Dosen Pengampu :
Dr. SUYITNO, M.Pd.
Oleh :
A Yani Ranius
Widyat Nurcahyo
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era digital yang kita alami saat ini menuntut berbagai perubahan dalam berbagai segi kehidupan, baik secara individu, keluarga, kelompok masyarakat, negara, bahkan seluruh umat manusia. Lingkungan yang ‘cerdas’ menuntut manusia untuk merubah pola pikirnya, cara berpikir tentang permasalahan, cara menyerap informasi, cara mengantisipasi konsekuensi tindakan, bahkan mungkin harus merubah cara kerja otak.[1] Untuk dapat berhasil di abad ke-21, semua orang harus memiliki standar dan tingkat penguasaan keahlian yang tinggi. Orang juga perlu mendapatkan keterampilan kognitif dan sosial yang memungkinkan mereka menghadapi tantangan kompleks.[2]
Sementara itu, dengan perkembangan teknologi perangkat komunikasi dan peningkatan keandalan jaringan wireless broadband yang begitu pesat, perangkat mobile saat ini dapat digunakan untuk mengirimkan teks, suara, video dan gambar animasi di manapun dan kapan saja. Berdasarkan laporan dari [We Are Social:2017] jumlah pengguna mobile pada Januari 2017 adalah sebanyak 4.917 milyar, atau 66% dari penduduk dunia, meningkat sekitar 5% sejak Februari 2016, dengan perkembangan terbesar di Asia Pasific. Sementara jumlah pengguna mobile internet aktif sebesar 3.448 milyar[3]
Kedua perubahan ini memungkinkan timbulnya mekanisme baru dalam training dan pembelajaran, yang disebut mobile learning (m-learning). Mobile learning merupakan model pembelajaran yang dilakukan berdasarkan jarak dan tempat atau lingkungan dengan dukungan teknologi yang dapat memudahkan pada saat pembelajar melalui fasilitas berbasis mobile /ponsel. Dengan dukungan dan fitur-fitur yang dimiliki, Mobile learning diharapkan akan dapat menjadi alternatif belajar yang efisiensi dan efektifitas pada proses dan hasil belajar peserta didik.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di dalam dunia pendidikan terus berkembang. Berbagai strategi dan pola, yang pada dasarnya dikelompokan ke dalam bentuk sistem e-learning adalah pembelajaran dengan memanfaatkan perangkat elektronik dan media digital. Mobile learning (m-learning) juga sebagai bentuk pembelajaran yang memanfaatkan perangkat dan teknologi komunikasi bergerak. Pemanfaatan ini merupakan penetrasi perangkat bergerak yang sangat tinggi, tingkat penggunaan yang relatif mudah, dan harga perangkat yang semakin terjangkau, dibanding perangkat komputer personal. Faktor utama sebagai pendorong yang semakin memperluas kesempatan penggunaan atau penerapan mobile learning menjadikan sebuah kecenderungan baru dalam belajar, dan membentuk paradigma pembelajaran tidak terbatas waktu dan tempat.
Pada konsep pembelajaran mobile learning membawa manfaat ketersediaan materi ajar yang dapat diakses setiap saat dan visualisasi materi yang menarik. Istilah m-learning atau mobile learning merujuk pada penggunaan perangkat genggam seperti PDA, ponsel, laptop dan perangkat teknologi informasi yang akan banyak digunakan dalam belajar mengajar. Hal ini memfokuskan pada perangkat handphone (telepon genggam). Tujuan dari pengembangan mobile learning sendiri dapat diartikan proses belajar sepanjang waktu (long life learning), siswa/mahasiswa dapat lebih aktif dalam proses pembelajaran. Apabila diterapkan dalam proses belajar maka mahasiswa tidak perlu harus hadir di kelas hanya untuk mengumpulkan tugas. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan tugas melalui aplikasi pada mobile phone, yang secara tidak langsung akan meningkatkan kualitas proses belajar dan menghemat waktu.
Proses yang demikian dapat dilakukan jika memiliki fasilitas yaitu : a) kegiatan pembelajaran dilakukan dengan pemanfaatan jaringan internet (jaringan dapat saja dengan LAN atau WAN); b) tersedianya fasilitas mobile learning yang merupakan layanan belajar yang akan gunakan oleh peserta belajar, misalnya ponsel/HP, atau bahan cetak; dan c) tersedianya dukungan layanan tutor untuk membantu peserta belajar bila mengalami kesulitan.
Mobile learning sebagai media penyampaian, harus disadari bahwa Mobile learning bukanlah faktor tunggal yang menentukan kualitas pembelajaran. Dukungan teknologi juga dapat menentukan agar dapat melakukan interaksi antar pengajar dan pelajar, dan melaksanakan proses belajar langsung kepada pelajar (student oriented). Pelaksanaannya dilakukan tidak hanya dukungan teknologi saja akan tetapi bergantung dari pendekatan pembelajaran yang digunkan oleh pengajar di dalam kelas. Cara pembelajaran seperti ini dapat dimaknai sebagai suatu penerapan teknologi informasi dan lingkungan sebagai fasilitas sistem pembelajar/siswa. Kondisi yang dimaksud bukan hanya tempat belajar, melainkan metode, media dan teknologi yang digunakan untuk menyampaikan informasi dan memandu studi pembelajar.
B. Identifikasi Masalah
Meskipun orang telah belajar sambil bergerak selama ribuan tahun, apa yang kita maksud dengan “mobile learning” adalah kemampuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain saat menggunakan perangkat mobile untuk menerima dan berkontribusi pada berbagai sumber informasi digital.[4]
Sebagai masyarakat, kita telah menjadi lebih mobile , baik sebagai individu maupun kelompok. Kita adalah kaum nomad modern, beraktivitas sambil bergerak, tapi tetap terhubung dengan teman, keluarga, tempat kerja, dan berbagai sumber informasi. Perubahan ini menuntut kemampuan untuk bergerak sambil tetap terhubung, dan berdampak pada tempat dan waktu untuk belajar. Teknologi yang ada memungkinkan belajar di luar tempat statis yang dirancang khusus untuk pembelajaran, seperti ruang kelas dan laboratorium, serta membuat informasi untuk belajar tersedia kapanpun dibutuhkan.
Saat perangkat mobile dan teknologi jaringan yang mendukungnya semakin kuat, dinamis, dan terjangkau, maka mobilitas menjadi isu sentral dalam pendidikan dan pembelajaran. ICT dalam pendidikan sejak lama telah membuat konsep teknologi yang digunakan dalam dua tempat terpisah, di sekolah dan di rumah. Namun dikotomi ini telah berubah dan tidak menggambarkan penggunaan teknologi mobile saat ini. Sekarang orang hampir seluruhnya selalu membawa ICT, baik di rumah, sekolah, tempat kerja, kendaraan, bahkan di tempat tidur. Pengunaan teknologi tidak lagi dibatasi oleh tempat.
Karena perangkat mobile telah ada dimana-mana, maka kesempatan pendidikan lebih bergantung pada konektivitas daripada perangkat keras. Prasyarat utama dalam pembelajaran mobile adalah koneksi data ke internet yang cepat dan terpercaya. UNESCO telah merekomendasikan agar pemerintah bekerja sama dengan industri terkait untuk membangun dan menambah infrastruktur teknologi yang memberi kekuatan pada perangkat mobile dan pembelajaran mobile . Yang juga penting adalah pemerintah harus mencari strategi untuk menyediakan akses yang sama terhadap konektivitas seluler, serta perangkat keras. Seorang siswa yang tidak dapat menggunakan jaringan seluler secara fungsional, tidak dapat memanfaatkan proses pembelajaran baru ini, walaupun telah memiliki perangkat fisik. Di seluruh dunia, teknologi dalam program pendidikan telah jauh bergeser dari ketergantungan pada teknologi fixed line dan menggabungkan teknologi seluler yang lebih baru, lebih murah, umumnya dalam bentuk tablet atau komputer laptop kompak. Pergeseran ini penting: teknologi mobile yang dipelajari dari sekolah, memperluas kesempatan untuk belajar informal, dan membantu menjembatani pengalaman dalam dan luar sekolah.
Walaupun kesempatan terbuka sangat luas, proyek pembelajaran mobile hanya terjadi di kantong-kantong kecil di dunia, program berskala besar yang menikmati dukungan pemerintah jarang sekali terjadi. Untungnya, ada beberapa pengecualian. Pemerintah Thailand, Uruguay, Rwanda, sebagai contoh, telah meluncurkan inisiatif yang berupaya memanfaatkan teknologi mobile untuk mempercepat kemajuan pendidikan bagi warga negaranya. Inisiatif tersebut mendorong batas-batas teknologi di bidang pendidikan ke depan dan mengubah model pendidikan yang telah puluhan tahun dilakukan.[5]
Teknologi mobile telah merubah secara permanen berbagai bidang seperti politik, bisnis, kedokteran dan lainnya, namun belum memiliki dampak besar pada pendidikan. Tantangan pada dekade berikutnya adalah memperluas dan memperbaiki jaringan yang memberi kekuatan dan kekuatan belajar mobile . Selain itu, dibutuhkan perubahan paradigma pembelajaran secara fundamental untuk memanfaatkan teknologi mobile .
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi permasalahan diatas, pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada implementasi m-learning, masalah dalam implementasi dan perkembangan m-learning ke depan.
D. Rumusan Masalah
- Bagaimana implementasi m-learning saat ini?
- Apa saja masalah implementasi m-learning yang terjadi?
- Bagaimana peluang perkembangan m-learning di masa depan?
E. Tujuan Penulisan
- Memberi gambaran implementasi m-learning dalam pembelajaran
- Memberi gambaran masalah yang terjadi dalam implementasi m-learning
- Memberi gambaran peluang perkembangan m-learning di masa depan
Bab II. Kajian Pustaka
A. Media Pembelajaran
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses belajar mengajar. Para pengajar dituntut agar mau dan mampu menggunakannya apalagi telah disediakan oleh sekolah, dan mungkin saja alat-alat tersebut telah menyesuaikan perkembangan dan tuntutan teknologi.
Disamping mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, pengajar juga dapat mengembangkan alat-alat yang tersedia untuk dapat membuat media pengajaran yang digunakannya untuk dikembangkan lagi dengan inovasi yang terbaru. Dengan demikian pengajar harus memiliki pengetahuan tambahan tentang media pengajaran dan harus memahaminya diantaranya (Hamalik, 1994 : 6)
- Media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar mengajar;
- Fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan;
- Seluk-beluk proses belajar;
- Hubungan antara metode mengajar dan media pendidikan;
- Nilai atau manfaat media pendidikan dalam pengajaran;
- Pemilihan dan penggunaan media pendidikan
- Berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan;
- Media pendidikan dalam setiap mata pelajaran;
- Usaha inovasi dalam media pendidikan.
Dengan demikian, dapat diyakinkan bahwa media adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada khususnya.
Media pengajaran digunakan dalam rangka upaya peningkatan atau mempertinggi mutu proses kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu harus diperhatikan prinsip-prinsip penggunaanya antara lain:
- Penggunaan media pengajaran hendaknya dipandang sebagai bagian integral dari suatu sistem pengajaran dan bukan hanya sebagai alat bantu yang berfungsi sebagai tambahan yang digunakan bila dianggap perlu dan hanya dimanfaatkan sewaktu-waktu.
- Media pengajaran hendaknya dipandang sebagai sumber belajar yang digunakan dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses belajar-mengajar.
- Guru hendaknya benar-benar menguasai teknik-teknik dari suatu media pengajaran yang digunakan.
- Guru seharusnya memperhitungkan untung ruginya pemanfaatan suatu media pengajaran.
- Penggunaan media pengajaran harus diorganisir secara sistematis bukan sembarang mengunakannya.
- Jika sekiranya suatu pokok bahasan memerlukan lebih dari macam media, maka guru dapat memanfaatkan multi media yang menguntungkan dan memperlancar proses belajar-mengajar dan juga dapat merangsang siswa dalam belajar.
Beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam pemanfaatan media pengajaran, yakni:
- Media pengajaran yang digunakan harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
- Media pengajaran tersebut merupakan media yang dapat dilihat atau didengar.
- Media pengajaran yang digunakan dapat merespon siswa belajar.
- Media pengajaran juga harus sesuai denga kondisi individu siswa.
- Media pengajaran tersebut merupakan perantara (medium) dalam proses pembelajaran siswa.
Penggunaan media pengajaran seharusnya mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:
- Guru harus berusaha dapat memperagakan atau merupakan model dari suatu pesan (isi pelajaran) disampaikan.
- Jika objek yang akan diperagakan tidak mungkin dibawa ke dalam kelas, maka kelaslah yang diajak ke lokasi objek tersebut.
- Jika kelas tidak memungkinkan dibawa ke lokasi objek tersebut, usahakan model atau tiruannya.
- Bilamana model atau maket juga tidak didapatkan, usahakan gambar atau foto-foto dari objek yang berkenaan dengan materi (pesan) pelajaran tersebut.
- Jika gambar atau foto juga tidak didapatkan, maka guru berusaha membuat sendiri media sederhana yang dapat menarik perhatian belajar siswa.
- Bilamana media sederhana tidak dapat dibuat oleh guru, gunakan papan tulis untuk mengilustrasikan objek atau pesan tersebut melalui gambar sederhana dengan garis lingkaran
Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang sangat penting adalah metode mengajar dan media pengajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan salah satu metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media pengajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media, antara lain tujuan pengajaran, jenis tugas dan respon yang diharapkan siswa kuasai setelah pengajaran berlangsung, dan konteks pembelajaran termasuk karakteristik siswa. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi utama media pengajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru.
Media pembelajaran selalu terdiri atas dua unsur penting, yaitu unsur peralatan atau perangkat keras (hardware) dan unsur pesan yang dibawanya (message/software). Beberapa pakar dan organisasi juga telah memberikan batasan mengenai pengertian media, beberapa diantaranya mengemukakan bahwa media adalah :
- Teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Jadi media adalah perluasan dari guru (Schram, 1977)
- Sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun audio visual, termasuk teknologi perangkat kerasnya (NEA, 1969)
- Alat untuk memberikan perangsang bagi siswa supaya terjadi proses belajar (Briggs, 1970)
- Segala bentuk dan saluran yang dipergunakan untuk proses penyaluran pesan (AECT, 1977)
- Berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar (Gagne, 1970)
- Segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa untuk belajar (Miarso, 1989)
Dari berbagai pendapat diartikan bahwa (a) media pembelajaran merupakan wadah dari pesan, (b) materi yang ingin disampaikan adalah pesan pembelajaran, (c) tujuan yang ingin dicapai ialah proses pembelajaran.
Hamalik (1986) mengemukakan bahwa pemakaian media pengajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.
Secara umum, manfaat media dalam proses pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga pembelajaran akan lebih efektif dan efisien. Tetapi secara lebh khusus ada beberapa manfaat media yang lebih rinci Kemp dan Dayton (1985) misalnya, mengidentifikasi beberapa manfaat media dalam pembelajaran yaitu :
- Penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan
- Proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik
- Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif
- Efisiensi dalam waktu dan tenaga
- Meningkatkan kualitas hasil belajar siswa
- Media memungkinkan proses belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja
- Media dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap materi dan proses belajar
- Merubah peran guru ke arah yang lebih positif dan produktif.
Selain beberapa manfaat media seperti yang dikemukakan oleh Kemp dan Dayton tersebut, tentu saja kita masih dapat menemukan banyak manfaat-manfaat praktis yang lain. Manfaat praktis media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar sebagai berikut :
- Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar
- Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya
- Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang dan waktu
Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat, dan lingkungannya misalnya melalui karya wisata.
Dalam usaha memanfaatkan media sebagai alat bantu, Edgar Dale membuat klasifikasi menurut tingkat dari yang paling konkrit sampai yang paling abstrak.
Gambar.2.1. Kerucut Pengalaman – Edgar Dale
Klasifikasi tersebut kemudian dikenal dengan nama “kerucut pengalaman” dari Edgar Dale dan pada saat itu dianut secara luas dalam menentukan alat bantu yang paling sesuai untuk pengalaman belajar.
Dari kerucut pengalaman tersebut tergambar bahwa pengetahuan siswa akan semakin abstrak apabila pesan hanya disampaikan melalui kata verbal. Hal ini memungkinkan terjadinya verbalisme, dimana siswa hanya mengetahui tentang kata tanpa memahami dan mengerti makna yang terkandung didalamnya.
Menurut Heinich, media merupakan alat saluran komunikasi. Media berasal dari bahasa latin yang berarti perantara yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan penerima pesan (a receiver). Heinich mencontohkan media ini seperti film, televisi, diagram, bahan tercetak (printed materials), komputer, dan instruktur. Contoh media tersebut dapat dipertimbangkan sebagai media pembelajaran jika membawa pesan-pesan (messages) dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Beberapa pengertian media pembelajaran sebagai berikut :
- Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau keterampilan belajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar.
- Sedangkan menurut Briggs (1977), media pembelajaran adalah fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti buku, film, video, dan sebagainya.
- Penjelasan dalam Nasional Education (1969) media pembelajatan adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras.
- Media pembelajaran merupakan proses komunikasi yang berlangsung dan dilakukan dalam suatu system, maka media pembelajaran sangat penting sebagai bagian dari komponen system pembelajaran. Tidak adanya media komunikasi maka tidak akan terjadi proses pembelajaran dan dengan proses komunikasi yang kurang baik juga tidak akan berlangsung secara optimal.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik
Secara umum media mempunyai kegunaan :
- memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis,
- mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga dan daya indera,
- menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar,
- memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori yang akan memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman & menimbulkan persepsi yang sama.
Secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai berikut:
- Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).
- Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, seperti misalnya:
- Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik. Dalam hal ini media pendidikan berguna untuk:
- Konsep yang terlalu luas (gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-lain) dapat di visualkan dalam bentuk film, film bingkai, gambar, dan lain-lain.
- Objek yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat disajikan dengan model, diagram, dan lain-lain, dan
- Kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman film, video, film bingkai, foto maupun secara verbal;
- Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat, dapat dibantu dengan timelapse atau high-speed photography;
- Objek yang kecil-dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai, film, atau gambar;
- Objek yang terlalu besar, bisa digantikan dengan realita, gambar, film bingkai, film, atau model;
- Menimbulkan kegairahan belajar
- Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan;
- Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.
Dale (1969:180) mengemukakan bahwa bahan-bahan audio-visual dapat memberikan banyak manfaat asalkan guru berperan aktif dalam proses pembelajaran. Hubungan guru-siswa tetap merupakan elemen paling penting dalam system pendidikan modern saat ini. Guru harus selalu hadir untuk menyajikan materi pelajaran dengan bantuan media apa saja agar manfaat berikut ini dapat terealisasi:
- Meningkatkan rasa saling pengertian dan simpati dalam kelas;
- Membuahkan perubahan signifikan tingkah lalu siswa;
- Menunjukkan hubungan antar mata pelajaran dan kebutuhan dan minta siswa dengan meningkatnya motivasi belajar siswa;
- Membawa kesegaran dan variasi bagi pengalaman belajar siswa;
- Membuat hasil belajar lebih bermakna bagi berbagai kemampuan siswa;
- Mendorong pemanfaatan yang bermakna dari mata pelajaran dengan jalan melibatkan imajinasi dan partisipasi aktif yang mengakibatkan meningkatnya hasil belajar;
- Memberikan umpan balik yang diperlukan yang dapat membantu siswa menemukan seberapa banyak telah mereka pelajar;
- Melengkapi pengalaman yang kaya dengan pengalaman itu konsep-konsep yang berkala dapat kembangkan;
- Memperluas wawasan dan pengalaman siswa yang mencerminkan pembelajaran nonverbalistik dan membuat generalisasi yang tepat;
- Meyakinkan diri bahwa urutan dan kejelasan pikiran yang siswa butuhkan jika mereka membangun struktur konsep dan system gagasan yang bermakna.
Sudjana dan Rivai (1992;2) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu:
- Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar;
- Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran;
- Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap jam pelajaran;
- Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, memerankan, dan lain-lain.
Encyclopedei of Educational Research dalam Hamalik (1994:15) merincikan manfaat media pendidikan sebagai berikut:
- Meletakkan dasar-dasar yang konkret untuk berpikir, oleh karena itu mengurangi verbalisme.
- Memperbesar perhatian siswa.
- Meletakkan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar, oleh karena itu membuat pelajaran lebih mantap.
- Memberikan pengalaman nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri dikalangan siswa.
- Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinyu, terutama melalui gambar hidup.
- Membantu tubuhnya pengertian yang dapat membantu perkembangan kemampuan berbahasa.
- Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain, dan membantu efisiensi dan keragaman yang lebih baik
Istilah media mula-mula dikenal dengan alat peraga, kemudian dikenal dengan istilah audio visual aids (alat bantu pandang/dengar). Selanjutnya disebut instructional materials (materi pembelajaran), dan kini istilah yang lazim digunakan dalam dunia pendidikan nasional adalah instructional media (media pendidikan atau media pembelajaran). Dalam perkembangannya, sekarang muncul istilah e-learning. Huruf “e” merupakan singkatan dari “elektronik”. Artinya media pembelajaran berupa alat elektronik, meliputi CD Multimedia Interaktif sebagai bahan ajar offline dan Web sebagai bahan ajar online.
Media pembelajaran, menurut Kemp & Dayton (1985:28), dapat memenuhi tiga fungsi utama apabila media itu digunakan untuk perorangan, kelompok, atau kelompok pendengar yang besar jumlahnya, yaitu :
- Memotivasi minat atau tindakan,
- Menyajikan informasi,
- Memberi instruksi.
Levie & Lents (1982) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu:
- Fungsi atensi,
- Fungsi afektif,
- Fungsi kognitif,
- Fungsi kompensatoris.
- a) Fungsi Atensi
Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Seringkali pada awal pelajaran siswa tidak tertarik dengan materi pelajaran atau mata pelajaran itu merupakan salah satu pelajaran yang tidak disenangi oleh mereka sehingga mereka tidak memperhatikan. Media gambar khususnya gambar yang diproyeksikan melalui overhead projector dapat menenangkan dan mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka terima. Dengan demikian, kemungkinan untuk memperoleh dan mengingat isi pelajaran semakin besar.
- b) Fungsi Afektif
Media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi yang menyangkut masalah social atau ras.
- c) Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaiaan tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.
- d) Fungsi Kompensatoris
Fungsi kompensatoris media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pembelajaran berfungsi untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.
Sebagai informasi, media pembelajaran dapat digunakan dalam rangka penyajian informasi dihadapan sekelompok siswa. Isi dan bentuk penyajian bersifat amat umum, berfungsi sebagai pengantar, ringkasan laporan, atau pengetahuan latar belakang. Penyajian dapat pula berbentuk hiburan, drama, atau teknik motivasi. Ketika mendengar atau menonton bahan informasi, para siswa bersifat pasif. Partisipasi yang diharapkan dari siswa hanya terbatas pada persetujuan atau ketidak setujuan mereka secara mental, atau terbatas pada perasaan tidak/kurang senang, netral, atau senang.
Pada pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan media sebagai alat bantu diperlukan juga kreativitas dari sang pengajar dalam hal penyampaian materi yang dipelajari. Selain dengan kelengkapan media juga harus didukung oleh kreatinya pengajar agar pada saat penyampaian siswa akan memiliki rasa menerima dari apa yang disampaikan. Menyimak pendapat Jumaris, (2013), Kreatifitas merupakan aktivitas mental karena berkaitan dengan pemahaman manusia terhadap lingkungannya secara terus-menerus dengan penuh ketekunan dan kesabaran yang menghasikan berbagai ide, temuan, cara-cara baru, dan berbagai tindakan yang merupakan terobosan bagi suatu perubahan yang sangat bernilai dan bermakna bagi manusia dalam mengembangkan, mengatur, dan mengendalikan lingkungannya sehingga memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
Beberapa pendapat yang menjelaskan tentang perkembangan media pembelajaran
- Schramm: “media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan (informasi) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.”
- Gerlach & Ely: “media pembelajaran memiliki cakupan yang sangat luas, yaitu termasuk manusia, materi atau kajian yang membangun suatu kondisi yang membuat peserta didik mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Media pembelajaran mencakup semua sumber yang diperlukan untuk melakukan komunikasi dalam pembelajaran, sehingga bentuknya bisa berupa perangkat keras (hardware), seperti computer, TV, projector, dan perangkat lunak (software) yang digunakan pada perangkat keras itu.
- Oemar Hamalik (1994): “Mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan media pendidikan adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah
- Arief S. Sadiman, dkk (2007) mengemukakan bahwa kata media berasal dari bahasa Latin yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.
- Latuheru (1988:14), menyatakan bahwa media pembelajaran adalah bahan, alat, atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukasi antara guru dan siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdaya guna. Berdasarkan definisi tersebut, media pembelajaran memiliki manfaat yang besar dalam memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran.
Sistem adalah suatu totalitas yang terdiri dari sejumlah komponen atau bagian yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Pembelajaran dikatakan sebagai sistem karena didalamnya mengandung komponen yang saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Komponen-komponen tersebut meliputi : tujuan, materi, metoda, media dan evaluasi.
Sumber : http://aldin.staf.upi.edu/2013/09/16/media-pembelajaran/
Gambar Kedudukan media dalam pembelajaran
Media pengajaran digunakan dalam rangka upaya peningkatan atau mempertinggi mutu proses kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu harus diperhatikan prinsip-prinsip penggunaanya antara lain:
- Penggunaan media pengajaran hendaknya dipandang sebagai bagian integral dari suatu sistem pengajaran dan bukan hanya sebagai alat bantu yang berfungsi sebagai tambahan yang digunakan bila dianggap perlu dan hanya dimanfaatkan sewaktu-waktu.
- Media pengajaran hendaknya dipandang sebagai sumber belajar yang digunakan dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses belajar-mengajar.
- Guru hendaknya benar-benar menguasai teknik-teknik dari suatu media pengajaran yang digunakan.
- Guru seharusnya memperhitungkan untung ruginya pemanfaatan suatu media pengajaran.
- Penggunaan media pengajaran harus diorganisir secara sistematis bukan sembarang mengunakannya.
- Jika sekiranya suatu pokok bahasan memerlukan lebih dari macam media, maka guru dapat memanfaatkan multi media yang menguntungkan dan memperlancar proses belajar-mengajar dan juga dapat merangsang siswa dalam belajar.
Beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam pemanfaatan media pengajaran dalam PBM, yakni:
- Media pengajaran yang digunakan harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
- Media pengajaran tersebut merupakan media yang dapat dilihat atau didengar.
- Media pengajaran yang digunakan dapat merespon siswa belajar.
- Media pengajaran juga harus sesuai denga kondisi individu siswa.
- Media pengajaran tersebut merupakan perantara (medium) dalam proses pembelajaran siswa.
Penggunaan media pengajaran seharusnya mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:
- Guru harus berusaha dapat memperagakan atau merupakan model dari suatu pesan (isi pelajaran) disampaikan.
- Jika objek yang akan diperagakan tidak mungkin dibawa ke dalam kelas, maka kelaslah yang diajak ke lokasi objek tersebut.
- Jika kelas tidak memungkinkan dibawa ke lokasi objek tersebut, usahakan model atau tiruannya.
- Bilamana model atau maket juga tidak didapatkan, usahakan gambar atau foto-foto dari objek yang berkenaan dengan materi (pesan) pelajaran tersebut.
Jika gambar atau foto juga tidak didapatkan, maka guru berusaha membuat sendiri media sederhana yang dapat menarik perhatian belajar siswa.
Media Pembelajaran banyak sekali jenis dan macamnya. Mulai yang paling kecil sederhana dan murah hingga media yang canggih dan mahal harganya. Beberapa media yang paling sering dan hampir semua sekolah memanfaatkan adalah media cetak (buku), selain itu banyak juga yang telah dimanfaatkan jenis media lain gambar, model, dan Overhead Projector (OHP) dan obyek-obyek nyata. Sedangkan media lain seperti kaset audio, video, VCD, slide (film bingkai), program pembelajaran komputer masih jarang digunakan meskipun sebenarnya sudah tidak asing lagi.
Anderson (1976) mengelompokkan media menjadi 10 golongan sbb :
No |
Golongan Media |
Contoh dalam Pembelajaran |
I |
Audio |
Kaset audio, siaran radio, CD, telepon |
II |
Cetak |
Buku pelajaran, modul, brosur, leaflet, gambar |
III |
Audio-cetak |
Kaset audio yang dilengkapi bahan tertulis |
IV |
Proyeksi visual diam |
Overhead transparansi (OHT), Film bingkai (slide) |
V |
Proyeksi Audio visual diam |
Film bingkai (slide) bersuara |
VI |
Visual gerak |
Film bisu |
VII |
|
Audio Visual gerak, film gerak bersuara, video/VCD, televisi |
VIII |
Obyek fisik |
Benda nyata, model, specimen |
IX |
Manusia dan lingkungan |
Guru, Pustakawan, Laboran |
X |
Komputer |
CAI (Pembelajaran berbantuan komputer), CBI (Pembelajaran berbasis komputer). |
B. Konsep Mobile learning
Mobile learning didefinisikan oleh Clark Quinn (Quinn 2000) sebagai : “The intersection of mobile computing and e-learning : accessible resources wherever you are, strong search capabilities, rich interaction, powerful support for effective learning, and performance- based assessment. E-learning independent of location in time or space”. Dari definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa mobile learning merupakan model pembelajaran yang memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Makalah oleh Ogata dan Yano (2004) membahas konsep belajar dengan bantuan komputer (computer assisted learning), pembelajaran bergerak (mobile learning), pembelajaran yang meluas (pervasive learning) dan pembelajaran di mana-mana (ubiquitous learning). Mereka berpendapat bahwa perbedaan mendasar antara belajar mobile dan pembelajaran dibantu komputer desktop adalah bahwa pembelajaran mobile secara mendasar adalah tentang meningkatkan kemungkinan pelajar untuk bergerak dan membawa lingkungan belajar bersama mereka.[6]
Sariola dkk. (2001) membahas konsep m-learning dari perspektif teori pendidikan. Definisi berbasis teknologi jelas tidak memadai, dan mereka juga mencoba memasukkan aspek teknologi. Mereka mengenalkan karakteristik ‘portabilitas’, yaitu peralatannya sangat ringan sehingga kita bisa membawa-bawa perangkat tersebut, ‘wireless’, tidak menggunakan kabel pada peralatan, dan ‘mobilitas’, kita bergerak saat menggunakan teknologinya.
Mereka mengklaim bahwa mobilitas adalah karakteristik yang paling menarik dari sudut pandang pendidikan. Mengenai mobilitas, mereka mengajukan pertanyaan tentang ‘siapa’ yang bergerak, ‘mengapa’ dan ‘dimana’. Jika bergerak tidak berhubungan dengan aktivitas belajar, alasan seseorang bergerak mungkin tidak relevan dari sudut pandang pendidikan. Namun, tantangan institusi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan belajar bagi orang-orang yang bergerak (dan kita dapat menambahkan untuk mendukung guru yang terus bergerak sambil melanjutkan tugas mereka). Sariola dkk. (ibid.) mencatat bahwa melakukan aktivitas pendidikan sambil bergerak, juga berhubungan dengan aktivitas lain, misalnya kebijakan atau pengelolaan waktu rasional, perpindahan ke tempat yang relevan dengan subjek yang dipelajari, dan lain-lain.[8]
Pembelajaran mobile learning mampu menjadikan handphone yang awalnya hanya untuk sms, telpon, atau internet menjadi alat belajar lengkap yang berisi pelajaran yang terdiri dari materi, soal, contoh soal, dan try out dan dilengkapi berbagai fitur seperti search, jump to dan back. Mobile learning merupakan model pembelajaran alternatif yang memiliki karakteristik yang unik yaitu tidak tergantung tempat dan waktu. Dengan HP konten pembelajaran dapat dikemas dalam bentuk yang lebih menyenangkan dan menantang. Mobile learning dikembangkan dengan format multimedia yang menyajikan teks, gambar, audio, dan animasi. Konsep-konsep yang bersifat abstrak dalam pelajaran Fisika dapat divisualikasikan dengan bantuan simulasi dan diaplikasikan dalam HP. Konsep pembelajaran mobile learning diharapkan dapat mendorong terwujudnya pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, gembira dan berbobot (PAIKEM GEMBROT). Potensi dan prospek pengembangan mobile learning ke depan sangat terbuka lebar mengingat kecenderungan masyarakat yang semakin dinamis dan mobile serta tuntutan kebutuhan pendidikan yang berkualitas dan beragam.
Taxler, J. (2009)[9] memandang bahwa definisi mobile learning tidak hanya menambahkan keterangan ‘mobile ’ kepada kata ‘learning’, tetapi ‘mobile learning’ merupakan konsep yang sama sekali baru dan berbeda. Perangkat mobile tidak hanya menciptakan bentuk pengetahuan baru dan cara baru untuk mengaksesnya, namun juga menciptakan bentuk baru dari seni, penampilan, perdagangan dan aktifitas ekonomi, serta cara baru untuk mengaksesnya. Jadi, mobile learning bukan tentang “mobile ” seperti yang telah dipahami sebelumnya, atau tentang “belajar” seperti yang dipahami sebelumnya, namun merupakan bagian dari konsepsi baru tentang mobile di masyarakat. Pembelajaran yang semula hanya bisa dilakukan secara “just-in-case”, sekarang dapat dilakukan secara “just-in-time”, “just-enough”, dan “just-for-me”. Menemukan informasi daripada memilikinya atau mengetahuinya menjadi ciri khas pembelajaran mobile , dan ini mungkin akan membawa pembelajaran kembali ke masyarakat. Dengan demikian, mobile learning secara khusus dapat ditempatkan sebagai pendukung pembelajaran yang personalized, authentic, dan situated.
Yang dimaksud dengan personalized learning adalah pembelajaran yang mengenali keragaman, perbedaan, dan individualitas. Personalized Learning yang didefinisikan dengan cara ini termasuk pembelajaran yang mengenali gaya dan pendekatan pembelajaran yang berbeda dan mengakui masalah sosial, kognitif, perbedaan fisik dan keragaman (dalam perancangan dan penyampaian antarmuka, perangkat, dan konten). Pembelajaran mobile menawarkan perspektif yang berbeda secara dramatis dari pembelajaran e-learning konvensional yang dipersonalisasi karena mendukung pembelajaran yang mengenali konteks dan sejarah setiap siswa dan memberikan pembelajaran kepada peserta didik kapan dan di mana mereka menginginkannya.[10]
Situated Learning, berarti pembelajaran yang berlangsung dalam aktivitas, dalam konteks yang sesuai dan bermakna (Lave and Wenger 1991). Gagasan tersebut berevolusi dengan melihat orang-orang yang belajar di masyarakat melalui magang dan proses pembelajaran partisipatif. Namun, bisa diperluas untuk belajar di kebun (misalnya siswa botani), di bangsal rumah sakit (misalnya pelatihan perawat), dikelas (peserta pelatihan guru), dan dalam lokakarya (mahasiswa teknik), bukan melalui ceramah jarak jauh. Pembelajaran mobile sesuai untuk mendukung pembelajaran konteks-spesifik dan pembelajaran langsung, dan ini adalah kesempatan besar bagi pembelajaran jarak jauh karena teknologi seluler dapat menghubungkan dan mensituasikan peserta didik.[11]
Sementara yang dimaksud dengan Authentic Learning, adalah pembelajaran yang melibatkan masalah dan proyek dunia nyata yang relevan dan menarik bagi peserta didik. Pembelajaran otentik menyiratkan bahwa pembelajaran harus didasarkan pada tugas otentik, siswa harus dilibatkan dalam eksplorasi dan penyelidikan, siswa harus memiliki kesempatan untuk wacana sosial, dan sumber daya yang cukup harus tersedia bagi siswa saat mereka berusaha menyelesaikan masalah yang berarti. Pembelajaran mobile memungkinkan kondisi ini terpenuhi, memungkinkan tugas pembelajaran dibangun di seputar pengambilan data, kesadaran lokasi, dan kerja kolaboratif, bahkan untuk siswa pembelajaran jarak jauh yang secara fisik jauh dari satu sama lain.[12]
Bab III. Pembahasan
A. Implementasi M-learning dan Permasalahannya
Seperti telah dikemukakan dalam bab I, bahwa m-learning telah berkembang cukup lama, namun pada penerapannya hingga saat ini belum maksimal. Kita akan melihat perkembangan implementasi m-learning diberbagai belahan dunia, sebagaimana hasil penelitian Tsinakos pada tahun 2013[13].
- Canada
Pengunaan perangkat mobile meningkat pesat selama dua tahun terakhir. Menurut Canadian Wireless Telecommunications Association, tingkat coverage jaringan wireless adalah 99%, dan akan melebihi 100% pada beberapa tahun ke depan. Pelanggan wireless mencapai 26 juta orang, dan diprediksi mencapai 30 juta orang pada satu tahun ke depan. Sekitar 50% pelanggan menggunakan smartphone.
Sejumlah proyek m-learning telah dilakukan di Canada dengan dukungan institusi pendidikan, perusahaan, bahkan dari provinsi. Sebagai contoh, provinsi Ontario telah mengatur penggunaan teknologi bantu bagi siswa dengan kebutuhan khusus yang teridentifikasi. Provinsi Alberta sedang mengembangkan panduan untuk penggunaan teknologi seluler yang bermakna di sekolah-sekolah. Di Manitoba, sebuah peraturan mengamanatkan para guru untuk membangun kemampuan muridnya dalam hal berpikir kritis, kreatif, dan etis dengan ICT, termasuk perangkat mobile .
Selain inisiasi oleh pemerintah provinsi, berbagai institusi pendidikan juga melakukan berbagai proyek m-learning. Diantaranya yang dilakukan oleh Athabasca University Library yang membangun website yang dapat diakses mobile yang memungkinkan siswa mengakses materi dan sumber riset dari perangkat mobile mereka. “The English Project” dirancang untuk meneliti efektifitas perangkat mobile terhadap pengembangan kemampuan berbahasa Inggris dengan menerapkan pendekatan inovatif dalam penerapan berbahasa berbantu perangkat mobile . Selain itu dibuat Digital Reading Room yang mobile-friendly, memungkinkan siswa mengakses bahan pelajaran melalui perangkat mobile mereka.
Di Algonquin College, untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat akan akses mobile kepada bahan pelajaran, dibukalah Algonquin Mobile learning Center yang menyediakan tempat khusus untuk penggunaan mobile , memfasilitasi m-learning dan kolaborasi antar siswa. Mereka juga menginisiasi proyek yang dinamakan “MyDesktop” yang secara remote menyediakan aplikasi komputer kepada perangkat mobile siswa.
Proyek-proyek serupa juga dilakukan oleh George Brown College, University of British Columbia, Durham College, University of Ontario Institute of Technology, University of Toronto, Wilfrid Laurier University, Ryerson University, OCAD University, University of Waterloo, Conestoga College, Seneca College, McGill, dan berbagai sekolah di Canada
Walaupun proyek-proyek m-learning mulai mendapat perhatian di Canada, namun banyak terjadi hambatan yang memperlambat adopsi teknologi ini.
Pemerintah federal tidak memainkan peran penting dalam menentukan kebijakan di Kementerian Pendidikan Canada, sehingga kebanyakan inisiatif m-learning hanya bersifat lokal. Akibat absennya kebijakan pendidikan yang spesifik untuk m-learning, biaya startup proyek m-learning bisa menjadi sangat besar, dalam hubungannya dengan biaya bandwith atau tidak tersedianya infrastruktur jaringan yang mencukupi.
Banyak keragu-raguan juga muncul di sekolah atau di lingkungan universitas terkait dengan masalah keamanan dan privasi siswa, serta menyangkut rasa takut menggunakan teknologi yang merusak siswa.
Resistansi dari guru karena kurangnya keahlian atau kekurangan dukungan dan sumber daya untuk pengembangan, ditambah dengan peraturan yang melarang penggunaan perangkat mobile di sekolah, juga menjadi masalah yang menghambat.
Selain itu, keterbatasan akses teknologi bagi siswa difabel juga menjadi isu sentral yang harus dipecahkan.
- USA
Mobile phones dan smartphones sangat populer di USA, dengan tingkat penetrasi sebesar 104.6%. Jumlah pelanggan mobile pada awal 2012 sebesar 331,6 juta orang. Penyebaran yang luas dan cepat ini merupakan peluang bagi pengembangan proyek m-learning.
Program-program m-learning di USA menggunakan dua pendekatan, yaitu menyediakan perangkat mobile untuk siswa (OPD – Organization Provide Device) atau membolehkan siswa membawa perangkat mobile -nya sendiri (BYOD – Bring Your Own Device). Pendekatan gabungan juga muncul berupa proyek shared-cost (SCPD – Shared Cost Provided Devices).
Contoh sukses proyek OPD adalah Qualcomm’s Wireless Reach Initiative yang dimulai pada tahun 2006. Misalnya bagian dari inisiasi ini adalah Project KNect yang menyediakan smartphone bagi siswa dengan nilai matematika rendah sebagai jalan untuk meningkatkan keterlibatan dan prestasinya.
Pendekatan BYOD dicontohkan oleh Forsyth County School District di Georgia dengan pilot program yang dimulai dengan sejumlah kecil sekolah kemudian berkembang ke seluruh 20 sekolah. Dalam proyek ini, siswa diperkenankan membawa perangkat mobile -nya ke sekolah sebagai bagian dari proses belajar mengajar sehari-hari. Di sisi lain, proyek ini menyediakan dukungan bagi guru dalam bentuk pengembangan profesional dan dukungan instruksional dari media specialist di setiap sekolah.
Sebagai contoh SCPD, Saddleback Valley Unified School District di California telah berhasil melakukannya, dimana perangkat mobile dibeli dengan membagi biaya dengan orang tua murid. Di sektor swasta, inisiatif seperti proyek Text4Baby yang menggandeng beberapa partner seperti U.S.Department of Health and Human Services, the National Healthy Mothers/Healthy Babies Coalition, Johnson & Johnson, mHealth provider Voxiva, dan beberapa institusi lain untuk berbagi biaya mengirimkan lebih dari 20 juta SMS kepada orang tua.
Di USA, kebijakan yang mendukung pelaksanaan m-learning sudah cukup banyak, diantaranya: The National Broadband Plan, National Educational Technology Plan, Common Core State Standards Initiative, LARK, dan lainnya.
Dalam pelaksanaan dengan pendekatan OPD, masalah yang dihadapi adalah besarnya biaya startup, penggunaan yang tidak benar, dan kehilangan perangkat. Sementara dalam pendekatan BYOD, masalah yang terjadi adalah ketidakseimbangan kemampuan mengakses smartphone, dan perbedaan perangkat.
Secara umum, kurangnya rencana pendidikan spesifik, kurangnya pedoman bagi guru dan siswa tentang cara penggunaan perangkat mobile untuk kebutuhan pembelajaran, serta kurangnya sumberdaya broadband di dalam sekolah, menjadi faktor-faktor penghambat aktifitas m-learning.
Sebagai tambahan, keterbatasan hardware seperti kecilnya layar, dan keterbatasan penggunaan bagi siswa difabel juga menjadi faktor yang mempengaruhi. Selain itu, terpaparnya siswa kepada lingkungan berisiko yang mengandung materi tidak tepat, dan perilaku bermusuhan seperti cyber bullying, pelanggaran seksual atau potensi kecurangan saat ujian, juga menghambat adopsi m-learning di sekolah.
- Europe
Tingkat penetrasi mobile di Eropa pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 119,5%. Namun tingkat yang tinggi ini tidak merata, seperti misalnya tingkat terendah hanya 9% di Romania dan Bulgaria.
Inisiatif m-learning di Eropa sebagian besar didanai oleh European Commission melalui Framework Program for Research and Development (FPs).
HandLER adalah sebuah proyek SCPD pada tahun 1998 yang bertujuan mengembangkan perangkat mobile dan metodologi untuk memfasilitasi pembelajaran sepanjang hayat dalam beragam konteks. Mobile arn adalah sebuah proyek BYOD yang berjalan pada tahun 2002-2005 untuk meningkatkan blended learning bagi program MBA. Program eMapps menggunakan pendekatan BYOD mulai tahun 2005-2008 yang bertujuan membangun komunitas dimana anak-anak dapat membuat konten digital tentang kebudayaan, berkomunikasi dengan teman-temannya, dan mengintegrasikan ICT dalam pendidikan. Proyek OPD yang didanai oleh EU bernama M-learning, ditujukan khusus untuk meningkatkan pendidikan sektor publik dan swasta di UK.
Dalam skala nasional, beberapa proyek telah dijalankan, diantaranya di UK, MoLeNET, sebuah proyek berbasis SCPD menjalankan teknologi pembelajaran mobile untuk mendukung pengajaran dan pembelajaran dan memfasilitasi retensi siswa dan menurunkan tingkat putus sekolah. Di Netherlands, program GIPSY berhasil mengintegrasikan praktik kerja lapangan dengan aktivitas kelas melalui perangkat mobile . ARena project berfokus pada Augmented Reality bagi siswa yang ingin menggunakan smartphone-nya untuk meneliti lingkungan sekitar. Denmark menginvestasikan hampir satu juta Euro untuk beberapa proyek m-learning. Swedia dan USA bekerja sama dalam proyek LET’S GO dalam bentuk OPD yang memungkinkan siswa kedua negara berkolaborasi dalam platform pembelajaran interaktif dan mobile . Di Switzerland, proyek berbasis OPD membagikan Apple iPhone 3G kepada siswa sebagai bagian dari lingkungan belajar pribadinya. Proyek nasional besar di Yunani dengan nama The University Mobile Internet, menyediakan koneksi wireless 3G hingga 4GB data khusus untuk siswa, fakultas dan staf perguruan tinggi, dengan target 295.000 siswa sekolah, 29.000 siswa MSc dan PhD, dan 20.000 profesor.
Di sektor swasta, beberapa proyek mobile besar telah dilaksanakan, antara lain Brent Council di London menjalankan program BYOD bagi 3000 karyawannya untuk menghasilkan lingkungan kerja yang paperless. Program serupa juga dilakukan oleh Leeds City Council UK kepada 33.000 karyawannya. Perusahaan Jerman, AWD, melakukan pendekatan BYOD untuk enterprise mobility management solution bagi lebih dari 1000 karyawannya.
Secara umum, m-learning di Eropa belum mendapat perhatian khusus dari kementerian pendidikan. Sehingga hambatan utamanya adalah kurangnya dukungan kebijakan dan investasi pemerintah, serta persepsi negatif tentang mobile -phone di lingkungan sekolah.
- Rusia dan Ukraina
Pada tahun 2012, 90% warga Rusia memiliki mobile phone, walaupun hanya 43% yang berupa smartphones. Sementara di Ukraina, tingkat penetrasi mobile pada pertengahan 2012 mencapai 120,4% dengan jumlah pengguna jaringan 2G sebanyak 11,6 juta orang dan jaringan 3G sebanyak 2,5 juta orang.
Sayangnya, di Rusia dan Ukraina, m-learning belum banyak dikembangkan. Beberapa proyek di sekolah hanya dalam rangka memperkenalkan m-learning, bukan untuk melaksanakannya secara penuh. Salah satu yang berskala nasional adalah yang dilakukan oleh operator mobile MTS bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pemuda dan Olah Raga, mengembangkan serangkaian pembelajaran mobile yang berfokus pada sarana komunikasi modern, telepon nirkabel dan isu keselamatan, untuk 4000 siswa di 146 sekolah di Ukraina.
Permasalahan yang dihadapi diantaranya adalah internet coverage terutama di wilayah pedesaan, institusi pendidikan kurang didukung dengan jaringan wireless, kurangnya sumber konten pendidikan, kurangnya tenaga ahli pengembangan konten mobile , dan pendanaan yang minim. Salah satu hambatan kritis lain adalah tidak tersedianya data penelitian di tingkat nasional terhadap hasil program-program inisiasi m-learning di berbagai tempat.
- Amerika Latin
Mobile phones berkembang pesat di Amerika Latin, dengan penetrasi rata-rata sebesar 106%, walaupun terdapat ketidakseimbangan yang cukup mencolok dibeberapa negara. Sebagai contoh persentase populasi yang tidak terkoneksi di Venezuela mencapai 77% dan hingga 98% di Bolivia dan Nicaragua.
Sebagian besar inisiatif program m-learning di Amerika Selatan berbentuk OPD, seperti di Colombia dengan program ‘Programa Nacional de Alfabetizacion’ untuk menghapus buta huruf di daerah pedesaan, program ‘Mobile s for Supervisors’ di Argentina untuk membantu para guru melaporkan dan melacak data prestasi siswa, program ‘Puentes Educativos’ di Chile untuk meningkatkan pengetahuan siswa sekolah dasar dalam matematika, sains dan bahasa Inggris. Sebuah program yang diprakarsai oleh Stanford University bernama ‘Seeds of Empowerment’, membagikan perangkat mobile yang disebut ‘TeacherMate’ kepada siswa dan sekolah di daerah pedesaan di 5 negara Amerika Latin. Program ini kemudian dikembangkan dua tahun kemudian dengan aplikasi interaktif mobile yang mendukung iOS dan Android, sehingga siswa dan guru dapat mengakses konten pendidikan melalui smartphone mereka
Lebih dari 17 negara di Amerika Latin telah menginvestasikan banyak uang untuk program satu laptop/netbook satu siswa. Karena itu tidak ada kebijakan yang mengarah kepada evolusi ke m-learning dalam jangka waktu dekat. Peraturan yang membatasi penggunaan perangkat mobile di sekolah juga merupakan faktor yang menghambat perkembangan m-learning di Amerika Latin. Hambatan lain adalah masalah infrastruktur dimana coverage jaringan 3G dan 4G masih sangat terbatas.
- Afrika dan Timur Tengah
Perkembangan mobile phone di Afrika dan Timur Tengah cukup pesat seperti belahan dunia lainnya. Jumlah pelanggan mobile di Afrika merupakan kedua terbesar di dunia setelah Asia, dengan tingkat perkembangan mencapai 30% per tahun. Di Timur Tengah, secara rata-rata tingkat penetrasi mobile sebesar 125,5%, namun tidak terbagi secara merata antara negara kaya (mis. Emirat Arab, Qatar) dan negara miskin (mis. Palestina, Yaman).
Sedikitnya proyek m-learning di regional ini menunjukkan bahwa penetrasi teknologi mobile di bidang pendidikan masih pada tahap awal. Beberapa proyek skala lokal telah dicoba dikembangkan namun dengan dukungan data hasil pelaksanaan yang minim. Beberapa contoh misalnya proyek LOLS (Life Orientation and Life Skills) berbasis BYOD di Afrika Selatan yang ditujukan bagi siswa kelas 8 dan 9 untuk pendidikan pencegahan HIV/AIDS. Project Alphabetisation de Base par Cellulaire (ABC) di Nigeria menggunakan pendekatan OPD untuk pembelajaran bahasa lokal Hausa dan Zarma melalui kurikulum digital dengan menggunakan pesan SMS. Di Senegal, Jokko, sebuah proyek SCPD bekerja sama dengan UNICEF memungkinkan siswa saling berkomunikasi melalui SMS untuk meningkatkan pembelajaran literasi dan pedagogik.
48 dari 53 negara di Afrika sudah memiliki sejenis kebijakan menyangkut pemanfaatan ICT dalam pendidikan, namun tidak secara spesifik mengarah kepada m-learning. Banyaknya daerah marjinal yang memiliki infrastruktur kurang memadai, serta kurangnya perangkat mobile yang modern juga menjadi masalah yang menghambat. Selain itu, banyaknya sentimen negatif terhadap penggunaan perangkat mobile juga semakin menghambat implementasi m-learning.
- Asia Pasific
Asia Pasific adalah regional yang penuh kontradiksi. Eksploitasi perangkat mobile yang luar biasa di Jepang dan Cina, sementara di negara lain seperti Myanmar dan Nepal yang sangat rendah. Asia Pasific memegang porsi 57,7% pengguna mobile diseluruh dunia, terutama di Cina dan India dengan populasi penduduk terbanyak. Penetrasi smartphones melonjak antara 40% – 400% dalam jangka waktu satu tahun di negara-negara Singapore, Malaysia, Thailand, Vietnam, Indonesia, Philippines, dan Kamboja.
Inisiatif m-learning di regional ini sangat bervariasi. Di negara-negara dengan infrastruktur ICT dan mobile yang rendah, inisiatif yang dilakukan sebagian besar adalah untuk meningkatkan level pendidikan (literacy education). Sebagai contoh di Pakistan, sebuah proyek OPD bekerja sama dengan UNESCO ditujukan kepada 250 gadis pedesaan Punjab untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dengan menerima SMS harian.
Sementara itu di negara-negara dengan infrastruktur ICT dan mobile yang cukup, proyek lebih ditujukan untuk mendukung pendidikan jarak jauh dan pelayanan pendidikan informal. Sebagai contoh di Indonesia, sebuah program OPD bernama ‘e-Sabak’ membagikan perangkat tablet kepada guru dan siswa di daerah 3T sebagai pengganti buku cetak. Selain itu, e-Sabak diharapkan juga menjadi layanan interaktif, dimana tidak hanya buku sekolah yang bisa diakses, melainkan juga bahan-bahan kuis yang diberikan oleh guru.[14]
Terakhir di negara-negara dengan infrastruktur ICT dan mobile yang mapan seperti Australia, Jepang, dan Korea Selatan, proyek m-learning ditujukan untuk mempromosikan lingkungan belajar masa depan.
Kebijakan pemerintah mengenai m-learning di regional ini juga bervariasi. Di negara-negara mapan, kebijakan pemerintah telah sangat mendukung berkembangnya m-learning. Namun di negara-negara berkembang, umumnya belum ada kebijakan yang spesifik mengenai m-learning, paling tidak sebatas pemanfaatan ICT saja. Secara keseluruhan, regional Asia Pasific sangat menerima perubahan dan akan berubah sangat cepat dimasa mendatang.
Permasalahan umum yang menjadi penghalang kemajuan m-learning adalah menyangkut kekhawatiran akan risiko terpaparnya siswa kepada konten yang tidak pantas, perilaku kekerasan seperti cyber bullying, kecanduan game, persepsi bahwa perangkat mobile akan mengalihkan perhatian dari proses belajar mengajar, dan gangguan kesehatan seperti asthenopia (kelelahan mata).
Biaya dan ketersediaan perangkat, serta kurangnya dukungan dan pelatihan bagi guru juga menjadi faktor penghalang kemajuan m-learning terutama di Asia.
B. Tantangan implementasi M-learning
Dari pemaparan implementasi m-learning diberbagai belahan dunia di atas, dapat ditarik benang merah beberapa permasalahan yang menjadi tantangan dalam implementasi, yaitu sebagai berikut:
- Kurangnya kebijakan yang mendukung
Salah satu hambatan paling kritis terhadap adopsi m-learning yang luas adalah kurangnya kebijakan pendidikan ditingkat nasional, yang menguraikan kerangka penggunaan perangkat mobile yang sesuai sebagai bagian dari proses pendidikan sehari-hari.
Hal yang sangat sering terjadi adalah kepala sekolah atau institusi atau dewan pendidikan yang lebih luas, yang didasarkan pada kekaburan kebijakan pendidikan, mengadopsi skenario kasus terburuk yang melarang perangkat mobile di sekolah atau lingkungan kerja.
- Pola pikir ragu-ragu (masalah kesehatan dan psikologis)
Kurangnya kebijakan pendidikan yang secara khusus menangani masalah m-learning menyebabkan efek samping lainnya. Di hampir semua wilayah, dewan sekolah, kepala sekolah, guru, dan orang tua melaporkan keragu-raguan tentang penyalahgunaan perangkat mobile di kelas. Keraguan yang paling sering dilaporkan adalah masalah keamanan, terpaparnya siswa terhadap materi yang tidak pantas, perilaku bermusuhan seperti cyber bullying, pelanggaran seksual atau sexting, kecurangan potensial selama pemeriksaan sekolah dan kecanduan game.
Efek negatif pada kesehatan siswa dan perkembangan fisik mereka, memperkuat ambiguitas para pemain kunci mengenai kesesuaian penggunaan perangkat mobile di sekolah.
- Keterbatasan sosial, ekonomi dan teknologi
Biaya startup yang tinggi untuk inisiatif m-learning, terutama program OPD adalah faktor penghalang. Bahkan dalam proyek SCPD, biaya komunikasi dan biaya perangkat seluler membatasi penerapan m-learning.
Masalah kesetaraan mengenai kemampuan siswa untuk mengakses ponsel modern seperti smartphone karena pendapatan rendah atau karena asal usul sosial-demografis, mungkin juga menjadi masalah selama proyek BYOD. Dilema semacam itu tidak hanya muncul di daerah miskin di Afrika tengah, atau di Afghanistan, Bhutan dan Nepal namun juga hadir di wilayah yang lebih kaya seperti Selandia Baru dan Amerika Serikat.
Di sisi lain, keterbatasan teknologi dapat terjadi di wilayah dengan coverage jaringan 3G atau 4G yang rendah. Selanjutnya, keragaman standar dan sistem operasi, bahasa pemrograman, format audio dan video, ukuran dan resolusi layar juga menjadi kelemahan dalam m-learning.
-
Kekurangan SDM (tenaga ahli)
Karena m-learning masih dalam tahap awal, perencanaan pendidikan atau panduan khusus bagi guru dan siswa tentang bagaimana menggunakan perangkat mobile mereka untuk tujuan pendidikan jarang dilakukan.
Kurangnya pelatihan dan dukungan bagi guru, kurangnya konten pendidikan berkualitas, kesulitan memasukkan konten pembelajaran yang ada ke perangkat mobile , memperkuat resistensi guru untuk mengadopsi m-learning di sekolah.
- Keterbatasan hardware
Keterbatasan perangkat terkait masa pakai baterai, antarmuka pengguna, memori perangkat, keterbatasan ergonomis – seperti ukuran layar, keyboard yang terlalu kecil untuk mengetik dan masalah keamanan, juga menjadi hambatan yang paling sering dilaporkan untuk m-learning.
Meskipun penghalang seperti itu paling tidak penting karena teknologi berkembang dengan cepat dan gadget baru yang lebih praktis dan canggih muncul setiap tahun, membuktikan bahwa perangkat seluler dan ponsel cerdas menyebar lebih cepat daripada teknologi apa pun dalam sejarah manusia.
C. Peluang perkembangan
Elias (2010) dalam Tsinakos (2013) memuat 8 prinsip UID (Universal Instructional Design) yang sesuai untuk distance education (DE), yaitu:[15]
- equitable use;
- flexible use;
- simple and intuitive;
- perceptible information;
- tolerance for error;
- low physical and technical effort;
- community of learners and support; dan
- instructional climate.
Berdasarkan kedelapan prinsip UID tersebut, maka direkomendasikan beberapa peluang untuk mengembangkan m-learning, seperti tercantum dalam tabel berikut:
Tabel 3.1. Rekomendasi UID untuk M-learning
UID principles |
Online DE recommendations |
M-learning recommendations |
Equitable use |
· Put content online
· Provide translation |
· Deliver content in the simplest possible format
· Use cloud-computing file storage and sharing sites |
Flexible use |
· Present content and accept assignments in multiple formats
· Offer choice and additional information |
· Package content in small chunks
· Consider unconventional assignment options
· Leave it to learners to illustrate and animate courses |
Simple and intuitive |
· Simplify interface
· Offer offline and text-only options |
· Keep learners’ interfaces simple
· Keep code simple
· Use open sites and software |
Perceptible information |
Add captions, descriptors and transcriptions |
|
Tolerance for error |
· Allow students to edit posts
· Issue warnings using sound and text |
Scaffold and support situated learning |
Low physical and technical effort |
· Incorporate assistive technologies
· Consider issues of physical effort
· Check browser capabilities
|
Use available SMS reader softwares and other mobile -specific assistive technologies |
Community of learners and support |
· Include study groups and tools
· Easy-to-find links to support
· services |
· Encourage multiple methods of communication
· Group learners according to technological access and/or preferences |
Instructional climate |
Make contact and stay involved |
· Push regular reminders, requests, quizzes and questions to students
· Pull in learner-generated content |
Sumber: Elias, T. (2013)
Bab IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
- M-learning telah banyak diterapkan oleh berbagai negara di seluruh dunia, namun terjadi disparitas penerapan antar negara.
- Disparitas yang terjadi disebabkan karena perbedaan faktor sosio-ekonomis dan geografis di negara-negara tersebut.
- Secara umum, penghambat dalam implementasi M-learning disebabkan oleh kebijakan pendidikan, pola pikir, keterbatasan teknologi dan sosial-ekonomi, sumber daya manusia, dan keterbatasan hardware.
- Perkembangan M-learning ke depan masih menjadi harapan yang terang karena perkembangan teknologi mobile yang masih terus meningkat dengan pesat.
B. Saran
- Analisa dapat ditingkatkan lebih akurat bila menggunakan data dan informasi yang lebih uptodate.
DAFTAR PUSTAKA
Ally, M. (2009), Mobile learning: Transforming the Delivery of Education and Training, AU Press, Edmonton
Anderson.R.H, (1976), Selecting and Develoving Media for Intraction, American Sosiety and Training and Developmen, Wescosin
Arief S. Sadiman, et al. (2007), Media Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Azhar Arsyad, (2000), Media Pengajaran, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Dale (1969:180), dalam kutipan Arsyad (2002) Media Pembelajaran, PT. Raja Grafindo Perasada, Jakarta
Dias, A., et.al. (2008), An Introduction to Mobile learning, Socrates Project, Ericsson.
Elias, T. (2013), Universal Instructional Design Principles for Mobile learning, dalam Tsinakos, A. & Ally, M. (2013), Global Mobile learning Implementations and Trends, China Central Radio & TV University Press, China
Heinich, R., Molenda, M., Russell, J. D., & Smaldino, S.E. (2002). Instructional media and technology for learning, 7th edition. NewJersey: Prentice Hall, Inc
- Rayandra Asyhar, Dr. rer. nat. M.Si (2011), Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran, GP. Press, Jakarta.
Jumaris Matini, (2013), Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Ghalia Indonesia, Bogor. Indonesia
Levie, W.H. & Lentz, R. (1982). Effects of Text Illustrations: A Review of Research. Educational Communication and Technology: A Journal of Theory, Research, and Development, 30(4), 195-232. Retrieved October 4, 2017
Heinich, R, et. al. (2005), Instructional Technology and Media for Learning. Prentice Hall, New Jersey.
Oemar Hamalik. 1994. Media Pendidikan. Bandung: Cipta Aditya Bakti.
Quinn, C. (2000). mLearning. Mobile , Wireless, In-Your-Pocket Learning. Linezine. Fall 2000. Available at http://www.linezine.com/2.1/features/cqmmwiyp.htm.
Stobaugh, R. (2013), Assessing critical thinking in middle and high schools: meeting the common core, Routledge, USA
Sudjana, Nana dan Rivai Ahmad (2002), Media Pembelajaran, Sinar Baru Algensindo, Bandung
Supriatna, Dadang. 2009. Pengenalan Media Pembelajaran, Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak Kanak Dan Pendidikan Luar Biasa. Jakarta
Susilana, Rudi., Riyana, Cepi., (2008), Media Pembelajaran : Hakikat, Pengembangan, Pemanfaatan dan Penilaian, Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UP
Toffler, A. (1980), The Third Wave, Bantam Books, USA.
Trisna, http://3zna.blog.uns.ac.id/2012/04/25/peran-mobile-learning-untuk-pendidikan/25 April 2012
Tsinakos, A. & Ally, M. (2013), Global Mobile learning Implementations and Trends, China Central Radio & TV University Press, China
Udell, C. & Woodill, G. (2015), Mastering Mobile learning, John Wiley & Sons, Inc., USA
https://bahrurrosyididuraisy.wordpress.com/research/media-pembelajaran. Diakses 28 September 2017
http://www.guruit07.blogspot.com/2009/01/pengertian-media-pembelajaran.htm. Diakses 28 September 2017
http://aldin.staf.upi.edu/2013/09/16/media-pembelajaran. Diakses 28 September 2017
https://id.techinasia.com/kemendikbud-umumkan-program-esabak-perangkat-tablet-pengganti-buku-pelajaran-siswa-indonesia. Diakses 12 Oktober 2017
http://fitrianielektronika.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-media-pembelajaran-menurut.html. Diakses 28 September 201