Pernyataan ini berlaku efektif untuk laporan keuangan entitas yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan musyarakah.

  1. 4.             SIMPULAN

 

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Adapun landasan hukum bank syariah yaitu berdasarkan landasan syariah yang terdapat di dalam Al Qur’an dan Al Hadist serta berlandaskan hukum UU No. 21 Tahun 2008.

Akuntansi Perbankan Syariah di Indonesia berpedoman terhadap PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 59 yang diadobsi dari AAOIFI, lembaga regulasi keuangan Islam internasional yang berkedudukan di Abu Dhabi, UEA. AAOIFI telah mengeluarkan Standar Akuntansi dan Auditing untuk lembaga keuangan Islam (Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions) tahun 1998. PSAK ini disahkan tgl 1 Mei 2002, berlaku mulai 1 Januari 2003 atau pembukuan yang berakhir tahun 2003. Berlaku hanya dalam tempo 5 tahun.

Ada beberapa alasan mengapa PSAK 59 ini dicabut, yaitu PSAK 59 ini dianggap tidak dapat mengakomodir perkembangan akuntansi syariah yang semakin pesat, akuntansi syariah dan dunia perbankan syariah tumbuh dan berkembang pesat sehingga dibutuhkan suatu standar khusus mengenai akuntansi dan perbankan syariah.

 

 

 

 

DAFTAR RUJUKAN

 

 

Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. PSAK 101 : Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Online. (http://google.co.id/PSAK_101.wrd/, diakses 17 Oktober 2010)

 

Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. PSAK 102 : Akuntansi Murabahah. Online. (http://google.co.id/PSAK_102.pdf/, diakses 17 Oktober 2010).

 

Ikatan Akuntan Indonesia, 2007. PSAK 103 : Akuntansi Salam. From: http://google.co.id/PSAK_103.pdf/ 17 Oktober 2010).

 

Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. PSAK 104 : Akuntansi Istishna. Online. (http://google.co.id/PSAK_104.pdf/, diakses 17 Oktober 2010).

 

Ikatan Akuntan Indonesia, 2007. PSAK 106 : Akuntansi Musyarakah. Online.  (http://google.co.id/PSAK_106.pdf/, diakses 17 Oktober 2010).

 

Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan Per Juli 2009. Salemba Empat. Jakarta.

 

Ikatan Akuntan Indonesia. 2011. SAK Update 2011 dan SAK Khusus Syariah. Online.  (http://www.google.com/SAK_khusus_syariah/, diakses 03 Oktober 2011)

 

Syahatah, Husein. dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam.

 

Read full story »

Filed Under:Uncategorized

Letter of credit sebagai alat jaminan bukti pembayaran guna mengurangi resiko kerugian transaksi eksport batubara

By on July 23rd, 2013. This post has No Comments »

LETTER OF CREDIT SEBAGAI ALAT JAMINAN PEMBAYARAN GUNA MENGURANGI RISIKO KERUGIAN TRANSAKSI EKSPOR BATUBARA

 

Poppy Indriani

Dosen Universitas Bina Darma

Jalan Jenderal Ahmad Yani No.12 Palembang

poppy_indriani@mail.binadarma.ac.id

 

Abstract: PT Bukit Asam (Persero) Tbk. is one of the largest coal exporter in the world. as a coal exporter companies, The Indonesia government also strongly support the presence of PT Bukit Asam (Persero) Tbk. is regulated by holding that aims to increase the volume and quantity of goods in order to increase competitiveness in the international market. Dealing with such matter and relation to international trade in which each party was in a different  state, would have a greater risk than domestic trade. This is a concern by Letter of Credit Payment as guarantee of payment from buyer’s tool is the method by PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. in order to reduce loses on sale of coal export. Some factors that may present a risk to fulfillment of payment obligation  by importers including political, economic, and finance condition of parties concerned.

 

Keywords: Letter of Credit as Payment Security Investment, political, economic, and  finance condition

 

Abstrak: PT. Bukit Asam (Persero) Tbk merupakan salah satu perusahaan terbesar pengekspor batubara  di dunia.. Pemerintah Indonesia pun sangat mendukung dengan keberadaan PT. Bukit Asam (Persero) Tbk dengan mengadakan diregulasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume dan mutu barang dalam rangka peningkatan daya saing di pasaran internasional. Berhubungan dengan hal tersebut, dan dalam hubungannya dengan perdagangan Internasional di mana masing-masing pihak berada di negara yang berlainan, tentunya memiliki resiko yang besar dibandingkan dengan perdagangan dalam negeri. Hal inilah yang menjadi perhatian bahwa pembayaran dengan Letter of Credit sebagai alat jaminan pembayaran dari pembeli merupakan metode yang digunakan oleh PT Bukit Asam (Persero) Tbk guna mengurangi kerugian atas transaksi penjualan ekspor batubara.  Beberapa faktor yang dapat menimbulkan resiko guna pemenuhan kewajiban pembayaran oleh importir diantaranya adalah keadaan politik, perekonomian, dan kondisi keuangan pihak-pihak yang terkait.

 

Kata kunci: Letter of Credit sebagai Alat Jaminan Pembayaran, keadaan politik, perekonomian, dan kondisi keuangan.


  1. PENDAHULUAN

 

PT Bukit Asam (Persero) Tbk merupakan salah satu perusahaan produsen batubara milik pemerintah yang memiliki peran dalam sirkulasi kegiatan ekspor  batubara di Indonesia. Didukung dengan tiga dermaga khusus pengapalan batubara yaitu Unit Dermaga Teluk Bayur, Unit Dermaga Kertapati dan Pelabuhan Tarahan, diharapkan PT. Bukit Asam (Persero) Tbk bisa memaksimalkan penjualan  hasil produksinya baik untuk keperluan domestik maupun ekspor.

Sejalan dengan era globalisasi di bidang perdagangan dewasa ini setiap Negara akan tetap survive dalam bidang ekonomi khususnya perdagangan Internasional dengan memaksimalkan kemampuan dan peningkatan ekspornya,  Negara Indonesia, melalui salah satu perusahaan pemerintah yaitu  PT Bukit Asam (Persero) Tbk pun  telah mengupayakan dengan cara menggali potensi kandungan alam yang berlimpah.  Potensi alam yang berlimpah merupakan faktor langsung yang selalu diusahakan untuk lebih meningkatkan perdagangan khususnya di bidang ekspor, sedangkan faktor tidak langsung yang tidak kalah pentingnya dan merupakan sarana pendukung ekspor antara lain berupa fasilitas dari birokrasi pemerintah.

Bagi pemerintah Indonesia sendiri faktor pendukung tidak langsung ini perlu ditingkatkan guna mendukung perdagangan Internasional di bidang ekspor dengan mengadakan berbagai deregulasi yang  bertujuan untuk meningkatkan volume dan mutu barang ekspor dengan menghilangkan kendala di dalam rangka meningkatkan daya saing barang ekspor di pasaran  manca Negara.  Sedangkan  faktor  langsung berkaitan dengan bagaimana upaya pemerintah mendukung tercapainya angka ekspor yang meningkat setiap tahunnya.

Berhubungan dengan hal tersebut, dan dalam hubungannya dengan perdagangan Internasional dimana masing-masing pihak berada di Negara yang berlainan, tentunya memiliki resiko yang besar dibandingkan dengan perdagangan dalam negeri.

Beberapa faktor yang dapat menimbulkan resiko guna pemenuhan kewajiban pembayaran diantaranya adalah keadaan politik, perekonomian, dan kondisi keuangan pihak-pihak yang terkait. Berdasar kepada pemikiran tersebut bagi Negara pengekspor (eksportir) maupun Negara penerima (importer) akan mengusahakan agar metode pembayaran yang digunakan dapat menjamin kepentingannya masing-masing. Namun demikian, dalam prakteknya mekanisme pembayaran yang disepakati tergantung kepada beberapa hal antara lain adalah posisi negosiasi dari para pihak dan tingkat hubungan antara importer dan eksportir.

Mekanisme pembayaran Internasional yang berlaku tersebut terdapat unsur kerugian dan keuntungan yang dapat mengakibatkan para pihak terkait harus menimbang cara mana yang paling sesuai dan disepakati kedua belah pihak yakni pembeli dan penjual.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat judul Letter Of Credit Sebagai Alat Jaminan Pembayara Guna Mengurangi Resiko Kerugian Transaksi Ekspor Batubara pada PT Bukit Asam (Persero) Tbk”.

Agar penulisan penelitian  ini  menjadi lebih terarah dan tidak menyimpang dari permasalahan pokok, maka penulis membatasi ruang lingkup masalah yang akan dibahas yaitu Analisis Sistem Pembayaran dengan Letter Of Credit Guna Mengurangi Risiko Kerugian Transaksi Ekspor Batubara pada PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Periode Tahun 2008 sampai dengan 2010”.

 

 

  1. METODOLOGI PENELITIAN

 

2.1         Objek Penelitian

 

PT Bukit Asam (Persero) Tbk. merupakan salah satu perusahaan pertambangan batubara yang diakui keberadaannya di seluruh dunia. Sebagai salah satu negara pengeskpor batubara terbesar yang sudah mempunyai kredibilitas yang dapat diperhitungkan  keberadaannya di manca negara, pihak manajemen perusahaan  tidak pernah berhenti untuk mencari informasi yang akurat,  bersifat membangun dan kompetensi dalam  upaya menjaga transaksi yang dilaksanakan aman, lancar dan menguntungkan perusahaan dimasa sekarang maupun masa yang akan datang.

 

2.2         Metode Penelitian 

 

2.2.1   Operasional Variabel

Operasional variabel yang digunakan adalah variabel independen dan variabel dependen.Variabel independen yaitu variabel yang mempengaruhi variabel lainnya atau yang disebut variabel bebas. Dalam hal ini variabel indepedennya adalah perdagangan barang atau jasa (sales contract) sedangkan variabel dependennya adalah sistem pembayarannya menggunakan Letter of Credit.

Tabel 1. Operasional Variabel

 

Variabel

 

Definisi

 

Indikator

 (X )

Letter of Credit

Merupakan perjanjian bank untuk melakukan pembayaran atas transaksi penjualan batubara
  • Sebagai alat jaminan
  • Metode yang paling baik
( Y )

Penerimaan pembayaran tepat waktu

Tujuan akhir dari proses ekspor batubara  

Laba / Rugi

 

 

2.2.2   Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk menunjang keberhasilan dan efektifitas penelitian, penulis memerlukan data-data yang bersumber pada keadaan di lapangan atau pun sember lain dengan pemisahan secara garis besar antara data primer dan data sekunder.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan:

1)      Data primer

Yaitu data-data  yang dikumpulkan secara langsung dari objek yang diteliti, dalam hal ini adalah PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Unit Dermaga Kertapati. Data primer dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu 1) Wawancara atau interview. Yaitu mengadakan wawancara langsung dengan pimpinan atau karyawan  perusahaan  yang  berhubungan dengan  masalah yang diteliti oleh penulis, agar   informasi yang didapat sesuai dengan penulisan. Pimpinan  yang dimaksud   adalah  Asisten  Manajer  Akuntansi  Piutang  yaitu  Bapak M. Nuh yang membawahi satuan kerja penjualan batubara baik tujuan luar negeri maupun domestik. Begitu juga dengan karyawan yang terlibat langsung dengan  proses  penjualan  batubara,   yaitu  dari mulai operator, admonistrator penjualan dan supervisor pengapalan ke tongkang. Informasi dan data yang diperoleh benar-benar merupakan riil (nyata), sehingga penulis berkeyakinan bahwa informasi dan data yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan. 2) Observasi. Cara pengumpulan data dengan jalan mengadakan pengamatan langsung kepada objek penelitian tentang pelaksanaan dari kegiatan operasional, mengutip catatan, laporan serta dokumen yang dipakai perusahaan dan merupakan data penunjang dalam penganalisaan masalah yang dibahas. Dari mulai melihat, membandingkan dan kemudian menggabungkan data yang ada dengan teori yang diperoleh, sehingga diperoleh data akurat dan terinci, seperti dokumen-dokumen yang diterbitkan untuk dijadikan dokumen penagihan kepada pihak pembeli melalui bank pembukanya.

2)      Data Sekunder

Yaitu mengumpulkan data dengan cara mempelajari masalah yang berhubungan dengan objek yang sedang diteliti melalui data-data perusahaan, buku-buku pedoman, literatur yang berhubungan dengan masalah yang sedang dianalisis.  Apakah  sistem pembayaran dalam penjualan batubara yang telah dilakukan oleh PT. Bukit Asam (Persero) sudah merupakan metode yang baik? Apakah  metode  yang digunakan memberikan keamanan,  kenyamanan dalam bertransaksi, dan paling penting apakah memberikan keuntungan bagi perusahaan.

 

2.2.3   Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah metode diskriptif kualitatif yaitu suatu metode yang menuliskan sifat objek yang diteliti dengan cara mencatat, menyusun, mengklasifikasikan dengan menganalisis data yang telah dikumpulkan sehingga menjadi sebuah bentuk yang logis dan sistematis, dan selanjutnya dianalisa untuk mendapatkan kejelasan dari masalah yang diteliti. Adapun analisis kualitatif disini tidak mendasarkan penelitiannya pada pengumpulan data dari lokasi yang luas, dengan responden  yang banyak dan dengan keterangan yang banyak, tetapi ukurannya berdasarkan kenyataan yang bersifat global.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan model analisis interaktif, yaitu suatu model data yang terdiri dari komponen reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan cara bahwa ketiga komponen tersebut kemudian berinteraksi dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus. Siklus yang disajikan dalam bentuk yang sistematis untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas, kemudian data yang dituangkan dalam bentuk bentuk laporan tesis.

 

2.3         Pengertian Transaksi Perdagangan Internasional

            

Perdagangan Internasional adalah proses tukar-menukar barang atau jasa yang terjadi antara satu negara dengan negara yang lain. Hal ini terjadi untuk memenuhi kebutuhan manusia, pedagang mempunyai peranan yang sangat penting. Barang yang hasil produksi dapat disalurkan ke konsumen melalui para pedagang tersebut. Mereka membeli barang untuk dijual kembali tanpa mengubah jenis dan bentuknya dengan tujuan memperoleh laba disebut perdagangan. Dalam perdagangan antar negara tersebut melibatkan eksportir dan importir (http://id.wikipedia.org).

Menurut Amir M.S. (2009), Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antar individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumitdan kompleks.

Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea tarif, atau quota barang impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.

 

2.4         Manfaat Perdagangan Internasional

            

Manfaat Perdagangan Internasional (Wikipedia Bahasa Indonesia: 2009) adalah 1) Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut di antaranya ; kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri. 2) Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri. 3) Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Para pengusaha terkadang tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut ke luar negeri. 4) Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efisien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

 

2.5         Faktor Pendorong Perdagangan           Internasional

Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan Internasional, diantaranya sebagai berikut: 1) Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri. 2)Keinginan memperoleh keuntngan dan meningkatkan pendapatan negara. 3) Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi. 4) Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut. 5) Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi. 6) Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang. 7) Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain. 8) Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.

 

2.5.1   Perbedaan Perdagangan Dalam         Negeri dan Luar Negeri

Perbedaan antara perdagangan dalam negeri dan perdagangan Internasional  dapat dilihat sebagai berikut:

1)     Jangkauan Wilayah

Perdagangan dalam negeri mencakup satu wilayah negara, sedangkan perdagangan antar negara menjangkau beberapa negara.

2)  Cara Pembayaran

Cara pembayaran pada perdagangan dalam negeri menggunakan satu macam  mata uang,  sedangkan  perdagangan  luar negeri  menggunakan macam-macam  mata uang (valuta asing).

3)   Sistem Distribusi

Perdagangan dalam negeri lebih banyak dilakukan dengan menggunakan sistem      distribusi langsung. Sedangkan  perdagangan  luar  negeri menggunakan sistem distribusi tidak langsung.

4)   Peraturan yang Berlaku

Peraturan yang harus diikuti dalam perdagangan antar negara lebih rumit dibandingkan dengan perdagangan dalam negeri. Dalam perdagangan internasional melibatkan sekurang-kurangnya dua negara. Oleh karena itu, peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh pedagang internasional sekurang-kurangnya berlaku pada dua negara tersebut.

5)   Tingkat Persaingan

Tempat asal penjual dan pembeli suatu barang berasal dari berbagai negara, maka tingkat persaingan perdagangan antarnegara lebih ketat dibandingkan dengan perdagangan dalam negeri.

6)   Biaya Angkut, Satuan Ukuran dalam      Berat, Panjang dan Isi

Biaya angkut dalam perdagangan Internasional lebih tinggi dibandingkan dengan perdagangan dalam negeri. Ini terjadi karena perbedaan  jarak dan sistem administrasi perdagangan. Demikian pula dengan ukuran berat, panjang dan volume yang berlaku di dalam negeri. Namun untuk perdagangan Internasional, ukuran-ukuran tersebut harus menggunakan ukuran yang berlaku secara Internasional.

 

2.6         Kegiatan Ekspor dan Impor

Kegiatan perdagangan Internasional melibatkan dua pihak, yaitu eksportir dan importir. Menurur Siregar dkk (2005:63) kegiatan perdagangan Internasional adalah transaksi perdagangan Internasional (International Trade) yang sederhana dan tidak lebih dari membeli dan menjual barang antara pengusaha-pengusaha yang bertempat di negara yang berbeda.

 

2.6.1   Pembayaran Dalam Perdagangan          Internasional 

Pemerintah menunjang kegiatan ekspor dann impor dengan memberikan kebijaksanaan dalam  fasilitas  penggunaan devisa  serta  penyediaan kredit,  jaminan kredit  ekspor dan  asuransi  ekspor,  serta  kebijaksanaan lain  yang  sangat penting yaitu pengaturan sistem pembayaran ekspor dan  impor yang dapat dilakukan dengan cara tunai atau kredit.

”Pembayaran merupakan pemindahan kepemilikan atau penguasaan atas dana dari pihak pembayar kepada pihak penerima” (Siregar dkk, 2005:1). Pihak pembayar  belum  tentu  pemiliki dana sebelumnya  serta pihak penerima belum tentu pemilik dana selanjutnya. Pihak pembayar bisa hanya sekedar menyerahkan dana yang dimiliki oleh pihak lain. Begitu pula pihak penerima bisa juga hanya sekedar menguasai dana, tidak selalu pihak pemilik dana. Misalnya, bendahara suatu perusahaan hanya menguasai dana untuk kepentingan perusahaan, bukan sebagai pemilik dana.

Kegiatan perdagangan dalam lingkungan modern, pembayaran transaksi tidak harus dilakukan dengan mengadakan pertemuan antara pihak pembayar dengan pihak penerima. Bahkan, pihak pembayar bisa saja tidak mengenal pihak penerima pembayaran yang berada di negara lain.

Menurut PP No. 1 (1982) : Bahwa cara pembayaran ekspor impor adalah dengan tunai dengan kredit. Kemudian dalam penjelasan tersebut, dijelaskan bahwa cara pembayaran ekspor impor dapat dilakukan dengan metode pembayaran yang umum digunakan meliputi; advance payment, open account, collection draft, dan letter of credit. Ada empat metode pembayaran yang umum digunakan meliputi;

1)     Pembayaran di muka (Advance payment)

Sistem pembayaran ini dilakukan manakala pembeli (importir) membayar terlebih  dulu  kepada  penjual  (eksportir)  sebelum  merealisasikan  ekspor sesuai kesepakatan.  Besarnya  pembayaran  yang  dilakukan  dapat  meliputi  pembayaran untuk seluruh nilai barang (full payment) atau untuk sebagian nilai barang (partial payment). Advance payment merupakan cara pembayaran transaksi perdagangan internasional yang sederhana dan murah karena bank devisa tidak harus terlibat untuk menyelesaikannya.

Eksportir dan importir mengadakan pertemuan negosiasi dan menyetujui pembayaran dengan advance payment. Setelah ada persetujuan jual beli dan cara pembayaran advance payment, importir langsung melakukan pembayaran dengan cek, transfer atau payment order. Setelah menerima uang, eksportir mengirim barang kepada importir. Selain itu, eksportir mengirim dokumen pengiriman barang kepada importir secara langsung.

Menurut Siregar dan Husein (2005:2) pada sistem pembayaran Internasional  terkandung faktor-faktor: adanya kepercayaan kedua belah pihak, barang atau komoditi yang di ekspor bukan merupakan barang yang dilarang untuk di ekspor, dan pihak importer harus menyediakan dana / uang tunai lebih dahulu.

2)      Perhitungan Kemudian (Open Account)

Perhitungan kemudian (Open Account) adalah metode pembayaran yang mengharuskan eksportir menerima pembayaran setelah importir menerima barang dari eksportir atau penjual. Open account merupakan kebalikan dari advance payment. Pihak eksportir berjanji mengirim barang terlebih dulu dan importir memberikan janji melakukan pembayaran setelah ia menerima barang.  Dengan cara pembayaran ini, pengiriman barang dan dokumennya kepada importir dilakukan bersama oleh eksportir. Dengan  demikian,   importir   tidak akan  menghadapi  kendala  untuk   mengambil barang di   pelabuhan   walaupun ia  belum  membayar  barang  tersebut. Tanggal pembayaran ditentukan sebelumnya dalam kontrak penjualan seperti akhir bulan,  satu bulan,  atau dua bulan  setelah barang dikirim. Cara  pembayaran  dapat dilakukan dengan cek transfer bank, atau payment order.

3)      Collection Draft

Collection draft adalah metode pembayaran transaksi perdagangan Internasional yang menuntut eksportir untuk meminta jasa perbankan dalam melakukan penagihan kepada importir atas permintaan eksportir yang bersangkutan. Dalam metode pembayaran ini, eksportir menyerahkan dokumen pengiriman barang kepada bank di negaranya untuk ditagihkan pembayarannya dari importir. Bank eksortir menghubungi pihak ketiga, bank, untuk menagih pembayaran dari importir. Apabila bank eksportir memiliki cabang di negara importir, maka kantor cabang tersebutlah yang melakukan penagihan. Apabila bank eskportir tidak memiliki kantor cabang di negara importir, bank eskportir mengirimkan dokumen pengiriman barang tersebut kepada bank korespondensinya di negara importir untuk digunakan sebagai dasar penagihan kepada importir. Setelah importir melakukan pembayaran, bank akan mengkredit rekening atau menyerahkan uang kepada eksportir.

4)      Letter of Credit

Letter of Credit merupakan perjanjian dengan nama dan rumusan apapun yang menuntut suatu bank bertindak atas permintaan dan instruksi seorang nasabah untuk: melakukan  pembayaran  kepada  pihak ketiga  atau mengaksep  draft yang ditarik oleh pihak ketiga tersebut,  atau memberikan  kuasa  kepada bank lain untuk melakukan  pembayaran,  mengaksep,   atau   menegosiasi   draft   atas  penyerahan dokumen-dokumen yang ditentukan sesuai dengan persyaratan kredit.

Letter of Credit merupakan perjanjian bank untuk melakukan pembayaran transaksi   perdagangan   internasional   (Siregar dan Husein. 2005:33).    Perjanjian tersebut menjamin pembayaran kepada pihak ketiga apabila persyaratan yang ditentukan dalam L/C telah terpenuhi.

 

2.7         Transaksi Ekspor Impor Menggunakan Letter Of Credit

 

Menurut Pulungan (2008:21) kegiatan dalam transaksi ekspor impor dimana masing-masing pihak berada di negara yang berlainan, maka resiko yang timbul akan lebih besar dibandingkan dengan perdagangan dalam negeri. Namun demikian bukan berarti perdagangan dalam negeri tidak mempunyai resiko bisnis. Untuk itulah bagi si penjual memerlukan kepastian akan diterimanya pembayaran setelah  penyerahan  barang yang dilakukannya kepada pihak pembeli, dan bagi  pembeli  sendiri  berkepentingan  dalam kepastian  diterimanya barang atau jasa sesuai kesepakatan bersama. Atas dasar itulah penjual (eksportir) dan pembeli mempunyai  kesepakatan   bersama   untuk   menggunakan  Letter of  Credit  dalam transaksi perdagangannya.

Selain itu pula dalam rangka memberikan kenyamanan dan antisipasi terhadap   ketidakpastian   penerimaan   pembayaran   atas  transaksi   ekspor  yang   dilakukan, maka pemerintah melalui Menteri Perdagangan Republik Indonesia mengeluarkan peraturan No. 01/M-DAG/PER/I/2009 tanggal 5 Januari 2009, yang menyatakan  bahwa  pemerintah mengultimatum  pengusaha  untuk   menggunakan  Letter of Credit dalam pembayaran  atas transaksi  ekspor produk komoditi berbasis sumber daya alam, diantaranya:  kopi, minyak  sawit mentah,  kakao, karet, produk pertambangan, dan timah batangan. Bagi eksportir yang tidak menggunakan Letter of Credit tidak  bisa mengekspor komoditi tersebut, karena Bea dan Cukai tidak akan merelease barang tersebut bila di surat Pemberitahuan Barang Ekspor tidak atau belum mencantumkan nomor L/C.

 

2.7.1   Pengertian Letter of Credit

Pengertian Letter of Credit pada dasarnya merupakan suatu perjanjian di dalam perdagangan Internasional dimana suatu bank mengeluarkan atau menerbitkan suatu  kewajiban  bersyarat atas permintaan nasabahnya yaitu si pembeli dalam bentuk jaminan pembayaran kepada penjual (Pulungan.2008:37).

Pembayaran bersyarat disini dimaksudkan bahwa penjual baru akan memperoleh pembayarannya jika yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan (term and conditions) yang dinyatakan di dalam Letter of Credit tersebut. Dalam surat itu dinyatakan bahwa sesuai dengan perintah yang diterima dari nasabahnya (pembeli atau importir) dimaksud, bank berjanji akan melakukan pembayaran kepada beneficiary (eksportir) atas penyerahan dokumen-dokumen yang memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam surat/ kawat tersebut.

Definisi lain dari Letter of Credit menurut UCPDC,  International Chamber of Commerce adalah “Ungkapan Documentary Credit(s) dan Stand By Letter(s) of Credit yang dipakai disini yang selanjutnya disebut sebagai kredit diartikan sebagai suatu perjanjian, tanpa memandang apapun namanya atau uraiannya, dimana suatu bank (Issuing bank), bertindak atas permintaan dan instruksi  nasabahnya (Applicant for the credit): 1) Berjanji/ menjamin   akan   melaksanakan  pembayaran  kepada pihak ketiga (beneficiary) atau orang yang ditunjuknya, atau akan membayar  atau  mengakseptasi  wesel  yang  ditarik  oleh  beneficiary  tersebut, atau 2) Memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran yang dimaksud, atau untuk membayar, mengakseptasi atau mengambil alih (membeli) wesel yang dimaksud.

Penerbitan suatu Letter of Credit oleh bank dapat dikatakan merupakan tindakan mempertaruhkan  kredibilitas  bank untuk kepentingan nasabahnya. Kepercayaan pihak lain terhadap Letter of Credit tersebut semata-mata didasarkan atas reputasi bank yang menerbitkannya. Mekanisme dalam perdagangan Internasional lazimnya menggunakan Letter of Credit atau tergantung kesepakatan mekanisme pembayaran mana yang dilakukan.

 

2.7.2   Manfaat dan Fungsi Letter of Credit

Letter of Credit memberikan  manfaat  yang sangat  besar  bagi  perusahaan. Letter of Credit merupakan kontrak atau perikatan terpisah dan Independent dari kontrak penjualan (sales contract), walaupun L/Ct tersebut di dasarkan atas kontrak penjualan yang dimaksud. Sebagai perikatan antara pembeli dan penjual, kontrak penjualan menegaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Di pihak lain, Letter of Credit merupakan jaminan bersyarat dari bank untuk membayar penjual yang merupakan beneficiary dari L/C tersebut. Walaupun persyaratan L/C merupakan refleksi dari apa yang tercantum didalam sales contract, Letter of Credit sepenuhnya berdiri sendiri dan merupakan kontrak terpisah (UCPDC).

 

2.7.3   Media Yang Dipakai Dalam Penerbitan Letter of Credit

Menurut Amir (2002:26) sebagai upaya perusahaan untuk menjaga agar bisnis yang dijalankan  tetap  berjalan  dan    berkembang  sesuai  tujuan,   perusahaan menunjuk suatu bank untuk menghandle semua transaksi agar menerima kepastian dan jaminan pembayaran dari pembelinya. Hal ini dilakukan pembeli dan penjual sesuai kesepakatan yang tercantum di dalam kontrak penjualan  sebelumnya bahwa  pembeli  bersedia  menerbitkan  Letter  of Credit melalui banknya (bank pembuka) yang akan diteruskan kepada bank penjual (negosiasi bank) untuk membayar sejumlah uang atas perintah dari pembeli sepanjang persyaratan dalam L/C tersebut telah dipenuhi.

 

2.7.4   Dasar Hukum Letter of Credit

Letter of Credit sebagai alat jaminan pembayaran mempunyai dasar hukum yang  jelas  sebagai  alat  yang  digunakan  oleh pihak-pihak  yang  berkepentingan, yaitu adanya kontrak jual beli yang dibuat sebelum transaksi dimulai. Kontrak jual beli inilah yang menjadi dasar penerbitan dari Letter of Credit dan diperjelas oleh aturan perdagangan Internasional yang terangkum dalam Uniform Customs and Practice   for   Documentary   Credit   (UCPDC)   dari  International  Chamber  of  Commerce, Publication No.600.

 

2.7.5   Prinsip-Prinsip Dasar Letter of Credit

Menurut Siregar dan Husein (2005:33) : Suatu Letter of Credit mempunyai  beberapa unsur pokok sebagai berikut:

1)   Credit Substitution (Substitusi Kredit)

Setiap Letter of Credit diterbitkan  atas  permintaan nasabah oleh issuing bank. Sebagaimana  kita  ketahui  Letter of Credit  merupakan  jaminan pembayaran dari issuing bank tersebut kepada benefiary. Dalam menerima suatu Letter of Credit, beneficiary tidak perlu lagi mengkhawatirkan kredibilitas applicant (buyer),  walaupun  transaksi  yang   mendasari  Letter of Credit  tersebut  adalah antara beneficiary dan applicant.  Jadi, dalam Letter of Credit,  bank  pembuka  (issuing bank) menggantikan atau mensubstitusikan kredibilitas applicant dengan krdibilitasnya sendiri.

2)      Promise To Pay (Jaminan Pembayaran)

Letter  of  Credit   merupakan   jaminan   pembayaran  dari issuing bank    kepada  kepada beneficiary.

3)      Term and Condition (syarat dan ketentuan)

Letter  of  Credit  adalah   jaminan   pembayaran   bersyarat    (conditional       guarantee)  dalam  arti  pembayaran  akan  dilakukan sepanjang benefiary telah       memenuhi  persyaratan yang  ditetapkan  didalam  L/C tersebut.

4)      Waktu (Time)

Umumnya ada 3 faktor di dalam suatu L/C, yaitu a) Expiry date. Adalah tanggal berakhirnya jangka waktu berlaku L/C. Setelah tanggal ini maka tidak boleh lagi dilakukan pembayaran, akseptasi, negosiasi atau penerimaan dokumen. b) Latest Shipment Date. Adalah tanggal terakhir untuk melaksanakan pengapalan atau pengiriman sesuai yang ditentukan dalam L/C. Tanggal yang dilihat disini adalah tanggal dari dokumen L/C tersebut. d) Lates Presentation Date. Adalah  tanggal  terakhir  bagi beneficiary   untuk    melakukan  penyerahan dokumen ke bank negosiasi, dihitung dari tanggal dokumen  transport. Jika Letter of Credit  tidak menyatakan lain, maka UCPDC mengharuskan  beneficiary  untuk  menyerahkan  dokumen  selengkapnya  ke bank paling lambat 21 hari sejak tanggal dokumen diterbitkan. Pembatasan ini diperlukan untuk mencegah terlalu lama dokumen dikirim dan diserahkan ke bank, walaupun masih dalam batas berlakunya Letter of Credit, untuk mencegah kerugian yang dapat diderita oleh buyer karena mungkin saja barang yang dikirim telah tiba di pelabuhan tujuan, akan tetapi buyer belum dapat mengambil barang karena dokumen belum diterima. Untuk menghindari hal tersebut jangan sampai terjadi, maka kedua belah pihak menyetujui untuk melakukan pembatasan penyerahan dokumen ke bank negosiasi yang telah ditunjuk.

5)      Pihak-pihak Yang Terkait  Dalam Letter of Credit

Dalam suatu Letter of Credit akan tercantum orang atau badan yang statusnya adalah  pihak  (party)  yang  lazimnya  disebut  applicant,  issuing  bank,   dan beneficiary. Jika L/C dikonfirm oleh bank lain, maka confirming bank akan menjadi pihak keempat.

Menurut UCPDC (2000:53) ada beberapa keuntungan dan kerugian dari Letter of Credit sebagai berikut: 1) Keuntungan. Dengan cara pembayaran ini dilihat dari sisi keamanan adalah relative yang  paling  aman  bagi  kedua  belah pihak.  Hal  ini disebabkan bank sebagai lembaga perantara menjamin akan melakukan pembayaran kepada    eksportir    sepanjang   Letter  of  Credit   (dokumen,  waktu penyerahan dokumen, dan syarat-syarat lain) telah dipenuhi. Ekportir telah menghindari resiko kredit dari pembeli atau importir. 2) Kerugian. Kedua   belah   pihak   akan  menanggung  biaya   yang   cukup   besar diantaranya untuk  provisi  pembukaan  Letter of  Credit  dan  biaya  negosiasi.

Selanjutnya  tidak  ada jaminan apakah semua dokumen yang diajukan dapat dinegosiasikan. Terkadang hanya kesalahan ketik pada nama pembeli atau eksportir sudah mengakibatkan dokumen ditolak bank, sehingga eksportir seringkali harus berulang-ulang mengajukan dokumen. Hal ini mengakibatkan dampak terhadap cash flow eksportir.

Berdasarkan penyerahan seperangkat dokumen yang ditentukan, sepanjang semua   persyaratan “Kredit” yang dimaksud  telah  dipenuhi,   maka  pihak eksportir (penjual)    telah   menjalankan  kewajibannya  selain  menyerahkan  barang  sesuai permintaan.  Demikian pula  halnya  dengan  pembeli,  setelah menerima barang yang telah sesuai dengan permintaan, maka berkewajiban untuk segera membayar melalui banknya.  Namun demikian jauh sebelum transaksi dilakukan, kedua belah pihak telah mempunyai kesepakatan terlebih dulu agar dikemudian hari apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka jalan keluar dari hal tersebut dapat diupayakan semaksimal mungkin.

Sesuai dengan definisi tersebut di atas, menurut Siregar dan Husein (2005:33), maka diagram dari suatu  Letter of Credit dapat dilihat pada gambar 1.

A              Kontrak Jual beli                B

 

Beneficiary (Eksportir)

Buyer          (Importir)

Advising Bank     (Indonesia)

Opening Bank            (Malaysia)

 

 

Payment (4)

Letter of Credit (2)

Aplikasi for

L/C 1

 

 

Shipping Doc (6)

 

 

Draft (3)

L/C (2)

 

Negotiable/

Payment(5)

 

Gambar 1. Skema Letter Of Credit

 

Letter of Credit pada umumnya bersifat “Documentary” artinya pembayaran akan dilakukan berdasarkan wesel si penjual (eksportir) atau dokumen penagihan lain pada saat eksportir yang dimaksud telah memenuhi   persyaratan   Letter  of  Credit   yaitu   penyerahan   dokumen-dokumen yang dirinci di dalamnya penyerahan mana harus dilakukan sebelum berakhirnya masa berlaku Letter of Credit (UCPDC. 2000:13).

Hal-hal pokok di dalam transaksi Letter of Credit yang harus dimengerti sepenuhnya menurut UCPDC  (2000:17)sebagai berikut :

1)   Dalam transaksi Letter of Credit, bank hanya berurusan dengan dokumen-dokumen dan bukan dengan barang yang diperdagangkan. Hal ini berarti bahwa suatu bank hanya berkewajiban untuk membayar berdasarkan dokumen-dokumen yang secara fisik sesuai dengan yang diminta di dalam Letter of Credit. Bank tidak bertanggung jawab mengenai uraian, jumlah, kualitas, nilai

2)   Kondisi dan keberadaan barang secara fisik yang berhubungan dengan dokumen-dokumen tersebut.

3)   Letter of Credit merupakan kontrak kerjasama yang terpisah dan independent dari kontrak penjualan (sales contract), walaupun Letter of Credit tersebut dibuat berdasarkan atas kontrak penjualan yang dimaksud.

Sebagai kontrak perjanjian antara pembeli (buyer) dan penjual (eksportir), kontrak penjualan menegaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Bank tidak mempunyai ikatan dan tidak perlu memperhatikan apakah kedua belah pihak yang tercantum atau bersepakat di dalam sales contract memenuhi persyaratan kontrak. Persyaratan bank untuk membayar semata-mata akan

tergantung pada kenyataan apakah beneficiary (eksportir) memenuhi persyaratan Letter of Credit atau tidak.

 

2.7.6   Bentuk dan Jenis-jenis Letter of Credit

Menurut UCPDC (2000:35) Letter of Credit dapat dibedakan menjadi dua bentuk:

1)  Revocable Letter of Credit

Dalam bentuk ini Letter of Credit mempunyai risiko yang tinggi karena kurang menjamin pembayaran. Pada Letter of Credit yang berbentuk revocable, importir setiap saat dapat memerintahkan banknya (Issuing bank) untuk membatalkan L/C yang telah dibuka tanpa memberitahukan dan meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak eksportir. Pembatalan yang diperintahkan oleh importir di luar negeri tidak berlaku (tidak mempunyai kekuatan) bilamana eksportir telah mengapalkan dan wesel telah dinegoisir oleh Negotiating Bank pada saat pembatalan diterima.

2)  Irrevocable Letter of Credit

Letter of Credit dalam bentuk ini dapat dibatalkan hanya atas persetujuan eksportir dan importir. Letter of Credit dalam bentuk ini memberikan jaminan pembayaran yang lebih baik jika dibandingkan dengan Revocable L/C.

Dilihat dari segi saat pembayaran, Letter of Credit dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu:

1)  Sight L/C 

Yaitu Letter of Credit yang jika semua persyaratan telah dipenuhi, maka pihak bank negosiasi yang ditunjuk eksportir wajib membayar sejumlah nilai yang ada dalam wesel paling lama  dalam waktu 7 hari kerja. Suatu L/C dapat disebut sight

L/C apabila dalam L/C tersebut diisyaratkan penyerahan sight draft, yaitu draft yang dibayar pada saat penerima draft tersebut menunjukkannya kepada ban negosiasi (Siregar dkk, 2005:40).

2) Usanse L/C

Yaitu Letter of Credit yang pembayarannya baru dapat dilunasi jika Letter of      Credit tersebut sudah jatuh tempo yaitu sekian hari dari tanggal pengapalan (tanggal bill of lading).

3) Red Clouse L/C

Bank pembuka memberi kuasa kepada bank pembayar untuk membayar uang muka kepada beneficiary (eksportir) sebagian tertentu atau seluruh nilai Letter of  Credit sebelum beneficiary menyerahkan dokumen.

Menurut UCPDC (2000:35) : Letter of Credit jika dilihat dari syarat-syarat yang tercantum dalamnya, terbagi menjadi :

1)  Open L/C

Yaitu suatu Letter of Credit yang memberi hak kepada eksportir penerima L/C untuk menegosiasikan dokumen melalui bank mana saja yang diinginkan.

2)  Restricted L/C

Yaitu kebalikan dari open L/C dimana negotiating bank dibatasi pada bank tertentu saja.

3)  Documentary L/C

Yaitu Letter of Credit yang mewajibkan eksportir penerima L/C untuk menyerahkan dokumen pengapalan yang membuktikan pemilikan barang serta dokumen pelengkap lainnya sebagai syarat untuk memperoleh pembayaran.

4)  Revolving L/C

Yaitu Letter of Credit dimana kredit yang tersedia dapat dipakai ulang tanpa perlu mengadakan perubahan syarat baik dalam bentuk waktu maupun nilai uang. L/C yang dibuka lebih baik L/C yang dapat dipergunakan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan lamanya waktu yang dibutuhkan suatu transaksi.

5)  Back to Back L/C

Yaitu Letter of Credit yang dapat dibuka lagi oleh eksportir penerima L/C pertama kepada eksportir kedua dengan menjamin L/C yang diterimanya. L/C ini biasa digunakan dalam perdagangan segi tiga.

 

2.7.7   Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Letter of Credit

Seperti diketahui bahwa perdagangan international yang melibatkan lebih dari dua negara sangat eksis untuk menggunakan Letter of Credit sebagai alat pembayaran. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam pembukaan Letter of Credit menurut Siregar & Husein. (2005:57) adalah sebagai berikut :

1) Opener atau Applicant

Pihak yang meminta bantuan bank devisanya untuk membuka Letter of Credit guna keperluan penjual atau eksportir.

2)  Opening Bank atau Issuing Bank

Bank pembuka Letter of Credit yang diminta oleh pihak importir untuk keperluan eksportir. Dan sebagai bank jaminan bagi pihak eksportir yang berada di negara yang berbeda dengan importir.

3)  Advising Bank

Opening Bank membuka Letter of Credit untuk eksportir melalui bank di negara eksportir  yang   menjadi  koresponden  dari  Opening bank  tersebut.  Bank ini

berkewajiban untuk menyampaikan atau meneruskan amanat yang  terkandung

di dalam Letter of Credit kepada eksportir.

4)  Beneficiary

Eksportir yang menerima pembukaan Letter of Credit dan diberi hak untuk menarik uang dari dana L/C yang tersedia itu disebut sebagai penerima L/C atau beneficiary.

5) Negotiating Bank

Di dalam Letter of Credit biasanya disebutkan bahwa beneficiary boleh menguangkan (menegosiasikan shipping document) melalui bank mana saja yang disukainya asalkan memenuhi syarat L/C. Bank yang membayar dokumen itu disebut sebagai Negotiating Bank.

 

2.7.8   Penyimpangan Dalam Letter of Credit

Di dalam praktek transaksi perdagangan luar negeri yang menggunakan cara pembayaran dengan Letter of Credit terdapat penggolongan penyimpangan atau discrepancy (UCPDC, 2000:65), yaitu:

1)      Penyimpangan atas syarat-syarat Letter Of Credit

Penyimpangan atas syarat-syarat Letter of Credit antara lain ; tidak lengkapnya dokumen yang telah ditentukan, antara dokumen yang satu dengan yang lain tidak konsisten, melampaui batas akhir tanggal pengapalan, L/C sudah melampaui batas yang sudah ditentukan (expired).

2)      Penyimpangan yang bersumber pada dokumen yang belum sempurna. Bentuk penyimpangan-penyimpangan atas dokumen tersebut dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu a) Penyimpangan yang sifatnya dapat diperbaiki (correctable discrepancy). Correctable discrepancy adalah penyimpangan-penyimpangan yang disebabkan oleh kekeliruan kecil dalam penyiapannya dan dimungkinkan bagi eksportir untuk memperbaiki dokumen yang mengalami penyimpangan tersebut. Kekeliruan–kekeliruan seperti ini disebut dengan minor discrepancy. b)  Penyimpangan    yang   sifatnya    tidak    dapat   diperbaiki    (uncorrectable   discrepancy)

Uncorrectable discrepancy adalah penyimpangan-penyimpangan yang dianggap besar dan tidak dapat diperbaiki langsung oleh eksportir. Penyimpangan-penyimpangan ini dinamakan mayor discrepancy.

 

 

  1. HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Sebagai perusahaan  berorientasi  perdagangan  Internasional,   PT. Bukit Asam (Persero) Tbk  harus eksis untuk tetap menjamin berlangsungnya bisnis   dengan  bekerjasama   dan  mengikat  diri  dalam  ketentuan  dan  peraturan Internasional. Hal ini diperlihatkan dengan sistem pembayaran yang digunakan dalam transaksi penjualan ekspor batubara pun menggunakan sistem dan metode yang lazim digunakan dalam perdagangan Internasional, yaitu menggunakan Letter of Credit.

Sistem pembayaran dengan Letter of Credit yang digunakan oleh PT Bukit Asam ( Persero) Tbk. ini dianggap mempunyai keunggulan, yaitu 1) Memberi rasa aman bagi PT.BA sendiri dan mendapatkan kepastian akan pembayaran barang ekspor setelah adanya penyerahan dokumen sesuai ketentuan dan syarat-syarat yang ditentukan dalam Letter of Credit. 2) Bagi importir, mendapatkan kepastian akan barang yang dibeli. 3) Berkurangnya resiko yang dihadapi oleh kedua belah pihak karena adanya peranan bank yang terlebih dulu memeriksa dokumen-dokumen di dalam Letter of Credit dan bank akan menolak dokumen yang tidak sesuia dengan persyaratan Letter of Credit. 4) Importir dapat mencantumkan  syarat-syarat untuk pengamanan yang harus dipatuhi oleh eksportir agar dapat menarik uang dari L/C yang tersedia.

Letter of Credit di samping mempunyai keunggulan juga mempunyai kelemahan-kelemahan yang harus juga menjadi perhatian, yaitu 1) Prosedur yang digunakan memerlukan waktu cukup lama. 2) Besarnya biaya yang harus ditanggung oleh importir dan eksportir dalam kaitannya dengan jasa bank, yaitu ; biaya komisi, biaya bunga, biaya telex / fax, dan biaya akseptasi.

Hambatan-hambatan yang dialami oleh PTBA dalam pelaksanaan pembayaran dengan Letter of Credit,  khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan dokumen sesuai ketentuan dan syarat yang tercantum dalam L/C, seperti Late presentation, over drown, Bill of Lading Prensented.

Menurut Asisten Manager Akuntansi Piutang, terjadinya penyimpangan atau discrepancies dokumen tersebut seringkali menghambat dan menyita waktu. Namun apabila pihak PT.BA dapat memenuhi semua ketentuan dan syarat yang diminta dalam L/C, maka tidak ada permasalahan yang  menghambat. Berdasarkan penelitian dan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis, diperoleh data dan informasi bahwa prosedur yang berlaku  di PT Bukit Asam dapat dijelaskan dengan skema prosedur pada gambar 3.

 

Gambar 3 Proses Penjualan Ekspor Batubara

 

Transaksi penjualan batubara ekspor dimulai dengan adanya kontrak jual beli atau sales contract yang disepakati bersama antara penjual  dalam hal ini PTBA dengan pihak pembeli di luar negeri. Syarat dan ketentuan kontrak yang disepakati adalah nama dan alamat penjual dan pembeli, nomor kontrak yang disepakati, pelabuhan muat, pelabuhan tujuan, jenis dan spesifikasi batubara yang diinginkan, harga per unit metric ton, mata uang yang disepakati, jumlah barang dan syarat dan ketentuan lain yang disepakati (term and conditions).

Setelah adanya kesepakatan dan penawaran, maka pembeli menerbitkan L/C melalui bank pembukanya di luar negeri. Ada beberapa tahapan proses dokumen.

Tahapan pertama yaitu pertama penerimaan letter of credit.Letter of Credit yang diterbitkan oleh Issuing bank melalui surat atau sarana e-mail disampaikan kepada bank koresponden Issuing bank dalam hal ini PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Selanjutnya Letter of Credit tersebut  diteruskan ke bank negosiasi atau advising bank yaitu bank mandiri sebagai bank negosiasi-nya dokumen PTBA. L/C  yang diterima dari bank pembuka diteruskan oleh bank Mandiri ke PTBA. Kemudian L/C tersebut diperiksa dan diverifikasi tentang syarat dan ketentuan yang berlaku.  Apabila  terdapat hal-hal  yang  tidak  sesuai  dengan  kesepakatan antara kedua belah pihak, PT. Bukit Asam sebagai beneficiary (penerima L/C) dapat mengajukan atau meminta  perubahan  Letter  of Credit  kepada  buyer  (applicant)  pada kesempatan  pertama untuk menghindari  permasalahan  pada saat  negosiasi dokumen.

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh PT BA sebagai eksportir dalam syarat dan kondisi Letter of Credit adalah 1) L/C mencantumkan tunduk kepada UCPDC. 2) L/C menunjuk bank diberi wewenang atau kuasa untuk membayar, mengaksep, negosiasi atau melakukan pembayaran. 3) L/C dibuka revocable, irrevocable, partial shipment / transshipment allowed.4) L/C harus mencantumkan jumlah, uraian, kemasan barang. 5) L/C dengan jelas mencantumkan dokumen-dokumen yang diminta. 6) Persyaratan L/C telah sesuai dengan sales contract yang disepakati. 7) Nama dan alamat beneficiary (PT. Bukit Asam) telah sesuai. 8) Pelabuhan muat dan tujuan sesuai dengan yang disepakati.

Tahap kedua adalah proses dokumen ekspor. Setelah L/C dinyatakan clear oleh bank Mandiri, maka PTBA akan mengajukan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) ke Bea dan Cukai untuk persetujuan muat ekspor. PEB yang dikeluarkan oleh pejabat Bea dan Cukai memberikan jaminan barang yang diekspor adalah barang yang diminta oleh importir. Setelah diperoleh izin, maka PTBA menerbitkan Shipping Intruction dan Surat Permintaan Penerbitan Sertifikat Kualitas dan Kuantitas kepada Independent Surveyor yaitu PT. Sucofindo Indonesia.

Shipping Intruction adalah dokumen pengapalan yang diterbitkan oleh PTBA untuk pelaksana pemuatan di lapangan yang berisi perintah untuk melakukan loading kapal (barge) dengan jumlah, jenis, tujuan, pembeli yang jelas dan lengkap sesuai L/C (UCPDC.2000:59). Setelah kapal  (barge)  dimuat dan diperoleh jumlah pemuatan, maka PTBA menerbitkan  Berita Acara Pemuatan, Tanda Pengeluaran Batubara dan pihak agen pelayaran / agen kapal menerbitkan Bill Of Lading.

Bill of  lading  merupakan dokumen yang dikeluarkan oleh perusahaan pengangkut barang yang sangat penting karena mempunyai sifat jaminan atau pengamanan atas batubara yang diangkut, sebagai bukti pengiriman, bukti kontrak pengangkutan, dan penyerahan barang dan sebagai bukti atau pemilikan barang (UCPDC.2000:77).

Hal-hal yang harus diperhatikan terhadap bill of lading adalah 1) Bill of  lading harus seperangkat lengkap, artinya ada Asli dan copy B/L sesuai kebutuhan eksportir (PTBA). Asli terdiri dari First Original, Second Original dan Third Original. Sedangkan copy B/L bisa saja enam atau tujuh copy sesuai permintaan PTBA. 2) Mencantumkan dengan jelas pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar. 3) Nama pihak pengangkut, pengirim dan penerima barang harus sesuai dengan L/C. 4) Sifat dari B/L adalah clean, tidak ada klausul tambahan yang menerangkan keadaan tidak baik atau unclean. 5) Harus mencantumkan nama shipper atau agennya. 6) B/L tidak boleh kadaluarsa. Artinya tanggal yang tercantum pada B/L harus sesuai dengan tanggal pengapalan dan penyerahan B/L tidak melebihi 21 hari dari tanggal yang tercantum pada B/L.

Setelah semua formalitas ekspor selesai, eksportir dalam hal ini PTBA menyerahkan  barang kepada perusahaan pelayaran (shipping company) untuk membawa barang yang telah dimuat dalam tongkang atau barge ke pelabuhan tujuan sesuai permintaan importir (pembeli). Dokumen ekspor tersebut sebagai surat jalan kapal (barge) yang dibawa oleh perusahaan pelayaran sampai ke tempat pelabuhan tujuan.

PTBA melengkapi dokumen ekspor lainnya, seperti invoice, aplikasi draft, surat keterangan asal barang yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Palembang, sertifikat yang menyatakan volume dan jenis barang yang dikeluarkan oleh Independent Surveyor dalam hal ini adalah PT. Sucofindo Indonesia. Setelah dokumen yang disyaratkan dalam L/C telah dipenuhi oleh PTBA, maka dokumen tersebut diserahkan untuk dinegosiasi ke bank Mandiri Cabang A Rivai Palembang.

Tahap ketiga adalah negosiasi dokumen. Bagi PT Bukit Asam (Persero) Tbk negosiasi dokumen merupakan saat yang menentukan dalam transaksi ekspor batubara karena bank harus yakin bahwa dokumen yang diserahkan PT. Bukit Asam sebagai eksporti sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Letter of Credit. Oleh karenanya PT. Bukit Asam harus secara cermat menyiapkan dan memeriksa dokumen-dokumen sebelum diserahkan ke Bank Mandiri sebagai Bank Negosiasi yang ditunjuk dalam Letter of Credit. Dokumen yang diperlukan dan diverifikasi adalah wesel, commercial invoice, bill of lading atau airway bill, dokumen asuransi (bila diperlukan), packing list, certificate of quantity / quality yang diterbitkan oleh independent surveyor dan surat keterangan asal barang / certificate of origin.

Dokumen-dokumen tersebut harus disiapkan oleh PT. Bukit Asam (Persero) Tbk untuk proses penagihan atas batubara yang dikapalkan. Proses pengiriman batubara itu sendiri tidak akan dibahas oleh pihak bank, apakah batubara yang tercantum dalam dokumen telah dikirim atau masih dalam proses. Bank hanya memperhatikan dokumen dan tanggal yang diterbitkan masih dalam batas diperkenankan.

Tahap ketiga adalah verifikasi dokumen. Dokumen yang diterima oleh bank Mandiri dari PTBA kemudian diperiksa kesesuaiannya dengan L/C yang ada. Waktu pemeriksaan sesuai ketentuan dalam UCPDC adalah maksimal 2 hari bagi bank Mandiri. Bila dokumen terdapat masalah atau penyimpangan (discrepancy),  maka bank Mandiri menyampaikan hal tersebut melalui surat tertulis yang ditandatangani oleh pihak bank Mandiri dan PTBA sebagai eksportir yang menyatakan dokumen untuk diperbaiki atau diteruskan ke bank pembuka L/C di luar negeri. Tetapi apabila dokumen yang diperiksa tidak bermasalah atau clear, maka bank Mandiri wajib menyampaikan kepada PTBA bahwa dokumen tersebut tidak bermasalah dan menawarkan dokumen untuk dinegosiasi dan dibayar lebih dulu oleh bank Mandiri sebagai bank Nego atau collection dan diteruskan ke pembeli melalui bank pembuka di luar negeri.

Tahap keempat adalah penyimpangan dokumen atau discrepancy dokumen yang diajukan oleh PT Bukit Asam (Persero) Tbk kepada bank Mandiri untuk dinegosiasi diteliti agar tidak terjadi penyimpangan. Penyimpangan ini dapat dikategorikan sebagai penyimpangan  utama (mayor), seperti ; penyerahan dokumen melampaui expiry date, late presentation atau penyerahan dokumen melebihi batas 21 hari setelah tanggal B/L , dokumen tidak lengkap, salah nama applicant/benefiary, uraian barang di Invoice berbeda dengan Letter of Credit, Bill of Lading kadaluarsa, sedangkan penyimpangan yang bukan utama (minor), seperti: lembar dokumen kurang, kesalahan ketik yang diperbaiki tanpa cap koreksi, tidak ada nomor referensi, tata cara pengetikan yang tidak terstandar, salah pengetikan nama.

Bila hal ini terjadi, biasanya pihak PTBA memperhitungkan dan     mempertimbangkan apakah perlu penggantian dokumen atau diperbaiki dan di cap koreksi sesuai masa berlaku dokumen masih tersedia.

Apabila status dokumen sudah diambil alih oleh bank Mandiri, maka keputusan harus  tetap  mengacu  pada  kebijakan   keuangan  PTBA,  yaitu  minimal  harus diputuskan oleh Asisten Manager Akuntansi Piutang dengan persetujuan Manager Perbendaharaan  perusahaan dengan pertimbangan yang tidak menimbulkan kerugian.

Tahap kelima adalah biaya-biaya. Biaya-biaya yang diperhitungkan dalam negosiasi biasanya meliputi ; provisi (ditentukan bank nego), biaya reimbursement, biaya discrepancy (bila ada), biaya telex dan biaya bunga. Biaya-biaya ini dibebankan kepada eksportir dan importer sebagai  pembuka dan penerima L/C. Besar kecilnya biaya yang timbul akan mempengaruhi nilai ekspor yang diterima PTBA.

Berdasarkan  hasil penelitian, tanggung jawab PTBA sebagai eksportir bukan saja memberikan produk yang berkualitas kepada pelanggannya, tetapi bertanggungjawab pula dalam   menyiapkan dokumen pengapalan sesuai dengan permintaan L/C, termasuk penyiapan dokumen Bill of lading yang sangat penting. Itulah mengapa dokumen B/L ini disebut dengan Mother Document dikalangan eksportir. Demikian pula di PTBA, Bill of lading merupakan dokumen yang dominan mengalami penyimpangan, selain penyimpangan  late presentation, over atau under drawn, dan salah pengetikan.

Apabila penyimpangan  terjadi, maka pihak PTBA dihubungi oleh bank negosiasi yaitu bank Mandiri untuk meminta klarifikasi atas penyimpangan tersebut. Pihak bank Mandiri akan berusaha semampu mungkin   membantu nasabahnya  memperbaiki dokumen tersebut sampai akhirnya tidak ada discrepancy atau penyimpangan lagi. Apabila penyimpangan dianggap tidak dapat diperbaiki (uncorrectable), maka pembayaran dapat dilakukan setelah importir menyatakan setuju atas penyimpangan tersebut.

Berdasarkan pada  uraian  di atas,   adanya penyimpangan atau discrepancy sudah  merupakan  kerugian  ekspor  bagi  PTBA,  karena  dengan  demikian   PTBA menanggung keterlambatan pembayaran dan biaya atas penyimpangan tersebut menjadi beban PTBA sebagai eksportir. Namun, selama transaksi PTBA masih menggunakan Letter of Credit sebagai alat jaminan pembayaran untuk transaksi penjualan batubara ekspornya, berarti PTBA telah melakukan antisipasi dari segala kemungkinan kerugian yang dihadapi, termasuk kerugian tidak dibayar oleh importer. Dan apabila kemungkinan kerugian fatal seperti tidak ada pembayaran yang diterima, maka PTBA akan menunjuk pada  kontrak perjanjian jual beli yang disepakati pada saat awal transaksi dilakukan.

 

 

 

  1. SIMPULAN

 

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya yang membahas analisis system pembayaran dengan Letter of redit guna mengurangi resiko kerugian transaksi ekspor batubara pada PT. Bukit Asam (Persero) Tbk, dan setelah penulis membahas antara teori dan hasil wawancara dengan personil yang terlibat langsung dengan proses dokumen ekspor, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1)      Letter of Credit merupakan sarana pembayaran yang digunakan oleh PT. Bukit Asam (Persero) Tbk dalam menjalankan kegiatan transaksi ekspor batubara. Hal ini didukung pula  dengan kebijakan Keuangan PTBA sebagaimana SK Direksi No.127/KEP/Int-0100/OT.02/2009 tanggal 29 Mei 2009, bahwa Letter of Credit sangat berperan penting dalam kegiatan  ekspor batubara untuk mendapat kepastian pembayaran tepat waktu.

55

Letter of Credit merupakan sarana pembayaran yang berlaku dalam perdagangan Internasional dan diatur pula dalam Uniform Customs and Practice   for   Documentary   Credit   (UCPDC)   dari  International  Chamber  of Commerce, PublicationNo.600 dan diperjelas lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1982 yang merupakan landasan kebijakan pemerintah di bidang perdagangan luar negeri. Bahwa dalam menjalankan kegiatan ekspor / impor barang dapat dilakukan antara lain dengan cara  Letter of Credit. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Perusahaan untuk menggunakan sarana lain selain Letter of Credit dalam menjalankan bisnis penjualan batubara baik didalam negeri maupun di perdagangan Internasional.

2)      Keunggulan dan kelemahan L/C telah dengan jelas dapat dipahami dibandingkan bila menggunakan sarana pembayaran diluar L/C, sehingga dapat disimpulkan bahwa menggunakan L/C jauh lebih baik dalam mengantisipasi resiko kerugian transaksi eskpor batubara.   Selain itu pula SDM yang menangani Latter of  Credit sangat diharapkan adalah SDM yang betul-betul mengerti tentang L/C, sehingga risiko kerugian ekspor yang disebabkan  kesalahan dalam penanganan dokumen ekspor dapat diatasi.

DAFTAR RUJUKAN

Amir. 2002. Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Impor. IPM. Jakarta.

Pulungan, Ananda. 1998. Mekanisme Pembayaran Dalam Perdagangan International. Makalah pada Pelatihan Ekspor Impor, Depperindag. Jakarta.

Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982. Tata Cara Pembayaran Ekspor Impor.

Siregar, Baldric dan M. Fakhri Husein. 2005. Mekanisme Ekspor-Impor Dengan Letter of Credit. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.

Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 146/MPP/IV/99. 1999. Tentang Ketentuan Umum Di bidang Ekspor.

UCPDC. 2000. PT Bank Mandiri (Persero). Uniform Customs and Practice for Documentary Credits-600.

http://id.wikipedia.org

 

 

Read full story »

Filed Under:Uncategorized

By on July 23rd, 2013. This post has No Comments »

PENERAPAN PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN (PSAK) – SYARIAH

Poppy Indriani
Dosen tetap pada Universitas Bina Darma
Jalan Jenderal Ahmad Yani No.12 Palembang
Pos-el: poppy_indriani@mail.binadarma.ac.id

Abstract: This research intended to provide an understanding of the Islamic financial accounting standards. The purpose of this basic framework is used as a reference for the formulation of Islamic financial accounting standards in performing the tasks, the preparation of financial statements, as a reference in the auditor give an opinion and the users of financial statements. Islamic principles are the rules of Islamic law based on an agreement between the bank and another party to deposit funds or financing activities, or other activity that is expressed in accordance with sharia. In exercising the principles of sharia, Islamic banks also need to uphold the values of fairness, trust, partnership, transparency and mutual benefit for both the bank and the customer who is a pillar in muamalah activity. Therefore, the product should be provided to banking services can provide added value in improving employment opportunities and economic well-being of society which is based on Islamic values. In Indonesia, the main application of the principles stipulated in Bank Indonesia regulations and the Statement of Financial Accounting Standards (SFAS) No. 59 on Accounting for Islamic Banking (Amendment 2003).

Keywords: Statement Of Financial Accounting Standard-Islamic, Mudarabah, Musharakah, Salam Accounting, Istih’na

Abstrak: Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman atas standar akuntansi keuangan syariah. Adapun tujuan kerangka dasar ini adalah digunakan sebagai acuan bagi penyusunan standar akuntansi keuangan syariah dalam melaksanakan tugas, dalam penyusunan laporan keuangan, sebagai acuan auditor dalam memberikan pendapat dan para pemakai laporan keuangan. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Dalam menjalankan prinsip syariahnya, bank syariah juga harus menjunjung nilai-nilai keadilan, amanah, kemitraan, transparansi dan saling menguntungkan baik bagi bank maupun bagi nasabah yang merupakan pilar dalam melakukan aktivitas muamalah. Oleh karena itu, produk layanan perbankan harus disediakan untuk mampu memberikan nilai tambah dalam meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Di Indonesia, penerapan prinsip tersebut utamanya diatur dalam peraturan Bank Indonesia dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah (Revisi 2003).

Kata Kunci: Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan-Syariah, Mudarabah, Musyarakah, Akuntansi Salam, Istih’na.

1. PENDAHULUAN

Islam sebagai agama yang universal dan komprehensif, sangat mampu menjawab problematika-problematika kehidupan manusia yang kompleks termasuk di dalamnya masalah perekonomian. Allah SWT berfirman (QS.17:9) “Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal kebajikan bahwa bagi mereka adalah pahala besar”. Sekarang bagaimana solusi Islam dalam menjawab permasalahan ekonomi umat?
Salah satu faktor penting dalam pembangunan suatu negara adalah adanya dukungan dari sistem keuangan yang sehat dan stabil, demikian pula dengan negara Indonesia. Sistem keuangan negara Indonesia sendiri terdiri dari tiga unsur, yakni sistem moneter, sistem perbankan dan sistem lembaga keuangan bukan bank.
Perkembangan perekonomian yang semakin kompleks tentunya membutuhkan ketersediaan dan peran serta lembaga keuangan. Kebijakan moneter dan perbankan merupakan bagian dari kebijakan ekonomi yang diarahkan untuk mencapai sasaran pembangunan. Oleh sebab itu peranan perbankan dalam suatu negara sangat penting. Lembaga keuangan menjadi sangat penting dalam memenuhi kebutuhan dana bagi pihak defisit dana dalam rangka untuk mengembangkan dan memperluas suatu usaha atau bisnis. Lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi berfungsi memperlancar mobilisasi dana dari pihak surplus dana ke pihak defisit dana.
Saat ini ada dua jenis lembaga keuangan yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, sedangkan lembaga keuangan bukan bank adalah lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat melalui penjualan surat-surat berharga. Bentuk dari lembaga keuangan bukan bank ini adalah modal ventura, anjak piutang, dana pensiun, dan pegadaian.
Lembaga keuangan perbankan merupakan lembaga keuangan yang bertugas menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat guna memenuhi kebutuhan dana bagi pihak yang membutuhkan, baik untuk kegiatan produktif maupun konsumtif. Lembaga perbankan di Indonesia telah terbagi menjadi dua jenis yaitu, bank yang bersifat konvensional dan bank yang bersifat syariah. Bank yang bersifat konvensional adalah bank yang pelaksanaan operasionalnya menjalankan sistem bunga (interest fee), sedangkan bank yang bersifat syariah adalah bank yang dalam pelaksanaan operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip syariah Islam. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.
Dalam menjalankan prinsip syariahnya, bank syariah juga harus menjunjung nilai-nilai keadilan, amanah, kemitraan, transparansi dan saling menguntungkan baik bagi bank maupun bagi nasabah yang merupakan pilar dalam melakukan aktivitas muamalah. Oleh karena itu, produk layanan perbankan harus disediakan untuk mampu memberikan nilai tambah dalam meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Di Indonesia, penerapan prinsip tersebut utamanya diatur dalam peraturan Bank Indonesia dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah (Revisi 2003). Kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan Bank Syariah yang berisi tentang tujuan akuntansi keuangan, tujuan laporan keuangan, asumsi dasar atas sistem pencatatan dasar aktual, karakteristik kualitatif laporan keuangan dan unsur laporan keuangan. Ternyata PSAK 59 tidak mampu bertahan lama, tahun 2006 muncul exposure draft akuntansi entitas syariah yang secukupnya lebih luas, yaitu PSAK 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah, PSAK 102 Akuntansi Murabahah, PSAK 103 Akuntansi Salam, PSAK 104 Akuntansi Istishna, PSAK 105 Akuntansi Mudharabah, dan PSAK 106 Akuntansi Musyarakah.
Bentuk pembiayaan perbankan berdasarkan prinsip syariah antara lain adalah berdasarkan prinsip jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati (murabahah), pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayarannya dilakukan di muka (salam), pembelian barang yang dilakukan dengan kontrak penjualan yang disepakati (istishna’), pemindahan hak guna atas barang dan jasa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ijarah), kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan modal 100% sedangkan pihak lain menjadi pengelola (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), jaminan yang diberikan oleh bank kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (kafalah), pengalihan hutang (hawalah), dan pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih dan diminta kembali (qardh).
Berdasarkan uraian d iatas maka permasalahan yang akan diteliti dari penelitian ini adalah “Penerapan Pernyataan Akuntansi Keuangan (PSAK)-Syariah”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi berupa penerapan pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK)-Syariah. Adapun ruang lingkup penelitian ini yaitu membahas mengenai PSAK-Syariah No. 101 sampai dengan PSAK 106.

2. METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Kerangka Penelitian

Standar Akuntansi Keuangan (SAK) berbasis syariah telah dipisah dengan SAK-Konvensional atau yang lebih dikenal IFRS. Entitas yang melakukan kegiatan ekonomi berbasis syariah, berhak melakukan standar keuangan yang berbasis syariah, yaitu PSAK 101 sampai dengan PSAK 106.

2.2 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan oleh Penulis sebagai bahan penulisan ini menggunakan data sekunder. Adapun pengertian data sekunder akan dijelaskan secara singkat yaitu data sekunder adalah data penelitian yang menjadi landasan perbandingan melalui literatur-literatur yang relevan dengan objek yang diteliti maupun buku-buku bacaan lainnya yang berhubungan dengan judul penelitian.
Data sekunder dapat diperoleh melalui studi kepustakaan, teknik ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data sekunder atau data penunjang yang berfungsi sebagai landasan teori yang berguna untuk mendukung penelitian ini, penelitian ini dilakukan dengan mengkaji dan menelaah buku-buku yang berhubungan dengan PSAK-Syariah maupun ilmu cabang terapan syariah. Adapun hal seperti ini dapat dilakukan dengan cara mendatangi perpustakaan Universitas Bina Darma atau juga men-download artikel-artikel yang berjudul syariah.

3. HASIL

3.1 Perbankan Syariah

Pengertian bank menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008 yaitu “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat”.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.31, bank didefinisikan sebagai berikut: Bank adalah lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan antara pihak yang memiliki dana serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.
Sedangkan pengertian bank syariah menurut UU No. 21 Tahun 2008 dalam pasal (1) yaitu: bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan syariah.

3.2 Landasan Hukum Bank Syariah

Bank Syariah mempunyai beberapa landasan. Landasan hukum dari bank syariah dapat diuraikan berikut ini:
1) Landasan Syariah
Landasan syarian pertama adalah berdasarkan Al-Qur’an. Ketentuan dalam Al-Qur’an yang mengharuskan umat Islam untuk melakukan investasi dan perdagangan ada dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah (2:275): “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka yang diambilnya dahulu (sebelum, datang larangan) dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal didalamnya. (Q.S. Al Baqarah (2):275)”.
Serta dalam Q.S. Ali Imran (3:130) yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Ali Imran (3:130)”.
Landasan syariah kedua adalah berdasarkan Al Hadist. Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah”.

2) Landasan Hukum
Pemberian landasan hukum bagi beroperasinya perbankan syariah dalam perubahan UU No. 14 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Perbankan menjadi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah dicantumkan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan perbankan dengan prinsip bagi hasil yang selanjutnya diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank dan Bagi Hasil.
Setelah UU No. 7 Tahun 1992 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dapat dilihat jelas tentang Bank Syariah, karena pada undang-undang ini sudah tercantum kata-kata Bank Syariah. Bahkan Pasal 1 angka 3 menetapkan bahwa salah satu bentuk usaha adalah menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Namun selebihnya, menurut undang-undang tersebut Bank Syariah harus tunduk pada seluruh peraturan Bank Umum yang berlaku, yang pada umumnya belum mengakomodir keunikan Bank Syariah. Bank Indonesia selaku pemegang otoritas perbankan di Indonesia bertugas menjaga kestabilan sistem dan menjamin kepatuhan perbankan syariah terhadap prinsip-prinsip syariah. Bank Indonesia mengeluarkan beberapa produk hukum, terkait dengan instrumen pengaturan kegiatan Perbankan Syariah.
Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berdasarkan nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Begitu juga dengan kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah yang semakin meningkat, dikarenakan perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional, serta UU No. 7 Tahun 1992 yang telah diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, belum spesifik mengatur mengenai perbankan syariah, maka dibentuklah UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini, mengatur tentang perbankan yang berdasarkan prinsip syariah sehingga perbankan syariah telah mempunyai kedudukan hukum yang jelas di Indonesia.

3.3 Tujuan dan Keistimewaan Bank Syariah

Bank-bank syariah dibentuk dengan tujuan: 1) Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara Islam khususnya muamalah yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur haram dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam, juga menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi umat. 2) Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi, dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar, antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan modal. 3) Untuk meningkatkan kualitas hidup umat, dengan jalan membuka peluang usaha yang lebih besar terutama kepada kelompok miskin yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian berusaha. 4) Untuk membantu menanggulangi (mengentaskan garis kemiskinan), yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama. 5) Untuk menjaga kestabilan ekonomi dan moneter pemerintah. Dengan aktivitas-aktivitas bank syariah yang diharapkan mampu menghindarkan inflasi akibat penerapan sistem bunga, menghindarkan persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan, khususnya bank dan menanggulangi kemandirian lembaga keuangan, khususnya bank dari pengaruh gejolak moneter baik dari dalam maupun luar negeri. 6) Untuk menyelamatkan ketergantungan umat islam terhadap bank non-islam yang menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan bank, sehingga umat Islam tidak bisa melaksanakan ajaran agamanya secara penuh, terutama di bidang kegiatan bisnis dan perekonomiannya.
Bank Syariah memiliki keistimewaan-keistimewaan yang juga merupakan perbedaan jika dibandingkan dengan bank konvensional. Sumitro (2004:22) memberikan pemahamannya mengenai keistimewaan bank syariah: 1) Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang saham, pengelola bank dan nasabahnya. 2) Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, akan menimbulkan akibat-akibat yang positif. 3) Di dalam Bank Syariah, tersedia fasilitas kredit kebaikan (al-Qardhul Hasan) yang diberikan secara cuma-cuma. 4) Keistimewaan yang paling menonjol dari bank syariah adalah melekat pada konsep (built in concept). 5) Keistimewaan lain bank syariah adalah dengan penerapan sistem bagi hasil berarti tidak membebani biaya diluar kemampuan nasabah dan akan menjamin adanya keterbukaan. 6) Adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan ekonomi masyarakat modern cenderung menimbulkan pengeksploitasian kelompok kuat (kuat ekonomi dan politik) dan kelompok lemah. Kenyataan ini menimbulkan reaksi balik dari kelompok lemah yang mayoritas untuk berkreasi bagi munculnya kehidupan ekonomi yang berkeadilan .

3.4 Akuntansi Syariah vs. Akuntansi Konvensional

Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al-Qur’an, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah akuntansi konvensional. Kaidah-kaidah akuntansi syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat Islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut: 1) Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi; 2) Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan; 3) Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal; 4) Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang; 5) Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya); 6) Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan; 7) Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, terdapat pada beberapa hal. Pertama, para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas.
Kedua, modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang.
Ketiga, dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai.
Keempat, konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko.
Kelima, konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal.
Keenam, konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem akuntansi syariah islam dengan akuntansi konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

3.5 Landasan PSAK 59

Akuntansi Perbankan Syariah di Indonesia berpedoman terhadap PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 59 yang diadobsi dari AAOIFI singkatan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions, lembaga regulasi keuangan Islam internasional yang berkedudukan di Abu Dhabi, UEA. AAOIFI telah mengeluarkan Standar Akuntansi dan Auditing untuk lembaga keuangan Islam (Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions) tahun 1998.
PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 59 merupakan pernyataan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengenai Akuntansi Perbankan Syari’ah. Standar ini banyak merujuk pada AAOIFI.

3.6 Pemahaman PSAK 59

Sebagaimana telah dijelaskan di dalam kerangka teori, yang berupa pengertian bank, pengertian syariah serta perbedaan antara bank konvensional dengan bank syariah, serta pengadobsian PSAK 59 berdasarkan AAOIFI singkatan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions). Akhirnya di Indonesia pada awal 1992-2002 atau 10 tahun Bank Syariah tidak memiliki PSAK khusus. Para ahli dan pakar praktisi akhirnya mengesahkan PSAK 59 sebagai dasar hukum dari standar akuntansi perbankan syariah di Indonesia.
Produk DSAK – IAI ini perlu diacungkan jempol dan merupakan awal dari pengakuan dan eksistensi Akuntansi Syariah di Indonesia. PSAK ini disahkan tgl 1 Mei 2002, berlaku mulai 1 Januari 2003 atau pembukuan yang berakhir tahun 2003. Berlaku hanya dalam tempo 5 tahun.
Berdasarkan pernyataan yang dikutip dari SAK Mei 2002, menjelaskan tentang: “PSAK No.59 adalah awal lahirnya standar mengenai akuntansi syariah. PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada tanggal 1 Mei 2002. Walaupun PSAK 59 sudah tidak berlaku lagi, namun inilah tonggak dari keperluan kita akan akuntansi syariah”.
Adapun inti dari PSAK 59 yaitu pernyataan ini bertujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi (pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan) transaksi khusus yang berkaitan dengan aktivitas bank syariah. Ruang lingkup dalam pernyataan ini diterapkan untuk bank umum syariah, bank perkreditan rakyat syariah, dan kantor cabang syariah bank konvensional yang beroperasi di Indonesia. Hal-hal umum yang tidak diatur dalam pernyataan ini mengacu pada PSAK yang lain dan/atau prinsip akuntansi yang berlaku umum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Pernyataan ini bukan merupakan pengaturan penyajian laporan keuangan sesuai permintaan khusus (statutory) pemerintah, lembaga pengawas independen, dan bank sentral (Bank Indonesia).
Laporan keuangan bank syariah yang lengkap terdiri atas beberapa komponen yaitu neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan penggunaan dana zakat, infak, dan shadaqah, laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan, dan catatan atas laporan keuangan.
Pernyataan ini berlaku untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2003. Penerapan lebih dini dianjurkan.

3.7 Pencabutan PSAK 59

Setelah 10 tahun perbankan Indonesia tidak mempunyai standar akuntansi syariah, akhirnya pada 1 Mei 2002, disahkanlah PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah. Masa berlaku PSAK 59 ini terbilang lama, dan belum ada revisi dalam kurun waktu tersebut.
PSAK ini hanya berlaku selama 5 tahun dan akhirnya dibentuklah standar khusus akuntansi syariah. Ada beberapa alasan mengapa PSAK 59 ini dicabut, yaitu: 1) PSAK 59 ini dianggap tidak dapat mengakomodir perkembangan akuntansi syariah yang semakin pesat, 2) Akuntansi syariah bukan hanya terbatas terhadap penyajian laporan keuanganan saja, tetapi sangatlah luas, meliputi beberapa hukum syariah. 3) Perbankan syariah sudah tumbuh dan sangat berkembang pesat, sehingga dibutuhkan suatu standar yang lebih baik. 4) Dibutuhkan suatu standar khusus mengenai perbankan syariah, walaupun standar tersebut masih merupakan bagian dari SAK. 5) Pengkhususan standar akuntansi khusus syariah merupakan langkah serius dalam mengembangkan perekonomian di Indonesia, khususnya perbankan syariah. 60 Dengan adanya standar khusus syariah, diharapkan dapat menarik minat investor untuk menanamkan.

3.8 Penerbitan Standar Akuntansi Khusus Syariah

Seiring dengan berjalannya waktu, ekonomi syariah pun mulai menjadi salah satu fokus di dalam lembaga keuangan, yang tidak lagi hanya sebagai alternatif atas kekurangan ekonomi konvensional, tetapi sudah menjadi perekonomian solutif dalam memecahkan persoalan ekonomi. Oleh karena itu, keberadaan akuntansi syariah mutlak diperlukan untuk mengimbangi laju perkembangan ekonomi syariah ini.
Keberadaan PSAK Syariah yang baik akan mendorong terciptanya sistem akuntansi yang baik pula, sehingga akan tersedia informasi yang dapat dipercaya. peran keberadaan PSAK Syariah yang matang, berimbas pada perkembangan Lembaga Keuangan Syariah.
Hingga saat ini Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah menerbitkan 9 (sembilan) PSAK Syariah yaitu: penyajian laporan keuangan syariah, akuntansi murabahah, akuntansi salam, akuntansi istishna, akuntansi mudharabah, akuntansi musyarakah, akuntansi ijarah, asuransi syariah, dan akuntansi, zakat, infak & sedekah (belum di terbitkan namun sudah disahkan).

3.9 Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah

Kerangka dasar ini menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi para penggunanya. Tujuan kerangka dasar ini adalah untuk digunakan sebagai acuan bagi: 1) Penyusun standar akuntansi keuangan syariah, dalam pelaksanaan tugasnya; 2) Penyusun laporan keuangan, untuk menanggulangi masalah akuntansi syariah yang belum diatur dalam standar akuntansi keuangan syariah; 3) Auditor, dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan keuangan disusun sesuai dengan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum; dan 4) Para pemakai laporan keuangan, dalam menafsirkan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan syariah.

3.10 PSAK 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur penyajian dan pengungkapan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statements) untuk entitas syariah, yang selanjutnya disebut “laporan keuangan”, agar dapat dibandingkan baik dengan laporan keuangan entitas syariah periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas syariah lain.
Ruang Lingkup Pernyataan ini diterapkan dalam penyajian laporan keuangan entitas syariah untuk tujuan umum yang disusun dan disajikan sesuai dengan PSAK. Entitas syariah yang dimaksud di PSAK ini adalah entitas yang melaksanakan transaksi syariah sebagai kegiatan usaha berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang dinyatakan dalam anggaran dasarnya.
Pernyataan ini bukan merupakan pengaturan penyajian laporan keuangan sesuai permintaan khusus (statutory) seperti pemerintah, lembaga pengawas independen, bank sentral, dan sebagainya.
Laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas syariah yang meliputi aset, b) kewajiban, dana syirkah temporer, ekuitas, pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian, arus kas, dana zakat, dan dana kebajikan.
Pernyataan ini berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas syariah yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang berhubungan dengan pengaturan penyajian laporan keuangan bank syariah.
Hal ini untuk meningkatkan daya banding antara entitas syariah dan entitas konvensional (yang menggunakan PSAK 1 (revisi 2009) dan efektif 1 Januari 2011) dan adanya keterkaitan penyajian laporan keuangan dengan SAK.

3.11 PSAK 102 Akuntansi Murabahah

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi mudharabah. Ruang Lingkup Pernyataan ini diterapkan untuk entitas yang melakukan transaksi mudharabah baik sebagai pemilik dana (shahibul maal) maupun pengelola dana (mudharib).
Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana.
Adapun karakteristik akuntansi murabahah adalah 1) Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli. 2) Jika aset yang telah dibeli penjual mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan ke pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi tanggungan penjual dan akan mengurangi nilai akad. 3) Akad murabahah memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda sebelum akad murabahah dilakukan. Namun jika akad tersebut telah disepakati, maka hanya ada satu harga (harga dalam akad) yang digunakan. 4) Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual, sedangkan biaya perolehan harus diberitahukan. Jika penjual mendapat diskon sebelum akad murabahah, maka diskon itu merupakan hak pembeli. 5) Penjual dapat meminta pembeli menyediakan agunan atas piutang murabahah, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari penjual dan atau aset lainnya. 6) Penjual dapat meminta uang muka kepada pembeli sebagai bukti komitmen pembelian sebelum akad disepakati. Uang muka penjadi bagian pelunasan piutang murabahah, jika akad murabahah disepakti. Jika akad murabahah batal, maka uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah dikurangi kerugian rill yang ditanggung oleh penjual. Jika uang muka itu lebih kecil dari kerugian, maka penjual dapat meminta tambahan dari pembeli. 7) Jika pembeli tidak dapat menyelesaikan piutang murabahah sesuai dengan yang diperjanjikan, maka penjual dapat mengenakan denda kecuali dapat dibuktikan bahwa pembeli tidak atau belum mampu melunasi disebabkan oleh force majeur. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu membuat pembeli lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana kebajikan. 8) Penjual boleh memberikan potongan pada saat pelunasan piutang murabahah. 9) Penjual boleh memberikan potongan dari total piutang murabahah yang belum dilunasi.
Pernyataan ini berlaku efektif untuk laporan keuangan entitas yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah, yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan mudharabah.

3.12 PSAK 103 Akuntansi Salam

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi salam. Ruang lingkup pernyataan ini diterapkan untuk entitas yang melakukan transaksi salam, baik sebagai penjual atau pembeli.
Salam adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
Adapun karakteristik akuntansi salam, yaitu: 1) Entitas dapat bertindak sebagai pembeli dan/atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika entitas bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam, maka hal ini disebut salam paralel. Salam paralel dapat dilakukan dengan syarat: akad antara entitas (sebagai pembeli) dan produsen (penjual) terpisah dari akad antara entitas (sebagai penjual) dan pembeli akhir; dan kedua akad tidak saling bergantung (ta’alluq). 2) Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Dalam hal bertindak sebagai pembeli, entitas dapat meminta jaminan kepada penjual untuk menghindari risiko yang merugikan. 3) Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus bertanggungjawab atas kelalaiannya. 4) Alat pembayaran harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa kas, barang, atau manfaat. Pelunasan harus dilakukan pada saat akad disepakati dan tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang penjual atau penyerahan piutang pembeli dari pihak lain. 5) Denda yang diterima oleh pembeli diakui sebagai bagian dana kebajikan.
Pernyataan ini berlaku efektif untuk laporan keuangan entitas yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah, yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi salam.

3.12 PSAK 104 Akuntansi Istishna’

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi istishna’. Ruang lingkup pernyataan ini diterapkan untuk lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang melakukan transaksi istishna’, baik sebagai penjual maupun pembeli.
Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).
Berdasarkan akad istishna’, pembeli menugaskan penjual untuk menyediakan barang pesanan (mashnu’) sesuai spesifikasi yang disyaratkan untuk diserahkan kepada pembeli, dengan cara pembayaran di muka atau tangguh. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad.
Adapun Karakteristik Akuntansi Istishna’ adalah 1) Berdasarkan akad istishna’, pembeli menugaskan penjual untuk menyediakan barang pesanan (mashnu’) sesuai spesifikasi yang disyaratkan untuk diserahkan kepada pembeli, dengan cara pembayaran dimuka atau tangguh. 2) Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. 3) Barang pesanan harus memenuhi kriteria: memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati; sesuai dengan spesifikasi pemesan (customized), bukan produk massal; dan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. 4) Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang diserahkan salah atau cacat maka penjual harus bertanggung jawab atas kelalaiannya. 5) Entitas dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna’. Jika entitas bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain (produsen atau kontraktor) untuk membuat barang pesanan juga dengan cara istishna’ maka hal ini disebut istishna’ paralel. 6) Istishna’ paralel dapat dilakukan dengan syarat akad pertama, antara entitas dan pembeli akhir, tidak bergantung (mu’allaq) dari akad kedua, antara entitas dan pihak lain. 7) Pada dasarnya istishna’ tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi: kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya; atau akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad. 8) Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas:jumlah yang telah dibayarkan; dan penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.
Pernyataan ini berlaku efektif untuk laporan keuangan entitas yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah, yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi istishna’.

3.13 PSAK 105 Akuntansi Mudharabah

Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi mudharabah. Ruang lingkup pernyataan ini diterapkan untuk entitas yang melakukan transaksi mudharabah baik sebagai pemilik dana (shahibul maal) maupun pengelola dana (mudharib).
Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana.
Adapun karakteristik Akuntansi Mudharabah: 1) Entitas dapat bertindak baik sebagai pemilik dana atau pengelola dana. 2) Mudharabah terdiri dari mudharabah muthlaqah, mudharabah muqayyadah, dan mudharabah musytarakah. Jika entitas bertindak sebagai pengelola dana, maka dana yang diterima disajikan sebagai dana syirkah temporer. 3) Dalam mudharabah muqayadah, contoh batasan antara lain: tidak mencampurkan dana pemilik dana dengan dana lainnya; tidak menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa penjamin, atau tanpa jaminan; atau mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga. 4) Pada prinsipnya dalam penyaluran mudharabah tidak ada jaminan, namun agar pengelola dana tidak melakukan penyimpangan maka pemilik dana dapat meminta jaminan dari pengelola dana atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. 5) Pengembalian dana mudharabah dapat dilakukan secara bertahap bersamaan dengan distribusi bagi hasil atau secara total pada saat akad mudharabah diakhiri. 6) Jika dari pengelolaan dana mudharabah menghasilkan keuntungan, maka porsi jumlah bagi hasil untuk pemilik dana dan pengelola dana ditentukan berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil usaha yang diperoleh selama periode akad. Jika dari pengelolaan dana mudharabah menimbulkan kerugian, maka kerugian finansial menjadi tanggungan pemilik dana.

3.14 Prinsip Pembagian Hasil Usaha

Pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil atau bagi laba. Jika berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dasar pembagian hasil usaha adalah laba bruto (gross profit) bukan total pendapatan usaha (omset). Sedangkan jika berdasarkan prinsip bagi laba, dasar pembagian adalah laba neto (net profit) yaitu laba bruto dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah.
Pernyataan ini berlaku efektif untuk laporan keuangan entitas yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah, yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan mudharabah.

3.14.1 PSAK 106 Akuntansi Musyarakah
Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi musyarakah. Ruang lingkup pernyataan ini diterapkan untuk entitas yang melakukan transaksi musyarakah. Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah (sukuk) yang menggunakan akad musyarakah.
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. Dana tersebut meliputi kas atau aset nonkas yang diperkenankan oleh syariah.
Karakteristik akuntansi musyarakah adalah 1) Para mitra (syarik) bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai suatu usaha tertentu dalam musyarakah, baik usaha yang sudah berjalan maupun yang baru. Selanjutnya salah satu mitra dapat mengembalikan dana tersebut dan bagi hasil yang telah disepakati nisbahnya secara bertahap atau sekaligus kepada mitra lain. 2) Investasi musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas, atau aset nonkas. 3) Karena setiap mitra tidak dapat menjamin dana mitra lainnya, maka setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang disengaja. Beberapa hal yang menunjukkan adanya kesalahan yang disengaja adalah pelanggaran terhadap akad, antara lain, penyalahgunaan dana investasi, manipulasi biaya dan pendapatan operasional; atau pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. 4) Jika tidak terdapat kesepakatan antara pihak yang bersengketa maka kesalahan yang disengaja harus dibuktikan berdasarkan keputusan institusi yang berwenang. 5) Keuntungan usaha musyarakah dibagi di antara para mitra secara proporsional sesuai dengan dana yang disetorkan (baik berupa kas maupun aset nonkas) atau sesuai nisbah yang disepakati oleh para mitra. Sedangkan kerugian dibebankan secara proporsional sesuai dengan dana yang disetorkan (baik berupa kas maupun aset nonkas). 6) Jika salah satu mitra memberikan kontribusi atau nilai lebih dari mitra lainnya dalam akad musyarakah maka mitra tersebut dapat memperoleh keuntungan lebih besar untuk dirinya. Bentuk keuntungan lebih tersebut dapat berupa pemberian porsi keuntungan yang lebih besar dari porsi dananya atau bentuk tambahan keuntungan lainnnya. 7) Porsi jumlah bagi hasil untuk para mitra ditentukan berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil usaha yang diperoleh selama periode akad, bukan dari jumlah investasi yang disalurkan. 8) Pengelola musyarakah mengadministrasikan transaksi usaha yang terkait dengan investasi musyarakah yang dikelola dalam catatan akuntansi tersendiri.

Prinsip Pembagian Hasil Usaha
Untuk pertanggungjawaban pengelolaan usaha musyarakah dan sebagai dasar penentuan bagi hasil, maka mitra aktif atau pihak yang mengelola usaha musyarakah harus membuat catatan akuntansi yang terpisah untuk usaha musyarakah tersebut.
Pernyataan ini berlaku efektif untuk laporan keuangan entitas yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. Pernyataan ini menggantikan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan musyarakah.
4. SIMPULAN

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Adapun landasan hukum bank syariah yaitu berdasarkan landasan syariah yang terdapat di dalam Al Qur’an dan Al Hadist serta berlandaskan hukum UU No. 21 Tahun 2008.
Akuntansi Perbankan Syariah di Indonesia berpedoman terhadap PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 59 yang diadobsi dari AAOIFI, lembaga regulasi keuangan Islam internasional yang berkedudukan di Abu Dhabi, UEA. AAOIFI telah mengeluarkan Standar Akuntansi dan Auditing untuk lembaga keuangan Islam (Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions) tahun 1998. PSAK ini disahkan tgl 1 Mei 2002, berlaku mulai 1 Januari 2003 atau pembukuan yang berakhir tahun 2003. Berlaku hanya dalam tempo 5 tahun.
Ada beberapa alasan mengapa PSAK 59 ini dicabut, yaitu PSAK 59 ini dianggap tidak dapat mengakomodir perkembangan akuntansi syariah yang semakin pesat, akuntansi syariah dan dunia perbankan syariah tumbuh dan berkembang pesat sehingga dibutuhkan suatu standar khusus mengenai akuntansi dan perbankan syariah.

DAFTAR RUJUKAN

Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. PSAK 101 : Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Online. (http://google.co.id/PSAK_101.wrd/, diakses 17 Oktober 2010)

Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. PSAK 102 : Akuntansi Murabahah. Online. (http://google.co.id/PSAK_102.pdf/, diakses 17 Oktober 2010).

Ikatan Akuntan Indonesia, 2007. PSAK 103 : Akuntansi Salam. From: http://google.co.id/PSAK_103.pdf/ 17 Oktober 2010).

Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. PSAK 104 : Akuntansi Istishna. Online. (http://google.co.id/PSAK_104.pdf/, diakses 17 Oktober 2010).

Ikatan Akuntan Indonesia, 2007. PSAK 106 : Akuntansi Musyarakah. Online. (http://google.co.id/PSAK_106.pdf/, diakses 17 Oktober 2010).

Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan Per Juli 2009. Salemba Empat. Jakarta.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2011. SAK Update 2011 dan SAK Khusus Syariah. Online. (http://www.google.com/SAK_khusus_syariah/, diakses 03 Oktober 2011)

Syahatah, Husein. dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam.

Read full story »

Filed Under:Uncategorized

Prospects Franchise Business Developments in Indonesia (Case studies of food businesses)

By on October 22nd, 2012. This post has 8 Comments »

Poppy Indriani & Yeni Widyanti

Lecture Faculty of Economics, University of Bina Darma Palembang

Palembang-Indonesia

 

Abstract: In the globalization era, business competition is very tight, it’s good a thing that competition between firms within a country, regional and global. A new company who is entering the busness world has to be equipped with the right strategy to compete not only the already well establish company but also the other new comers.

Franchise (franchising) is as an alternative to choose from in determining strategies to grow the business because of the capacity of the market are affected by the conditions, purchasing power and limited consumption patterns

Keywords : Franchise, company, business

 

INTRODUCTION

Competition in the era of globalization is very tight, it’s good competition between firms within a country, regional and global. To be able to survive for a new company to enter the business should have the right strategy so it can compete with companies that have existing or emerging. So the company does not just have to think carefully in addressing local competition in the country but still have to take into account the possibility of the entry of foreign competitors.

Franchising (franchising) is as an alternative to choose from in determining strategies to grow the business because of the capacity of the market are affected by the conditions, purchasing power and limited consumption patterns. Besides, the limited capacity of the company in terms of business development outside of the market that are available today have several problems, among others: the limitations of managerial skills, difficulty developing funds (capital) and limited skilled labor constraints result in licensing franchising business.

Franchising (franchising) for the first time introduced by Isaac Singer founded the company with a Singer sewing machine in the United States (1851), then followed by General Motors Industry (1898). While in the British Empire (UK) Franchise development pioneered by J Lyons through the efforts of Wimpy and the Golden Egg, In the 60’s.

In Indonesia, the franchise became known in the early 80’s, with the entry of foreign franchises in the business sector fast food such as KFC, Dunkin Donut, AW and others. The phenomenon that occurs franchise (francise) is more growing and expanding. Many innovative businesses that offer different kinds of ideas and new products, it can be mentioned among other food businesses. Can we see new outlets opened the mall,  with strategic locations, such as Sushi Naga, Bread Talk, Hoka-Hoka Bento, Mc Donald, AW, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken and others. The business instantly grabs the public attention proved by the number of customers waiting in line to taste the food without thinking how much they must pay.

 

MATERIAL AND METHODS

Starting your own business means facing two simultaneous situations are opportunities and risk on the other side. If the prospective entrepreneurs successfully utilize the opportunities that exist then the benefit will be obtained is in the form of profit or earnings. Conversely, if that fails then the consequences are obtained to bear the loss.

According Grifin and Ebert (1997: 156), sixty percent of new small businesses can only survive less than six years. Some things are often the cause of small business failure are:

• Experience and excellence in the management are low

• After opening a new business and looking successful, the owners and managers are less     committed or negligence that failed to focus on the business. Opening a small business takes time, sacrifice and commitment to work seriously in longer time.

• Weak control systems. Control system will help owners and managers to monitor costs, monitor production capacity and so on. If the control system is weak and the system does not provide a signal problem that will soon take place, and the manager would be in a serious situation prior difficulties kept him awake.

• Lack of capital.

 

Factors that could succeed in small business are:

• Work hard, motivated to succeed and dedication

• High demands

• Management Skills

• Luck

 

Franchise

Franchise is the right purchase agreement to sell the products and services of the business owners. Business owners called the franchisor or the seller, while the buyer’s “Right to Sell” is called the franchisee. The contents of the agreement are the franchisor will provide assistance in the manufacture, operation, management and financial issues sometimes up to the franchisee (Anang Sukandar, 2004: 9). Benefits differ widely depending on the policy of the franchisor. For example, some franchisors provide assistance to the franchisee from the start of the business ranging from site selection, store design, equipment, how to produce, standardization of materials, recruiting and training employees, to negotiate with financiers. There is also a franchisor marketing strategy and bear the cost of marketing. Instead franchisee will be bound by various regulations concerning the quality of the product / service to be sold. Franchisees are also tied to the financial kuajiban royalty payment to the franchisor as well as regular or not related to the level of successful sales achieved.

it can be concluded that the franchise operation is a contractual relationship between the franchisor and the franchisee in which the franchisor offers and must maintain a continuous interest in the franchisee business in the areas of knowledge, training. Franchisees operate under the brand / trade names are the same, the format and procedures are owned or controlled by the franchisor in which franchise to invest in it with its own resources.

The Company franchises (franchise) by Machfoedz (2007:34) can be performed on a variety of products and services such as drinks, fast food, ice cream, laundry services, hotels and so on. The franchise can be classified into four types with different characteristics to one another:

1. Manufacturer-retailer franchise system

Factory gives license to all retail outlets (outlet) to store inventory and market its product. For example: motor vehicles, agricultural equipment, oil and gas products and shoes.

2. Manufacturer-wholesaler franchise system

Company’s beverages, particularly soft drinks and beer dominate the franchise in this type.

3. Wholesaler-retailer franchise system

This disistem dominate the wholesale business, for example: Lotte Mart, Indomaret and others.

4. Franchise company name

Franchising is the most popular and growing rapidly in the past two decades this. For example: fast food restaurant Mc Donalds, KFC, Sheraton Inn, Novotel Hotel and so on.

 

Advantages and Disadvantages Factor Franchise

According Machfoedz (2007:46) some things to consider before starting a franchise aspiring entrepreneurs business. Here are the advantages and disadvantages of buying a franchise:

The advantages of starting a business by buying a franchise:

1. Assistance and training manajamen

Employers franchise with insufficient experience can get training in advance of the parent franchise company.

2. The concept of the company, the product and the name is known.

Absence of knowledge about the company and products trusted in the market. Consumers may know that the superior quality products offered by the franchise.

3. Financial assistance.

To start a business, it needs large amounts of funds and limited resources. Franchise companies provide financial assistance in several ways.

4. Ownership.

Franchise companies may be privately owned, owners can enjoy independence, incentives and profit independent business.

 

The factors are weaknesses franchise:

1. The high initial costs.

Initial franchise fee varies, depending on the type of business which includes the cost of opening a franchise business that can only be done once, purchase of land, buildings and equipment, and funds for the provision of materials and operating costs of the company.

2. Restrictions on freedom to operate

Franchisees must follow the rules and regulations adopted parent company.

 

RESULT AND DISCUSSION

The Indonesian market is attractive market with 80 million of Indonesia’s 240 million people are middle class, where the rate is very high potential of the Indonesian market. BPS (Central Bureau of Statistics) in 2012 to grow around 56% of the new middle class aka the nouveau riche in Indonesia. Later this society that will sustain economic growth in Indonesia because their purchasing power is strong.

This is one driver of growth and development of franchising in Indonesia. In addition to high purchasing power, curiosity of new products and a high sense of prestige.

Franchise can be divided into two major groups, namely the franchise Foreign and Local Franchise. Franchisornya foreign franchises are coming from overseas. Some franchises foreign banks in Indonesia for example, in the business of food, beverages and cafe among others Quickly, Baskin Robin, Starbucks, Mc Donalds, Pizza Hut, Wendy’s, Tony Romas, Bread Story, Bread Talk, Kentucky Fried Chicken, Cafe Dome, Hard Rock Café, Planet Hollywood, while the other business areas such as Sogo Department Store, Marks & Spencer, Ace hardware, Indonesia ERA, Ray White, English First, Future Kids, and others. In a short few Foreign Franchise is growing in many cities in the country. Local franchises such as Es Teler 77, Lele Lela,Mr Celup,, Ayam Bakar Wong Solo, and others. Advantages franchise (franchising) for the franchisor is able to grow its business rapidly in many locations simultaneously and increase profits by leveraging investment from franchisees.

Today’s business trend world is doing Business Instant favorable. Franchisees do not need to start a business from scratch and struggled to develop the market and infuse it with a strong brand in the market. By doing so acquired the franchise rights to open a business with the brand that are well known and have a market. This trend certainly be welcomed by business owners because in addition to increasing profits will also expand their marketing area.

From the above statement can be seen that the franchise will be very much helpful and beneficial, such as management support including marketing assistance and training assistance for employees so that technical knowledge can be obtained from the franchise and no problems with the management of its operations. Another important thing is the franchisee does not have to start a business from zero because the brand already has a franchise product market or known. Into consideration only the initial cost is quite steeper.

Market producers entering the food franchise business is a competitive market monopoly because each franchise brand food products and services have certain characteristics with flavors and different product forms.

The reason for choosing the form of the retail market due to the distribution channel is very short and direct. This will facilitate the control of service and product control so as to maintain the quality of products and services sold. Moreover, it can also be obtained direct feedback or suggestions from customers.

External environment and the food industry is not a threat to the food franchise business because they sell their products and services with a characteristic, such as dishes from Vietnam, Korea, Japan or the cuisine of a particular region in Indonesia as Padang cuisine, each of which has a taste and way of Sitra different presentation. Often the atmosphere of the restaurant was designed in the original area anyway.

It had become a factor often overlooked by failure because Indonesia is the franchise does not have managerial incompetence and inexperience. Although the franchisor provides training and management assistance, but still required a high degree of franchisees and the entire staff. They have to work hard and not negligent, must always maintain strict product quality and service. Once they neglect this because the control system is weak then customers will switch to competitors. Food business has a high sensitivity to quality and price

 

CONCLUTION

Based on the discussion and analysis that has been conducted in accordance with the purposes of research and then be concluded as follows:

  1. Indonesia with 56% of the new medium with a high purchasing power resulting in growing  franchise. Shape franchise is a business instant Indonesia in great demand by employers because of markets that are already available and some of the advantages of this form of franchise itself like managerial and operational assistance provided by the franchisor.
  2. Food franchise business has a special feature of the product so that it can  more survive.
  3. Franchise businesses distribution are to short so the control the quality of products and

services can be done directly.

 

 

REFERENCES

  1. Anang Sukandar, Drs, 2004 Franchising di Indonesia, Asosiasi Franchise Indonesia
  2. Mahmud Machfoedz, 2007, pengantar modern bisnis, andi offset, Jakarta.
  3. Dewi Astuti, Kajian Bisnis Franchise Makanan di Indonesia, Puslit Petra, Surabaya

 

Read full story »
Tags:
Filed Under:Call paper

AUDIT MANAJEMEN DALAM MENINGKATKAN EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS FUNGSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA PT ASTRA INTERNASIONAL Tbk-HONDA CABANG PLAJU PALEMBANG

By on October 20th, 2012. This post has 6 Comments »

Penulis : Tommy Indrianto dan Poppy Indriani

Abstract: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas fungsi sumber daya manusia pada PT astra internasional tbk-honda cabang plaju Palembang agar dapat diketahui kelemahan dan kekurangan yang ada di dalam pengelolaan dan pelaksanaan fungsi sumber daya manusia. Fungsi-fungsi dalam manajemen sumber daya manusia telah dijalankan secara menyeluruh namun, masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaannya, yaitu pada pelaksanaan fungsi perencanaan sumber daya manusia, perencanaan seleksi karyawan, serta pelaksanaan terhadap penilaian kinerja karyawan. Maka penulis menyarankan agar lebih memberikan perhatian terhadap prestasi kerja karyawannya, sehingga karyawan merasa dihargai dan terpacu untuk terus berprestasi dalam bekerja agar sesuai dengan efisiensi dan efektivitas yang telah ditetapkan oleh peraturan perusahaan. Perusahaan hendaknya dapat lebih intensif dalam memberikan pelatihan dan pendidikan kembali kepada karyawan. Sehingga karyawan akan mendapatkan pembelajaran yang berguna untuk improvement bagi kemajuan perusahaan

Kata Kunci :  Audit Manajemen untuk meningkatkan Efektivitas dan efisiensi                                                   Pelaksanaan fungsi SDM.

 

Abstrak: This study aims to improve the efficiency and effectiveness of human resource functions at PT Astra International tbk-honda Plaju Palembang branch in order to know the weaknesses and deficiencies in the management and implementation of human resource functions. Functions in human resource management has been implemented as a whole however, there are still shortcomings in the implementation, namely the implementation of human resource planning function, planning, employee selection, and implementation of employee performance appraisal. The authors suggested that more attention to the work performance of employees, making employees feel valued and motivated to continue to excel in working order in accordance with the efficiency and effectiveness that have been set by the regulations. Companies should be more intensive in providing training and education back to the employees. So that employees will get a useful learning for improvement for the company’s progress

Keywords:  Management Audit to improve the effectiveness and efficiency of                   implementation of human resource functions.

 

 

 

1.    PENDAHULUAN

 

Persaingan global memberikan tekanan pada seluruh perusahaan dan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa sekarang ini dapat digunakan para manajemen dalam memacu perkembangan perusahaan sehingga dapat meningkatkan daya saing yang sangat tinggi pada perusahaan karena setiap perusahaan harus berusaha untuk lebih produktif. Kesadaran bahwa pada era ekonomi global telah menempatkan setiap perusahaan pada posisi yang sama, karena era globalisasi ini sebagai era tanpa batas yang disertai dengan persaingan yang serba ketat, berat, dan cepat perlu perhitungan yang akurat dalam segala hal. Selain itu hanya perusahaan yang mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas yang akan berhasil dalam persaingan global. Era global sebagai era dihapuskannya segala proteksi yang mungkin selama ini dinikmati oleh beberapa pelaku bisnis seperti bisnis di bidang distribusi dan retailer sepeda motor. Bisnis di bidang distribusi dan retailer sepeda motor yang dilakukan oleh beberapa perusahan membutuhkan manajemen yang  baik.

Tujuan sebuah organisasi adalah meraih keuntungan. Kegiatan manajemen umumnya berupa usaha untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara memanfaatkan sumber daya yang ada. Sumber daya ini antara lain meliputi manusia, uang, dan mesin serta infosmasi. Baik manajemen pemasaran,manajemen produksi, manajemen sumber daya manusia, dan manajemen keuangan memerlukan sumber daya

Salah satu cara untuk mewujudkanya ialah dengan melaksanakan audit, yaitu audit sumber daya manusia. Menurut Rivai (2006:550)  audit SDM adalah pemeriksaan kualitas secara menyeluruh kegiatan SDM dalam suatu departemen, divisi atau perusahaan, dalam arti mengevaluasi kegiatan-kegiatan SDM dalam suatu perusahaan dengan menitik beratkan pada peningkatan/perbaikan kegiatan. Audit sumber daya manusia memberikan peluang untuk menilai efektivitas fungsi sumber daya manusia, memastikan ketaatan terhadap hukum kebijakan dan peraturan serta prosedur, menetapkan pedoman untuk menetapkan standar, memperbaiki mutu dari staf sumber daya manusia, meningkatkan citra dari fungsi sumber daya manusia, meningkatkan perubahan dan kreativitas, menilai kelebihan dan kekurangan dari berbagai fungsi sumber daya manusia, memfokuskan staf sumber daya manusia pada masalah-masalah penting, membawa sumber daya manusia dekat kepada fungsi organisasi yang lain.

PT Astra Internasional Tbk – Honda Cabang Plaju Palembang Merupakan salah satu Corporate Operations PT Astra International Tbk yang bergerak di bidang distribusi dan retailer sepeda motor Honda.  Didirikan pada tahun 1970 Main Dealer dan Retailer Sepeda Motor Honda. Perusahaan ini Efektif beroperasi dimulai awal tahun 1970. Perusahaan lambat laun merambat kearah perkembangan sesuai rencana, penjualan pun meningkat. Dikarenakan perkembangan penjualan setiap bulan bertambah dan juga penanganan administrasinya, untuk mengatasi keadaan tersebut perusahaan mulai merekrut karyawan baru mulai dari kalangan masyarakat setempat supaya tidak terjadi kesenjangan sosial. Perusahaan Astra motor secara resmi telah menjadi jaringan penjualan motor honda sekaligus mempunyai bengkel resmi honda. Penjualan berkembang pesat, hal ini didukung oleh uang muka pengambilan sepeda motor yang rendah, serta daya beli masyarakat pun tinggi. Bukti dari kerja keras, kehati-hatian dan selaras dengan aturan-aturan  yang berlaku, maka dibutuhkan karyawan yang mau bekerja sama secara produktif untuk mencapai keberhasil dalam mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. PT Astra Internasional Tbk – Honda Cabang Plaju mempunyai hasil audit berupa penilaian kinerja meliputi hasil kerja dari karyawan itu sendiri, apakah hal-hal tersebut dilakukan sesuai standar oprasional perusahaan. Dan hasil review itu akan memberikan penilaian kepada masing-masing individu karyawan yang akan mempengaruhi kepada kompensasi masing-masing. Untuk mentaati peraturan yang telah perusahaan buat, maka dibutuhkan audit manajemen sumber daya manusia dari perusahaan serta adanya motivasi kerja.

 

  1. 2.              METODOLOGI  PENELITIAN

 

2.1          Lokasi Penelitian

 

PT Atra Internasional tbk-honda cabang plaju palembang beralamat di jl.A. Yani No.99, Kel 14 ulu kab. Palembang 30264 tlpn (0711) 517676. Fax (0711) 518007,510471

 

2.2     Kerangka Penelitian

 

Dari uraian karangka pemikiran yang telah dijelaskan mengenai audit manajeman sumber daya manusia, maka dapat digambarkan paradigma penelitian dengan dua variabel sebagai berikut

Audit Manajemen Sumber Daya Manusia

(X)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Sumber : Peneliti

Gambar 1. Paradigma Penelitian

 

2.3        Operasionalisasi Variabel

Untuk pengukuran dalam penelitian ini akan digunakan alat ukur atau instrumen penelitian yang disusun berdasarkan dimensi , faktor dan indikator dari masing-masing variabel. Variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian ini adalah: 1) Variabel Independen, Variabel independen dalam penelitian ini adalah audit manajemen SDM. (X). 2) Variabel Dependen, Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah efisiensi dan efektivitas (Y).

 

2.4      Sumber dan Pengumpulan Data

 

Sumber data yang dapat digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1.         Data Primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung dalam objek penelitian berupa data mentah yang masih perlu diolah yang diperoleh dengan cara:

a.  Pengamatan (Observasi) yaitu pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap data-data yang ada pada masa lalu yang berhubungan dengan objek yang diteliti.

b. Wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dalam memperoleh data dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung atau lisan kepada pihak-pihak yang berwenang yaitu pada bagian personalia dan bagian keuangan, di perusahaan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan.

2. Data sekunder adalah data yang digunakan dalam bentuk yang telah dikumpulkan oleh pihak-pihak lain atau intansi tertentu dan dapat langsung digunakan. Pengambilan data sekunder ini dengan cara studi pustaka yaitu pengumpulan bahan yang bersumber dari  membaca buku, artikel, karangan ilmiah, catatan-catatan, laporan dan lain sebagainya.

 

2.5        Teknik Analisis

 

Teknik analisis merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam suatu penelitian dengan menggunakan metode atau alat tertentu. Dalam penelitian ini, digunakan metode deskriftif.

 

  1. 3.            HASIL

 

3.1        Deskripsi

            Tujuan dari pelaksanaan audit manajemen atas fungsi SDM pada suatu perusahaan ialah untuk memastikan bahwa pelaksanaan operasi perusahaan telah dijalankan dengan cara efektif dan efisien, dalam pelaksanaan audit ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu dimulai dari audit pendahuluan atau persiapan pemeriksaan, pengujian pengendalian manajemen, pemeriksaan lanjutan, kemudian tahapan pelaporan yang berupa rekomendasi untuk tindak lanjut.

Tahapan pelaksanaan audit manajemen atas fungsi SDM :

  1. Pelaksanaan Persiapan Pemeriksaan

Langkah-langkah persiapan pemeriksaan yang dilakukan adalah :

  1. Memilih serta menentukan bidang atau cakupan, lingkup dan tujuan audit.

Bidang atau cakupan dan lingkup kegiatan audit yang akan dilakukan terbatas pada pelaksanaan fungsi manajemen sumber daya manusia yang terdiri dari kegiatan sehari-hari yang dilaksanakan berdasarkan kebijakan yang diterapkan dengan tujuan untuk menilai efektivitas dari pelaksanaan kegiatan manajemen SDM tersebut.

  1. Mengumpulkan data-data yang diperlukan, yaitu melalui :

–       Pengumpulan data-data yang berhubungan dengan kegiatan manajemen SDM, seperti : fungsi perencanaan pegawai dan pengembangan sistem, fungsi pelatihan dan pengembangan pegawai, fungsi pengelolaan kinerja dan jalur karir, dan fungsi penunjang umum.

–       Melakukan wawancara langsung dengan staf divisi SDM, untuk mengetahui secara lebih detail mengenai struktur organisasi, kebijakan, perencanaan, prosedur, personalia, dan pemeriksaan intern yang dilaksanakan.

–       Meminta data-data tertulis (dokumentasi) yang dibutuhkan, seperti struktur organisasi yang jelas, data-data penunjang pelaksanaan fungsi kepegawaian, data tentang perencanaan pegawai, dimana semua data itu berhubungan dengan pelaksanaan fungsi SDM.

 

  1. Pengujian Pengendalian Manajemen

Pelaksanaan tahap pengujian pengendalian manajemen bertujuan untuk lebih memantapkan sasaran utama pemeriksaan, dimana dengan menguji pengendalian manajemen dari suatu organisasi atau divisi, auditor dapat menilai apakah pengendalian manajemen telah dilaksanakan secara baik dan sesuai dengan tujuan organisasi.

 

  1. Pemeriksaan Lanjutan atas Fungsi Sumber Daya Manusia

Pada tahapan ini merupakan pokok dari audit atas fungsi SDM, dimana pada tahap ini audit atas fungsi SDM ditujukan untuk mendapatkan informasi faktual dan signifikan berupa data analisis, penilaian, dan rekomendasi yang dapat digunakan oleh manajemen dan para pengelola fungsi SDM untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan fungsi SDM nya, dimana rekomendasi ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk membuat ketentuan, sistem, prosedur baru atau sebagai acuan dalam melakukan kegiatan perbaikan atas ketentuan, sistem dan prosedur yang telah diimplementasikan.

 

  1. Pelaporan

Sesuai dengan tujuan akhir dari audit manajemen adalah menyajikan informasi kepada pihak manajemen mengenai temuan-temuan hasil pemeriksaan yang didapat selama pelaksanaan pemeriksaan dalam mencakup penelitian dan evaluasi atas semua fungsi dari manajemen tersebut. Selanjutnya dari hasil pemeriksaan ini disampaikan masukan-masukan (rekomendasi) dapat dijadikan pertimbangan bagi perusahaan yang bersangkutan dan berguna dalam pengambilan tindakan korektif. Setelah melakukan penelitian dan didasarkan pada data yang dikumpulkan, maka dapat diperoleh temuan-temuan mengenai keadaan di Bank Sumselbabel. Temuan-temuan itu diperoleh dari hasil analisis fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia yang terdiri dari : fungsi perencanaan dan pengembangan sistem, fungsi pelatihan dan pengembangan pegawai, fungsi pengelolaan kinerja dan jalur karir, serta fungsi penunjang umum.

 

  1. Tindak Lanjut

Temuan-temuan yang dianalisis tersebut disusun dengan judul, kondisi, kriteria (keadaan seharusnya), sebab (hal yang menyebabkan itu terjadi), akibat (perbedaan atas kondisi dan kriteria). dan rekomendasi. Temuan-temuan ini akan diuraikan beserta rekomendasi yang diperuntukan bagi pihak manajemen perusahaan dalam mencapai tujuannya.

 

3.3.2 Temuan-temuan

a.    Judul

Tidak adanya perencanaan sumber daya manusia

Kondisi

Perencanaan sumber daya manusia ini tidak akan dilaksanakan jika tidak dibutuhkan. Perencanaan belum secara maksimal dilaksanakan hanya jika mendapat laporan apabila terjadi kekurangan pada masing – masing unit. Perencanaan ini hanya untuk kebutuhan jangka pendek, tanpa mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang.

 

Kriteria

Kebijakan perusahaan yang menginginkan perencanaan sumber daya manusia secara matang untuk memperoleh hasil kerja yang maksimal tertentu untuk mempermudah diputuskan kapan saatnya penambahan karyawan, sehingga dari perencanaan karyawan tersebut dapat diketahui dengan jelas kuantitas dan kualitas dengan baik yang nantinya akan diperoleh hasil kerja yang baik pula serta perusahaa membutuhkan karyawan untuk menambah kekuatan bagi perusahaan.

 

Sebab

Kurangnya kesadaran betapa pentingnya fungsi perencanaan sumber daya manusia agar dapat diperoleh manfaat yang tepat bagi peningkatan pekerjaan perusahaan serta ada pelamar yang belum sesuai dengan kriteria yang di tetapkan untuk menduduki posisi tertentu dan ini akan mengakibatkan perusahaan melakukan rekrutmen ulang. Dalam hal ini perusahaan memiliki pedoman yaitu peraturan perusahaan dan standar operasional perusahaan untuk menempatkan orang-orang yang tepat dengan posisi yang tepat tidak hanya sesuai kriteria tetapi juga di anggap memiliki mental yang kuat dan berkepribadian. Untuk mencapai suatu posisi terkadang peserta telah sesuai dengan kriteria yang ada akan tetapi dianggap belum dianggap mampu untuk menduduki posisi tersebut.

 

 

 

Akibat

Perencanaan dalam perekrutan sangatlah diperhatikan oleh perusahaan karna perusahaan perusahaan ingin mendapatkan kualitas pekerja yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan perusahaan. Dengan tidak adanya perencanaan yang tepat dapat dikhawatirkan perusahaan tidak memiliki dasar yang kuat untuk mendaptkan sumber daya manusia yang berkualitas serta kriteria yang di tetapkan haruslah sesuai dengan yang di minta dan dengan adanya perencanaan, perusahaan dapat dan memiliki barometer untuk perekrutan.

 

Rekomendasi

PT Astra Internasional Tbk – Honda Cabang Plaju Palembang sebaiknya melaksanakan perencanaan sumber daya manusia secara rutin, meskipun perencanaan dan pemenuhan kebutuhan karyawan dilakukan sepenuhnya oleh pusat, tetapi bukan berarti Honda cabang Plaju Palembang tidak melakukan perencanaan sumber daya manusia atas kebutuhan dan ketersediaan SDM untuk menyelesaikan berbagai bidang tugas dan tanggung jawab yang harus dikelola perusahaan cabang dalam mencapai tujuannnya.

Perencanaan yang dilakukan tersebut akan menentukan dan mendukung pengambilan keputusan mengenai perencanaan sumber daya manusia yang dilakukan oleh pusat. Menurut penulis perencanaan tersebut sebaiknya dilakukan di akhir tahun dimana pada saat di awal tahun akan dimulainya dengan program kerja yang baru, dan begitu juga dengan perencanaan sumber daya manusia yang harus sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan sesuai dengan standart operasional perusahaan. Perusahaan harus melakukan perencanaan SDM secara terus-menerus bukan hanya pada saat dibutuhkan saja, karena perencanaan SDM sangat penting untuk mendapatkan SDM yang berkualitas.

 

  1. b.   Judul

Belum maksimalnya penggunaan daftar penilaian kerja

 

 Kondisi :

Dalam menilai kinerja karyawan berpengaruh pada hasil dari manajemen. Daftar penilaian kerja (form individual performance plan) tidak melakuan pengisian dilakukan sendiri oleh karyawan yang bersangkutan yang akan dinilai, hal ini di khawatirkan terjadinya manipulasi informasi.

 

Krieria :

Penilaian kinerja dilakukan secara berkala setahun sekali, dikirim dari pusat ke cabang untuk diisi sendiri. Isi penilaian sesuai dengan kriteria – kriteria yang ada pada daftar penilaian kerja pusat.

 

Sebab :

Penilaian yang seharusnya karyawan melakukan pengisian  form individual performenace plan tidak melakukan pengisian hal ini berpengaruh pada perbandingan penilaian dari manajeman karna manajemen menganggap karyawan tidak mempunyai plan atau improvment.

 

Akibat :

Informasi mengenai daftar penilaian kerja belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga dimungkinkan akan terjadinya kesalahan dalam menentukan karyawan yang memiliki prestasi yang baik dan akan terjadinya ketidak efektifan dalam pemberian kompensasi karena prestasi yang dimiliki belum sesuai dengan kenyatan.

 

Rekomendasi :

Penilaian kinerja dilakukan secara objektif dan profesional sesuai dengan ketentuan yang ada dengan menyampaikan pertimbangan – pertimbangan kedekatan hubungan apalagi dengan mengisi sendiri penilaian yang dikirim dari pusat ke cabang, karena penilaian yang dilakukan menyangkut kepentingan perusahaan sehingga harusnya dilaksanakan secara profesional. Hal ini menurut pengamatan penulis akan dapat menimbulkan masalah baru jika tidak segera ditindak lanjuti karena akan mempengaruhi keefektifan dalam pemberian kompensasi dan dikhawatirkan kompensasi yang diberikan akan jatuh ke tangan orang yang tidak tepat. Mengenai informasi yang kurang akurat terhadap karyawan yang bekerja dapat dilakukan pengecekan langsung ke cabang

  1. c.       Judul

     Belum akuratnya perhitungan penjualan    yang berakibat pada perhitungan intensif

 

Kondisi

Dalam melakukan pembayaran insentif karyawan sering terjadi kesalahan. Hal ini disebabkan oleh bagian personalia salah mengklaim jumlah unit yang karyawan jual itu dan membuat besarnya insentif yang di dapat berkurang.

 

Kriteria

Pada saat akhir bulan semua total

penjualan karyawan akan direkapitulasi

berdasarkan unit dan leasing penjualan

(cash/kredit) hal ini akan berpengaruh

untuk pembayaran insentif kepada

karyawan.

 

Sebab

Hal ini terjadi bukan karena kesalahan

perhitungan oleh pihak personalia tetapi

juga karyawan salah memberikaninformasi

dalam laporan penjualan mereka sehingga

terjadi kesalahan dalam perhitungan yang

berujung pada pemberian insentif

karyawan tersebut.

 

Akibat

Informasi yang salah dari salesman dalam

laporan penjualalan mereka akan

mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam

perhitungan insentif dipihak personalia dan

pembayaran insentif juga akan terjadi

kesalahan ini akan dilakukan revisi yang

tidak mudah dan harus dengan persetujuan

dari manajemen.

 

Rekomendasi

Perhitungan insentif pada dasarnya

didasarkan dengan ketetapan berdasarkan

surat keputusan akan tetapi kesalahan yang

terjadi dalam laporan penjualan salesman

mengakibatkan kesalahan perhitungan.

Oleh sebab itu disarankan untuk laporan

penjualan yang dilakukan oleh salesman

diperiksa ulang atau dicocokan dengan

laporan penjualan dengan menggunakan

sistem yang ada yaitu PSS (Pygmalion

syncronitation system) Sehingga tidak ada

perbedaan atau kesalahan perhitungan. Jika

memang masih terjadi kesalahan ini berarti

harus dilakukan training terhadap sumber

daya manusia nya.

 

3.3.3 Analisis atas Audit Manajemen pada          Divisi SDM terhadap Efektivitas

Pelaksanaan Fungsi SDM

Dalam menentukan efektivitas fungsi sumber daya manusia, penulis menggunakan survei kuesioner. Penulis mengambil sampel sebanyak 71 responden yang bekerja pada Divisi SDM PT Astra internasional tbk honda. Dalam penilaian akhir efektivitas pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia digunakan suatu skala pengukuran yaitu dengan skala rating scale. Dengan skala ini maka variabel yang akan di ukur dijabarkan menjadi indikator variabel.

Dari kuesioner yang penulis olah dimana terdiri dari 24 pertanyaan mengenai fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia pada Divisi SDM PT Astra internasional tbk honda. Berikut ini pengolahan data yang digunakan sebagai keusioner dan diberikan kepada 71 responden. maka sebelum dianalisis, data dapat ditabulasikan seperti berikut :

Tabel 1

Pengolahan Data Kuesioner

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Data interval diatas dapat dianalisis dengan menghitung rata-rata jawaban berdasarkan skoring setiap jawaban dari responden. Jumlah skor untuk seluruh item (bila setiap pertanyaan mendapat skor tertinggi) = 5 x 24 x 71 = 8520. untuk ini skor tertinggi tiap pertanyaan = 5, jumlah pertanyaan = 24, dan jumlah responden 71 orang.

Jumlah skor hasil pengumpulan data yang diperoleh dari penelitian adalah 6915 dengan demikian kualitas pengelola fungsi SDM di Divisi SDM menurut persepsi 20 responden itu 6915: 8520 x 100% = 81% dari kriteria yang ditetapkan.

 

Hal ini secara kontinum dapat dibuat kategori sebagai berikut :

 

 

 

 

Jadi berdasarkan data yang diperoleh dari 20 responden maka pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia di Kantor pusat Bank Sumselbabel berada pada nilai 1.560 termasuk dalam kategori interval “cukup baik dan baik” tetapi lebih mendekati Baik.

 

  1. 4.              SIMPULAN

 

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan dalam bab IV, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia pada PT Astra Internasional tbk-honda cabang plaju palembang telah berjalan secara efektif. Hanya saja masih terdapat beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki, yaitu :

1. Terdapat kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaanya, yaitu pada pelaksanaan fungsi perencanaan sumber daya manusia, pelaksanaan seleksi karyawan, serta pelaksanaan terhadap penilaian kinerja karyawannya.

2. Belum akuratnya perhitungan penjualan yang berakibat pada perhitungan intensif, dalam melakukan pembayaran insentif karyawan sering terjadi kesalahan. Hal ini disebabkan oleh bagian personalia salah mengklaim jumlah unit yang karyawan jual itu dan membuat besarnya insentif yang di dapat berkurang.

 

 

 

DAFTAR RUJUKAN

Agoes, Sukrisno. 2004. Auditing (Pemeriksaan Akuntan) Oleh Kantor Akuntan Publik. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

 

Agoes, Sukrisno dan Jan Hoesada. 2009. Bunga Rampai Auditing. Jakarta : Salemba Empat

 

Bayangkara, IBK. 2008. Audit Manajemen : Prosedur dan Implementasi. Jakarta : Salemba Empat

 

Ismail, Hanif dan Darsono Prawironegoro. 2009. Sistem Pengendalian Manajemen Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Mitra Wacana Media

 

 

Lubis, Arfan Ikhsan. 2010. Akuntansi Keperilakuan. Jakarta : Salemba Empat

 

Mulyadi. 2002. Sistem Akuntansi. Jakarta : Salemba Empat

Pratisto, Arief. 2004. Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan Dengan SPSS 12. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Gramedia (www.google.com)

 

Priyanto, Duwi. 2010. Paham Analisa Statistik Data Dengan SPSS. Yogyakarta : Penerbit Mediakom

 

Rivai, Veithzal. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan : Dari Teori ke Praktik. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

 

Siagian, Sondang P. 1998. Audit Manajemen. Jakarta : PT Bumi Aksara

Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : CV Alfabeta

 

Zawarni , Michael. 2012. Peranan Audit Manajemen Atas Sumber Daya Manusia Terhadap Efektivitas Pelaksanaan Fungsi Sumber Daya Manusia Pada PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan Dan Bangka Belitung Kapten A.Rivai. Palembang : Universiats Bina Darma. (Tidak untuk Dipublikasikan)

 

 

Read full story »

ANALISIS PENERAPAN BALANCED SCORECARD SEBAGAI TOLAK UKUR PENILAIAN KINERJA (STUDI KASUS RUMAH SAKIT KUSTA Dr.RIVAI ABDULLAH PALEMBANG)

By on October 11th, 2012. This post has 3 Comments »

ANALISIS PENERAPAN BALANCED SCORECARD

SEBAGAI TOLAK UKUR PENILAIAN KINERJA

(STUDI KASUS RUMAH SAKIT KUSTA Dr.RIVAI ABDULLAH PALEMBANG)

Oleh :

M.Amir Hamzah

Poppy Indriani

Verawati

Abstrak

Penulis  memilih Rumah Sakit Kusta Dr. Rivai Abdullah Palembang dikarenakan Rumah Sakit Kusta Dr. Rivai Abdullah memiliki visi misi dan dukungan bagi penerapan Balanced Scorecard. Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dengan metode sensus. Kemudian penulis menggunakan data primer dan sekunder yang dapat diperoleh dari wawancara langsung, kuisioner, dan studi literatur. Teknik analisis yang digunakan adalah dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Diharapkan pada penelitian ini dapat diketahui seberapa besar pengaruh konsep Balanced Scorecard terhadap kinerja perusahaan yang bersangkutan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer dan skunder. Tekhnik pengambilan sample dengan mengambil kuesioner rumah sakit. Sedangkan metode analisis penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif (untuk menggumpulkan, menyajiakan, serta analisis sehingga dapat memberikan gambaran) nilai kinerja Rumah Sakit melalui empat perspektif Balanced Scorecard.

Kata kunci: Balance scorecard, rumah sakit.


 

  1. I. PENDAHULUAN

Dunia sakarang ini telah memasuki zaman globalisasi ekonomi serta zaman teknologi informasi yang semakin canggih. Sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap sistem perekonomian terutama terhadap perusahaan-perusahaan. Kondisi tersebut mengakibatkan perusahaan memasuki suatu lingkungan bisnis yang baru, sehingga menuntut perusahaan harus memiliki kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan persaingan dengan perusahaan-perusahaan yang lain, manajemen harus lebih memperhatikan jalannya perusahaan agar dapat mencapai tujuan perusahaan yang diharapkan.

Pengukuran yang didasarkan pada ukuran keuangan  menyebabkan pihak manajemen perusahaan memusatkan sumber-sumber daya dalam organisasi untuk tujuan-tujuan jangka pendek yaitu menghasilkan laba yang maksimal dan sering melupakan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Alat ukur seperti dianggap sudah tidak memadai lagi sehingga di perlukan suatu sistem pengukuran kinerja yang tidak hanya berdasarkan ukuran keuangan namun juga non keuangan seperti perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis /intern, dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Pengukuran kinerja yang menggunakan dua aspek keuangan dan non keuangan itu adalah metode BSC (Balanced Scorecard).

BSC memiliki kelebihan dalam cakupan pengukuran yang komprehensif, yaitu kinerja aspek keuangan dan kinerja non aspek keuangan. Tolak ukur BSC ini difokuskan menjadi empat perspektif yang meliputi perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses internal bisnis, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.

Dengan menerapkan metode BSC para manajer perusahaan akan mampu mengukur bagaimana unit bisnis mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan tetap mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masa yang akan datang. BSC merupakan suatu sistem manajemen, pengukuran dan pengendalian yang secara cepat, tepat, dan komprehensif dapat memberikan pemahaman kepada manajer tentang performen bisnis.

Selain perusahaan, rumah sakit juga bisa menerapkan BSC, rumah sakit adalah bentuk organisasi penggelola jasa pelayanan kesehatan individual secara menyeluruh. Organisasi terdapat banyak aktivitas, yang diselenggarakan oleh petugas berbagai jenis profesi, baik profesi medik, paramedik maupun non-medik. Untuk dapat menjalankan fungsinya, diperlukan suatu sistem manajemen menyeluruh yang dimulai dari proses perencana strategi (renstra), baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek.

Memasuki era globalisasi saat ini, pimpinan rumah sakit di Indonesia perlu memfokuskan strategi perencanaan, pengorganisasian, pengoperasian, dan pengendalian sehingga betul-betul siap dengan daya saing di tingkat global. Para konsumen bebas memilih rumah sakit mana yang mampu memberikan pelayanan memuaskan, professional dengan harga bersaing, sehingga strategi dan kinerja rumah sakit pun harus berorientasi pada keinginan pelanggan tersebut.

Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang merupakan salah satu Rumah Sakit di Palembang yang berusaha memberikan pelayanan kesehatan secara profesionalisme dan meningkatkan mutu terus-menerus. Mendorong pihak Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah untuk selalu memperbaiki kinerjanya, agar dapat menambah kepercayaan masyarakat atas Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah. Kepercayaan ini sangatlah penting, mengingat masyarakat merupakan pengguna jasa. Diharapkan dengan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap Rumah Sakit mempunyai dampak pada pendapatan rumah sakit.

Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah adalah rumah sakit instansi pemerintah yang berada di Palembang,di mana pendapatan rumah sakit ini berasal dari subsidi pemerintah seperti APBN. Selama ini, rumah sakit hanya menilai kinerja perusahaannya dengan menggunakan metode tradisional atau hanya menggunakan perspektif keuangan saja. Oleh karena itu penulis akan mencoba menerapkan sistem pengukuran kinerja dengan menggunakan metode BSC yang berfokus pada perspektif keuangan dan non keuangan.

Melihat fenomena tersebut diatas, maka perlu dipergunakan alternatif penilaian kinerja Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah dengan menggunakan BSC yang lebih komprehensif, akurat, terukur karena dalam menilai kinerja suatu organisasi tidak hanya di nilai dari aspek keuangan saja, tetapi juga dinilai dari aspek non keuangan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini mengambil judul     Analisis Penerapan Balanced Scorecard Sebagai Tolok Ukur Penilaian Kinerja Studi Kasus Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang”

II. LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Kinerja

Menurut Wibowo (2007:7), kinerja berasal dari pengertian performance. Performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja tetapi bagaimana proses kerja berlangsung.

Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi kepada ekonomi. Dengan demikian kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya.

Menurut Mardiasmo dalam Agussusanti (2010:9), Tujuan penilaian kinerja antara lain:

1. Untuk mengkomunikasikan strategi secara lebih baik

2.  Untuk mengukur kinerja keuangan dan non keuangan secara berimbang sehingga dapat ditelusuri  perkembangannya.

3.  Untuk mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level menengah dan bawah serta memotivasi untuk mencapai tujuan.

4.  Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individu dan kemampuan kolektif yang rasional.

Manfaat penilaian kinerja menurut Indra Bastian dalam Yanti (2006:23), adalah :

1.  Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai kinerja.

2.  Memberikan arah untuk mencapai target yang telah ditetapkan.

3.  Untuk memonitor dan mengevaluasi pencapaian kinerja dan membandingkan dengan target kinerja serta melakukan tindakan korektif untuk memperbaiki kinerja.

4.  Membantu mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi.

5.  Membantu memahami proses kegiatan perusahaan.

6.  Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif.

2.1.2 Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja pada dasarnya merupakan kegiatan manusia dalam mencapai tujuan organisasi. Mulyadi dan Setyawan (2001 : 353), mendefinisikan penilaian kinerja sebagai penentu secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Karena organisasi pada dasarnya dioperasikan oleh sumber daya manusia maka penilaian kinerja sesungguhnya merupakan penilaian atas perilaku manusia dalam melaksanakan peran yanng mereka mainkan dalam organisasi.

Setiap organisasi mengharapkan kinerja yang memberikan kontribusi untuk menjadikan organisasi sebagai suatu institusi yang unggul dikelasnya. Jika keberhasilan organisasi untuk mengadakan institusi yang unggul ditentukan oleh beberapa faktor yang menentukan keberhasilan perusahaan (success factor) untuk menjadikan organisasi suatu institusi yang unggul tersebut digunakan sebagai pengukur keberhasilan personal. Dengan demikian, dibutuhkan penilaian penilaian kinerja yang dapat digunkan menjadi landasan untuk mendesain suatu sistem penghargaan agar personel menghasilkan kinerja yang sejalan dengan kinerja yang diharapkan oleh organisasi.

2.1.3  Balanced Scorecard

Balanced Scorecard (BSC) merupakan kumpulan kinerja yang terintegrasi yang diturunkan dari stategi perusahaan secara keseluruhan. BSC memberikan suatu cara untuk mengkomunikasikan strategi suatu perusahaan pada manajer-manajer diseluruh organisasi.

BSC menurut Mulyadi (2001:1), Balanced Scorecard terdiri dari dua kata yaitu kartu skor (scorecard) dan berimbang (balanced). Kartu skor adalah kartu yang digunakan untuk mencatat kinerja hasil skor seseorang dan juga dapat digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan oleh personel dimasa depan. Skor yang hendak diwujudkan dimasa depan kemudian dapat dibandingkan dengan kinerja personel yang bersangkutan. Berimbang berarti kinerja personel dinilai dari dua aspek secara berimbang yaitu aspek keuangan dan aspek non keuangan, jangka panjang, jangka pendek serta interen dan ekstern.

Menurut Kaplan dan Norton (2004:7), Menjelaskan bahwa BSC sebagai sebuah sistem manajemen, artinya semua ukuran finansial dan non finansial harus menjadi bagian dari  sistem informasi bagi semua pekerja di semua tingkat perusahaan. Semua pekerja harus memahami bahwa aktivitas mereka adalah biaya yang harus diperhitungkan manfaatnya.

Jadi, BSC merupakan metode bagi perusahaan untuk mempertimbangkan secara sistematik yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan konsistensi internal dan sistem yang komprehensif terhadap perencanaan dan pengendalian, dan sebagai dasar pengukuran berhasil atau tidaknya perusahaan.

2.1.4 Keunggulan dan Manfaat Balanced Scorecard

Keunggulan BSC dibanding dengan penilaian kinerja secara tradisional, dapat dilihat dari empat aspek berikut Mulyadi (2001:22), yaitu:

  1. Komprehensif

BSC memperluas perspektif yang di cakup dalam perumusan strategik, dari yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif keuangan, meluas ketiga perspektif lain; pelanggan, proses bisnis internal, serta pertumbuhan dan pembelajaran dan pertumbuhan.  Perluasan strategik ke perspektif non keuangan tersebut menghasilkan manfaat :

  1. Menjanjikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang.

b.  Memampukan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang  kompleks.

  1. Koheren

BSC mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab akibat (casual relationship) diantara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif non keuangan harus mempunyai hubungan kasual dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak secara langsung.

  1. Seimbang

Penilaian kinerja dengan menggunakan metode BSC membantu dalam perencanaan strategik sehingga perusahaan dapat memfokuskan sasaran strategiknya secara seimbang, seimbang untuk kepentingan intern (perspektif keuangan dan Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan) maupun ekstern (perspektif keuangan dan pelanggan).  Disamping itu, strategik juga difokuskan secara seimbang baik kepuasan proses (perspektif proses binis internal dan perspektif keuangan) maupun kepemusatan people (perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dan perspektif pelanggan).

  1. Terukur

Ketentuan sasaran strategik yang dihasilkan oleh system perencanaan strategik menjanjikan ketercapaian berbagai sasaran strategik ditentukan ukurannya, baik untuk ukuran sasaran strategik di perspektif keuangan maupun sasaran strategik di perspektif nonkeuangan.

Manfaat dari penerapan BSC menurut Mulyadi (2001:18), adalah:

  1. BSC meletakan strategi, ukuran, dan visi perusahaan yang menjadi pusat perhatian manajer.
  2. BSC menekankan pada kombinasi pengukuran kinerja keuangan dan non keuangan, sehingga mengakibatkan manajemen tetap berfokus pada proses bisnis secara keseluruhan dan memberikan jaminan bahwa kinerja operasi yang aktual yang sedang berjalan dengan strategi jangka panjang perusahaan.
  3. Adanya BSC memungkinkan para manajer perusahaan menilai bagaimana divisi mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan tepat mempertimbangkan dimasa yang akan datang. Jadi yang diperlukan bukan hanya perencanaan jangka pendek namun juga harus memikirkan untuk jangka waktu yang akan datang.
  4. BSC membantu mempertahankan keseimbangan antara kemampuan kompertitif jangka panjang perusahaan dan mengidentifikasikan keinginan investor pada laporan keuangan.
  5. Dengan adanya BSC memungkinkan para manajer menilai apa yang telah mereka investasikan dalam pengembangan sumber daya manusia, sistem dan prosedur demi perbaikan kinerja di masa yang akan datang.

2.1.5    Perspektif Keuangan

Pembentukan sebuah BSC mengaitkan tujuan keuangan dengan strategi koperasi. Tujuan keuangan menjadi fokus tujuan dan ukuran disemua perspektif scorecard lainnya. Setiap ukuran yang terpilih harus merupakan hubungan sebab dan akibat yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja keuangan. BSC dibentuk dengan tujuan mengaitkan berbagai urutan tindakan yang harus diambil berkaitan dengan proses keuangan, pelanggan, proses internal, dan para pekerja secara sistem untuk menghasilkan kinerja ekonomis jangka panjang yang diinginkan oleh perusahaan.

Ada dua hal untuk mendorong pencapaian strategi bisnis yaitu :

  1. ROI (Return On Investment)

Yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan laba bersih. Pengukurannya dilakukan dengan membandingkan laba usaha dengan total aktiva.

  1. Rasio Efesiensi

Yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa efisien rumah sakit mempergunakan aktivanya. Pengukurannya dengan membandingkan penjualan dengan aktiva lancar.

2.1.6    Perspektif Pelanggan/Konsumen

Suatu produk atau jasa dikatakan mempunyai nilai bagi konsumennya jika manfaat yang diterimanya relatif lebih tinggi dari pada pengorbanan yang dikeluarkan oleh konsumen tersebut untuk mendapat produk dan jasa itu. Produk atau jasa tersebut akan semakin mempunyai  nilai apabila manfaatnya mendekati ataupun melebihi dari apa yang diharapkan oleh konsumen.

Menurut Kaplan dan Nerton dalam Herlan (2006:34), perusahaan diharapkan mampu membuat suatu segmentasi pasar dan ditentukan target pasarnya yang paling mungkin untuk dijadikan sasaran sesuai dengan kemampuan sumber daya dan rencana jangka panjang perusahaan. Dalam perspektif konsumen terdapat 2 kelompok perusahaan yaitu :

1. Kelompok perusahaan inti konsumen (customer core measurement group)

a.  Pangsa pasar (market share)

Menggambarkan seberapa besar penjualan yang dikuasai oleh perusahaan dalam suatu segmen tertentu.

b.  Kemampuan mempertahankan konsumen (customer retention)

Tingkat kemampuan perusahaan untuk mempertahankan hubungan dengan konsumennya yang mungkin seberapa besar perusahaan berhasil mempertahankan pelanggan lama.

c.  Tingkat kepuasan konsumen (customer satisfaction)

Merupakan suatu tingkat kepuasan konsumen terhadap kriteria kinerja/nilai tertentu yang diberikan perusahaan.

d.  Tingkat protabilitas konsumen (customer profitability)

Mengukur seberapa besar keuntungan yang berhasil diperoleh perusahaan dari penjualan kepada konsumen/segmen pasar.

2. Kelompok pengukur nilai konsumen (customer value measement)

Merupakan kelompok penunjang yang merupakan  konsep kunci untuk memahami      pemicu-pemicu (driver).

Dari kelompok-kelompok pengukuran inti konsumen kelompok pengukuran nilai konsumen terdiri dari :

a. Atribut-atribut produk dan jasa (product/service)

Atribut-atribut produk-produk jasa harga dan fasilitasnya.

b. Hubungan dengan konsumen (costumer relationship)

Meliputi hubungan dengan konsumen yang meliputi melalui pengisian produk, jasa kepada konsumen, termasuk dimensi respon dan waktu pengirimannya dan bagaimana pula kesan yang timbul dari konsumen setelah membeli produk atau jasa perusahaan tersebut.

Pelanggan adalah orang yang memanfaatkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan. Pelanggan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi besar kecilnya pendapatan yang diterima perusahaan. Tolak ukurnya antara lain:

  1. Kebijakan Biaya Pengobatan Pasien.
  2. Kebijakan Poliklinik.
  3. Kebijakan Rawat Inap.
  4. Kepuasan Pelanggan.

.

2.1.7    Perspektif Proses Bisnis Internal

Pada perspektif ini para manajer melakukan identifikasi berbagai proses yang sangat penting untuk mencapai tujuan pelanggan dan pemegang saham. Perusahaan biasanya mengembangkan tujuan dan ukuran-ukuran untuk perspektif ini setelah merumuskan tujuan dan ukuran untuk perspektif kuangan dan pelanggan. Ukuran ini memungkinkan perusahaan untuk memfokuskan pengukuran proses bisnis internal kepada proses yang akan mendorong tercapainya tujuan yang ditetapkan untuk pelanggan dan para pemegang saham.

Setiap bisnis memiliki rangkaian proses tertentu untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dan memberikan hasil keuangan yang baik.

Masing-masing perusahaan mempunyai seperangkat proses penciptaan nilai yang unik bagi pelanggannya.Secara umum ada 3 proses bisnis utama

Indikator-indikator pelayanan rumah sakit dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Indikator-indikator berikut  bersumber dari sensus harian rawat inap, yaitu:

  1. BTO (Bed Trun Over = Angka Perputaran Tempat Tidur)

BTO menurut Huffman (1994) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dikapai dalam satu tahun. BTO menurut Depkes RI (2005), idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.

  1. GDR (Gross Deat Rate)

GDR menurut Depkes RI (2005), adalah angka kematian umum untuk setiap 1000 pasien keluar, Nilai GDR yang ideal seharusnya tidak lebih dari 45 per 1000 penderita keluar, kecuali jika terjadi bencana alam dan wabah penyakit.

  1. NDR (Net Deat Rate)

NDR menurut Depkes RI (2005), adalah  angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 pasien keluar. Nilai NDR yang dianggap masihdapat ditolerir adalah kurang dari 25 per 1.000 penderita keluar,kecuali jika terjadi kejadian khusus, seperti wabah penyakit atau bencana alam.

2.1.8    Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan

Tujuan dimasukkannya kinerja ini adalah untuk mendorong perusahaan menjadi organisasi belajar (learning organization) sekaligus mendorong pertumbuhannya.Kaplan dan Norton (2000:109), membagi tolak ukur perspektif ini dalam tiga prinsip yaitu:

Dalam kaitannya dengan sumber daya manusia ada tiga hal yang perlu ditinjau dalam menerapkan BSC:

  1. Tingkat kepuasan karyawan

Kepuasan karyawan merupakan suatu para konisi untuk meningkatkan produktifitas, kualitas, pelayanan kepada konsumen dan kecepatan bereaksi, kepuasan karyawan menjadi hal yang penting khususnya bagi perusahaan jasa.Pengukurannya dilakukan dengan survey kepuasan karyawan melalui kuesioner.

b. Tingkat perputaran karyawan (retensi karyawan)

Retensi karyawan adalah kemampuan perusahaan untuk mempertahankan pekerja-pekerja terbaiknya untuk terus berada dalam organisasinya. Perusahaan yang telah melakukan investasi dalam sumber daya manusia akan sia-sia apabila tidak mempertahankan karyawannya untuk terus berada dalam perusahaan.

c. Produktifitas karyawan

Produktifitas merupakan hasil dari pengaruh rata-rata dari peningkatan keahlian dan semangat inovasi, perbaikan proses internal, dan tingkat kepuasan pelanggan. Tujuannya adalah menghubugkan output yang dilakukan para pekerja terhadap jumlah keseluruhan pekerja.

2.1.9    Pengertian Rumah Sakit

Menurut American Hospital Association, rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis professional yang terorganisir secara sarana kedokteran yang permanent menyelenggarakan pelayanan kedokteran asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien

Sesuai dengan perkembangan rumah sakit dapat dibedakan menjadi beberapa jenis.  Rumah sakit dibedakan menjadi empat macam yaitu:

  1. Menurut pemilik

Ditinjau dari pemiliknya, rumah sakit dibagi menjadi dua macam yaitu:

  1. Rumah sakit pemerintah
  2. Rumah sakit swasta
    1. Menurut filosofi yang dianut

Menurut filosofi yang dianut rumah sakit dibagi menjadi dua macam yaitu:

a. Rumah sakit yang tidak mencari keuntungan (non profit hospital). Salah satu factor yang membedakan rumah sakit milik pemerintah dengan swasta adalah orientasinya terhadap laba. Rumah sakit milik pemerintah adalah organisasi nirlaba yaitu organisasi yang orientasi utamanya bukan untuk mencari laba tetapi lebih mengutamakan peningkatan pelayanan.

b. Rumah sakit yang mencari keuntungan (profit hospital). Rumah sakit    swasta telah dikelola secara komersial serta berorientasi untuk mencari kentungan.

  1. Mencari jenis pelayanan yang diselenggarakan

Jika dilihat dari sisi pelayanan yang diselenggarakan rumah sakit dibedakan menjadi dua macam yaitu:

a.   Rumah sakit umum (general hospital). Disebut rumah sakit umum bila semua jenis pelayanan kesehatan diselenggarakan

b.   Rumah sakit khusus (speciality hospital). Jika hanya satu jenis pelayanan kesehatan diselenggarakan.

4.   Menurut lokasi rumah sakit

Jika ditinjau dari lokasinya rumah sakit dibedakan menjadi beberapa macam tergantung dari sistem pemerintah yang dianut. Contohnya rumah sakit pusat, jika lokasinya di ibu kota Negara, rumah sakit propinsi jika lokasinya di ibukota propinsi.

2.3  Kerangka Pemikiran

Pencapaian kinerja organisasi/ perusahaan sangat dipengaruhi oleh prilaku orang-orang yang terlibat didalam maupun diluar perusahaan. Jika perusahaan ingin bertahan dan bertumbuh-kembang dalam persaingan maka harus menggunakan sistem penilaian pengukuran yang sesuai dengan strategi dan kemampuannya.

Dengan menggunakan system pengukuran kinerja yang disebut BSC kepada sebuah perusahaan atau organisasi public yang belum mengenal system pengungkapan kinerja tersebut. BSC dikembangkan untuk melengkapi pengukuran kinerja keuangan dan sebagai alat yang cukup penting bagi organisasi atau perusahaan untuk merefleksikan pemikiran baru dalam era kompetitif dan efektifitas organisasi. BSC merupakan solusi terbaik dalam pengukuran kinerja bisnis.

Dalam BSC, keempat perspektif menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, juga merupakan indikator pengukuran kinerja yang saling melengkapi dan memiliki hubungan sebab akibat. Seperti yang telah dijelaskan bahwa pengukuran kinerja bagi perusahaan jasa yang mempunyai kontak tinggi sangat dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan konsep BSC pada Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang.

3 OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN

 

3.1  Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah yang berlokasi di Jln. Sungai Kundur Kelurahan Mariana Kecamatan Banyuasi I Palembang.

3.2  Metodologi Penelitian

3.2.1 Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkana oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono 2011:80). Dalam penelitian ini populasi adalah Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang yang akan digunakan untuk menilai kepuasaan pada aspek konsumen dan karyawan Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah palembang yang berjumlah 344 orang yang akan digunakan untuk menilai kepuasaan karyawan pada aspek pertumbuhan dan pembelajaran.

b. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono 2011:81). Penentuan sampel yaitu yang menjadi responden adalah karyawan yang terkait dengan penilaian yang akan dilaksanakan untuk mengetahui tingkat kepuasan karyawan melalui penyebaran kuesioner. Sampel yang baik adalah sampel yang mewakili populasi secara keseluruhan. Sampel dalam penelitian ini adalah para responden yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Sementara itu, metode pengambil sampel untuk karyawan Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah adalah metode non random sampling yaitu  Convenience Sampling dimana penentuan jumlah sampel dari elemen populasi yang datanya mudah diperoleh peneliti.

Penentuan besarnya sampel menggunakan rumus Slovin yaitu :

(dibulatkan menjadi 77 orang)

Keterangan :

N =  populasi

n  =  sampel

3.2.2 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sudra (2010:5), pengumpulan data ini dilakukan melalui dua sumber yaitu :

1.   Data Primer

yaitu data yang diperoleh dari proses pengumpulan yang dilakukan sendiri langsung dari sumber datanya yaitu subjek yang diteliti

a.Wawancara

Yaitu dengan suatu teknik pengumpulan data dengan melaksanakan tanya jawab  langsung kepada pemimpin dan karyawan yang mempunyai wewenang untuk memberikan data dan informasi yang diperlukan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara adalah kinerja perusahaan.

b.Observasi

Yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap perusahaaan    terutama    mengenai anggaran penjualan sehingga informasi yang diteliti lebih objektif. Data yang diperoleh dari hasil observasi adalah mengenai laporan keuangan perusahaan.

c.kuesioner

Yaitu melalui pengajuan kuesioner yang mengetahui seberapa besar tingkat kepuasan karyawan rumah sakit.Kuesioner yang digunakan diambil dari penelitihan terdahulu.

2.  Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari institusi yang telah mengumpulkan datanya, jadi tidak langsung dikumpulkan dari sumber data yaitu subjek yang diteliti.

3.2.4 Teknik analisis data

Dalam penelitian ini penulisan menggunakan metode analisis data secara deskriptif kualitatif. Yaitu mengumpulkan, menyajikan, serta menganalisis data sehingga dapat memberikan gambaran yang cukup jelas dari objek yang di teliti kemudian ditarik kesimpulan.

4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.2.1  Penerapan Balanced Scorecard pada Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah

Kondisi yang melatar belakangi diterapkannya Balanced Scorecard pada Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah karena kondisi persaiangan bisnis saat ini kian tajam, kondisi ekonomi yang tidak stabil dan adanya perubahan sosial budaya. Pengukuran kinerja secara tradisional dirasakan tidak relevan lagi untuk menghadapi kondisi diatas karena pengukuran kinerja secara tradisional hanya berdasarkan kinerja keuangan yaitu memperoleh laba yang maksimal dan memusatkan sumber-sumber daya yang ada dalam organisasi untuk tujuan jangka pendek melupakan tujuan jangka panjang yang sebenarnya tidak kalah pentingnya dengan memperoleh laba yang maksimal, dengan alasan tersebut maka suatu perusahaan perlu menetapkan suatu strategi baru untuk mengukur kinerja secara komprehensif yaitu berdasarkan aspek keuangan dan non keuangan.

Pengukuran kinerja tersebut adalah Balanced Scorecard yang secara komprehensif mengukur kinerja berdasarkan aspek keuangan dan non keuangan, dalam Balanced Scorecard hal-hal yang bersifat kualitatif dan tidak berwujud juga diperhatikan, seperti kepuasan pelanggan, pelayanan terhadap pelanggan, kepuasan karyawan.  Kinerja yang diukur berdasarkan Balanced Scorecard akan memperhatikan kepentingan ekstern dan intern, dengan dilakukannya pengukuran kinerja pada aspek non keuangan maka akan dapat berpengaruh positif terhadap aspek keuangan, seperti peningkatan pendapatan sehingga akan dapat meningkatkan laba yang bukan hanya untuk tujuan jangka pendek tetapi untuk tujuan jangka panjang.

4.2.2 Konsep Penerapan Empat Perspektif Balance Scorecard

a. Indikator ROI (Return On Investment)

Indikator ROI bertujuan untuk mengukur peningkatan laba bersih yang dihasilkan dari Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah pada tahun 2011 yang diukur dengan membagi persentase laba bersih dengan total aktiva.

ROI tahun 2010

Rumus :

ROI  =(Laba bersih : Total Aktiva)  x 100 %

ROI  = 7,77 %

Hal ini berarti bahwa tingkat pengembalian atas investasi/Return On Investment (ROI) yaitu sebesar 7,77% karena berdasarkan penilaian kelayakan usaha, apabila tingkat ROI lebih dari 5% berarti telah dianggap layak/baik.

b. Indikator Rasio Efesiensi

Indikator rasio efesiensi bertujuan untuk melihat penurunan biaya operasi dalam hubungannya dengan pendapatan yang digunakan oleh Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang pada tahun 2011 yang diukur dengan membandingkan pendapatan aktiva lancar.

Rasio Efesiensi tahun 2011

Rumus :

RasioEfesiensi=(Pjln:Aktv lnctr)x100 %

Rasio Efesiensi =  92,7  %

Berdasarkan data dan hasil perhitungan yang disajikan diatas, dapat dilihat bahwa nilai rasio efesiensi dari tahun 2011 yaitu sebesar, 92,7 %. Hal ini berarti bahwa rasio efesiensi Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang sangat baik.

Pada tabel 4.2 dibawah ini disajikan ukuran hasil dari kinerja perspektif keuangan secara menyeluruh.

Tabel 4.2

Rasio-Rasio Keuangan RSI Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah

2011

RASIO 2011
ROI (%) 7,77%
Rasio Efesiensi 92,7%

Sumber : Data yang diolah

Secara umum pada perspektif keuangan menunjukkan hasil yang sudah baik, hal ini dapat dilihat dari indikator ROI pada tahun  2011 sebesar 7,77% dengan ukuran kelayakan usaha dan indikator rasio efesiensi sebesar 92,7% pada biaya operasi. Dalam hal ini pihak manajemen khususnya keuangan harus mempertahankan kinerja keuangan, karena meskipun rumah sakit bukan

B.Kinerja Perspektif Pelanggan/

Konsumen

Dari sisi kinerja pelanggan sasaran strategik Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang diantaranya meningkatkan citra Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang menjadi lebih baik dengan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pelayanan di Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang yaitu antara lain :

  1. 1. Kebijakan Biaya Pengobatan Pasien

Dalam hal ini Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang memberikan kebijakan pelayanan kesehatan terhadap orang miskin atau orang tidak mampu, yaitu dengan tidak adanya pungutan biaya atau uang jaminan apapun yang diberikan ke Rumah Sakit kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang untuk melakukan pengobatan dan Rawat inap. Orang miskin atau orang tidak mampu tersebut dapat berobat secara gratis dan tidak dipungut biaya dengan menggunakan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) atau Pelayanan Kesehatan Miskin (ASKESKIN). Dimana pembiayaan untuk masyarakat miskin tersebut telah dijamin dan pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah yaitu Dinas Kesehatan Kota Palembang. Kartu JAMKESMAS atau kartu ASKESKIN tersebut diperoleh masyarakat miskin dari pembagian di Kelurahan masing-masing yang sebelumnya petugas kelurahan masing-masing telah melakukan pendataan terhadap masyarakat miskin tersebut.

  1. 2. Kebijakan Poliklinik

Pada poliklinik yang ada di Rumah Sakit kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang, pasien miskin atau tidak mampu tersebut juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk melakukan pengobatan dan pelayanan kesehatan, mereka hanya perlu menujukan kartu JAMKESMAS atau kartu ASKESKIN, dan setelah pengobatan selesai, pasien tersebut dapat langsung pulang untuk kemudian melakukan perawatan selanjutnya dirumah. Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang mempunyai prosedur penyediaan dan pembelian obat kepada pasien yang berbeda-beda. Untuk pasien yang berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu diberikan obat ASKESKIN yang memang diperuntukkan bagi mereka. Obat-obat tersebut diberikan secara gratis, yang juga biaya penggunaan obat tersebut dijamin oleh pemerintah. Namun, apabila pasien yang bersangkutan ingin menggunakan obat yang lebih baik secara harga dan kualitas, maka pasien tersebut harus membeli lagi di apotek tanpa ada potongan khusus atau diskon.

  1. 3. Kebijakan Rawat Inap

Dalam prosedur rawat inap Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang mempunyai kebijakan-kebujakan tertentu yaitu seperti pemisahan ruang atau kelas bagi pasien yang melakukan rawat inap. Kategori pasien yang melakukan pengobatan dan rawat inap tidak dipungut biaya adalah seperti keluarga miskin atau tidak mampu dengan syarat mempunyai kartu JAMKESMAS atau kartu ASKESKIN. Pihak Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang menempatkan mereka khusus kelas 3. Apabila pasien ingin pindah ruangan kelas yang lebih tinggi, maka pasien tersebut dikenai biaya rawat inap.

Pasien yang ditempatkan di kelas 3 tidak lebih baik karena dalam 1 (satu) kamar terdapat 7 (tujuh) tempat tidur. Hal ini perlu diperhatikan oleh pihak Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang, karena adanya pembauran beberapa pasien dalam kamar dapat menyebabkan adanya pertukaran penyakit antara pasien satu terhadap lainnya ataupun dengan pengunjung pasien. Seperti pengguna kartu ASKESKIN atau JAMKESMAS yang ingin pindah ke ruang kelas yang lebih baik, pasien tersebut juga dikenai biaya rawat inap.

Bagi pasien umum, mereka bebas memilih kelas sesuai dengan keinginan dan kemampuan masing-masing pasien yang melakukan rawat inap di Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang. Biasanya pasien yang tidak menggunakan fasilitas ASKESKIN atau JAMKESMAS memilih ruang rawat inap yang baik dan nyaman, sehingga kenyamanan yang dirasakan oleh pasien tersebut diharapkan dapat memberikan pemulihan kesehatanyang baik dan cepat.

  1. 4. Kepuasan Pelanggan

Indikator kepuasan pelanggan bertujuan untuk mengukur peningkatan kepuasan pelanggan, yang diukur dengan mengisi kuesioner (Lampiran 3) yang telah disediakan. Pelanggan yang menjadi responden sebanyak 77 sampel pelanggan yang mewakili keseluruhan maka diperoleh data sebagai  berikut :

Tabel 4.3

Data Responden

 

 

Jawaban Responden Jumlah Jawaban Skor Total Skor
Sangat tidak puasTidak puasCukup puasPuas

Sangat puas

254160289

265

1234

5

21084801156

1325

Jumlah 770 3071

Sumber : Data yang diolah

Skala nilai :

0-1              sangat tidak puas

1-2              tidak puas

2-3              cukup puas

3-4              puas

4-5              sangat puas

4-6

Jadi, kepuasan pelanggan RSK Dr.Rivai Abdullah tergolong puas terhadap manajemen dan lingkungan kerja.

Kinerja yang diperlihatkan perspektif pelanggan/konsumen (pasien) secara umum sudah sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari kepuasan pelanggan secara umum telah menunjukkan hasil yang baik. Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum  RSK Dr.Rivai Abdullah sudah memperhatikan kepuasan pelanggan lebih baik lagi. Dalam hal ini pihak manajemen rumah sakit perlu mempertahankan kualitas pelayanan dan profesionalismenya selama ini mengingat rumah sakit merupakan bidang pelayanan jasa kesehatan dan wajib memperhatikan kepuasan pelanggannya.

C. Kinerja Perspektif Proses Internal Bisnis

Kinerja perspektif proses internal bisnis diukur dengan menggunakan tiga indikator yaitu : Bed Turnover Ratio (BTO), Gross Death Rate (GDR) dan Net Death Rate (NDR).

  1. 1. Indikator Bed Turnover Ratio (BTO)

Indikator Bed Turnover Ratio (BTO) bertujuan untuk mengukur peningkatan Bed Turnover Ratio (BTO), yang diukur dengan perbandingan antara jumlah pasien yang keluar dengan tempat tidur yang siap pakai. Indikator ini memberikan tingkat efisiensi dari pemakaian tempat tidur. Berdasarkan rumus yang dibahas di bab 3 dan data yang yang diperoleh dari Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang maka diperoleh hasil sebagai berikut.

BTO Rumah Sakit Kusta Dr.Rivai Abdullah adalah:

Rumus :  BTO

Jumlah Pasien keluar (hidup + mati)Jumlah tempat tidur

=

2593 +31326

= 8,04

BTO  tahun 2011 = 8,04

Berdasarkan BTO diatas dapat dilihat bahwa nilai Bed Turnover Ratio dari tahun 2011 yaitu, 8,04 kali  karena berdasarkan Depkes RI (2005), idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat perputaran tempat tidur yang terisi di RS Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang kurang baik, artinya jumlah pasien yang dapat tertangani oleh RS Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang kurang baik.

  1. 2. Indikator Gross Death Rate (GDR)

Indikator Gross Death Rate (GDR) bertujuan untuk mengukur penurunan jumlah pasien yang meninggal dunia di rumah sakit tersebut, yang diukur dengan membandingkan antara pasien meninggal dunia dengan jumlah untuk tiap 1.000 pasien yang keluar. Berdasarkan rumus yang dibahas di bab 3 dan data yang yang diperoleh dari RS Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang maka diperoleh hasil sebagai berikut.

GDR RS Kusta Dr.Rivai Abdullah adalah :

Jumlah pasien mati seluruhnyaJumlah pasien keluar (hidup + mati)

Rumus : GDR

=                                                                                        x 1000 ‰

312593

GDR tahun 2011:                   X 1000 ‰

= 11,95 ‰

Berdasarakan GDR diatas dapat dilihat bahwa nilai Gross Death Rate (GDR) dari tahun 2011 yaitu, 11,95 ‰  karena berdasarkan Depkes RI (2005), nilai GDR yang ideal seharusnya kurang dari 45 ‰. Hal ini berarti bahwa kinerja yang ditunjukkan RS Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang baik dalam hal perawatan, pencegahan, kecepatan, serta keamanan terhadap pasien memuaskan karena jumlah pasien yang meninggal sudah dapat diminimalisirkan.

3. Indikator Net Death Rate (NDR)

Indikator Net Death Rate (NDR) bertujuan untuk mengukur penurunan jumlah pasien yang meninggal setelah dirawat di rumah sakit tersebut, yang diukur dengan membandingkan antara jumlah pasien yang meninggal setelah dirawat di rumah sakit selama lebih 48 jam dengan tiap-tiap 1000 pasien yang keluar dari rumah sakit.  Berdasarkan rumus yang dibahas di bab 3 dan data yang yang diperoleh dari RS Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang maka diperoleh hasil sebagai berikut.

NDR RS Kusta Dr.Rivai Abdullah adalah :

Pasien mati > 48 jamJumlah  pasien keluar (hidup + mati)

Rumus :

NDR =                                                                                            x 1000 ‰

`142593

NDR tahun 2011        :                 = 5,37 ‰

Berdasarkan NDR diatas dapat dilihat bahwa nilai Net Death Rate (NDR) dari tahun 2011 yaitu, 5,37 ‰. karena berdasarkan Depkes RI (2005) nilai NDR yang ideal seharusnya kurang dari 25 ‰. Hal ini berarti bahwa kinerja yang ditunjukkan RS Kusta Dr.Rivai Abdullah Palembang dalam perawatan intensif dan keamanan terhadap pasien memuaskan karena jumlah pasien yang meninggal setelah di rawat di rumah sakit selama lebih dari 24 jam sudah dapat diminimalisirkan.

Pada tabel 4.4 dibawah ini disajikan ukuran hasil dari kinerja perspektif proses internal bisnis secara menyeluruh.

Tabel 4.4

Ukuran Kinerja Proses Internal Bisnis RS Kusta Dr.Rivai Abdullah

2011

Ukuran 2011
BTO  ( kali ) 8,04 kali
GDR ( ‰ ) 11,95 ‰
NDR ( ‰ ) 5,37 ‰

Lampiran : Data yang diolah

Hasil kinerja pada perspektif proses internal bisnis yang diukur dengan tiga indikator yaitu BTO, NDR dan GDR secara umum memperlihatkan bahwa kinerja pelayanan terhadap meningkatnya kepercayaan konsumen (pasien) untuk berobat di rumah sakit yang sangat cepat dan efektif. Hal ini dapat dilihat dari nilai BTO tahun 2011 berdasarkan depkes RI kurang baik, GDR tahun 2011 berdasarkan Depkes RI baik mengalami peningkatan serta NDR tahun 2011 berdasarkan depkes RI baik. Pada perspektif bisnis internal khususnya yang diproksi dengan Bed Turnover Ratio (BTO) masih belum menunjukkan kinerja yang maksimal, oleh karena itu pihak rumah sakit harus lebih meningkatkan kualitas pelayanan dan profesionalitas dengan memberikan pelatihan dan pendidikan intensif, agar dalam menangani pasien lebih efektif dan efisien sehingga angka Bed Turnover Ratio (BTO) menurun sehingga dapat meningkatkan jumlah konsumen.

D. Kinerja Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran

Pengukuran kinerja perspektif pertumbuhan dan pembelajaran merupakan perspektif yang paling mendasar dalam Balanced Scorecard. Kinerja perspektif pertumbuhan dan pembelajaran diukur dengan menggunakan tiga indikator yaitu : Produktifitas karyawan, Retensi karyawan dan kepuasan karyawan. Produktifitas karyawan ditentukan oleh kompetensi dan ketersediaan baik sarana maupun prasarana untuk menjalankan aktifitasnya. Karyawan yang berkomitmen ditentukan oleh kualitas lingkungan kinerjanya, yang tercermin dalam kepuasan karyawan terhadap seluruh aspek organisasi. Sedangkan kepuasan karyawan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas karyawan.

a. Indikator Produktifitas Karyawan

Indikator produktifitas karyawan bertujuan untuk mengukur peningkatan produktifitas karyawan, yang diukur dengan membandingkan laba operasi dengan total karyawan.

Produktifitas karyawan tahun 2011

Rumus :  Produktifitas karyawan

Laba operasionalJumlah Karyawan

=

Rp.31.145.951.168344

Produktifitas karyawan =

Produktifitas karyawan = Rp. 90.540.555,7

Berdasarkan perhitungan diatas, dapat dilihat nilai produktifitas karyawan tahun 2011 sebesar 90.540.555,7 per karyawan. Hal ini berarti bahwa karyawan rumah sakit memiliki semangat dan etos kerja tinggi dalam menjalankan tanggung jawab yang telah dibebankan.

b. Indikator Retensi Karyawan

Indikator retensi karyawan bertujuan untuk mengukur penurunan jumlah karyawan yang keluar, yang diukur dengan membandingkan antara jumlah karyawan dengan total karyawan.

Retensi Karyawan tahun 2011

Jmlh karyaw keluarJmlh ttl karyaw pd thn berjln

Rumus :

x 100 %

4344

Retensi karyawan          =                    X100%

=1,16 %

Berdasarkan data dan hasil perhitungan diatas, dapat dilihat bahwa nilai retensi karyawan dari tahun 2011, yaitu 1,16 %. Hal ini berarti bahwa kemampuan rumah sakit untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan karyawan dikategorikan berhasil. Hal ini dikarenakan jumlah karyawan yang keluar bekerja dari rumah sakit  mengalami penurunan.

c. Kepuasan Karyawan

Indikator kepuasan karyawan bertujuan untuk mengukur peningkatan kepuasan karyawan, yang diukur dengan mengisi kuesioner (Lampiran 4) yang telah disediakan. Karyawan yang menjadi responden sebanyak 77 sampel karyawan yang mewakili keseluruhan maka diperoleh data sebagai  berikut :

Tabel 4.5

Data Responden

Jawaban Responden Jumlah Jawaban Skor Total Skor
Sangat tidak puasTidak puasCukup puasPuas

Sangat puas

658122252

332

1234

5

61163661008

1660

Jumlah 770 3156

Sumber : Data yang diolah

Skala nilai :

0-1  sangat tidak puas

1-2  tidak puas

2-3  cukup puas

3-4   puas

4-5   sangat puas

Jadi, karyawan RSK Dr.Rivai Abdullah  tergolong sangat puas terhadap manajemen dan lingkungan kerja.

Pada tabel 4.5 dibawah ini disajikan ukuran hasil dari kinerja perspektif keuangan secara menyeluruh.

Tabel 4.6

Ukuran Kinerja Pembelajaran dan Pertumbuhan

RS Kusta Dr.Rivai Abdullah

2011

Ukuran 2010
Produktifitas karyawan 90.540.555,7
Retensi karyawan 1,16%
Kepuasan karyawan

Sumber : Data yang diolah

Perspektif pertumbuhan dan pembelajaran yang diukur dengan menggunakan tiga indikator yaitu produktifitas karyawan, retensi karyawan dan kepuasan karyawan secara umum telah menunjukkan hasil yang baik. Hal ini juga dapat berdampak pada peningkatan kualitas karyawan yang ujungnya bermuara pada kepuasan pelanggan dalam melayani pelanggan.

Hal ini dapat dilihat dari produktifitas karyawan sebesar 90.540.555,7 dan hasil survei terhadap karyawan dengan rasa puas mereka terhadap kebijaksanaan rumah sakit. Retensi karyawan sebesar 1,16% berarti bahwa kemampuan rumah sakit untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan karyawan dapat dikatakan berhasil hal ini akan berdampak pada tingkat loyalitas dan tingkat produktifitas karyawan. Dalam hal ini pihak rumah sakit perlu lebih meningkatkan kompetensi karyawan dan melibatkan karyawan dalam mengambil keputusan manajemen, demi menjaga hubungan baik antar karyawan dan meningkatkan kualitas dan pelayanan.

 

5 KESIMPULAN

Pada bab ini akan disimpulkan hasil analisis yang telah dilakaukan pada bab sebelumnya dan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi perusahaan.

5.1  Simpulan

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap data yang telah dikumpulkan, dihitung dan dianalisis pada Rumah Sakit Kusta Dr. Rivai Abdullah Palembang maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1.  Kinerja perspektif keuangan dalam penelitian ini diukur dengan dua indikator       rasio keuangan yaitu : Return On Invesment (ROI) dan Rasio Efesiensi. Secara umum pada perspektif keuangan menunjukkan hasil yang sudah maksimal. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari indikator ROI pada tahun 2011 sebesar 7,77% sedangkan Rasio Efesiensi sebesar 92,7% pada biaya operasi.

2. Kinerja perspektif konsumen/pelanggan (pasien) diukur dengan menggunakan indikator kepuasan pasien yang sudah ada di rumah sakit RSK Dr. Rivai Abdullah dan berdasarkan hasil survei oleh rumah sakit RSK Dr. Rivai Abdullah dapat diketahui bahwa secara umum sudah sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari kepuasan pelanggan rumah sakit menunjukkan tingkat kepuasan sebesar 78,98% pada tahun 2011. Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum RSK Dr. Rivai Abdullah benar-benar memperhatikan kepuasan pelanggan.

3. Kinerja perspektif proses internal bisnis diukur dengan menggunakan tiga indikator yaitu : Bed Turnover Ratio (BTO), Gross Death Rate (GDR), Net Death Rate (NDR) secara umum memperlihatkan bahwa kinerja pelayanan terhadap pasien kurang baik. Hal ini dapat dilihat bahwa nilai dari Bed Turnover Ratio dari tahun 2011 sebesar 8,04 kali, berarti berdasarkan standar Depkes RI BTO tahun 2011 kurang baik, berarti bahwa jumlah pasien yang dapat tertangani oleh RSK Dr.Rivai Abdullah semakin sedikit dan pasien rawat inap yang telah dirawat lebih dari 48 jam memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari penurunan NDR sebesar 11,95 per 1000. Begitu pula dengan GDR pada tahun 2011 juga mengalami penuruan.

4. Kinerja perspektif pertumbuhan dan pembelajaran diukur dengan menggunakan tiga indikator, yaitu produktifitas karyawan, retensi karyawan dan kepuasan karyawan secara umum telah menunjukkan hasil yang baik. Hal ini dapat dilihat dari tingkat produktifitas karyawan yang mengalami peningkatan sebesar Rp.90.540.555,7 per karyawan dan hasil survei terhadap karyawan yang juga menunjukkan rasa puas mereka terhadap kebijakan rumah sakit selama mereka bekerja. Meskipun dilihat dari indikator retensi karyawan sebesar 1,16% yang berarti bahwa kemampuan untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan karyawan dapat dikatagorikan berhasil.

5.2  Saran

1.  Penerapan penilaian kinerja dengan menggunakan Balanced Scorecard sebaiknya didukung oleh pemahaman yang memadai terhadap informasi akuntansi dan metode yang digunakan, serta pengolahan informasi akuntansi. Hal ini agar penerapan Balanced Scorecard berjalan dengan baik tanpa ada hambatan kerena didukung dengan pemahaman yang memadai dan mengerti tentang metode Balanced Scorecard.

2.  Penerapan Balanced Scorecard sebaiknya dimulai dari akarnya yaitu  pertumbuhan dan pembelajaran yang memberikan evaluasi pada proses bisnis internal, sehingga pelanggan menjadi puas dan pada akhirnya perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang tercermin dalam performasi keuangan

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Agussusanti, Indah, 2010, Analisis Implementasi Konsep Balanced Scorecard Sebagai Sistem Penilaian Kinerja Pada PT Semen Baturaja. Universitas Bina Darma. Palembang.

Herlan, Yosa, 2011, Penerapan Balanced Scorecard Terhadap Kinerja Pada Rumah sakit Otorita Batam. Universitas Bina Darma. Palembang.

Huffman, (1994),the net effect of changed in occupancy rate and length of stay,    Artikel Departemen Kesehatan RI Standar Rumah Sakit diakses 2005 http://heryant.web.ugm.ac.id/artikel2.php?pageNum

Ikatan Akuntansi Indonesia, 2009. Standar Akuntansi Keuangan, Dewan Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta.

Kaplan, Robert S dan David P. Norton. 2000. “Balanced Scorecard : Menerapkan Strategi Menjadi Aksi”.Erlangga, Jakarta.

Mulyadi. 2001. Balanced Scorecard, Salemba Empat, Jakarta.

Mulyadi dan Johny Setiawan, 2000, Sistem Perencananaan Dan Pengendalian Manajemen, Edisi Ketiga, Salemba Empat, Jakarta.

Robert S. Kaplan dan David P. Norton, 2004, Balanced Scorecard. Jakarta: Erlangga (alih bahasa Peter R. Yosie Pasla), hal 7.

Sudra, Rano Indradi. 2010. Statistik Rumah Sakit. Graha Ilmu : Yogyakarta.

Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Bandung: Alfabeta.

Wibowo. 2007. Manajemen Kinerja. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Yanti, Efri, 2006, Implementasi Konsep Balanced Scorecard Sebagai Sistem Pengukuran Kinerja Perusahaan Pada Rumah Sakit Moh Hoesin. Universitas Bina Darma. Palembang.

 

 

Read full story »

Hari pertama ngajar disemester ini

By on September 24th, 2012. This post has 2 Comments »

hai semua….. pagi yang cerah buat memulai hari. Dimulai dengan briefing pagi civitas academica universitas Bidar tercinta. Ada info tentang webow metric, ada info blog yang aktif dll.

Teng jam 8 pagi aktivitas dimulai. Setelah absen masuk kelas dengan mata kuliah baru “audit Internal” dah semangat 45….jeng2x pas masuk kelas eh ternyata dikelasku telah duduk manis mahasiswa semester baru dengan mata kuliah logika lagoritma…..ya ampun ternyata kelasku tabrakan dengan matkul lain. Mood langsung hilang……. dari kampus c jalan kaki laporan ke UPT dikampus utama.

Jam 10 kejadian yang sama terulang lagi…..tabrakan lagi dueh dengan matkul lain lagi……………asleeeeee bad mood.

jadinya ni hari gak dpt apa2 dikelas. cuma untungnya jadi bisa buat pengajuan buat call for paper di UNTAR nanti. yaaa dibalik kesedihan ada kesukaan. Allah memang maha tahu mana yang terbaik untuk umatnya ini.

Palembang, 24 September 2012

Read full story »

Filed Under:Uncategorized

THE INFLUENCE OF THE APPLICATION OF TOTAL QUALITY MANAGEMENT ON THE INTERNAL AUDIT FUNCTION (A Case Study on SMEs in Palembang)

By on July 25th, 2012. This post has 3 Comments »

Abstract – The purpose of this study was to determine whether the application of quality management based on customer focused management/ (X1), continuous improvement / (X2), and the employee empowerment / (X3) has a significant influence on the internal audit function either simultaneously or partially on SMEs in Palembang. By using explanatory survey and census techniques, together with Spearman-Rank validity test and Alpha Cronbach reliability test for the research instruments, and by testing the hypothesis by using path analysis, it is indicated that the application of quality management both simultaneously and partially effect significantly to the internal audit function.
Key words: Total Quality Management, Internal Audit Function, SMEs

A. INTRODUCTION
The shift in the business environment in recent years is marked by the growth of new small and medium enterprises (SMEs). The ever increasing numbers of SMEs have driven the SMEs to always have to be alert of the changing business environment and the level of competition that keeps growing. Such global competition is a very important factor to be considered by SMEs in business. For each service and product produced by them, they should consider not only how they can market it, but also how they should win the competition with other SMEs and other large companies which at all times constantly innovate their services and products. Recent studies confirm that during the last two decades, the development of new technologies and emergence of new business models has enabled the shift from large corporations to small and new ventures (Thurow, 2003: Minniti et al, 2006). Entrepreneurship contributes to economic performance by introducing innovation, enhancing rivalry and creating competition (Wong et al., 2005).

Nowadays, to be able to face the global challenges, the implementation of quality management by young entrepreneurs that are managing SMEs has become a necessity in all small, medium and large scale business units. Young entrepreneurs representing a well-recognized and respected activity in society can determine its extent. Entrepreneurship recognition reflects the cultural and social values, inherited and developed over time (Bosma et al., 2009; Nature and Taher, 2009; Alvarez et al., 2010).

Of the many young entrepreneurs who were involved in SMEs in Indonesia either directly or indirectly that have applied the principles of quality management, it is found that there are various irregularities committed by unscrupulous employees. The deviation has caused constraints the SMEs in their effort to meet customer satisfaction. This implies the weak internal audit function to support the company’s efforts to meet customer satisfaction. This condition is weakened by the lack of competence and professionalism of the internal auditor, as well as their lack of understanding of the principles of quality management resulting in poor internal audit function in meeting the expectations of its internal and external customers (Hiro: 2003; Eddie : 2003; Khomarul : 2002).

The importance of improving the effectiveness of the quality application, which is the target of quality management, has become an important issue not only within the scope of local business but also in international business, especially in the era of global free trade. So, by improving the overall quality of products and services produced, and by the existence of the good internal audit function’s position as the key that helps achieve the corporate goals in their efforts to meet customer satisfaction, it is not impossible that Indonesia will emerge as the “new tiger of Asia” because of the movements made by the SME businesses in Indonesia.

B. FRAMEWORK AND HYPOTHESES
B.1. Framework
Several researchers have focused more directly on the obstacles that hinder the ability of organizations to make a successful transformation to TQM or quality management. Glover (1993:50-63) argues that TQM failures follow one of three patterns: conceptual weakness, design flaws, or ineffective implementation. Recognizing that TQM requires a true organizational transformation, Glover  explains conceptual weakness as failures occurring because organizations make only “superficial” attempts at change. Design flaws occur when TQM systems are not designed to fit the cultural circumstances of the organization. And the most common reason for failure— ineffective implementation—results when “TQM becomes so much extra work instead of a new way of doing things”. Glover also argues that without a change in management evaluation and reward policy, TQM cannot be taken seriously. He advocates “managers will need to know that their evaluations, and subsequent pay increases and bonuses, are dependent on having high levels of quality, satisfied staff and consumers, and successful TQM implementation in their respective areas of responsibility”.

Implications of the implementation of quality management, through the involvement of all levels of an organization that is supported by various means and programs related, have a great impact on the culture, attitudes and activities of the organization as well as on the internal audit profession that is required to participate and get involved with adjusting control system that is consistent with quality management strategy (Hawkes et al: 1994; Rezaee: 1996). Employee involvement and empowerment that characterize the quality of management is also a trigger for a paradigm shift in which the internal audit function, which was originally merely an independent consultant on organizational control systems, has become a part of a work team that supports the creation of the changes that is customer oriented.

Implementation of quality management has forced the authorities, that is the Institute of Internal Auditors, to shift their paradigm on the function of internal audit to be more customer oriented with a focus on creating added value through the services provided by the internal audit function to the organization (Raider: 1999; Hiro: 2003; Sawyer : 2003; Chapman et al: 2002; Ramamoorti: 2003; Baumgartner: 2004; Flesher: 2000; Bou-Raad: 2000; Moeller: 2004: Ridley: 1997). It has been demonstrated empirically in which the survey results show that the application of quality management has changed the roles and responsibilities of internal audit function, where at a time was only to audit and assess a company’s internal control compliance, to become more focused on a review of the quality management system. In general, it was concluded that although the application of quality management does not conflict with the role of internal auditors, the internal auditor must adjust its role in the implementation of quality management (Sawyer: 2003; Meegan et al: 1997; Rezaee: 1996, Hawkes et . al.: 1995).

B.2. Hypothesis
The application of quality management factors affects the overall operational and functional aspects of the organization. Internal audit function is included as one of the factors. So, the activities and scope of internal audit function are influenced by the other factors of quality management. Thus, this research hypothesis can be formulated as follows:
Hypothesis 1: The application of quality management based on the customer focused management, continuous improvement, and employee empowerment has a significant effect on the Internal Audit Function simultaneously.
Hypothesis 2: The application of quality management based on customer focused management, continuous improvement, and employee empowerment has a significant effect on the Internal Audit Function partially.

 

C. RESEARCH METHODOLOGY
C.1. Research Method
This study is a verification of research by using Survey Explanatory method. Purposive sampling was used for the data collection and sample selection, with the sampling criteria as follows:
1. SMES that have internal audit function

2. SMEs that have been established since 2008
Based on these criteria, 36 SMEs were selected. The data on the number of SMEs in Palembang was obtained from the Central Bureau of Statistics Palembang .
C.2 The objects of the study
C.2.1. Application of Quality Management

TQM is an integrated management philosophy and set of practices that emphasizes, among other things, continuous improvement,meeting customers’ requirement, reducing rework, long range thinking, increased employee involvement and teamwork, process redesign, competitive benchmarking, teambased problem-solving, constant measurement of results, and closer relationships with suppliers (Ross, 1994). Similarly, Oakland (1993,p. 22) defines TQM as “…an approach to improving the competitiveness, effectiveness and flexibility of a whole organization”

This variable is measured by the instruments developed by Blocher et.al (1999: 167) which were developed based on the philosophy of quality management principles of Deming. The instrument consists of 42 items grouped into three sub-variables by using a 5-point Likert scale response option, which is modified in such a manner in accordance with the conditions and purpose of the study.

 

C.2.2. Internal Audit Function
Internal Audit function in this study is defined according to the definition of the Institute of Internal Auditors (1999) in Sawyer (2003: 8-10) that “internal auditing is an independent, objective, assurance and consulting activity designed to add value and improve an organizations’ operations. It helps an organization accomplish its objectives by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control and governance process“.  Aligned with the implementation of quality management within the organization, Rezaee (1996) emphasizes that the internal audit function should be tailored to the principles of quality management through which internal improvements and responding to external customers, internal auditors can provide a new form of service for all levels of management.

This variable is measured with instruments that had been tested and developed by Hawkes et.al (1995), and then modified according to the new paradigm of the internal audit function as described in the definition of internal audit function which was developed by the Institute of Internal Audit. The instrument consists of questions that are grouped into 1 construct by using a 5-point Likert scale response option, which is modified in such a way as to the conditions and purpose of this study.
D. RESULTS AND INTERPRETATION


D.1. Validity and Reliability tests
Prior to a discussion on how much influence the implementation of quality management that includes the customer focused (X1), continuous improvement (X2), and employee empowerment (X3) has on the internal audit function (Y) on SMEs in Palembang, the validity and reliability of data obtained on the questionnaire answers from respondents were tested first.
D.1.1. Validity of Test Results
The validity test on the customer focused sub-variable by using the Spearman rank correlation showed that all statements were valid, where the smallest correlation coefficient value was 0,265 and the largest correlation coefficient value was 0,878.

The validity test on the continuous improvement sub-variable by using the Spearman rank correlation showed that all statements were valid, where the smallest correlation coefficient value was 0,327 and the largest correlation coefficient value was 0,681.

The validity test on the employee empowerment sub-variable by using the Spearman rank correlation showed that all statements were valid, where the smallest correlation coefficient value was 0,348 and the largest correlation coefficient value was 0,875.

The validity test on the internal audit function variable by using the Spearman rank correlation showed that all statements were valid, where the smallest correlation coefficient value was 0,458 and the largest correlation coefficient value was 0,763.
D.1.2. Reliability of test results
The reliability coefficient of the 20 sub-items on the statement of customer focused application variables by using alpha-cronbach test is 0.886. This reliability coefficient indicated that the 20 statements are reliable to measure the implementation of customer focused on SMEs in Palembang.

The reliability coefficient of the 17 sub-items on the statement of continuous improvement application variables by using alpha-cronbach test is 0.869. This reliability coefficient indicated that the 17 statements are reliable to measure the implementation of continuous improvement on SMEs in Palembang.

The reliability coefficient of the 11 sub-items on the statement of employee empowerment application variables by using alpha-cronbach test is 0.867. This reliability coefficient indicated that the 11 statements are reliable to measure the implementation of employee empowerment on SMEs in Palembang.

The reliability coefficient of the 12 sub-items on the statement of internal audit function application variables by using alpha-cronbach test is 0.873. This reliability coefficient indicated that the 12 statements are reliable to measure the implementation of internal audit function on SMEs in Palembang.


D.2.2. Hypothesis Testing

The hypothesis testing which used path analysis required a set of interval scale data, Before calculating the influence of each independent sub-variable on the internal audit function in the SMEs in Palembang, the correlation between the variables, and the calculation results obtained from the correlation coefficient between the variables were calculated and arranged in a matrix form as follows:

D.2.2.1. Path coefficients
By using the existing values in the correlations matrix among the variables above, the path coefficient obtained for each sub-independent variable as follows:
Table 1. Summary of Results of path coefficient

Influence between variable Path coefficient T count T critical F value Test R Square coefficient Other variables coefficient
X1 to Y1 0.3031 2.334 2.05 21.546 Ho Denied 0.7388 0.2612
X2 to Y1 0.3885 2.565 2.05 Ho Denied
X3 to Y1 0.2848 2.153 2.05 Ho Denied

Once the path coefficients were obtained, how much influence the application of customer focused, continuous improvement and employee empowerment sub-variables on the internal audit function on SMEs in Palembang can be calculated. The simultaneous influence is commonly known as the coefficient of determination. The coefficient of determination is 0.7388 or 73.88%. This coefficient of determination can be interpreted as the influence of independent variables to the dependent variable. So in this study 73.88% of internal audit functions in SMEs in Palembang are affected by the implementation of customer focused, continuous improvement and employee empowerment. The influence of other factors not examined in this study is 0.2612 or 26.12%. So the influence of other factors not examined on the function of internal audit on SMEs in Palembang is equal to 26.12%.

X1

Y

e
X3
X2
0.0781
0.0771
0.1293
Py,x1=0.3031
Py,x2=0.3885
Py,x3=0.2848

 

Figure 1 Path diagram and path coefficients sub-variable X to Y

D.2.2.2 Simultaneous path coefficient testing
To find out whether simultaneous application of customer focused, continuous improvement and employee empowerment have a significant effect on the internal audit function of SMEs in Palembang, F test was used to test the above hypothesis as follows:
H0 is rejected if F >   .  At a significance level of 0.05 and degrees of freedom (3; 36-3-1), the F (0.05; 3:32) = 2.9467. The Fcount obtained is  28.336, which means that Fcount > Ftable, then H0 is rejected. So based on the test results with 95% confidence level, it can be concluded that the implementation of customer focused, continuous improvement and employee empowerment simultaneously has a significant effect on the internal audit function on SMEs in Palembang.

This supports the previous research conducted by Hawkes et.al (1995), Meegan et al (1997) and statements by Rezaee (1996), Andi and Iskandar (2009) and Sawyer (2003). The implementation of quality management within an organization will change the pattern of activity of an organization in a comprehensive and sustainable manner. Organizations are required to be able to respond to customer expectations and satisfaction well. Focusing on customers is a major factor that should be the benchmark for routine activities of the organization. As a process, meeting customers expectations must not be done in a short time and thus require continuous improvement and relentless effort.

As an integral part of an organization, the response of the internal audit function becomes a key factor in its efforts to meet the expectations of its internal and external customers. Internal auditor function is required to be able to respond to customer expectations and it should equip itself with a variety of technical skills in order to perform a variety of continuous improvement as demanded by customers.
D.2.2.3 Partial Path Coefficients testing
After concluding the influence of the simultaneous application of customer focused, continuous improvement and employee empowerment on the internal audit function in SMEs in Palembang, a test was carried out to see which sub-variable of the three sub-variables that has a significant influence on the function of internal audit on SMEs in Palembang. A t-test was used to find it out.

 

D.2.2.3.1. Effect of Implementation of Customer Focused application on
Internal Audit Functions
H0 is rejected if |t-count| > ttable. The t-student with a significance level (0.05) and degrees of freedom (nk-1), (t (0.05) / 2; 32) is 2.0484. Since t-count is 2.34 for sub-path variable of customer focused is greater than ttable, then with 95% confidence level, it can be concluded that the sub-variable customer focused application has a significant influence on the internal audit function on SMEs in Palembang.

 

Table 2 The influence of the implementation of customer focused application

Influence of the implementation of customer focused application on internal audit function

Influence

Directly 9.19%
Indirectly 13.03%
Total 22.22%

The implementation of customer focused directly influence the internal audit function for about 9.19% in SMEs in Palembang and indirectly at about 13.03%.

In general, the influence of the application of customer focused on internal audit function in SMEs in Palembang is equal to 22.22%. The application results in a positive effect on internal audit function in SMEs in Palembang which means the customer focused application will improve the internal audit function on SMEs in Palembang.

The results of this study support the statement of Sawyer (2003), Rezaee (1996) and empirical studies of Hawkes et al (1995),Andi and Iskandar (2009). Focusing on customers is a central feature of the implementation of quality management. It requires commitment and relentless efforts in order to obtain customer satisfaction on products / services offered by the manufacturer. That also applies to the internal audit function. Implementation of quality management in an entity also affects the activity of the internal audit function. Internal audit function should be more customer oriented. So by changing the orientation of the internal audit function, from which was originally only focused on assessment of compliance audits and internal control, with the implementation of quality management in the company, internal audit function will have an even greater role in the review of the quality system in the company. Thus, the internal audit function will provide an added value through the services provided to customers.

 

D.2.2.3.2. Effect of Implementation of Continuous Improvement application on
Internal Audit Functions
H0 is rejected if |t-count| > ttable. The t-student with a significance level (0.05) and degrees of freedom (nk-1), (t (0.05) / 2; 28) is 2.0484. Since t-count is 2.565 for sub-path variable of continuous improvement is greater than ttable, then with 95% confidence level, it can be concluded that the sub-variable continuous improvement has a significant influence on the internal audit function on SMEs in Palembang.
Table 3 The influence of the implementation of continuous improvement

Influence of the implementation of continuous improvement on internal audit function

Influence

Directly 15.10%
Indirectly 15.52%
Total 30.62%

The implementation of continuous improvement directly influences the internal audit function for about 15.10% in SMEs in Palembang and indirectly at about 15.52%.

In general, the influence of the application of continuous improvement on internal audit function in SMEs in Palembang is equal to 30.62%. The application results in a positive effect on internal audit function in SMEs in Palembang which means the continuous improvement application will improve the internal audit function on SMEs in Palembang.

The impact of a paradigm shift that is more oriented to the demands of the customer is the creativity of the people in charge. As stated by Sawyer (2003), Hawkes et al (1995), Rezaee (1996), and Bou-Raad (2000), Andi and Iskandar (2009) that one of the real implications of the implementation of quality management to change the orientation of the company to focus on customers is a continuous improvement. Continuous improvement as part of the company’s efforts in meeting customer expectations and satisfaction will require firms to make significant changes in rapid and in accordance with the wishes of the customer. Creativity of employees (including the internal audit function) is the main factor to make this happen. Creativity accompanied by the availability of skills and adequate technical expertise is also absolutely needed the internal auditors. Continuous improvement performed by internal audit function is marked by a more technical approach to developing relevant and more visible role in providing input and suggestions for improving the quality of the company as a whole. So, continuous improvement of the internal audit function will enable the company to respond to various demands and expectations of customers.
D.2.2.3.3. Effect of Implementation of Employee Empowerment application on
Internal Audit Functions
H0 is rejected if |t-count| > ttable. The t-student with a significance level (0.05) and degrees of freedom (nk-1), (t (0.05) / 2; 28) is 2.0484. Since t-count is 2.153 for sub-path variable of employee empowerment is greater than ttable, then with 95% confidence level, it can be concluded that the sub-variable employee empowerment has a significant influence on the internal audit function on SMEs in Palembang.
Table 4 The influence of the implementation of employee empowerment

Influence of the implementation of employee empowerment on internal audit function

Influence

Directly 8.11%
Indirectly 12.93%
Total 21.04%

The implementation of employee empowerment directly influences the internal audit function for about 8.11% in SMEs in Palembang and indirectly at about 12.93%.

In general, the influence of the application of employee empowerment on internal audit function in SMEs in Palembang is equal to 21.04%. The application results in a positive effect on internal audit function in SMEs in Palembang which means the employee empowerment application will improve the internal audit function on SMEs in Palembang.

The results are in line with the Hawkes et.al (1995), Rezaee (1996) and Andi and Iskandar  (2009)  in which the optimal empowerment of employees will support the overall activities of the company to meet customer expectations. Particularly the internal audit function, through the empowerment of the optimum by either internal customers or the board audit committee of the company, will increase the competence and professionalism of internal auditors. For example, the involvement of internal audit functions in quality control and inspection of internal quality assurance requires skills and expertise, for example, understanding of the principles and rules of quality management. Thus, the internal audit function is required to be able to communicate and have the technical expertise to assist the department in reviewing the feasibility of production in the existing system.
E. CONCLUSION
E.1. Conclusion
Based on the results of research conducted to determine the effect of quality management implementation on the Internal Audit Function in SMEs in Palembang, the following conclusions are made:

  • Implementation of quality management and internal audit functions in the companies that are the subjects of this study can generally be said to have been good. This is reflected by the scores obtained from tests on the quality of management and internal audit functions variable. Relatively routine internal quality checks indicate a high awareness of quality improvement as an effort to fulfill customer satisfaction. Although in practice, there are still complaints from both external and internal customers of the company, it might be because the application of quality management requires a constant effort to meet customer satisfaction and maintaining the customer satisfaction to establish the achievement of corporate performance.
  • Implementation of quality management consisting of Customer Focused application, Continuous Improvement, and Employee Empowerment, has a positive effect simultaneously and partially on to the Internal Audit Function in SMEs in Palembang.

E.2. Suggestions and Limitations
E.2.1. Suggestions

  • Based on the results of hypothesis testing that showed a positive effect of the application of quality management which comprises customer focused application, continuous improvement and employee empowerment, it is recommended to the leaders of the company that they improve the factors of quality management as a whole. It is very important because the application of quality management is an endless endeavor. Necessary commitment and continuous effort in order to keep customer satisfaction should be met. Therefore, the role of internal audit function should be involved in order to accommodate this.
  • Compared to other sub-variables of the application of quality management, employee empowerment sub-variable has the smallest positive influence on the internal audit function. It is therefore recommended to the leaders of SMEs to further increase focus on employee satisfaction, give incentives for employees who perform best, increase the intensity of training mainly on technical improvement of the quality of products to employees, and enlarge the authority for employees to make their own decisions for solving quality problems in his work.
  • The role of internal auditors should be more empowered to solve problems of quality to customer satisfaction and compliance efforts to reverse the internal audit function should continue to adopt quality management principles in their activities so as to meet customer expectations and satisfaction of internal customers primarily through the services it provides.
  • The new paradigm of internal audit function, which has been oriented to focus on customer satisfaction, expands the scope and authority of the internal audit function in providing services to both internal and external customers. To that end, the internal audit function should equip themselves with education and training and to develop new techniques and approaches in the implementation of their duties so as to support continuous quality improvement as expected by customers.

D.2.2. Limitation

This study has several limitations or drawbacks. Limitations in this study are expected to be addressed by the next research.

  • The first limitation lies in the sample used. Although the sample of this study is actually the population, given the scope of the study sites only focus in Palembang, the research result is not relevant to generalize the application of quality management that affect the function of internal audit in Indonesia. Therefore, subsequent researchers are expected to take a larger sample in order to obtain a representative picture of conditions that affect the application of quality management of the internal audit function in Indonesia.
  • A Second limitation is the object of research on the internal audit function. Although this study refers to the instruments developed by previous researchers to modify the internal audit function, but the instrument was still related to the old paradigm of internal audit function. Due to the limitations in developing instruments that are relatively more relevant, the next researcher is expected to perform a series of preliminary test of the instrument variables so that the internal audit function may be more relevant to the research conducted.

 

REFERENCE

 

Arawati, Agus., 2004, TQM as a Focus for Improving Overall Service Performance and Customer Satisfaction : an Empirical Study on a Public Service Sector in Malaysia, Total Quality Management & Business Excellence Abingdon : Jul/Aug 2004,  Vol. 15,  Iss. 5,6,  p. 615-628.

Alam G, Taher BK (2009). The impact of introducing a business marketing approach to education: A study on private HE in Bangladesh. Afr. J. Bus. Manage., 3(9): 463-474.

Alvarez Herranz A, Valencia Lara P, Barraza S, Legato A. (2010). Factors determining the entrepreneurial consolidation in Latin America. Afr. J. Bus. Manage., 4(9): 1717-1722.

Andi Zainal and Iskandar Muda(2009) Pengaruh Penerapan Total Quality Management (TQM) Terhadap Fungsi Audit Internal , Survey Pada Perusahaan Bersertifikasi ISO 9000 Di Provinsi Sumatera Utara, http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/11309153164.pdf

Barno Sudarwanto, Meningkatkan Mutu Perusahaan Melalui ISO 9000:2000, Harian Umum Suara Pembaruan, Kolom Opini, Edisi Minggu,                         28 Februari 1999

Baumgartner, Grant D. & Hamilton, Angela., 2004, Internal Audit: Consider the Implications, Healthcare Financial Management, June 2004, vol. 58 no.6, Academic Research Library, p.34

Bernardo Nugroho Yahya, 2002, Business Process Reengineering: Concepts, Causes And Effect, Jurnal Teknik Industri Universitas Kristen Petra Surabaya, Vol. 4 No. 2, Desember, hal. 102-110

Blocher, Edward J., Chen, Kung H., & Lin, Thomas W., 1999, Cost Management: A Strategic Emphasis, Mc. Graw-Hill Companies, Inc, USA.

Bou-Raad, Giselle., 2000, Internal Auditors and A Value-Added Approach: The New Business Regime, Managerial Auditing Journal, MCB University Press, Vol. 15 No. 4,    p. 182-186.

Brah, Shaukat A., Wong, Jen Li, & Rau, B. Madhu., 2000, MANAJEMEN MUTU And Business Performance In The Service Sector: A Singapore Study, International Journal of Operations & Production Management, Vol. 20 No. 11, MCB University Press, pp. 1293-1312

Bricknell, G., 1996, Total Quality Revisited, Management Series, Vol. 40 No. 1, pp.18-20

Brue, Greg., 2002, Six Sigma For Managers, Mc. Graw-Hill Companies, Inc, USA.

Chan, Teng Heng. & Quazi, Hesan A., 2002, Overview of Quality Management Practices in Selected Asian Countries, Milwaukee, American Society for Quality, Quality Management Journal, Vol. 9 No. 1, p.23-49

Chapman, C., and Anderson, U., 2002, Implementing the Professional Practices Framework, Altamonte Springs, Florida : The Institute of Internal Auditors.

Chun, Cai.,  1997, On The Functions And Objectives Of Internal Audit And Their Underlying Conditions, Managerial Auditing Journal, Vol. 12 No. 4,5.,           p. 247-250

Drummond, H., 1992, The Quality Movement – What Total Quality Management Is Really All About, London, Kogan Page Limited

Eddie Gunadi Martokusumo, 2002, Minimnya CIA di Indonesia,, Auditor Internal, Edisi September 2002, hal. 21-22

Flesher, Dale L., & Zanzig, Jeffrey S., 2000, Management Accountants Express A Desire For Change In The Functioning of Internal Auditing, Managerial Auditing Journal, MCB University Press, Vol. 15 No. 7, p. 331-337.

Glover, J. 1993. Achieving the organizational change necessary for successful TQM. International Journal of Quality & Reliability Management 10: 47-64.

Goetsch, David L., and Davis B. Stanley, 2000, Quality Management : Introduction to Total Quality Management for Production, Processing, and Services, Third Edition, Prentice-Hall, Inc., New Jersey.

Harmon, Joel., Scotti, Dennis J., Behson, Scott., and Farias, Gerard., 2003, Effects of High-Involvement Work System onEmployee Satisfaction and Service Costs in Veteran Healthcare, Journal of Healthcare Management, Chicago, Vol.48 No. 6, p. 393-407

Harrington, Cynthia, 2004, Internal Audit’s New Role, Journal Of Accountancy, September 2004, Vol. 198 No. 3, Academic Research Library, p.65

Hawkes, Lindsay C., & Adams, Michael B., 1994, Total Quality Management: Implications For Internal Audit, Managerial Auditing Journal, Vol 9 No. 4, MCB University Press, pp. 11-18

Hawkes, Lindsay C., & Adams, Michael B., 1995, Total Quality Management And The Internal Audit: Empirical Evidence, Managerial Auditing Journal, Vol 10 No. 1, MCB University Press, pp. 31-36

Hiro Tugiman, 2003, Auditor Internal Wajib Bersertifikat (Bagian 1), Auditor Internal, Edisi Agustus 2003, hal. 23-27

Hiro Tugiman, 2003, Auditor Internal Wajib Bersertifikat (Bagian 2), Auditor Internal, Edisi November 2003, hal. 27-30

Jalaluddin Rakhmat, 1995, Metode Penelitian Komunikasi, Penerbit PT. Remaja Rosadakarya, Bandung.

Kaplan, Robert S., and Saccuzza, Dennis P., 1993, Psychological Testing (Principles, Application and Issues), 3rd Edition, California : Brooks / Cole Publishing Company

Kartha, C.P. Dr., 2002, ISO 9000:2000 Quality Management Standards: TQM Focus In The New Revision, Cambridge, The Journal Of American Academy of Business, Vol. 2  No. 1 September

Khomarul Hidayat, 2003,  Perbankan  Masih  Hadapi  Tantangan  Berat,  Melalui

< http://www.sinarharapan.com > [01 Juli 2004].

Lee, S.F., Roberts, Paul., Lau, W.S., & Leung, Ruth., 1999, Survey On Deming’s TQM Philosophies Implementation In Hongkong, Managerial Auditing Journal, Vol. 14 No. 3, p. 136-145.

Leonard, Denis. and McAdam, Rodney., 2001, The Relationship Between Total Quality Management (TQM) and Corporate Strategy: The Staregic Impact of TQM, Strategic Change Journal, Vol. 10, Desember 2001, John Wiley & Sons Ltd., p.439-448

Leonard, Denis. and McAdam, Rodney., 2002, The Strategic Dynamics of Total Quality Management: A Grounded Theory Research Study, American Society for Quality, Quality Management Journal, Vol. 9 No. 1, 50-62

Meegan, Sarah T., & Simpson, Russel., 1997, Progressive Roles Of The Internal Audit Function: A Case study Of BTNI, Managerial Auditing Journal, MCB University Press, Vol. 12 No. 8.,  p. 395-399.

Minniti, M.; Bygrave, W. and E. Autio. (2006): Global Entrepreneurship Monitor, Executive Report 2005. Babson Collage and London Business School. Babson Park, MA. And London, UK

Moeller, Robert R., 2004, Sarbanes-Oxley And The New Internal Auditing Rules, Hoboken, New Jersey, John wiley & Sons, Inc.

Moeller, Robert, & Herbert, Witt N., 1999, Modern Internal Auditing, Fifth Edition, New York, Ronald Press Publication.

Nirwana SK, Sitepu, 1994, Analisis Jalur (Path Analysis), FMIPA, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Niswonger, Warren, Reeve, & Fess., 2002, Accounting, 20th Edition,South-Western

Noronha, Carlos., 1999, Confirmation of a Four-Variable Quality  Management, Managerial Auditing Journal, MCB University Press, Vol. 14 no.1/2,             p. 12-19

Nur Indriantoro dan Bambang Supomo, 1999, Metode Penelitian Bisnis – Untuk Akuntansi dan Manajemen, Edisi Pertama,Penerbit BPFE – Yogyakarta

Ramamoorti, Sridhar, 2003, Research Opportunities In Internal Auditing-Chapter One, Edited by Andrew D. Bailey, Jr., Ph.D., CIA, CPA, CMA, CFE; Audrey A. Gramling, Ph.D., CIA, CPA, and Sridhar Ramamoorti, Ph.D., CIA,ACA, CPA, CFE, CFSA, CRP., Copyright The Institute of Internal Auditors, Florida.

Rand, R.S., 1994, Samurai Audit Manager’s Readiness For TQM, Internal Auditing, Vol. 9 No. 3, pp. 23-31

Rao, Ashok., Lawrence, Carl P., Dambolena, Ismael, Kopp, Robert J., Martin, John, Farshad, Rafii., Schlesinger, Phyllis F., 1996, Total Quality Management : A Cross Functional Perspective, John Wiley & Sons Inc.

Ratliff, Richard L., Wallace A., Wanda., Loebbecke K., James, and McFarland G., Williams., 1996, Internal Auditing Principles And Techniques, The Institute of Internal Auditors, Florida.

Rezaee, Zahibollah., 1996, Improving The Quality Of Internal Audit Functions Through Total Quality Management, Managerial Auditing Journal, Vol 11 No. 1, MCB University Press, pp. 30-34

Ridley, Jeffrey., 1997, Embracing ISO 9000 – Generic, Organizational, Quality System Standards, Internal Auditor, August.

Roger, Erick., Quantitative Analysis Of The Expectations And Realized Benefits Of ISO 9000 Sertification As Reported By Companies In Indonesia, Melalui             < http://www.sgs.co.id/survey.html > 22/09/2004

Saifuddin Azwar, 2001, Realibilitas dan Validitas, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar

Sawyer B., Lawrence & Dittenhofer A., Mortimer, 1996, Internal Auditing, Fourth Edition, The Institute of Internal Auditors, Florida

Sawyer, Lawrence B., Dittenhofer, Mortimer A., Scheiner, James H., 2003, Sawyer’s Internal Auditing, 5th edition, Florida, The Institute of Internal Auditors

Sebastianelli, Rose. and Tamimi, Nabil., 2003, Understanding the Obstacles to MANAJEMEN MUTU Success, American Society for Quality, Quality Management Journal, Vol. 10 No. 3, p.45-56

Sekaran, Uma., 2000, Research Methods For Bussiness A Skill-Building Approach, 3th Edition, New York: John Willey&Sons Inc

Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian., 1995, Metode Penelitian Survai, Penerbit PT. Pustaka LP3ES Indonesia

Sugiyono, 2001, Metode Penelitian Bisnis, Bandung, Penerbit ALFABETA.

…………, 2002, Statistika untuk Penelitian, Bandung, Penerbit ALFABETA.

Suharsini Arikunto, 1998, Prosedur Penelitian –  Suatu Pendekatan Praktek, Cetakan Kesebelas, Edisi Revisi IV, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta

Supratiningrum & Zulaikha, 2004, Pengaruh Total Quality Management Terhadap Kinerja Manajerial Dengan Sistem Pengukuran Kinerja dan Sistem Penghargaan (Reward) Sebagai Variabel Moderating, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 4 No.1, Januari, hal. 25-36.

Thurow, L. (2003). Fortune favours the bold: What we must do to build a new and lasting global prosperity. (New York: Harper Collins)

Wong, P. K., Ho, Y. P. & Autio, E. (2005). Entrepreneurship, innovation and economicgrowth: Evidence from GEM data. Small Business Economics, 24(3), 335-350

Read full story »
Tags: ,
Filed Under:Call paper

Reksa Dana sebagai salah satu alternatif solusi investasi

By on May 15th, 2012. This post has No Comments »

Poppy Indriani, SE., AK., M.si

Dosen Universitas Bina Darma, Palembang

Jalan Jenderal Ahmad Yani No.12, Palembang

poppy_ucat@yahoo.com

Abstract:.An investor who has chosen to invest in the Fund rather than choice other investment instruments such as gold or buy property, buy a market instrument capital such as stocks or bonds directly, which it has been entrusted funds held to be managed by the Investment Manager to be managed in a portfolio the investment.
For small investors, Mutual Fund is a solution to overcome the high cost of direct investment in the stock market. In addition, the Fund will also encourage the participation of the community to invest in the stock market. Viewed from the side of safety, mutual fund must be very safe considering the legal basis for its establishment through legislation that is clear. In terms of business, Mutual Funds are also very profitable. When talking about the return, every business person would see this factor in the Mutual Fund. In other words, investors will not buy something if it is not profitable.

Keywords : Reksa Dana, Investment, investors

 

Abstrak : 

  Seorang investor yang telah memilih untuk berinvestasi di Reksa Dana daripada pilihan instrumen investasi lainnya seperti membeli emas atau properti, membeli instrumen pasar modal seperti saham atau obligasi secara langsung, artinya telah mempercayakan dana yang dimilikinya untuk dikelola oleh Manajer Investasi untuk dikelola dalam sebuah portofolio investasi.Bagi investor kecil, Reksa Dana merupakan solusi untuk mengatasi tingginya biaya investasi langsung di pasar  modal. Selain itu, adanya Reksa Dana juga akan mendorong partisipasi masyarakat untuk menanamkan modalnya di pasar modal. Dilihat dari sisi keamanannya, Reksa Dana tentu sangat aman mengingat dasar hukum pendiriannya melalui peraturan perundangan yang jelas. Sedangkan dari sisi bisnis, Reksa Dana juga sangat menguntungkan. Bila bicara soal return, setiap pelaku bisnis tentu melihat faktor ini dalam Reksa Dana. Dengan kata lain,investor tidak akan membeli sesuatu bila tidak menguntungkan. Reksa Dana saat ini telah berkembang pesat dengan berbagai macam jenis. Melihat berkembangan yang sangat mengesankan itu, prospek Reksa Dana dimasa mendatang  sangatlah menjanjikan.  

 

Kata Kunci: Reksa Dana, Investasi, Investor, Pasar Modal

 

 


PENDAHULUAN

Perkembangan perekonomian negara pada era globalisasi dipengaruhi oleh komponen-komponen yang ada dalam struktur ekonomi negara salah satu komponen tersebut yaitu pasar modal. Fungsi dari pasar modal adalah menjadi jembatan penghubung dana dari unit surplus kepada unit yang defisit dana. Di Negara-negara maju seperti Jepang, Amerika dan Inggris, pasar modal dijadikan ukuran dalam melihat perkembangan perekonomian negara setiap tahunnya. Semakin maju pasar modal suatu negara, maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut mempunyai perekonomian yang baik pula.

Saat ini dapat kita lihat bahwa perkembangan pasar modal Indonesia  masih didominasi oleh investor besar dan badan usaha. Salah satu diantaranya adalah Reksa Dana. Pertumbuhan Reksa Dana di Indonesia sangatlah pesat. Hal ini tentu saja mempunyai pengaruh yang positif bagi pasar modal Indonesia.

Reksa Dana  sendiri merupakan investor yang peranannya cukup besar dalam kontribusi dana investasi di pasar modal. Bagi investor kecil, Reksa Dana merupakan solusi untuk mengatasi tingginya biaya investasi langsung di pasar  modal. Selain itu, adanya Reksa Dana juga akan mendorong partisipasi masyarakat untuk menanamkan modalnya di pasar modal. Dilihat dari sisi keamanannya, Reksa Dana tentu sangat aman mengingat dasar hukum pendiriannya melalui peraturan perundangan yang jelas. Sedangkan dari sisi bisnis, Reksa Dana juga sangat menguntungkan. Bila bicara soal return, setiap pelaku bisnis tentu melihat faktor ini dalam Reksa Dana. Dengan kata lain,investor tidak akan membeli sesuatu bila tidak menguntungkan.

Reksa Dana saat ini telah berkembang pesat dengan berbagai macam jenis. Melihat perkembangan yang sangat mengesankan itu, prospek Reksa Dana dimasa mendatang sangatlah menjanjikan. Tidak hanya pasar modal yang diuntungkan karena mendapat tambahan likuiditas dana dari investor, para investor pun mempunyai pilihan untuk berinvestasi sesuai dengan kemampuan dan return yang diharapkan.

Melihat trend penurunan BI Rate secara perlahan terus berlangsung, maka dengan demikian Reksa Dana dapat dijadikan sarana bagi investor yang terbiasa berinvestasi di deposito bank, untuk beralih ke Reksa Dana yang menawarkan return yang lebih menarik

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi yang dipergunakan adalah studi pustaka. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan dasar-dasar teori dari bacaan-bacaan, buku-buku, dan jurnal penelitian terdahulu.

HASIL

  1. 1.      Pengertian Reksadana

Menurut Undang-undang Pasar Modal nomor 8 Tahun 1995 pasal 1, ayat (27): “Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat Pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio Efek oleh Manajer Investasi (Ponco Utomo, 10:2010).” Dari kedua definisi di atas, terdapat tiga unsur penting dalam pengertian Reksa Dana yaitu:

1. Adanya kumpulan dana masyarakat, baik individu maupun institusi

2. Investasi bersama dalam bentuk suatu portofolio efek yang telah terdiversifikasi;

3. Manajer Investasi dipercaya sebagai pengelola dana milik masyarakat investor.

Pada reksa dana, Manajer Investasi mengelola dana-dana yang ditempatkannya pada surat berharga dan merealisasikan keuntungan ataupun kerugian dan menerima dividen atau bunga yang dibukukannya ke dalam “Nilai Aktiva Bersih” (NAB) reksa dana tersebut.

Kekayaan reksa dana yang dikelola oleh manajer investasi tersebut wajib untuk disimpan pada bank Kustodian yang tidak terafiliasi dengan manajer investasi, dimana bank kustodian inilah yang akan bertindak sebagai tempat penitipan kolektif dan administratur.

  1. 2.      Sejarah Reksa Dana

Reksa dana yang pertama kali bernama Massachusetts Investors Trust yang diterbitkan tanggal 21 Maret 1924, yang hanya dalam waktu setahun telah memiliki sebanyak 200 investor reksa dana dengan total aset senilai US$ 392.000. Pada tahun 1929 sewaktu bursa saham jatuh maka pertumbuhan industry reksa dana ini menjadi melambat. Menanggapi jatuhnya bursa maka Kongres Amerika mengeluarkan Undang-undang Surat Berharga 1933 (Securities Act of 1933) dan Undang-undang Bursa Saham 1934 (Securities Exchange Act of 1934).

Berdasarkan peraturan tersebut maka reksa dana wajib didaftarkan pada Securities and Exchange Commission atau biasa disebut SEC yaitu sebuah komisi di Amerika yang menangani perdagangan surat berharga dan pasar modal. Selain itu pula, penerbit reksa dana wajib untuk menyediakan prospektus yang memuat informasi guna keterbukaan informasi reksa dana, juga termasuk surat berharga yang menjadi objek kelolaan, informasi mengenai manajer investasi yang menerbitkan reksa dana. SEC juga terlibat dalam perancangan Undang-undang.

Perusahaan Investasi tahun 1940 yang menjadi acuan bagi ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi untuk setiap pendaftaran reksa dana hingga hari ini. Dengan pulihnya kepercayaan pasar terhadap bursa saham, reksadana mulai tumbuh dan berkembang. Hingga akhir tahun 1960 diperkirakan telah ada sekitar 270 reksa dana dengan dana kelolaan sebesar 48 triliun US Dollar.

Reksa dana indeks pertama kali diperkenalkan pada tahun 1976 oleh John Bogle dengan nama First Index Investment Trust, yang sekarang bernama Vanguard 500 Index Fund yang merupakan reksa dana dengan dana kelolaan terbesar yang mencapai 100 triliun US Dollar. (Asosiasi Pengelola Reksa Dana  Indonesia)

Salah satu kontributor terbesar dari pertumbuhan reksa dana di Amerika yaitu dengan adanya keten tuan mengenai rekening pensiun perorangan (individual retirement account – IRA), yang menambahkan ketentuan kedalam Internal Revenue Code ( peraturan perpajakan di Amerika) yang mengizinkan perorangan (termasuk mereka yang sudah memiliki program pensiun perusahaan) untuk menyisihkan sebesar 4.000 US $ setahun.

3 Bentuk Hukum dan Sifat Reksa Dana

a. Bentuk Hukum Reksa Dana

Berdasarkan Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 pasal 18, ayat (1), bentuk hukum Reksa dana di Indonesia ada dua, yakni(Bapepam-LK RI, 241:2010):

1). Reksa Dana berbentuk Perseroan, yaitu perusahaan penerbit Reksa Dana menghimpun dana dengan menjual saham dan selanjutnya dana dari hasil penjualan tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis investasi yang diperdagangkan di pasar modal maupun di pasar uang.

2). Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, yaitu kontrak antara Manajer Investasi dengan Bank Kustodian yang mengikat pemegang unit penyertaan, dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portfolio investasi kolektif.

b. Sifat Reksa Dana

Dilihat dari segi sifatnya, Reksa Dana dapat dibedakan menjadi dua

yaitu:

1). Reksa Dana bersifat Tertutup, yaitu Reksa Dana yang tidak dapat membeli kembali saham – saham yang telah dijual kepada pemodal.

2). Reksa Dana bersifat terbuka, yaitu Reksa Dana yang menawarkan dan membeli saham – sahamnya / unit penyertaan dari pemodal sampai sejumlah modal yang sudah dikeluarkan.

 

B Produk atau Jenis Reksa Dana

Berikut ini adalah macam – macam jenis atau produk Reksa Dana yang ada pada saat ini (Ponco Utomo: 11:2010)

 

Reksa Dana Konvensional (Biasa)

Reksa Dana Konvensional (Biasa) adalah reksa dana yang dapat dibeli atau dijual kembali oleh investor setiap saat tergantung tujuan investasi, jangka waktu dan profil risiko investor.

Jenis-jenis Reksa Dana Konvensional (Biasa)

adalah sebagai berikut:

a. Reksa Dana Saham, adalah Reksa Dana yang melakukan investasi sekurang –kurangnya 80% dari aktivanya dalam efek bersifat ekuitas. Reksa Dana Saham mempunyai ciri – ciri antara lain :

_ Resiko paling tinggi.

_ Fluktuasi sangat sering dan tajam.

_ Strategi investasi harus bersifat jangka

panjang.

_ Manajemen fee paling tinggi dari seluruh jenis

Reksa Dana.

_ Cocok bagi investor yang bertipe Risk Taker.

Komposisi investasi pada Reksa Dana ini terdiri dari common stock maupun preferred stock dengan batas maksimum 80% dari seluruh portfolionya. Sisa 20% dengan batas maksimum 80% dari seluruh portfolionya.

b. Reksa Dana Pendapatan Tetap, adalah Reksa Dana yang melakukan investasi sekurang – kurangnya 80% dari aktivanya bersifat utang. Reksa Dana Pendapatan Tetap mempunyai ciri – ciri antara lain :

_ Resiko lebih aman dibandingkan dengan Reksa

Dana Saham dan Campuran.

_ Fluktuasi relatif lebih stabil.

_ Strategi investasi menengah dan jangka    panjang.

_ Manajemen fee relatif lebih rendah.

_ Cocok bagi investor Risk Adverter.

Komposisi investasi pada Reksa Dana ini terdiri dari efek – efek utang dengan batas maksimum 80% dari seluruh portfolionya. Sisa 20% diinvestasikan pada efek ekuitas maupun pasar uang.

c. Reksa Dana Pasar Uang, adalah Reksa Dana yang melakukan investasi sekurang – kurangnya 80% aktivanya dalam efek yang bersifat utang yang jatuh temponya kurang dari satu tahun. Reksa Dana Pasar Uang mempunyai

ciri – ciri antara lain:

_ Resiko relatif aman dan sangat likuid, setara

dengan deposito.

_ Fluktuasi relatif sangat stabil.

_ Strategi investasi bersifat jangka pendek.

_ Manajemen fee paling rendah dibanding

dengan Reksa Dana jenis lainnya.

_ Cocok untuk investor pemula.

Komposisi investasi terdiri dari Treasury Bill, Surat Berharga, Deposito, Commercial Paper dengan batas maksimum 80% dari seluruh portfolionya. Sisa 20% diinvestasikan pada efek ekuitas maupun efek utang jangka panjang.

d. Reksa Dana Campuran, adalah Reksa Dana yang melakukan investasi dalam efek bersifat ekuitas dan efek bersifat utang yang perbandingannya termasuk seperti Reksa Dana Saham, Pendapatan Tetap, dan Pasar Uang. Reksa Dana Campuran mempunyai ciri – ciri antara lain :

_ Resiko lebih rendah dari Reksa Dana Saham

tetapi lebih tinggi dari Reksa Dana   Pendapatan Tetap dan Pasar Uang.

_ Fluktuasi lebih rendah dari Reksa Dana Saham

tetapi lebih tinggi dari Reksa Dana    Pendapatan Tetap dan Pasar Uang.

_ Strategi investasi jangka menengah dan jangka

panjang.

_ Manajemen fee lebih rendah dari Reksa Dana

Saham, tetapi lebih tinggi dari Reksa Dana

Pendapatan Tetap dan Pasar Uang

. _ Cocok bagi investor yang moderat terhadap

resiko   Komposisi investasi kombinasi efek

bersifat utang dan ekuitas.

 

Reksa Dana Terstruktur

Reksa Dana Terstruktur adalah reksa dana yang hanya dapat dibeli atau dijual kembali oleh investor pada saat tertentu saja yang ditentukan oleh Manajer Investasi. Jenis-jenis Reksa Dana Terstruktur adalah sebagai berikut:

A. Exchange traded fund (ETF) adalah sebuah reksa dana yang merupakan suatu inovasi dalam dunia industri reksa dana yang sifatnya mirip dengan suatu perusahaan terbuka dimana unit penyertaannya dapat diperdagangkan di bursa. ETF ini adalah merupakan kombinasi dari reksa dana tertutup dan reksadana terbuka, dan ETF ini biasanya adalah merupakan reksa dana yang mengacu kepada indeks saham.

ETF ini lebih efisien daripada reksa dana konvensional seperti yang kita kenal saat ini, dimana reksa dana senantiasa menerbitkan unit penyertaan baru setiap harinya dan membeli kembali yang dijual oleh pemegang unit (manajer investasi harus menjual surat berharga yang merupakan aset reksa dana tersebut untuk memenuhi kewajibannya membeli unit penyertaan yang dijual,  sedangkan unit penyertaan ETF diperdagangkan langsung di bursa setiap hari (menyerupai reksa dana tertutup, dimana tidak ada dapat dijual kembali

kepada manajer investasi)

Di Indonesia, ETF ini disebut “Reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif yang unit penyertaannya diperdagangkan di bursa Efek dan pada hari senin tanggal 4 Desember 2006, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) telah menerbitkan suatu aturan baru yaitu peraturan nomor IV.B.3 tentang “Reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif yang unit

penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek”.

B. Reksa Dana Terproteksi (Protected Fund). Reksa dana ini tergolong baru di Indonesia dan lahir setelah longsornya nilai aset reksa dana beberapa tahun lalu. Reksa dana ini diinvestasikan pada instrument surat hutang, biasanya pada obligasi yang hampir jatuh tempo. Khusus pada reksa dana ini usianya biasanya pendek sesuai dengan jatuh tempo surat hutang yang dibelinya.

C. Reksa Dana Syariah, mengandung pengertian sebagai reksa dana yang pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syari’at Islam. Reksadana syariah, misalnya tidak diinvestasikan pada saham-saham atau obligasi dari perusahaan yang pengelolaan atau produknya bertentangan dengan syariat Islam. Seperti pabrik makanan/minuman yang mengandung alkohol, daging babi, rokok dan tembakau, jasa keuangan konvensional, pertahanan dan persenjataan serta bisnis hiburan yang berbau maksiat.

D. Reksa Dana Indeks (Index Fund), Reksa Dana yang portofolio Efeknya terdiri dari atas Efek yang menjadi bagian dari suatu indeks yang menjadi acuannya. Sekurang-kurangya 80% dari NAB diinvestasikan pada Efek yang merupakan bagian dari kumpulan Efek yang ada dalam indeks tersebut. Pembobotan masing-masing Efek antara 20% sampai 80% dari pembobotan atas masingmasing Efek dalam Indeks yang menjadi acuan dan tingkat penyimpangan dari kinerja Reksa Dana Indeks terhadap kinerja indeks yang menjadi acuan.

 

C Resiko Investasi Reksa Dana

Berikut ini adalah risiko yang akan dihadapi oleh investor yang akan berinvestasi di Reksa Dana. Resiko itu antara lain :

a. Resiko Berkurangnya Nilai Unit Penyertaan.

Pailitnya perusahaan penerbit efek Pendapatan Tetap/tertundanya pembayaran bunga akibat kesulitan likuiditas penerbit efek Pendapatan Tetap. Hal ini mengakibatkan NAB per unit penyertaan turun secara signifikan.

b. Resiko Likuiditas.

Penjualan kembali tergantung kepada likuiditas portfolio atau kemampuan dari Manajer Investasi untuk membeli kembali dengan menyediakan uang tunai. ( Reksa Dana Terbuka). Bagi Reksa Dana Tertutup penjualan atau redemption dilakukan di bursa tempat saham Reksa Dana tercatat.

c. Resiko Pertanggungan atas Kekayaan Reksa Dana.

Bila terjadi hal – hal seperti wanprestasi oleh pihak yang terkait dengan ReksaDana seperti bencana alam, kebakaran, serta kerusuhan akan mempengaruhi NAB per unit.

d. Resiko Perubahan Politik Ekonomi.

Perubahan kondisi politik dan ekonomi dapat mempengaruhi investasi pada Reksa Dana.

e. Resiko Penurunan Suku Bunga

Penerimaan bunga investasi Reksa Dana tergantung pada kemampuan Manajer Investasi dalam memilih jenis – jenis investasi yang menguntungkan serta kondisi Pasar Modal dan Pasar Uang di dalam dan luar negeri.

 

f. Resiko Pertukaran Mata Uang.

Investasi Reksa Dana pada mata uang asing, memungkinkan terjadinya rugi kurs valuta asing yang menyebabkan penurunan NAB.

 

D Manfaat Investasi Reksa Dana

Reksa Dana memiliki beberapa manfaat yang menjadikannya sebagai salah satu alternatif investasi yang menarik antara lain:

1. Dikelola oleh Manajemen Profesional

Pengelolaan portofolio suatu Reksa Dana dilaksanakan oleh Manajer Investasi yang memang mengkhususkan keahliannya dalam hal pengelolaan dana. Peran Manajer Investasi sangat penting mengingat Pemodal individu pada umumnya mempunyai keterbatasan waktu, sehingga tidak dapat melakukan riset secara langsung dalam menganalisa harga efek serta mengakses informasi ke pasar modal.

2. Diversifikasi Investasi

Diversifikasi atau penyebaran investasi yang terwujud dalam portofolio akan mengurangi risiko (tetapi tidak dapat menghilangkan), karena dana atau kekayaan Reksa Dana diinvestasikan pada berbagai jenis efek sehingga risikonya pun juga tersebar. Dengan kata lain, risikonya tidak sebesar risiko bila seorang membeli satu atau dua jenis saham atau efek secara individu.

3. Transparansi Informasi

Reksa Dana wajib memberikan informasi atas perkembangan portofolionya dan biayanya secara kontinyu sehingga pemegang Unit Penyertaan dapat memantau keuntungannya, biaya, dan risiko setiap saat. Pengelola Reksa Dana wajib mengumumkan Nilai Aktiva Bersih (NAB) nya setiap hari di surat kabar serta menerbitkan laporan keuangan tengah tahunan dan tahunan serta prospektus secara teratur sehingga Investor dapat memonitor perkembangan investasinya secara rutin.

4. Likuiditas yang Tinggi

Agar investasi yang dilakukan berhasil, setiap instrumen investasi harus mempunyai tingkat likuiditas yang cukup tinggi. Dengan demikian, Pemodal dapat mencairkan kembali Unit Penyertaannya setiap saat sesuai ketetapan yang dibuat masing-masing Reksa dana sehingga memudahkan investor mengelola kasnya. Reksa dana terbuka wajib membeli kembali Unit Penyertaannya sehingga sifatnya sangat likuid.

 

5. Biaya Rendah

Karena reksa dana merupakan kumpulan dana dari banyak pemodal dan kemudian dikelola secara profesional, maka sejalan dengan besarnya kemampuan untuk melakukan investasi tersebut akan menghasilkan pula efisiensi biaya transaksi. Biaya transaksi akan menjadi lebih rendah dibandingkan apabila Investor individu melakukan transaksi sendiri di bursa.

 

 

 

Reksa Dana Tepat bagi Investor Cermat

Kesadaran akan pentingnya investasi, hingga seseorang mengambil langkah nyata untuk berinvestasi pada salah satu instrumen investasi yang sesuai dengan dirinya adalah satu tindakan positif yang dilakukan seseorang untuk mencapai kehidupan yang lebih baik untuk mencapai tujuannya di masa mendatang.

Seorang investor yang telah memilih untuk berinvestasi di Reksa Dana daripada pilihan

instrumen investasi lainnya seperti membeli emas atau properti, membeli instrumen pasar

modal seperti saham atau obligasi secara langsung, artinya telah mempercayakan dana yang dimilikinya untuk dikelola oleh Manajer Investasi untuk dikelola dalam sebuah portofolio

investasi.

Namun, peran aktif seorang investor belum sepenuhnya usai sampai di sini. Setelah memutuskan berinvestasi di Reksa Dana, Investor juga perlu untuk menentukan Reksa Dana yang tepat bagi dirinya. Pada umumnya, Investor yang masih awam, cenderung menyamakan pilihan reksa dana dengan pilihan teman sejawatnya yang sudah terlebih dahulu berinvestasi di reksa dana. Hal ini dikarenakan kurang pemahaman perbedaan jenis reksa dana yang ada.

Namun sesungguhnya jenis Reksa Dana yang paling tepat untuk setiap investor berbeda-beda

dan hanya dapat ditentukan oleh investor itu sendiri.

Mengibaratkan proses penyampaian informasi, terdapat sumber (informan) yang menyampaikan informasi melalui berbagai jenis media/saluran (channel), antara lain melalui media cetak (koran, majalah) atau media elektronik (website, internet), dan pada akhirnya

informasi tersebut diperoleh penerima informasi (reciever).

Persamaannya dengan dunia investasi di Reksa Dana, sumber informasi di sini diibaratkan Manajer Investasi yang menginvestasikan dana investor yang dititipkan kepadanya ke dalam beragam pilihan Reksa Dana yang ada (Reksa Dana Pasar Uang, Pendapatan Tetap, Campuran atau Saham), sehingga yang bertindak sebagai receiver (penerima informasi) di sini adalah investor, yaitu pihak yang menanggung risiko maupun menikmati return hasil investasi yang dihasilkan dari jenis Reksa Dana yang diinvestasikan.

Namun, perlu diketahui bahwa proses penyampaian informasi ini, tidak terlepas dari gangguan (noise). Dalam proses penyampaian informasi, gangguan (noise) yang dapat terjadi adalah informasi yang diterima receiver tidak sama dengan informasi yang dikeluarkan oleh sumber (source). Sedangkan dalam berinvestasi, setiap reksa dana mempunyai tingkat risikonya

masing-masing.

Untuk memperoleh informasi paling cepat dan terbaru dari beragam sumber informasi dari seluruh penjuru dunia, dapat diperoleh dengan mengakses internet, namun hal ini tidak terlepas

dari risiko adanya salah pemberitaan akibat terlalu cepatnya penyebaran berita, yang faktanya belum tentu benar. Selain itu mengakses internet juga memerlukan biaya yang cukup besar dan relatif lebih mahal dari media lainnya.

Hal ini ibarat berinvestasi pada Reksa Dana Saham, yaitu Reksa Dana yang portofolionya

terdiri dari saham pilihan, dapat memberikan hasil investasi yang paling tinggi, namun disamping itu juga mengandung risiko yang paling tinggi pula. Sebaliknya, untuk bentuk  penyampaian informasi yang paling awal/konservatif, jauh sebelum adanya media elektronik dan segala inovasinya, informasi yang disampaikan kepada publik, pada umumnya disampaikan melalui koran.

Sedangkan untuk Reksa Dana yang paling konservatif adalah Reksa Dana Pasar Uang. Reksa Dana ini memiliki tingkat risiko yang paling rendah dan imbal hasil yang relatif stabil dan tepat bagi investor yang memerlukan likuiditas tinggi.

Untuk jenjang penyampaian informasi yang lebih cepat daripada koran, penyampaian informasi dilakukan melalui media elektronik seperti TV atau Radio.

Untuk itu, Reksa Dana dengan satu tingkat yang dapat memberikan imbal hasil yang lebih tinggi

daripada Reksa Dana Pasar Uang adalah Reksa Dana Pendapatan Tetap. Reksa Dana ini portofolionya terdiri dari obligasi pemerintah ataupun obligasi korporasi.

Selain itu, ada pula penerima informasi (receiver) yang cenderung menginginkan berita dengan analisa yang lebih mendalam, hal ini pada umumnya dapat diperoleh melalui ulasan majalah yang lebih detail, karena dalam penyusunan sebuah majalah mempunyai lebih banyak waktu untuk merangkum segala bentuk informasi yang telah diperoleh dari koran, radio, TV, dan internet, terkadang juga dilengkapi dengan wawancara eksklusif dengan narasumber

terpercaya. Namun untuk memperoleh majalah tersebut, pada umumnya memerlukan waktu

untuk menunggu masa terbitnya majalah tersebut, tergantung masa terbit majalah, kurang lebih 1(satu) bulan 1 (satu) kali.

Hal ini ibarat berinvestasi di Reksa Dana Campuran yaitu portofolio yang berisi gabungan

instrumen investasi yang ada, seperti obligasi, saham, atau pasar uang. Ibarat majalah yang masa terbitnya lebih lama daripada koran, untuk memperoleh hasil investasi yang optimal pada

Reksa Dana Campuran diperlukan jangka waktu yang lebih panjang daripada Reksa Dana Pendapatan Tetap atau Pasar Uang yang memiliki risiko yang lebih rendah. Jadi dalam berinvestasi di Reksa Dana, beberapa hal paling penting yang perlu dipahami oleh investor itu sendiri adalah, seberapa besar risiko (risk) yang mampu dihadapi, apakah termasuk investor yang konservatif, moderat atau agresif, tingkat pengembalian imbal hasil (return) yang diinginkan, jangka waktu (time horizon) untuk mencapai tujuan investasi tersebut, dan tujuan

(goal) investasi.

Setelah memilih jenis Reksa Dana yang tepat, supaya berinvestasi dapat memperoleh hasil

yang lebih maksimal, maka perlu diperhatikan pula strategi berinvestasi. Bila berinvestasi pada

Reksa Dana yang sangat fluktuatif seperti Reksa Dana Saham, maka perlu dilakukan dengan dollar cost averaging, yaitu berinvestasi secara konsisten dalam setiap satuan waktu dalam jangka waktu yang panjang. Hal tersebut akan memperoleh rata-rata nilai aktiva bersih yang

lebih tinggi dan cepat daripada berinvestasi secara lump sump (berinvestasi dalam satu satuan dana yang besar dalam satu satuan waktu).

Berinvestasi di Reksa Dana dapat juga dimaksimalkan dengan berinvestasi pada beberapa jenis reksa dana sekaligus, yaitu misalnya pada Reksa Dana yang dapat memberikan imbal hasil tertinggi dan imbal hasil terendah, yaitu Reksa Dana Pasar Uang dan Reksa Dana Saham.

Hal ini dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang

sekaligus. Kebutuhan jangka pendek dapat dipenuhi dari Reksa Dana Pasar Uang dan Reksa

Dana Saham dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang.

Dengan berinvestasi di Reksa Dana yang tepat dan menetapkan strategi berinvestasi dengan

disiplin, maka dapat menghasilkan investasi yang optimal bagi investor. 

SIMPULAN

  1. Pada saat financial market mengalami krisis, Reksa Dana Terproteksi merupakan

pilihan yang tepat mengingat pokok awal investasi dijamin tidak akan berkurang

selama diinvestasikan dalam jangka waktu tertentu.

  1. Melihat kencenderungan reboundnya Bursa Saham, maka Reksa Dana Saham dan

Reksa Dana Indeks berkecenderungan mempunyai return yang lebih tinggi dari

Reksa Dana Jenis lainnya.

  1. Berinvestasi di Reksa Dana mempunyai keuntungan optimal karena dikelola

secara professional dan biaya yang lebih murah bila dibandingkan Investasi

langsung di Pasar Modal.

  1. Reksa Dana dapat dijadikan sarana bagi pasar modal Indonesia dalam rangka

meningkatkan Likuiditas dan partisipasi masyarakat terhadap pertumbuhan pasar

modal Indonesia.

  1. Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana dipengaruhi oleh underlying asset masing –masing Reksa Dana, sehingga historical NAB tidak dapat dijadikan acuan pertumbuhan return dimasa mendatang.
  2. Walaupun memberikan return yang sangat menarik, Reksa Dana merupakan suatu investasi yang mempunyai resiko juga. Untuk memahaminya, investor harus terlebih dahulu membaca prospektus dari Reksa Dana yang bersangkutan.

 

DAFTAR RUJUKAN

Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga   Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar ketentuan di Bidang Pasa Modal, Jakarta, 2010.

Asosiasi Pengelola Reksa Dana  Indonesia (APRDI)

Ponco Utomo, Peluang dan Tantangan pertumbuhan Reksa Dana di Indonesia, 2010.

Read full story »
Tags:
Filed Under:Jurnal Ilmiah

PERANAN AKUNTAN PUBLIK DALAM MENCEGAH DAN MENDETEKSI KECURANGAN PELAPORAN KEUANGAN

By on November 26th, 2010. This post has No Comments »

Abstrak. In providing its services, public accountants have to keep their credibility to all society. Because of that, a public accountant must keep and ungrade her/his technical capability so its services quality towards society must awake in line with accountant profession standard rules self. Auditing in financial report has to able to provide confidelity to the user that public accountant   using technical competency, integrity, indenpendency and objectivity in auditing and detection the material false in financial report in purpose or not purpose, Further research and detect unforce error and also prevent illegal report publishing. But in line with development sometimes that standard can  indefensible, so that end result from investigation that is financial reporting is refraction. this matter will cause incidence deceit in financial reporting.

Keywors : Public Accountant, financial report, professional standards of accountant, fraudulent financial report.

Abstrak : Dalam menjalankan tugasnya akuntan publik dituntut untuk tetap menjaga kredibilitasnya. Karena itu, akuntan publik diharuskan untuk selalu meningkatkan kemampuan dan keahliannya. Dalam melaksanakan audit seorang akuntan pblik harus melaksanakan tugasnya dengan selalu menggunakan keahlian yang kompeten, integritas dan selalu objektif dalam setiap pelaksanaan tugasnya dan mampu utnuk medeteksi  adanya kecurangan dalam laporan keuangan. Tapi terkadang standard yang telah ditetapkan diterapkan secara tidak sesuai sehingga adanya kerancuan dari hasil akhir dari informasi laporan keuangan yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidak percayaan publik atas peran akuntan publik.

Kata kunci : Akuntan publik,laporan keuangan, standar profesional akuntan publik, fraud audit.

PENDAHULUAN

Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan profesional (accounting professional) diharapkan  untuk selalu  mawas diri dan dapat beradaptasi secara proaktif terhadap lingkungan agar selalu dapat melakukan instropeksi dan  evaluasi agar mampu melakukan tindakan yang konstruktif dalam upaya memenuhi tuntutan perubahan lingkungan global. Audit atas laporan keuangan harus dapat memberikan keyakinan bagi pemakai bahwa akuntan publik telah melakukan audit dengan kompetensi teknis, integritas, independen dan objektif, meneliti dan medeteksi salah saji material yang disengaja dan tidak disengaja, serta mencegah diterbitkannya laporan keuangan yang menyesatkan. Kecurangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting) dapat didefinisikan suatu perilaku yang disengaja, baik dengan tindakan atau penghapusan, yang menghasilkan laporan keuangan yang menyesatkan (bias). Fraudulent financial reporting merupakan problem yang dapat terjadi di perusahaan mana saja dan kapan saja. Fraudulent financial reporting yang terjadi pada suatu perusahaan memerlukan perhatian khusus dari akuntan publik (auditor independen).

Pengertian Fraudulent financial reporting menurut Arens (2005 : 310) adalah sebagai Fraudulent financial reporting is an intentional misstatement or omission of amounts or disclosure with the intent to deceive users. Most cases of fraudulent financial reporting involve the intentional  misstatement of amounts not disclosures. For example, worldcom is reported to have capitalized as fixed asset, billions dollars that should have been expensed. Omission of amounts are less common, but a company can overstate income by omittingaccount payable and other liabilities.Although less frequent, several notable  cases of fraudulent financial reporting involved adequate disclosure. For example, a central issue in the enron case was whether the company had adequately disclosed obligations to affiliates known as specialm purpose entities.

Pengertian Fraudulent Financial Reporting menurut Iman Sarwoko dkk (2005) adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan.

Menurut Soejono Karni (2000) Audit Kecurangan (Fraud Audit) merupakan audit yang bertujuan untuk menemukan kecurangan.

Sementara Tuannakotta (2010) menyatakan fraud Audit  atau audit forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau diluar pengadilan.

Penyebab Fraudulent Financial Reporting  menurut Imam Sarwoko dll (2005), kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan yang disajikan berikut ini  :

  1. Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan.
  2. Representasi yang dalam atau penghilangan dari laporan keuangan, peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan.
  3. Salah penerapan secara senngaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan  jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan.

Fraudulent financial reporting juga dapat disebabkan karena adanya kolusi antara manajemen perusahaan dengan akuntan publik.

Tanggung Jawab Akuntan Publik

Menurut Imam Sarwoko (2005) tanggung jawab seorang akuntan publik meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Independensi auditor, b. reasonable assurance, c. tanggung jawab terhadap fraud dan illegals acts, d. tanggung jawab terhadap masalah going concern dan e. laporan auditor independen.

Pengaruh SAS No. 99 dalam Soejono Karni (2000) terhadap tanggung jawab auditor antara lain :

  1. Tidak ada perubahan atas tanggung jawab auditor untuk mendeteksi fraud atas audit laporan keuangan.
  2. Tidak ada perubahan atas kewajiban auditor untuk mengkomunikasikan temuan atas fraud.
  3. Terdapat perubahan penting terhadap prosedur audit (audit procedure)  serta dokumentasi yang harus dilakukan oleh auditor atas audit laporan keuangan.

Dua  tipe salah saji (misstatements) yang relevan dengan  tanggung jawab auditor, yaitu salah saji yang diakibatkan oleh fraudulent financial reporting dan salah saji yang diakibatkan oleh penyalahgunaan asset (misappropriation of assets).SAS No. 99 juga menegaskan agar  auditor independen memiliki integritas  (integrity) serta menggunakan kemahiran professional (professional skepticism)  melalui penilaian secara kritis (critical assessment) terhadap bukti audit (audit evidence) yang dikumpulkan. SAS No. 110 “Fraud & Error” dinyatakan bahwa auditor harus dapat mendeteksi terhadap kesalahan material (material mistatement)  dalam laporan keuangan yang ditimbulkan oleh kecurangan atau  kesalahan (fraud or error).  SAS 110 , paragraf 14 & 18 berbunyi sbb. : (Soejono Karni: 2000)

Auditors plan, perform and evaluate their audit work in order to have a reasonable expectation of detecting material misstatements in the financial statements arising from error or fraud. However, an audit cannot be expected to detect all errors or instances of fraudulent or dishonest conduct. The likelihood of detecting errors is higher than that of detecting fraud, since fraud is usually accompanied by acts specifically designed to conceal its existence… 

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)

Menurut Accounting Standars Board (2002) profesi akuntan publik (auditor independen)  memiliki tangggung jawab yang sangat besar dalam mengemban kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat (publik). Terdapat 3 (tiga) tanggung jawab akuntan publik dalam melaksanakan pekerjaannya yaitu :

  1. Tanggung jawab moral (moral responsibility).

Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab moral untuk :

  1. Memberi informasi secara lengkap dan jujur mengenai perusahaan yang diaudit kepada pihak yng berwenang atas informasi tersebut, walaupun tidak ada sanksi terhadap tindakannya.
  2. Mengambil keputusan yang bijaksana dan obyektif (objective) dengan kemahiran profesional (due professional care).
  3. Tanggung jawab profesional (professional responsibility).

Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab profesional terhadap asosiasi profesi yang mewadahinya (rule professional conduct).

  1. Tanggung jawab hukum (legal responsibility).

Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab diluar batas standar profesinya yaitu tanggung jawab terkait dengan hukum yang berlaku.Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)  dalam Standar Auditing Seksi 110, mengatur tentang “Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen”. Pada  paragraf 2, standar tersebut antara lain dinyatakan bahwa auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan memadai, namun bukan mutlak. Bahwa salah saji material terdeteksi. Auditor tidak bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan bahwa salah saji terdeteksi, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan.  

PEMBAHASAN

Jenis kecurangan (fraud) yang terjadi disetiap negara ada kemungkinan berbeda karena setiap praktek kecurangan sangatlah dipengaruhi oleh kondisi tiap negara yang berbeda. Di negara-negara yang sudah maju dimana penegakan hukum sudah berjalan dengan baik, kondisi perekonomian masyarakat secara umum sudah cukup atau lebih dari cukup, sehingga modus operandi dari praktek-praktek kecurangan menjadi lebih sedikit.

Berbeda dengan negara dimana tingkat korupsinya tinggi, modus operandi dari praktek kecurangan ini sangat beragam sekali. Penipuan, pemalsuan, menghalalkan segala cara, penggunaan wewenang dan kekuasaan serta selalu berlindung pada pembenaran hukum merupakan ciri-ciri praktek kecurangannya dan hal ini juga kerap terjadi dinegara kita. Walaupun kekayaan negara kita berlimpah ruah kondisi ekonomi masyarakat secara umum masih sangat minim, hutang pemerintah ke luar negeri masih tinggi dan praktek korupsi begitu merajalela di negara kita tercinta ini.

Menurut Amin Wijaya Tunggal (1976) dikatakan fraud apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

  1. Harus terdapat penyajian yang keliru
  2. Dari suatu masa lampau atau sekarang.
  3. Faktanya material
  4. Dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan
  5. Dengan maksud untuk menyebabkan pihak lain bereaksi
  6. Pihak yang terlukai harus bereaksiterhadap kekeliruan penyajian
  7. Mengakibatkan kerugian

Kecurangan mencakup :

  1. Penggelapan (embezzlements)
  2. Manipulasi pelanggaran karena jabatan (malfeasance)
  3. Pencurian (thiefs)
  4. Ketidakjujuran (dishonesty)
  5. Kelakuan buruk (misdeed)
  6. Kelalaian (defalcation)
  7. Penggelapan pajak (witholding)
  8. Penyuapan
  9. Pemerasan
  10. Penyerobotan
  11. Penyalahgunaan (missappropriation)
  12. Fraudulent

Adapun unsur-unsur dari fraud adalah :

  1. Adanya perbuatan-perbuatan yang melawan hukum
  2. Yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan terentu misalnya menipu
  3. Dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau luar organisasi
  4. Untuk mendapatkan keuntungan pribad atau kelompok
  5. Secara langsung atau tidak langsung merugikan orang

Secara umum kecurangan dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu :

  1. Management Fraud (kecurangan manajemen)

Kecurangan ini dilakukan oleh orang dari kelas sosial ekonomi yang lebih atas dan terhormat yang biasa disebut white collar crime, karena orang yang melakukan kecurangan biasanya memakai kemeja warna putih dan kerahnyapun putih.

Kecurangan manajemen ada dua tipe antara lain:

  1. Kecurangan jabatan.
  2. Kecurangan korporasi (misalnya manipulasi pajak)
  3. Employee Fraud (kecurangan karyawan)

Kecurangan karyawan biasanya melibatkan karyawan bawahan. Kadang-kadang merupakan pencurian atau manipulasi. Dibandingkan dengan kesempatan melakukan kecurangan pada manajemen maka kesempatan melakukan kecurangan pada bawahan relatif kecil. Hal ini disebabkan mereka  tidak mempunyai wewenang karena pada umumnya semakin tinggi wewenang semakin besar kemungkinan melakukan kecurangan.

  1. c.       Computer Fraud

Tujuan pengadaan komputer antara lain digunakan untuk pencatatan komputer antara lain untuk pencatatan operasional atau pembukuan suatu kantor/perusahaan.Kejahatan komputer dapat berupa pemanfaatan berbagai sumber daya komputer diluar peruntukan yang syah dan perusakam atau pencurian fisik atas sumber daya komputer itu sendiri.

Mencegahan & Mendeteksi Fraud  

Akuntan publik harus bertanggung jawab dalam merencanakan dan melaksanakan audit guna memberikan keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji yang material., salah saji yang timbul karena error atau fraud dan salah saji yang dipandang material jika berpengaruh terhadap keputusan yang diambil users.

Oleh karena  itu akuntan publik harus bisa mencegah dan mendeteksi lebih dini agar tidak terjadi fraud baik dalam pengolahan data akuntansi ataupun kekeliruan dalam penafsiran prinsip akuntansi. Untuk mengetahui adanya fraud, biasanya ditunjukkan oleh timbulnya gejala-gejala (symptoms) berupa red flag (fraud indicators), misalnya perilaku tidak etis manajemen. Red  flag ini biasanya selalu muncul di setiap kasus kecurangan (fraud) yang terjadi.

Ada ungkapan yang secara mudah ingin menjelaskan penyebab atau akar permasalahan dari fraud ini, yaitu fraud by need, fraud by greed and fraud by opportunity.

Hasil penelitian Wilopo (2006) dalam M. Arief (2008) membuktikan serta mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi dapat diturunkan dengan meningkatkan kefektifan pengendalian internal, ketaatan aturan akuntansi, moralitas manajemen, serta menghilangkan asimetri informasi. Hasil penelitian Wilopo tersebut juga  menunjukkan bahwa  dalam upaya menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi memerlukan usaha yang menyeluruh, tidak secara partial. Menurut Wilopo, upaya menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi, antara lain :

  1. Mengefektifkan pengendalian internal, termasuk penegakan hukum.
  2. Perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian.
  3. Pelaksanaan good governance.
  4. Memperbaiki moral dari pengelola perusahaan, yang diwujudkan dengan mengembangkan sikap komitmen terhadap perusahaan, negara dan masyarakat.

The National Commission On Fraudulent Financial Reporting (The Treadway Commission) merekomendasikan 4 (empat) tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya fraudulent financial reporting, yaitu  :

  1. Membentuk lingkungan organisasi yang memberikan kontribusi terhadap integritas proses pelaporan keuangan(financial reporting).
  2. Mengidentifikasi dan memahami faktor- faktor yang mengarah ke fraudulent financial reporting.
  3. Menilai resiko fraudulent financial reporting di dalam perusahaan.
  4. Mendisain dan mengimplementasikan internal control yang memadai untuk financial reporting.

Beberapa atribut yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya risiko terdapat  fraudulent financial reporting di perusahaan, antara lain :

  1. Terdapat kelemahan dalam pengendalian intern (internal control).
  2. Perusahaan tidak memiliki komite audit.
  3. Terdapat hubungan kekeluargaan (family relationship) antara manajemen  (Director) dengan karyawan perusahaan.

Klasifikasi dari  Creative Accounting Practices menurut Mulfrod & Comiskey, terdiri dari :

  1. Pengakuan pendapatan fiktif (recognizing Premature or Ficticious Revenue).
  2. Kapitalisasi yang agresif dan Kebijakan amortisasi yang terlalu lebar (Aggressive Capitalization & Extended Amortization Policies).
  3. Pelaporan keliru atas Aktiva & Utang (Misreported Assets and Liabilities).
  4. Perekayasaan Laporan Laba Rugi  (Creative with the Income Statement).
  5. Timbul masalah atas pelaporan Arus Kas (Problems with Cash-flow Reporting).

Menurut laporan dari The National Commission on Fraudulent Financial Reporting, pencegahan (prevention)  dan pendeteksian (detection) awal atas fraudulent financial reporting harus dimulai saat penyiapan laporan keuangan.

Berdasarkan laporan dari ACFE ( Report to the Nation), penerapan penrangkat kendali untuk mencegah fraud (anti-fraud controls) dan besarnya kerugian yang dapat dicegah dapat dilihat pada tabel berikut : (Tuanakotta:2010)

Anti Fraud Controls (AFC) % Terjemahan dari AFC
Suprise audits 66,2 Audit dengan kunjungan mendadak
Jobs rotation/mandatory vacation 61,0 Alih tugas/wajib ambil cuti
Hotline 60,0 Saluran komunikasi khusus untuk melaporkan ketidakberesan
Employee support programs 56,0 Program dukungan bagi karyawan
Fraud trainning for managers/executives 55,9 Pelatihan mengenai fraud untuk manager dan eksekutif
Internal audit/FE Departement 52,8 Kebjiakan untuk memberantas fraud
Fraud trainning for employees 51,9 Audit eksternal untuk pengendalian intern atas pelaporan keuangan
Anti-fraud policy 49,2 Aturan perilaku/kode etik
External audit of ICOFR 47,8 Telaah manajemen atas pengenalian intern
Code of conduct 45,7 Audit eksternal atas laporan keuangan
Management review of IC 45,0 Komite Audit Independen
External audit of F/S 40,0 Sertifikasi mengenai kewajaran laporan keuangan oleh manajemen
Independent Audit Committee 31,5 Imbalan bagi peniup peluit
Management sertification of F/S 29,5
Rewards for whisleblowers 28,7

Salah satu cara untuk mencegah timbulnya fraud yang diakibatkan kolusi antara manajemen perusahaan dengan akuntan publik adalah pengaturan rotasi auditor (akuntan publik). Sesuai Keputusan Menkeu (KMK) No. 359/KMK. 06/2003 tentang perubahan KMK No. 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik tertanggal 21 Agustus 2003, telah diatur tentang pembatasan dan rotasi terhadap akuntan publik. Pasal 6 ayat 4  Kepmenkeu tersebut dinyatakan bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) paling lama untuk lima tahun buku berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama tiga tahun berturut-turut.

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi profesi perlu menyelenggarakan suatu lokakarya (workshop) tentang fraudulent financial reporting atau fraud in financial statement untuk para akuntan publik agar terdapat pemahaman yang sama, sehingga dapat dilakukan pencegahan serta pendeteksian secara dini kemungkinan terjadinya fraud di perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar akuntan publik dapat berhasil mendeteksi adanya fraud, sehingga  dapat dihindarkan akuntan publik gagal mendeteksi terjadinya fraud yang sangat merugikan berbagai pihak.

SIMPULAN

  1. Fraudulent financial reporting dapat terjadi kapan saja dan di perusahaan mana saja. Menurut SAS No. 99 dan SPAP,  akuntan publik (auditor independen) bertanggung jawab untuk mendeteksi adanya kecurangan (fraud) dalam general audit atas laporan keuangan perusahaan.
  2. Fraud merupakan problem yang serius, maka auditor harus mengambil langkah-langkah komprehensif dalam pencegahan dan pendeteksian fraudulent financial reporting. Pemahaman atas fraudulent financial reporting di kalangan akuntan publik sangat penting, agar lebih dini bisa dilakukan pencegahan dan pendeteksian terhadap fraud. Oleh karena itu, IAI perlu menyelenggarakan suatu lokakarya (workshop) tentang fraudulent financial reporting.
  3. Fraud juga dapat terjadi adanya kolusi antara akuntan publik dengan manajemen suatu perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan rotasi akuntan publik dalam melakukan audit di perusahaan serta pengawasan yang ketat dari pihak yang berwenang (regulator).

 

REFERENSI

Accounting Standard Board (ASB). SAS No. 99 “Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit”. 2002.

Amin Wijaya Tunggal, 1976, pemeriksaan keuangan (fraud auditing), cetaka pertama, Penerbit Rhineka Cipta.

Arens, Alvin A., Randal J. Elder & Mark S. Beasley. 2005, Auditing & Assurance Services An Integrated Approach. 10th Edition. Prentice Education International.

Ikatan Akuntan Indonesia, 1994, Standar Profesional Akuntan Publik – Standar Auditing, Standar aAtestasi,Standar Jasa Akuntan dan Reviewper 1 Agustus 1994, Penerbit ST YKPN.

Imam Sarwoko, Ludovicus Sensi, Djoemarma Bede,2001, Kumpulan materi kuliah Praktik Audit, Program Pendidikan Profesi Akuntan Publik, FE Unpad, 2005 5.      Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Profesional Akuntan Publik, Salemba Empat. Jakarta.

Keputusan Menkeu (KMK) No. 359/KMK. 06/2003 tentang perubahan KMK No. 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik tertanggal 21 Agustus 2003.

Soejono Karni, 2000, Auditing ; Audit khusus dan audit forensik dalam praktik, Lembaga penerbit FakultaS Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Theodorus M Tuanakotta, 2010, Akuntansi forensik dan Audit Investigatif, Salemba Empat, Jakarta

Wilopo dalam M. Arief Effendi, “Tanggungjawab Akuntan Publik dalam Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan Pelaporan Keuangan”, Majalah AKUNTAN INDONESIA, Edisi No.6/Tahun II/Maret 2008.

Read full story »