Uhang Dihi
Anak Rantau

The Impact of Organisational Learning on Organisational Performance

     Posted on Fri ,13/04/2018 by yani_ranius

Dosen Pengampuh

Prof. Dr. Basuki Wibawa, M.Pd.

Dr.Ir Rusmono , M.Pd

CRITICAL REVIEW JURNAL INTERNASIONAL

 

 

  1. PENDAHULUAN

Artikel ini menyajikan wawasan berharga melalui analisis mendalam dan kritis dari pembelajaran organisasi dan hasil organisasi. Pertama dan terpenting, ini menunjukkan bahwa rumus dari studi empiris sebelumnya tidak memungkinkan untuk pengembangan solusi tepat berkaitan dengan manajemen pembelajaran organisasi untuk kepentingan peningkatan OP. Dari sudut pandang teoritis, hubungan antara OL dan OP tidak jelas atau tidak jelas, tetapi analisis studi empiris memungkinkan seseorang untuk menganggap bahwa OL memiliki dampak penting pada OP. Namun, perbedaan kekuatan hubungan ditunjukkan dan beberapa kontradiksi terkait dengan keberadaan hubungan antara OL dan aspek kinerja yang dipilih (sebagian besar keuangan) yang diidentifikasi. Selanjutnya, artikel ini membahas perbedaan dan ketidakkonsistenan yang signifikan dalam metode pengukuran OL, mengukur OP, memilih faktor kontekstual dan metode analisis data yang diadopsiI.

Penelitian ini dilakukan melalui penelitian literatur yang luas, termasuk tinjauan literatur yang relevan dari database seperti ProQuest, Elsevier, Emerald dan EBSCO (frasa: “pembelajaran organisasi”, “organisasi pembelajaran” dan “kinerja organisasi” yang dicari dalam kata kunci, judul atau abstrak).

Tujuan artikel ini adalah untuk menganalisis pandangan teoritis dan hasil penelitian empiris mengenai hubungan antara pembelajaran organisasi (OL) dan kinerja organisasi (OP). Ini akan menunjukkan bahwa dari sudut pandang teoritis, hubungan antara pembelajaran organisasi dan kinerja organisasi tidak jelas atau tidak jelas. Analisis studi empiris memungkinkan seseorang untuk mengasumsikan bahwa pembelajaran organisasi memiliki dampak penting pada kinerja organisasi, namun, ada perbedaan kekuatan hubungan dan beberapa kontradiksi terkait dengan kehadiran hubungan antara pembelajaran organisasi dan aspek-aspek yang dipilih (sebagian besar keuangan ) kinerja. Artikel ini membahas perbedaan signifikan dan inkonsistensi dalam metode pengukuran pembelajaran organisasi, mengukur kinerja organisasi, memilih faktor kontekstual dan metode analisis data.

 

  1. KAJIAN PUSTAKA

Umumnya dipercayai bahwa fungsi dalam lingkungan yang dinamis, tidak dapat diprediksi, kompleks dan tidak kontinu mengarah pada pencarian sumber-sumber keunggulan kompetitif tidak dalam produk, teknologi atau sumber daya tertentu tetapi dalam kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan yang lebih baru dan lebih baru yang berguna (Grudzewski, Hejduk , 2001; Beer et al. 2005; Cutcher Gershenfeld, Ford, 2005; Wu, 2010). Selain itu, ini berkaitan dengan klaim bahwa kelangsungan hidup dan pengembangan perusahaan modern membutuhkan pembelajaran lebih cepat dan lebih efektif daripada pesaing (SantosVijande et al., 2012). Pembelajaran organisasi juga dianggap sebagai mekanisme yang memicu kondisi untuk mengembangkan ekonomi berbasis pengetahuan (Mikuła et al., 2002).

Hubungan antara pembelajaran organisasi dan hasil positif dari kegiatan organisasi telah lama menjadi objek dari pertimbangan teoritis para ahli, manajer atau konsultan, dengan sedikit dukungan empiris (Perez Lopez et al., 2005; Campbell dan Armstrong 2007; Imran et al., 2011). Dari perspektif ini, hubungan ini tidak jelas dan tidak jelas.

Di satu sisi, pandangan pengaruh positif dari pembelajaran organisasi pada kinerja organisasi diasumsikan secara sewenang-wenang. Mendefinisikan pembelajaran organisasi atau organisasi pembelajaran, banyak sarjana menekankan “pembelajaran yang tepat” yang mengarah pada hasil tertentu seperti peningkatan kecerdasan organisasi, peningkatan basis pengetahuannya, peningkatan kepuasan pemegang saham, peningkatan kemampuan adaptasi organisasi jangka panjang, peningkatan produktivitas organisasi, kegiatan yang lebih efektif untuk pelanggan dan mitra, pengembangan keunggulan kompetitif (misalnya de Geus, 1988; Stata, 1989; Dodgson, 1993; Fiol, Lyles, 1985; Huber, 1991; Kim, 1993; Grundy, 1994; Dixon, 1997; Nevis et al., 1995; Schwandt, 1996; Garvin, 2000; Senge, 2000; King, 2001; Grudzewski dan Hejduk, 2001). Kecenderungan ini terutama terlihat di antara para pendukung organisasi pembelajaran (Tsang, 1997).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pembelajaran yang tidak produktif tidak dapat dihilangkan. Pembelajaran organisasi, dianalisis dari perspektif suatu proses bukan hasil, dapat mengarah pada hasil yang berbeda; itu juga bisa disfungsional (Maret dan Olsen, 1975; Kim, 1993; Argyris dan Schön, 1996, Kim dan Senge, 1994). Telah dipostulasikan bahwa pembelajaran organisasi diinginkan. Namun, banyak faktor (misalnya budaya, pribadi, politik, struktural) mengarah pada penghentian siklus pembelajaran organisasi; beberapa model dan metode yang didedikasikan untuk perbaikan kondisi yang akan mendukung pembelajaran yang bebas dari disfungsi telah disarankan. Telah disarankan adalah bahwa berbagai jenis atau tingkat pembelajaran organisasi memiliki hasil organisasi yang sangat berbeda (Pawlowsky, 2001). Sebagai contoh, hasil pembelajaran adaptif (single loop) berbeda dari hasil pembelajaran kreatif (double loop) dan kompatibilitas jenis pembelajaran tergantung pada dinamika dan kompleksitas realitas organisasi (Senge, 2000; Śliwa, 2001). Demikian pula, Maret (1996) membuktikan bahwa pembelajaran eksploratif dan eksploitatif akan menghasilkan hasil yang berbeda. Inti dari pembelajaran eksploratif adalah peningkatan dan perluasan kompetensi, teknologi dan paradigma yang ada dan hasilnya dapat diprediksi, dekat dan positif. Inti dari eksplorasi adalah pengalaman dengan proposal alternatif baru dan hasilnya tidak pasti, ditunda, sering negatif dan tidak begitu jelas terkait dengan kegiatan tertentu.

 

III. PEMBAHASAN

Studi empiris yang memverifikasi pengaruh pembelajaran organisasi terhadap kinerja organisasi sangat menjanjikan. Analisis beberapa lusin studi empiris adalah dasar untuk kesimpulan sintetis yang mengacu pada hubungan antara pembelajaran organisasi dan hasil organisasi. Perhatian khusus harus diarahkan pada studi yang dipilih dan komprehensif mengenai masalah ini: Baker dan Sinkula (1999a, b); Perez Lopez, Peon dan Ordas (2005); Prieto and Revilla (2006); JiménezJiménez dan SanzValle (2011) dan studi oleh Goh, Elliot dan Quon (2012) (mereka tidak melakukan studi empiris mereka sendiri tetapi melakukan metaanalysis dari 33 karya utama). Lampiran 1 mencakup karakteristik yang disederhanakan dari studi yang dipilih – yang dianggap paling penting, yang lebih kompleks serta yang merupakan simbol berbagai pendekatan untuk studi dalam bidang ini. Apa yang mendominasi adalah studi yang mengkonfirmasi pengaruh positif pembelajaran organisasi pada:

  • general organisational results (including financial): Baker, Sinkula (1999a, b), Calantone et al. (2002), Ellinger et al. (2002), Perez Lopez et al. (2005), Khandekar, Sharma (2006), Panayides (2007), Hung et al. (2010), Imran et al. (2011), Jiménez­ ­Jiménez, Sanz­Valle (2011), Frank et al. (2012), Ting (2012); „„
  • organisation’s innovation: Perez Lopez et al. (2005), Hongming et al. (2007), Lin et al. (2008), Jiménez­Jiménez, Sanz­Valle (2011), Goh et al. (2012); „„
  • strategy effectiveness and strategic flexibility (Santos­Vijande et al., 2012); „„
  • the results of projects (Murray, 2003); „„
  • employees’ satisfaction (Goh et al., 2012); „„
  • the results of human resources management (Bhatnagar, 2006).

Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara pembelajaran organisasi dan hasil keuangan tidak ambigu (Goh et al., 2012), yang tidak menunjukkan hubungan, misalnya, Prieto dan Revilla (2006) serta Suliyanto dan Rahab (2012) ) atau mereka, yang menurutnya hubungan ini sangat lemah, misalnya, Ellinger dan rekan (2002), Perez Lopez dan rekan (2005) atau Kocoglu dan rekan (2012).

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara pembelajaran organisasi dan kinerjanya memiliki pengaruh tidak langsung melalui dampak pembelajaran organisasi pada inovasi (misalnya Baker dan Sinkula, 1999a; Hongming et al., 2007; Lin et al., 2008; Pe sämaa et al ., 2013), orientasi pasar (Bakera dan Sinkula, 1999a; Mahmoud dan Yusif, 2012) atau praktik manajemen sumber daya manusia (Lin dan Kuo, 2007).

Meskipun dalam sebagian besar kasus, hasil studi empiris mengkonfirmasi hubungan positif antara pembelajaran organisasi dan kinerja organisasi, mereka secara signifikan berbeda dalam hal kekuatan dan karakter hubungan ini. Perbedaan tersebut mungkin hasil dari metode yang berbeda mengukur pembelajaran organisasi, mengukur hasil organisasi, sifat-sifat perusahaan di bawah analisis serta sebagian dari perbedaan dalam metode yang diadopsi analisis data.

Orientasi pembelajaran diukur hampir semua oleh skala yang ditawarkan oleh Baker dan Sinkula (1999a). Konsep ini mengasumsikan perspektif budaya yang terbatas dari pembelajaran organisasi (itu mengkaji keterlibatan dalam pembelajaran, mengembangkan visi bersama dan keterbukaan terhadap perbedaan pandangan). Dalam mengukur proses pembelajaran organisasi, skala berdasarkan empat subproses pembelajaran organisasi yang disarankan oleh Huber (1991) (misalnya skala Perez Lopez et al. (2005)) digunakan. Selain itu, kuesioner mengukur properti organisasi pembelajaran (DLOQ – Dimensi Organisasi Pembelajaran) yang dirancang oleh Watkins dan Mersick (1999) digunakan.

Alternatif untuk analisis proses pembelajaran organisasi adalah kemampuan belajar organisasi. Ini mendukung meta-learning dan dapat mempertimbangkan beberapa faktor penting untuk pembelajaran organisasi yang bukan merupakan manifestasi dari subproses pembelajaran organisasi. Hanya dalam dua studi, yang meneliti dampak kemampuan belajar organisasi pada kinerja organisasi, adalah skala pengukuran yang diverifikasi secara empiris. kemampuan belajar yang diadopsi: skala yang dikerjakan oleh JerezGomez et al. (2005) yang meliputi empat dimensi yang diukur oleh 16 item dan skala yang dirancang oleh YaHui (2008), di mana dua dimensi diukur dengan delapan item (setelah: Ting, 2012). Dengan demikian, timbangan tersebut mengukur kemampuan belajar dengan cara yang disederhanakan.

Dalam beberapa studi, faktor kontekstual (yaitu ukuran organisasi, usia, industri, bentuk kepemilikan, jenis aktivitas, budaya nasional atau properti lingkungan) adalah dasar untuk mencari perbedaan dalam hubungan antara pembelajaran di antara organisasi dari berbagai properti atau berfungsi dalam kondisi yang berbeda. dan kinerja organisasi. Namun, perbedaan tersebut signifikan, sebagaimana dikuatkan oleh studi unik yang dilakukan oleh JiménezJiménez dan SanzValle (2011). Mereka telah menemukan bahwa hubungan ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ukuran organisasi, usia, dan industri atau turbulensi lingkungan.

 

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari Critical Review ini:

  1. Karya pertama pada hasil pembelajaran organisasi terbatas pada analisis hasil pembelajaran organisasi. Saat ini, para sarjana telah mengabaikan jalannya siklus pembelajaran organisasi tertentu dan mengalihkan perhatian mereka pada analisis pembelajaran seluruh organisasi dan mengacu pada kinerja kegiatan seluruh organisasi.
  2. Analisis komparatif telah menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam kekuatan pengaruh ini dan bahkan kontradiksi dalam kehadiran hubungan antara pembelajaran organisasi dan hasil yang dipilih (terutama keuangan). Perbedaan tersebut dihasilkan dari variasi dalam mengukur pembelajaran organisasi dan hasil organisasi, sifat-sifat perusahaan di bawah analisis atau metode analisis data.
  3. Studi yang dilakukan sejauh ini terlalu terbatas untuk memungkinkan untuk membentuk solusi yang tepat dalam hal manajemen pembelajaran organisasi.
  4. Studi empiris dan teoritis lebih lanjut harus fokus pada pengembangan metode manajemen pembelajaran organisasi untuk meningkatkan kinerja organisasi.

 

DAFTAR PUSTAKA

David Hung and Myint Swe Khine,” Engaged Learning with Emerging Technologies,’ Springer, Netherlands, 2006

Linda   Argote,” Organizational Learning”, Creating, Retaining and Transferring Knowledge Second Edition, Springer New York Heidelberg Dordrecht London, 2013

Martha A. Gephart and Victoria J. Marsick,” Strategic Organizational Learning”, Springer, Verlag Berlin Heidelberg 2016

Knowledge Management for School Education

     Posted on Fri ,13/04/2018 by yani_ranius

Pengampu : Prof. Dr. Basuki Wibawa, Dr. Ir. Rusmono, M.Pd.

Cheng, ECK, 2015,“Knowledge Management for School Education”, Springer

Chapter 1

Challenges for Schools in a Knowledge Society

Abstrak

Bab ini menjelaskan tantangan yang dihadapi sekolah-sekolah dalam reformasi pendidikan dan kurikulum yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan knowledge society. Tantangannya termasuk kegagalan sekolah untuk melakukan perencanaan strategis dalam rangka mengembangkan kapasitas belajar siswa bagi knowledge society dalam persaingan ekonomi global. Bab ini mendukung klaim bahwa sekolah harus melaksanakan knowledge management untuk pengembangan berkelanjutan dan membangun kompetensi guru dalam manajemen pengetahuan pribadi untuk meningkatkan pengetahuan pedagogisnya.

 

1.1 Dampak Perluasan Pengetahuan

Organisasi harus mengandalkan pengetahuan untuk menciptakan keunggulan strategis untuk pengembangan berkelanjutan dalam tren saat ini menuju persaingan global. Lingkungan eksternal organisasi manapun selalu berubah dan menjadi lebih kompleks. Tingkat globalisasi semakin meningkat, begitu juga tingkat kompetisi. Teknologi informasi terus berubah dan tenaga kerja menjadi semakin beragam. Kompleksitas lingkungan manajerial meningkat dengan cepat dan masa depan semakin berbeda (Drucker 1999). Dalam kondisi perubahan yang sangat cepat, teknologi memiliki potensi untuk meningkatkan pengetahuan dan peningkatan ini hanya bisa direalisasikan jika organisasi memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana pengetahuan itu dikembangkan dan disebarkan.

Ekspansi pengetahuan yang cepat ini secara dramatis mempengaruhi fleksibilitas dalam pekerjaan guru dan sekolah. Pekerjaan guru menjadi kurang rutin, lebih analitis dan membutuhkan lebih banyak kolaborasi. Guru tidak hanya membutuhkan data dan informasi mengenai pembelajaran siswa, tetapi juga pengetahuan pedagogis individu, pengalaman mengajar, pengetahuan kolaboratif dalam pelaksanaan tugas, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Perluasan pengetahuan memaksa sekolah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang apa yang perlu mereka ketahui dan cara untuk mendapatkan pengetahuan itu agar bisa bertahan. “Sekolah diharapkan mengembangkan kapasitas belajar siswa untuk mendukung knowledge society dalam persaingan ekonomi global, untuk berinteraksi dengan lingkungan kebijakan pendidikan, dan untuk mengetahui cara memanfaatkan pengetahuan pedagogis “(Cheng 2012, hal. 577). Namun, tidak mudah bagi sekolah mengakses pengetahuan dan keahlian terbaik untuk pengembangan di masa depan. Sekolah terfokus pada pengelolaan pengetahuan sehingga tercipta nilai dan mencari praktik pengajaran terbaik, ide inovatif, kolaborasi kreatif dan proses yang efisien untuk memanfaatkan pengetahuan secara efektif. Sangat penting untuk membantu sekolah dan guru mengelola pengetahuan mereka dan belajar mengatasi perubahan. Dengan demikian, isu-isu tentang bagaimana membantu sekolah menggunakan pengetahuan mereka saat ini untuk menciptakan gagasan dan pengetahuan baru merupakan isu penelitian yang penting.

 

1.2 Tantangan dari Kebijakan Pendidikan

“Sekolah di Hong Kong telah lama menjumpai berbagai dampak dan tantangan pembangunan berkelanjutan dalam banyak reformasi pendidikan dan kurikulum yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia bagi knowledge society” (Cheng 2012, hal 577). Sistem pendidikan di Hong Kong telah bergerak dari peningkatan kuantitatif ke kualitatif dalam beberapa tahun terakhir untuk menciptakan sumber daya manusia yang mampu mengatasi persaingan ekonomi global (Education Commission 1997, 2000). Berdasarkan kebijakan wajib belajar di  Hong Kong sejak tahun 1978, semua anak berhak menerima pendidikan dasar. Sejak saat itu, otoritas pendidikan berusaha terus untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekolah. Pada tahun 1991, Pemerintah Hong Kong memperkenalkan School Management Initiative (SMI), yang dirancang untuk mendorong pengelolaan reformasi sekolah (Education and Manpower Branch and Education Department, 1991). SMI adalah model manajemen berbasis sekolah yang memberi kontrol lebih besar atas keuangan dan administrasi kepada sekolah dan membuat mereka lebih bertanggung jawab kepada publik. Pada tahun 1997, SMI dimodifikasi menjadi School Based Management (SBM), dan sekolah tidak diharuskan mengadopsi sistem ini. Untuk mendorong lebih banyak sekolah berpartisipasi, Departemen Pendidikan sebelumnya membuat perubahan lebih lanjut pada kebijakan tersebut pada bulan September 2000, dengan memberikan hibah tambahan dan fleksibilitas yang lebih tinggi.

Pada tahun 1997, Education Bureau (EdB) mengeluarkan Education Commission Report No. 7 (Education Commission 1997 ) tentang Pendidikan Sekolah Bermutu. Laporan ini menyarankan untuk menanamkan budaya kualitas dalam sistem sekolah dan mengembangkan seperangkat indikator yang komprehensif untuk mengukur dan memantau semua aspek kinerja sekolah, standar pendidikan dan pengembangan pendidikan. Laporan tersebut juga merekomendasikan untuk memperbaiki “pendekatan dua arah terhadap jaminan mutu: jaminan mutu internal dilakukan oleh sekolah sendiri, dan mekanisme penjaminan mutu eksternal” (Education Commission 1997, Bab 3.1). Sesuai dengan rekomendasi tersebut, pemerintah membentuk Quality Assurance Inspectorate (QAI) untuk memantau kualitas pendidikan dan mendorong sekolah mencapai jaminan kualitas internal melalui evaluasi diri menggunakan cara eksternal dan internal. Pada saat kebijakan penjaminan mutu diperkenalkan, jumlah pelajar di Hong Kong menurun. Sehingga, jika sebelumnya persaingan ketat untuk mendapatkan sekolah, akibat dari berkurangnya penerimaan siswa, orang tua memiliki lebih banyak peluang untuk memilih sekolah bagi anak mereka. Hal ini merupakan hal yang harus diperhitungkan oleh sekolah (Cheng 2011b).

Selain itu, pada tahun 2010, kurikulum menengah atas yang baru diimplementasikan untuk meningkatkan pembelajaran siswa. Sekolah harus berjuang untuk melaksanakan kurikulum baru ini, yang mengurangi jumlah tahun pendidikan menengah dari tujuh menjadi enam tahun. Secara keseluruhan, reformasi kurikulum dan berkurangnya jumlah siswa merupakan ancaman nyata bagi keberlanjutan sebuah sekolah.

 

1.2.1 Gap Pengetahuan untuk Evaluasi Diri dan Perencanaan

Kebijakan penjaminan mutu mewajibkan “sekolah mengumpulkan data dan informasi untuk evaluasi diri dan perencanaan strategis sesuai dengan tujuan pengembangan sekolah” (Cheng 2011b , hal. 214); Namun, banyak sekolah gagal memanfaatkan hasil evaluasi diri sekolah (SSE) dalam merumuskan rencana strategis mereka. Sebagai bagian dari mekanisme penjaminan mutu (QA), SSE membantu pemimpin sekolah untuk mengidentifikasi “kekuatan dan kelemahan sekolah mereka dan memberikan arahan dalam menjalankan strategi manajemen untuk perbaikan sekolah “(Cheng 2011b , hal 214). Karena SSE difokuskan untuk mengevaluasi masalah utama dan tujuan sekolah, ini membantu sekolah berkembang dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang diberikan. Pengembangan sekolah terutama bergantung pada kemampuan evaluasi diri sekolah; Oleh karena itu SSE yang efektif akan membantu sekolah memperbaiki kemampuan mereka untuk berubah (Davies dan Rudd 2001 ).

SSE yang efektif dicirikan oleh partisipasi guru dalam pengambilan keputusan untuk meninjau, menganalisa dan mendiskusikan data dan informasi yang terkumpul. Namun, banyak sekolah tidak memiliki budaya partisipasi guru, dan guru sering tidak percaya bagaimana data digunakan. Banyak guru menganggap penggunaan data di dalam kegiatan belajar mengajar sebagai review akuntabilitas pekerjaan mereka dan bukan untuk tujuan pengembangan, dan oleh karena itu mereka tidak mempercayai proses pengumpulan data apapun yang berkaitan dengan pekerjaan mereka (Petrides 2003). Selain itu, terjadi kekurangan staf yang berkualitas untuk melakukan analisis data untuk evaluasi diri sekolah. Pengumpulan dan analisis informasi seringkali terisolasi dan tidak jelas kaitannya dengan misi organisasi, sehingga sulit untuk menghasilkan informasi yang dapat diandalkan dalam merumuskan rencana strategis yang efektif. Akibatnya, banyak sekolah kekurangan rencana strategis berbasis data.

Dalam lingkungan persaingan yang diciptakan oleh kebijakan penjaminan mutu, para pemangku kepentingan harus menjadi lebih menuntut agar bisa bertahan, dan sekolah harus berkinerja lebih baik dari pada pesaing mereka dengan meningkatkan pemahaman mereka terhadap kebutuhan dan kemampuan siswa. Akuntabilitas capaian siswa menggiring kurikulum sekolah menuju pemeriksaan publik. Evaluasi efektifitas belajar mengajar di sekolah menjadi berbasis data dan bukti. Penilaian untuk pembelajaran menjadi aspek kunci dari akuntabilitas untuk memperbaiki pendidikan sekolah. Karena itu sekolah harus memiliki kompetensi untuk melakukan penilaian yang valid dan dapat diandalkan, dan analisis statistik untuk mengetahui apakah prestasi siswa memenuhi standar nasional (Petrida dan Guiney 2002 ; Lamont 2007 ). Sebenarnya penilaian siswa adalah kegiatan manajemen pengetahuan yang menghasilkan informasi tentang kemajuan pembelajaran melalui data mining dan analisis data. Dari kuis, ujian tengah semester dan ujian akhir di seluruh sekolah, ada banyak data dihasilkan bagi pimpinan sekolah untuk mengetahui efektifitas pengajaran dan pembelajaran.

Produk perangkat lunak yang efisien dan mudah disesuaikan seperti SPSS sangat penting dimiliki guru untuk melakukan analisis statistik, namun ada kesenjangan pengetahuan dalam penggunaannya dalam menentukan model prediktif untuk menentukan faktor apa yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dari tes (Lamont 2007 ). Model prediktif melibatkan survei prestasi siswa individual, survei review program umum dan self-evaluation. Model ini mengukur pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku, dan dapat diterapkan pada individu atau kelompok. Penilaian dilakukan baik untuk meningkatkan proses belajar mengajar dan membangun akuntabilitas (Mitri 2003 ). Sekolah harus memperoleh keterampilan data mining untuk lebih mendukung penilaian pembelajaran.

 

1.2.2 Kesenjangan Pengetahuan dalam pengembangan pembelajar mandiri

Salah satu tujuan terpenting reformasi pendidikan di Hong Kong adalah meningkatkan kemampuan siswa untuk belajar (Education Commission 2000 ). Untuk mencapai tujuan ini, guru perlu mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang membantu siswa menjadi pelajar seumur hidup setelah mereka meninggalkan sekolah (Cheng 2011a ). Dengan demikian diperlukan strategi pengajaran yang tepat dan efektif. Cheng ( 2011a ) mengajukan beberapa metode untuk mengembangkan kemampuan siswa untuk belajar. Dia menemukan bahwa kinerja belajar siswa terkait erat dengan motivasi belajarnya, penetapan tujuan, pengendalian tindakan dan strategi pembelajaran. Saran Cheng’s ( 2011a ) meliputi “membantu siswa untuk membuat tujuan belajar yang spesifik dan layak, membimbing mereka untuk memilih strategi pembelajaran yang tepat, membantu mereka belajar memonitor secara akurat proses pembelajaran, dan mempromosikan sikap positif terhadap hasil belajar “(halaman 14). Namun, masih ada kesenjangan pengetahuan antara apa yang perlu diketahui oleh sekolah dan apa yang sebenarnya diketahui oleh guru tentang pengembangan diri pelajar. Penting bagi pemimpin sekolah untuk mengisi kesenjangan pengetahuan ini.

 

 

1.3 Mengembangkan Budaya Berbagi Pengetahuan

Abad ke-21 menyaksikan sebuah revolusi pengetahuan yang menyoroti organisasi pembelajar. Faktor utamanya adalah pengetahuan dan cara menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks sekolah, penting bagi pemimpin sekolah untuk mengetahui caranya menciptakan lingkungan yang memotivasi para guru untuk menyumbangkan pengetahuan mereka bagi pengembangan sekolah. Hal ini bisa dilakukan dengan membantu mereka memahami konteks dalam organisasi sekolah dan bertanggung jawab, bekerjasama, dan berbagi apa yang mereka ketahui dan pelajari dari orang lain. Berbagi pengetahuan itu sangat penting dalam pengembangan sekolah, namun banyak sekolah kekurangan budaya berbagi pengetahuan. Sebagaimana Awad dan Ghaziri (2004, hal. 247) menjelaskan, “orang dewasa yang mapan cenderung enggan untuk berbagi apa yang mereka ketahui dengan orang lain.”

Keterbatasan utama dalam mengembangkan budaya berbagi pengetahuan adalah kesulitan dalam menentukan tujuan berbagi pengetahuan dan kurangnya perilaku berbagi pengetahuan dalam budaya sekolah (Carroll et al., 2003; Tyack dan Kuba 1995). Karena masing-masing sekolah memiliki budaya yang berbeda, berbagi pengetahuan dilakukan secara berbeda. Oleh karena itu sebaiknya sekolah mempertimbangkan untuk mengubah budaya sekolah menjadi budaya organisasi belajar sebelum menjalankan mekanisme berbagi pengetahuan (Bock et al. 2005).

Organisasi pembelajar adalah proses dan hasil yang dicapai saat anggota sebuah komunitas belajar melalui interaksi sosial (Simons and Ruiters 2001). Lebih dari sekedar menghadiri pertemuan di kelas dan seminar atau berbagi materi instruksional, organisasi pembelajar adalah proses dimana anggota komunitas berbagi nilai dan kepercayaan mereka. Organisasi pembelajar bersifat sinergis, yang mengacu pada proses peningkatan kapasitas organisasi secara berkelanjutan dan peningkatan efektivitas tim dan individu (Senge 1990). Organisasi pembelajar untuk guru memungkinkan mereka untuk menahan asumsi individu tentang pedagogi dan terlibat dalam dialog bebas terbuka tentang esensi, tantangan dan operasional dari pekerjaan mereka. Guru belajar lebih efektif saat mereka berinteraksi dengan orang lain dan belajar bersama sebagai tim. Untuk alasan ini, organisasi pembelajar jauh lebih penting daripada pembelajaran individu.

Organisasi pembelajar penting untuk pengembangan sekolah dan pengembangan profesionalisme masing-masing guru. Pengembangan sekolah, guru dan organisasi pembelajar saling bergantung satu sama lain. Dalam pandangan pengembangan sekolah telah jelas bahwa pengembangan dan realisasi kebijakan dan reformasi di sekolah membutuhkan pembelajaran organisasional antar guru (Verbiest et al., 2005). Proses pembelajaran ini harus didukung oleh administrasi sekolah agar bisa sukses. Pemimpin sekolah harus mencari cara untuk mengembangkan kompetensi mengajar profesional dan memberdayakan mereka untuk melatih keahlian mereka dalam meningkatkan pengembangan sekolah. Memfasilitasi pembelajaran organisasional guru melalui manajemen strategis sangat penting untuk pengembangan sekolah.

 

1.4 Berbagi Praktik Terbaik dengan Pembelajaran Sosial

Tanpa mekanisme yang efektif untuk mempertahankan pengalaman dan pengetahuan guru, sekolah mungkin harus mengalami kerugian pengetahuan karena guru yang pensiun atau pindah. Jika praktik terbaik diidentifikasi dan diterapkan pada situasi yang sama di tempat lain, efektivitas sekolah dapat ditingkatkan. Secara tradisional, usaha penelitian tindakan kolaboratif oleh guru mewujudkan sharing praktik profesional. Guru yang melakukan penelitian tindakan kolaboratif dapat bekerja sama untuk meningkatkan rasionalitas dari praktik pendidikan mereka dengan pertanyaan reflektif atau menjawab pertanyaan rekan sejawat (Kemmis 1988). Oleh karena itu, melalui proses penelitian tindakan, guru bisa belajar bekerja sama dan menjadi praktisi reflektif (Schon 1983) dengan mempraktikkan teori yang dipostulasikan dari yang lain.

Sebagai bentuk penelitian tindakan kolaboratif, lesson study bertujuan untuk memberikan landasan berbagi pengetahuan bagi para guru dalam berbagi konten pedagogis sehingga bisa memperbaiki praktik mengajar mereka. Lesson study dapat didefinisikan sebagai penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru, di mana mereka bekerjasama untuk menganalisa dan memperbaiki pengajaran mereka (Wiburg dan Brown 2007). Lesson study mengadopsi mekanisme penelitian tindakan, namun mengalihkan fokus kepada pembelajaran siswa.

 

1.5 Guru sebagai Pekerja Pengetahuan

Seorang guru harus menjadi pekerja pengetahuan yang menciptakan pengetahuan pedagogis yang dapat meningkatkan kapasitas belajar siswa. Untuk mengembangkan siswa sebagai pembelajar mandiri, guru perlu memiliki pemahaman mendalam tidak hanya atas materi pelajaran, tapi juga strategi pengajaran yang dapat mengembangkan kompetensi siswa dalam pengaturan diri. Guru kemudian dapat membantu siswa membuat peta pikiran atau peta konsep yang berguna, menghubungkan satu gagasan ke gagasan yang lain dan mengatasi kesalahpahaman. Untuk melakukan ini, guru perlu mengembangkan pedagogical content knowledge (PCK), yang akan memungkinkan mereka untuk membuat ide yang dapat diakses oleh orang lain (Shulman 1987). Proses membuat PCK menciptakan lebih banyak peran profesional untuk guru dan menghasilkan pengetahuan konstruktif yang berguna untuk praktik dan pengembangan teori yang sedang berlangsung (Darling-Hammond 1994). Laporan OECD baru-baru ini yang berjudul Mempersiapkan Guru dan Mengembangkan Pemimpin Sekolah untuk Abad 21: Pelajaran dari Seluruh Dunia (Schleicher 2012, hal. 10), memperkenalkan konsep pekerja pengetahuan sebagai peran profesional bagi guru: Jenis pengajaran yang dibutuhkan saat ini mengharuskan guru  menjadi pekerja pengetahuan tingkat tinggi yang selalu meningkatkan pengetahuan profesional dan profesi mereka.

Namun, sebuah platform untuk bekerja sama dan menjadi pekerja pengetahuan bagi para guru masih tidak tersedia, terutama karena adanya konflik profesional dan birokrasi (Cheng 2009) yang masih ada di banyak organisasi sekolah. Tidak mengherankan laporan OECD menyoroti konflik seperti berikut: Orang yang melihat diri mereka sebagai pekerja pengetahuan tidak tertarik kepada sekolah yang diatur seperti jalur perakitan, dengan guru yang bekerja sebagai widget yang saling dipertukarkan di lingkungan birokratik. Untuk menarik dan mengembangkan pengetahuan pekerja, sistem pendidikan perlu mentransformasikan kepemimpinan dan organisasi kerja sekolah mereka menjadi lingkungan dengan norma-norma manajemen profesional melengkapi bentuk kontrol birokratik dan administratif, dengan status, gaji, otonomi profesional, dan pendidikan berkualitas tinggi yang sesuai dengan pekerjaan profesional, dan dengan sistem evaluasi guru yang efektif, dengan jalur dan keragaman karir untuk guru. (Schleicher 2012, hal. 11). Tampaknya para pemimpin sekolah harus mengurangi konflik birokrasi dan memelihara budaya otonomi profesional di sekolah mereka sehingga tercipta lingkungan hidup yang kondusif untuk mengembangkan pengetahuan pekerja.

Kemajuan teknologi informasi menciptakan kesenjangan pengetahuan antara teori dan praktek penerapan teknologi informasi dalam mengajar. Banyak sekolah mengalokasikan sumber daya untuk teknologi informasi tanpa mempertimbangkan bagaimana mengintegrasikan teknologi tersebut ke dalam praktik pengajaran yang ada secara efektif untuk memperbaiki pengajaran. Banyak guru tidak punya waktu untuk mengupgrade keterampilan teknologi informasi mereka; sehingga mereka sering angkat tangan terhadap masalah teknologi, menyerahkan masalah ini kepada para ahli yang mungkin tahu banyak tentang perangkat keras tetapi sangat sedikit tentang kebutuhan informasi untuk perencanaan kurikulum, desain pembelajaran dan pengajaran di kelas. Selain itu, karena perangkat keras dan perangkat lunak harus di-update dan diganti secara teratur, kemajuan teknologi semakin memperluas jurang pengetahuan ini.

Guna mengembangkan kompetensi guru dalam mengelola pengetahuan, Cheng (2011b) telah membangun model empiris untuk mengartikulasikan kompetensi personal knowledge management (PKM) guru pre-service untuk desain pembelajaran. Model kompetensi PKM untuk guru pre-service diidentifikasi sebagai struktur empat faktor, yang terdiri dari pengambilan, pengorganisasian, analisis dan kolaborasi pada keterampilan.

 

1.6 Memanfaatkan Pengetahuan Sekolah

Sekolah harus meningkatkan modal mereka dalam menyediakan pendidikan berkualitas dan akuntabilitas umum. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pendidikan sekolah diharapkan bisa mengembangkan kapasitas belajar siswa untuk knowledge society dalam persaingan ekonomi global, untuk berinteraksi dengan lingkungan kebijakan ekonomi global, dan untuk mengetahui bagaimana mengelola pengetahuan pedagogik (Cheng 2012). Ini merupakan tantangan besar bagi sekolah untuk terus menarik siswa dan mempertahankan kualitas sekolah di mata para pemangku kepentingan mereka. Pimpinan sekolah diharapkan dapat memperkuat kompetensi profesional guru dan staf, merumuskan kebijakan sekolah untuk mengatasi masalah reformasi kurikulum, dan membangun hubungan kolaboratif dengan pihak luar untuk mengembangkan sumber daya pendukung. Sumber daya pendukung ini dapat dikonseptualisasikan sebagai modal intelektual sekolah (Basile 2009). Membangun modal intelektual dalam rangka menciptakan nilai merupakan proses manajemen pengetahuan yang penting di semua organisasi (Stewart 1997), dan tidak terkecuali sekolah (Kelly 2004). Jadi, mengetahui cara untuk membangun modal intelektual sebuah organisasi sekolah sangat penting bagi kelangsungan hidup sekolah dalam konteks reformasi pendidikan.

Modal intelektual sekolah adalah inti dari tujuan dan definisi pendidikan sekolah yang efektif (Kelly 2004). Hal ini merupakan sumber daya tidak berwujud yang berasal dari hubungan antara sekolah dan pemangku kepentingannya, dari kapasitas organisasi pembelajar sekolah untuk berinovasi dan mengelola perubahan, dari struktur organisasi dan budayanya, dan dari pengetahuan, pengalaman dan kompetensi dari stafnya (Kelly 2004). Karena populasi siswa dan orang tua siswa hanya bersifat sementara, maka potensi sumber daya jangka panjang terbesar yang ada di sekolah adalah pengalaman kolektif, keahlian, dan kompetensi staf pengajarnya (Basile 2009). Aset ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya jika sekolah ingin beroperasi dengan potensi penuhnya, oleh karena itu mengelola sumber pengetahuan dari organisasi sekolah menjadi penelitian yang signifikan untuk dilakukan.

Modal intelektual mengukur nilai pengetahuan yang telah dikelola melalui Knowledge Management (KM). KM mendukung organisasi untuk menciptakan sebuah mekanisme yang mengukur, menyimpan dan mengubah pengetahuan menjadi modal intelektual. Pada tingkat individu, KM meningkatkan kompetensi staf dalam melaksanakan tugas mereka. Pada tingkat organisasi, KM meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan bersama dan pemecahan masalah untuk memperbaiki kinerja organisasi (Sallis dan Jones 2002). Demikian pula KM di sekolah bisa digambarkan sebagai kegiatan manajemen strategis yang mendukung guru untuk mengambil, menerapkan, berbagi, menciptakan dan menyimpan pengetahuan pedagogis untuk memperbaiki pengajaran dan tugas mereka. Ini memperkuat kompetensi profesional staf dan memperbaiki struktur dan kebijakan organisasi. Jika pimpinan sekolah benar-benar ingin menerapkan KM untuk pengembangan sekolah, mereka harus mengembangkan seperangkat kebijakan dan praktek atau proses untuk memudahkan proses pengumpulan data dan informasi, dan budaya berbagi pengetahuan sehingga dapat mencapai peningkatan dalam pengajaran dan hasil belajar (Cheng 2012). Banyak sekolah tidak memiliki gudang pengetahuan; Oleh karena itu, sekolah harus menerapkan KM untuk membangun repositori pengetahuan dan mengubah sumber pengetahuan menjadi modal intelektual mereka.

 

1.7 Sekolah Butuh Manajemen Pengetahuan

Dalam menghadapi tantangan kebijakan pendidikan seperti kurangnya sumber daya manusia yang memiliki keterampilan baru dan kebutuhan akan inovasi pengajaran dan pembelajaran, sekolah mencari cara untuk meningkatkan efektivitas sekolah. Dengan membantu guru untuk lebih memahami proses belajar siswa dan kebijakan pendidikan, sekolah dapat meningkatkan efektivitas guru dan mengatasi kekurangan guru yang semakin meningkat. Untuk bertahan dari kekurangan ini, sekolah harus melakukan sesuatu sebelum guru pergi dan pengetahuan pedagogik hilang bersama mereka. Karena tenaga kerja yang semakin menua, sangat penting untuk memiliki perencanaan suksesi yang efektif untuk menangkap pengetahuan ini. Sekolah kemudian harus secara efektif dan efisien menyampaikan informasi penting ini kepada guru.

Manajemen pengetahuan adalah strategi manajemen yang memanfaatkan informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan kinerja, manajemen dan operasi organisasi. Ini bertujuan untuk mendukung organisasi dalam menciptakan struktur yang mapan untuk mempertahankan, menciptakan dan menerapkan pengetahuan tidak hanya untuk pemecahan masalah, tetapi juga untuk pembangunan berkelanjutan organisasi. Menerapkan KM dalam pendidikan sekolah dapat membantu sekolah memperbaiki kemampuan perencanaan dan mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh reformasi pendidikan baru-baru ini. KM juga membantu sekolah memberikan pendidikan berkualitas bagi siswa dan layanan berkualitas bagi pemangku kepentingan. Jika sekolah ingin bertahan di pasar yang kompetitif dan mempertahankan diri selama reformasi, mereka bisa melembagakan sebuah mekanisme KM untuk bisnis inti mereka, yaitu pengajaran dan pembelajaran. Untuk mengatasi perubahan ini, sekolah dapat mendesain ulang kurikulum, pengajaran dan penilaian, termasuk pemanfaatan informasi dan pengetahuan untuk mendukung beasiswa praktik profesional dalam lingkungan belajar global.

 

1.8 Ringkasan

Perluasan pengetahuan, reformasi kurikulum dan perubahan lingkungan kebijakan pendidikan bersama-sama menciptakan dampak dan tantangan bagi sekolah. Pengetahuan tentang bagaimana caranya membantu siswa berkembang menjadi peserta didik mandiri dan bertanggung jawab kepada masyarakat melalui evaluasi diri dan perencanaan strategis merupakan isu kritis bagi pembangunan berkelanjutan sekolah. Untuk mengatasi masalah tersebut, sekolah harus menumbuhkan budaya berbagi pengetahuan, mendukung guru agar memiliki identitas profesional sebagai pekerja pengetahuan dan mengupayakan modal pengetahuan dari pengetahuan yang ada. Untuk mengatasi tantangan ini sekolah harus mengimplementasikan praktik manajemen pengetahuan.

Kebutuhan dan Disain Pembelajaran Multimedia Pendidikan

     Posted on Tue ,17/10/2017 by yani_ranius

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Suyitno. M.Pd

Pendahuluan

Perkembangan teknologi komunikasi sekarang ini berjalan begitu cepat. Melalui televisi dan internet kita dapat mengetahui kejadian di belahan dunia manapun. Sekarang ini untuk komunikasi kita tidak perlu selalu bertatap muka langsung, tetapi bisa dilakukan dari jarak yang sangat jauh dan tampak seperti nyata. Perkembangan teknologi menyebabkan komunikasi semakin virtual. Komunikasi berlangsung serba cepat dan tidak terputus  dan tidak tergantung waktu (real time communication)

Hal tersebut berdampak pula dalam dunia pendidikan yang memerlukan cara baru dalam berkomunikasi, tidak hanya komunikasi langsung (tatap muka) tapi juga komunikasi tidak langsung (virtual) berbasis multimedia. Untuk dapat mengembangkan sebuah pembelajaran multimedia dalam bidang pendidikan perlu disusun tahap-tahap pembelajaran yang meliputi analisis, disain, pengembangan, implementasi dan evaluasi.

Pembahasan

  1. Need Assessment

Need assessment adalah cara sistematik untuk menentukan kesenjangan antara keadaan nyata saat ini dengan keadaan yang dinginkan Need assessment juga didefinisikan sebagai proses sistematik untuk menentukan tujuan, mengidentifikasikan perbedaan antara kondisi nyata dengan kondisi yang dinginkan, dan menentukan prioritas tindakan yang akan dilakukan. (Lee, William W. & Owens, Diana L., 2004).

Model Dick and Carey (1990) merupakan salah satu model instruksional yang sesuai dengan kebutuhan dan sering digunakan dalam membuat rancangan pembelajaran Langkah-langkah dalam mengidentifikasi kebutuhan diuraikan sebagai berikut: mengidentifikasi kondisi sekarang, mendefiniskan pekerjaan yang diinginkan, mengurutkan tujuan sesuai dengan kepentingan, mengidentifikasi perbedaan-perbedaan, menentukan faktor-faktor positif dan menentukan prioritas tindakan. Need assessment perlu dilengkapi dengan kuisioner assesment, menetapkan prosedur pengumpulan data, menganalisis data menghasilkan informasi penting yang bermanfaat bagi pembelajaran.

Untuk melakukan analisis diperlukan upaya untuk mengumpulkan data dengan menggunakan berbagai teknik antara lain menggunakan kuisioner, wawancara, simulasi dan observasi. Kuisioner dapat menggunakan e-mail atau kuisioner tertulis. Wawancana dapat menggunakan telepon atau wawancana langsung. Simulasi dengan menggunakan maket atau peralatan/software.

  1. Front-End Analysis

Front-End Analysis adalah teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menjembatani kesenjangan yang ada antara kenyataan dan harapan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ada sepuluh analisis yang dapat dilakukan yaitu 1) Analisis peserta, 2) Analisis teknologi, 3) Analisis situasi, 4) Analisis tugas, 5) Analisis Isu 6) Analisis kejadian penting, 7) Analisis tujuan, 8) Analsis Media, 9) Analisis Data yang ada, dan 10) Analisis Biaya.

 

Berikut adalah penjelasan dari model Front End Analysis :

  1. Analisis Peserta

Analisis peserta bertujuan untuk mengetahui latar belakang, karakteristik dan pengetahuan awal peserta didik. Beberapa data yang terkait dengan peserta adalah kemampuan bekerja sama, pengalaman pelatihan dengan komputer, kemampuan berbahasa, pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti dan kemampuan khusus yang relevan dengan tujuan pembelajaran.

Ada empat kegiatan dalam menganalisis peserta yaitu :

1)    Analisis demografi dan tuntutan khusus

2)    Menentukan sikap terhadap materi yang dikuasai

3)    Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang diperlukan

4)    Dokumen yang dimiliki

  1. Analisis Teknologi

Analisis teknologi bertujuan untuk mengidentifikasi kemampuan teknologi yang dimiliki seperti telepon, e-mail, chat room technology, news group technology dan list server technology dengan cara melakukan analisis untuk mendukung kinerja, melakukan tes dan penilaian, mendistribusi dan pengiriman produk multimedia serta melakukan analisis tentang keahlian dan dokumen yang dimiliki.

  1. Analisis Situasi

Analisis situasi bertujuan untuk menentukan dasar-dasar pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menguasai lingkungan kerja merupakan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan menganalisis lingkungan atau situasi kerja kita dapat merancang  strategi kerja untuk memaksimalkan proses distribusi dan pengiriman hasil kerja.

  1. Analisis Tugas

Dalam melakukan analisis tugas, teori yang digunakan adalah teori belajar orang dewasa. Menurut Knowles ada beberapa komponen yang harus diperhatikan bagi orang dewasa dalam belajar. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, relevance. Orang dewasa dalam belajar akan memperhatikan hubungan topik yang dipelajari dengan kenyataan di dunia dimana pengetahuan tersebut digunakan. Kedua, involvement. Dalam belajar orang dewasa dituntut untuk aktif, tidak pasif dan tidak pula hanya mendengar instruktur menyampaikan materi. Ketiga, control over learning. Orang dewasa dalam belajar harus bebas menentukan dimana, apa dan bagaimana cara mereka belajar. Mereka tidak tergantung pada orang lain. Yang menentukan dirinya sendiri. Keempat, non-traditional learning situation. Orang dewasa dalam belajar membutuhkan privasi dan bersifat individual.

Berdasarkan komponen-komponen tersebut maka dalam mengembangkan pembelajaran berbasis multimedia harus memperhatikan hal-hal berikut; bagi orang dewasa belajar menjadi tidak efektif apabila levelnya ditingkatkan dari yang seharusnya dipelajari dan tujuan yang dibuat harus sesuai dengan kebutuhan belajar orang dewasa tersebut.

Untuk dapat melaksanakan analisis tugas ada beberapa proses yang harus dilalui yaitu: Pertama, menentukan posisi jabatan. Kedua, mengidentifikasi semua tanggungjawab yang saling terkait dengan pekerjaan yang dilakukan. Ketiga, mengidentifikasi langkah-langkah yang berkaitan dengan pekerjaan. Keempat, melakukan pekerjaan tersebut. Terakhir, mendokumentasikan semua hasilnya

Analisis Isu

Ada tiga tahapan yang dapat dilakukan dalam analisis isu. Pertama, mengumpulkan data yang berasal dari peserta (pembelajar), teknologi, situasi yang dihadapi, tugas, dan analisis kejadian penting. Kedua, menempatkan data yang sesuai kedalam form analisis. Dalam hal itu dapat dipilah atas tiga bahagian yaitu organisasi, kinerja dan pelatihan. Ketiga, mendokumentasikan hasil-hasilnya.

  1. Analisis Kejadian Penting

Analisis ini penting dilakukan untuk menentukan mana yang harus diajarkan dan mana yang tidak harus diajarkan. Hal itu dilakukan guna secara efektif dapat menetapkan kinerja yang dilakukan. Selain itu juga agar dapat mengetahui apa yang diharapkan termasuk solusi masalah yang dihadapi.  Dalam melakukan analisis kejadian penting ada beberapa proses yang harus dilalui yaitu; menetapkan tugas-tugas yang dianggap penting dalam pekerjaan, menetapkan tugas-tugas yang dianggap tidak begitu penting, menetapkan tugas-tugas yang tidak akan dilaksanakan dan mendokumentasikan hasil-hasilnya.

  1.  Analisis Tujuan

Analisis tujuan dilakukan dalam rangka menentukan apa yang akan menjadi isi (materi pengetahuan), bagaimana agar efektif diukur keberhasilannya, memilih media yang digunakan. Dalam rangka membuat tujuan tersebut ada lima domain belajar yang perlu diperhatikan yaitu, kognitif, afektif, gerak, psikomotor dan metakognitif.

Prosedur analisis tujuan dapat dilakukan melalui proses-proses berikut:

1)  Menetapkan domainnya

2)  Menetapkan levelnya

3)  Menuliskan tujuan yang ingin dicapai

4)  Menuliskan tujuan kinerja

5)  Mendiskusikannya kedalam suatu kelompok

6)  Memilah tujuan antara dari tujuan kinerja

7)  Memilah tujuan pelajaran dari tujuan kinerja.

  1. Analisis Media

Setelah berhasil menetapkan tujuan barulah kita selanjutnya dapat menetapkan media yang dibutuhkan. Media analysis (analisis media) menjadi sesuatu yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan pembelajaran. Ada beberapa tipe media yang dikemukakan Lee dan Owens yaitu:

1)      Instructur-led.

Bahan-bahan yang dipresentasikan oleh guru.

2)      Computer-based.

Berbagai macam bentuk bahan yang menggunakan komputer sebagai perantara.

3)      Distance broadcast.

Pembelajaran jarak jauh yang berbasis siaran seperti televisi, radio.

4)      Web-based.

Pembelajaran yang menggunakan internet sebagai basisnya yang disalurkan melalui jaraingan WAN (wide area networks) dan LAN (local are networks)

5)      Audiotapes.

Menggunakan rekaman suara yang sudah disiapkan misalnya kaset.

6)      Videotapes.

Menggunakan rekaman video yang telah disiapkan

7)      Performance support system dan electronic performance support system.

Untuk memperoleh media yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai prosesnya sebagai berikut:

1)      Melakukan penilaian berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi

2)      Menyimpulkan temuan

3)      Membuat ranking berdasarkan persentase dari yang tinggi ke yang rendah

4)      Membuat kekuatan dan kelemahan media untuk pembelajaran

5)      Bandingkan hasilnya dengan memperhatikan faktor biaya dan tetapkan media yang sesuai

6)      Cocokan media yang digunakan dengan tujuan yang ingin dicapai

7)      Mendokumentasikan hasil-hasilnya

  1. Analisis Data

Analisis data dilakukan dalam rangka memecahkan masalah yang ditemui. Untuk melaksanakan analisis data ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan yaitu:

1)      Mengidentifikasi sumber informasi

2)      Mengumpulkan informasi dan bahan-bahan pembelajaran

3)      Mengevaluasi informasi berdasarkan tujuan, pembelajar dan kebutuhan

4)      Putuskan apakah akan membeli atau membuat

5)      Mengevaluasi apa yang sudah diputuskan

6)      Dokumentasikan hasil-hasilnya

  1. Analisis Biaya

Analisis berikutnya yang harus dilakukan adalah cost analysis (analisa biaya). Proses yang dilakukan dalam analisis biaya adalah:

1)      Melaksanakan cost-benefit analysis

2)      Menetapkan return on investment

3)      Mendokumentasikan hasil-hasilny

Desain Multimedia Pembelajaran

Desain adalah fase perencanaan dalam sebuah proyek multimedia. Perencanaan merupakan bagian yang sangat penting untuk meraih kesuksesan dalam proyek tersebut. Beberapa contoh proyek multimedia antara lain: e-learning, video dalam sebuah situs yang memerlukan banyak bahasa pemograman yang detail, kursus elektronik dan sebagainya.

Dalam bagan di bawah ini ditunjukkan bagian-bagian yang harus diperhatikan dalam desain multimedia.

Ada beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan dalam melakukan desain multimedia, antara lain:

  1. Searchable Content Objects Reference Model (SCORM)

SCORM adalah model standar yang tujuannya, isi dari desain telah tersedia dan tidak perlu dimodifikasi lagi. SCORM juga merupakan standar untuk membagi isi desain menjadi bagian-bagian kecil yang dapat digunakan dan hanya dikembangkan satu kali saja.

  1. Learning Management System (LMS)

LMS adalah sistem yang membantu administrasi dan berfungsi sebagai platform e-learning content. Beberapa fungsi dasar LMS adalah : catalog, registrasi dan persetujuan, menjalankan dan memonitor e-learning, evaluasi, komunikasi, laporan, rencana pelatihan dan integrasi.

Berdasarkan gambar, dalam merancang pembelajaran multimedia ada beberapa tahap yang perlu diperhatikan yaitu:

  1. Merencanakan Proyek

Ada tiga kegiatan dalam proses pembuatan rencana sebuah proyek yaitu:

1).  Dokumen informasi umum proyek

  1. a) Kegiatan ini mencakup:
  2. b) Menetapkan tujuan dan kebutuhan proyek
  3. c) Menentukan kinerja dan hambatannya
  4. d) Menetapkan hasil dan persyaratan tingkat tinggi kinerja.
  5. e) Batasan proyek atau masalah
  6. f) Asumsi yang berdampak pada waktu atau keberhasilan proyek

2)      Penyampaian daftar proyek. Kegiatan ini mencakup pengembangan, peninjauan dan pengakuan terhadap: audio script, storyboards, prototype screen interface, programming templates or models, video script, video broadcast schedule and script.

3)      Jadwal kegiatan proyek. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh anggota tim dalam kegiatan ini adalah: mengetahui aturan dan tanggung jawabnya, memperhatikan waktu, mengerjakan komponen project tepat pada waktunya. Selain itu ada dua aspek penting dalam penjadwalan kegiatan proyek yaitu review/peninjauan dan waktu. Review terdiri dari: peninjauan secara teknik/fungsional, peninjauan ID, peninjauan standard proyek, peninjauan editorial, dan peninjauan manajemen. Sedangkan aspek waktu meliputi : menentukan bagaiman data diperoleh, menentukan level dari sebuah data seharusnya dikumpulkan dan dianalisis, memutuskan siapa yang dapat mengakses waktu penelusuran informasi dan menentukan bagaimana waktu penelusuran diimplementasikan.

  1. Tim Proyek.

Terdapat tiga kegiatan penting dalam proses mendefinisikan peraturan dan tanggung gung jawab bagi anggota tim proyek yaitu :

1)  Daftar peran tim. Sebagai sebuah tim, tentukan daftar peran dan tanggung jawab yang diperlukan oleh setiap anggota, kemudian pilihlah anggota yang sesuai untuk tugas-tugas khusus. Contohnya: audio producer or technician, author, creative director, editor, evaluation specialist, graphic artist, graphic designer, implementation representative, interactive designer, performance analyst, project manager, evaluator, sponsor, subject-matter expert, systems designer, system engineer, video editor, dan video producer.

2)  Daftar tugas proyek. Daftarkan seluruh tugas yang akan diperlukan dalam setiap fase proyek. Kemudian buatlah pengembangannya dalam setiap fase secara terpisah.

3)  Menetapkan peran dan tanggung jawab tim. Menetapkan anggota untuk bertanggung jawab terhadap beberapa hal (timeline, skills dan resource/sumber) atau satu hal saja tergantung dari besarnya proyek yang sedang dikerjakan.

  1. Spesifikasi Media

Pada element multimedia terdapat dua bagian penting yang saling berkaitan yaitu teori dan praktek. Secara teori, ada 4 pendekatan yang dikembangkan yaitu: visual, auditory, olfactory (penciuman), tactile of kinesthetic.

Prosedur spesifikasi media dibagi menjadi beberapa macam kegiatan, antara lain:

1)      Mendefinisikan tampilan dan nuansa dari sebuah tema

2)      Mendefinisikan interface dan fungsi

3)      Mendefinisikan standar interaksi dan umpan balik

4)      Mendefinisikan treatment untuk video dan audio

5)      Mengindikasi standar design text

6)      Mempersiapkan standar design grafik

7)      Menentukan animasi dan special efek.

  1. Struktur Konten

Konten yang akan dituangkan dalm multimedia harus disesuaikan dengan analisi kebutuhan ketika saat merencanakan tujuan utama multimedia dibuat. Berdasarkan teori, prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam desain multimedia adalah :

 

1)      Menggunakan peninjauan dalam pembelajaran

2)      Meliputi pengenalan dan tujuan yang spesifik

3)      Memastikan keefektifan verbal content.

4)      Menggunakan contoh dan demonstrasi

5)      Membangun keberhasilan siswa

6)      Sesuai dengan audience

7)      Menjaga langkah cepat dengan variasi tertentu

8)      Transisi yang mulus

9)      Penugasan dan arah yang jelas

10)   Mempertahankan standar yang tepat

11)   Memantau, mensirkulasi dan memeriksa pekerjaan

12)   Menanyakan sebuah pertanyaan pada satu saat.

13)   Bekerja di umpan balik

14)   Ikuti umpan balik dengan teknik yang tepat.

15)   Materi harus memotivasi

16)   Hubungkan materi dengan dunia nyata

Prosedur struktur isi terdiri dari tiga kegiatan yaitu:

1).  Membagi isi ke dalam unit. Terdiri dari dua langkah yaitu :

  1. a) Mengkategorikan isi menjadi enam tipe informasi utama yaitu: konsep, proses, prosedur, prinsip, fakta dan system
  2. b) Mengatur informasi berdasarkan tugas pekerjaan.

2).  Memetakan informasi. Terdiri dari dua langkah yaitu:

  1. a) Membuat sebuah garis besar pelajaran. Contohnya: judul pelajaran, tujuan pembelajaran, rentang waktu pembelajaran, strategi pembelajaran dan presentasi, dsb.
  2. b) Membuat sebuah flowchart atau peta pembelajaran.

3).  Memilih SCORM. Terdiri dari tiga langkah yaitu:

  1. a) Menanyakan kepada vendor definisi kegunaan content object.
  2. b) Menanyakan LMS yang mana yang telah berhasil dijalankan oleh vendor.
  3. c) Meminta daftar pelanggan vendor.

Salah satu contoh ketika mendisain multimedia web atau e-lerning, maka perlu diperhatikan:

1)      Tampilan.

Tampilan dalam mendisain harus menarik secara visual tetapi tidak mengganggu konten yang dimuat dalam multimedia

2)      Interaksi.

Pengguna (user) dilibatkan untuk berinteraksi dengan program aplikasi. Pengguna dapat memindahkan atau menggeser objek tertentu dengan menggunakan mouse.

3)      Kontrol.

Agar dapat memahami multimedia yang di desain maka perlu ada menu dipakai sebagai sajian dalam web tersebut, panel dipakai untuk memajumundurkan halaman, help untuk menolong apabila pengguna tentang tombol tertentu.

4)      Susunan.

Dalam desain wed atau e-learning perlu menyusun materi atau konten dengan baik aga para pengguna dapat memahami dan mengikuti apa yang disajikan dalam multimedia tersebut.

  1. Kontrol Konfigurasi

Pada proses kontrol konfigurasi hanya ada sebuah aktifitas yang dilakukan yaitu membuat rencana kontrol konfigurasi. Mengembangkan sebuah proses kontrol konfigurasi dalam pengembangan materi inti diperlukan untuk design, pengembangan dan peninjauan. Konfigurasi kontrol menjadi pengontrol terhadap rumusan rencana proyek yang sudah dilakukan dan sebagai quality-control process dalam multimedia itu sendiri.

Kesimpulan

Untuk menyusun atau merancang pembelajaran multimedia pendidikan perlu disusun langkah dengan menggunakan model yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dalam pendidikan. Salah satu model disain pembelajaran yang sesuai adalah Model Dick and Carey. Menurut Dick and Carey sebelum menyusun disain pembelajaran perlu dirumuskan tujuan pembelajar kemudian melakukan analisis kebutuhan dan dan mengidentifikasi kemampuan awal dari peserta, untuk selanjutnya merumuskan tujuan atau kinerja yang ingin dicapai. Dengan demikian semua yang dirancang akan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

 

Daftar Pustaka

 Dick,W.,Lou Carey & Carey, James O 9 th  Ed.(2001). The Systematic design of instruction. Longman Publisher.

Lee, William W. & Owens, Diana L. (2004). Multimedia-based instructional design. San Fransisco: Pfeiffer.

Schwier, Richard A. @ Misanchuk Earl R. (1993).  Interactive multimedia instruction. Englewood Cliff, NJ: Educational Technology Publications.

Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan

     Posted on Tue ,17/10/2017 by yani_ranius

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Martini Jumaris, M.Sc

 

A.     PENGANTAR

Pendidikan merupakan suatu yang perlu mendapat perhatian oleh seluruh bangsa di dunia ini. Maju atau mundurnya suatu negara akan dipengaruhi oleh sumber daya manusianya oleh sebab itu kualitas sumber daya manusia akan dapat membangun negaranya.

Pendidikan berlangsung sepanjang hayat yang dimulai sejak lahir dan pada hakekatnya pendidikan adalah menyediakan lingkungan bagi perkembangan anak  karena di dalam lingkungan tersebut anak dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki dengan baik.( Jamaris, 2013

Belajar adalah membangun penafsiran diri terhadap dunia nyata melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi, selanjutnya belajar merupakan proses aktif untuk membangunkan pengetahuan. Kemudian pengajaran juga suatu proses membangunkan pengetahuan dan mengkomunikasikan pengetahuan, sementara belajar terstruktur bukan merupakan suatu tugas, tetapi meminta peserta didik mempergunakan piranti secara aktual dalam situasi dunia nyata dan aktif mempelajari masalah-masalah serta berpikir reflektif.

B. PEMBAHASAN

1. Hakikat Pendidkan

    Hakikat pendidikan adalah menyediakan lingkungan yang aman bagi perkembangan anak karena di dalam lingkungan yang aman tersebut, anak dapat mengambangkan berbagai potensi yang dimilikinya. Pendidikan yang dialami anak usia dini menjadi fondasi bagi anak untuk menjadi peembelajaran sepanjang hayat. Oelh sebab itu pendidikan perlu diwarnai dengan nilai-nilai kemanusiaan, keagamaan, antusiasme, empati, kesediaan untuk menerima, kesedian untuk menolong, dan menjadikan dunia menjadi tempat yang aman dan lebih baik.

2. Psikologi Pendidikan

Psikologi itu sendiri berasal dari bahasa Inggris Psychology. Kata Psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani) yaitu :1)  Psyche yang berarti Jiwa dan 2) Logos yang berarti Ilmu. Mengingat jiwa seseorang dapat dipelajari, diselidiki adalah melalui manifestasi dari jiwa itu sendiri dalam bentuk prilaku berinteraksi dengan lingkungannya , maka dengan demikian psikologi  dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari prilaku

Pendidikan berasal dari kata “didik” lalu kata ini mendapat awalan “me” sehingga menjadi “mendidik” artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate atau pendidikan berarti perbuatan atau proses  perbuatan untuk memperoleh pengetahuan. Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses dengan metode-metode tertentu hingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya, pengertian “pendidikan” menurut kamus besar bahasa Indonesia  (2006: 196) pendidikan  merupakan  proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang  dalam usaha mendewasakan manusia melalaui upaya pengajaran dan pelatihan.

3. Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan

Secara garis besar para pakar psikologi membatasi pokok-pokok pembahasan psikologi pendidikan menjadi tiga macam:

a.    Pokok bahasan mengenai “Belajar” yang meliputi teori-teori, prinsip-prinsip, hakekat, jenis, aktivitas, teknik, karakteristik, manivestasi dan faktor-faktor belajar.

b.    Pokok bahasan mengenai “Proses Belajar” yakni  tahapan, perbuatan, dan peristiwa yang terjadi dalam kegiatan belajar peserta didik.

c.     Pokok bahasan mengenai “Situasi Belajar” yakni suasana dan keadaan lingkungan baik bersifat fisik maupun nonfisik yang berhubungan dengan kegiatan belajar peserta didik.

3. Aliran Psikologi

Dengan memahami psikologi pendidikan, para pendidik dalam melaksanakan pendidikan diharapkan dapat mempertimbangkan psikologisnya di antaranya: 

a. Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan pendidik akan dapat lebih tepat dalam menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan pembelajaran.

b. Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan pendidik dapat menentukan strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami peserta didiknya.

c. Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling tugas dan peran pendidik, disamping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing para peserta didiknya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya diharapkan pendidik dapat memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses hubungan interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.

d. Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik  yang artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didik, seperti bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya memberikan dorongan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai, tampaknya pendidik  akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator maupun motivator belajar peserta didiknya.

e. Menciptakan iklim belajar yang kondusif dengan efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Pendidik  dengan pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga peserta didik  dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.

f. Berinteraksi secara tepat dengan peserta didiknya dengan pemahaman pendidik tentang psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan peserta didik secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang menyenangkan di hadapan peserta didiknya.

g. Evaluasi pembelajaran yang adil melalui pemahaman pendidik tentang psikologi pendidikan dapat mambantu pendidik dalam mengembangkan penilaian pembelajaran peserta didik yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian,  pemenuhan prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.

4. Sebagai Subjek Pendidikan

Manusia adalah mahluk Allah yang memiliki berbagai keistimewaan, diantaranya adalah kemampuan manusia untuk berfikir, merasa dan mempertimbangkan dalam rangka memecahan dalam berbagai masalah yang berkaitang dengn keberadaan dirinya, penyesuaian diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam sehingga ia mampu mengenali dirinya dan mengendalikan lingkungan disekitarnya..

Pengembangan potensi manusia menjadi kemampuan aktual tidak lepas dari pengaruh lingkungan di mana manusia tersebut berada. Dengan demikian manuasia menjadi individu yang bermanfaat untuk dirinya sendiri dan bagi masyarakat disekitarnya.

5. Mutu Pendidikan

Strategi yang perlu dilakukan dalam kegiatan peningkatan mutu pendidikan antara lain:

1.   Pendidikan dan pelatihan (off the job training). Pelatihan secara individual maupun dalam kelompok untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan terbaik dengan menghentikan kegiatan mengajarnya. Kegiatan pelatihan seperti akan memiliki keunggulan karena akan lebih terkonsentrasi dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

2.   Pelaksanaan tugas atau on the job training. Model ini dikenal dengan istilah magang. Pemagangan dapat dilakukan pada ruang lingkup lokal atau pada tempat lain yang memiliki mutu yang lebih baik.

3.   Lesson Studi. Kegiatan ini pada prinsipnya merupakan bentuk kolaborasi pendidik dalam memperbaiki kinerja mengajarnya dengan berkonsentrasi pada studi tentang dampak positif guru terhadap  kinerja belajar siswa dalam kelas.

4.   Penilitian Tindakan Kelas (PTK). Kegiatan  ini dilakukan pendidik dalam kelas dalam proses pembelajaran. PTK dapat dilakukan sendiri dalam pelaksanan tugas, melakukan penilaian  proses maupun hasil untuk mendapatkan data mengenai prestasi maupun kendala yang siswa hadapi serta menentukan solusi perbaikan. Karena perlu ada solusi perbaikan, maka PTK sebaiknya dilakukan melalui beberapa putaran atau siklus sampai guru mencapai prestasi kinerja yang diharapkannya. Penelitian tindakan kelas ini merupakan salah satu sarana bagi pendidik untuk pengembangan profesi secara berkelanjutan.

C. SIMPULAN                                          

Pelaksanaan pendidikan. Idealnya, pendidik yang efektif tidak membatasi diri hanya pada evaluasi yang formal dan terencana tapi secara berkelanjutan mengobservasi para anak didiknya dalam beragam konteks untuk mengumpulkan informasi mengenai pikiran, keyakinan, perasaan, dan hasil belajar.

Pendidkan merupakan tantangan bagi pendidik untuk bisa mengambil keputusan. Seorang pendidik mungkin harus berpegang kuat pada pedoman pengajaran dan ketika seorang pendidik menjadi semakin berpengalaman, akhirnya akan mampu membuat keputusan-keputusan mengenai berbagai situasi dan masalah rutin secara cepat dan efesien serta akan memiliki banyak waktu dan tenaga untuk berpikir kreatif dan fleksibel mengenai cara-cara terbaik untuk mengajar.

  

DAFTAR PUSTAKA

 Jamaris, Martini, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, cet.ke-1, Bogor: Ghalia Indonesia, 2013.

Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Tati Nurhayati, Pembelajaran Psikologi Pendidikan

Tilaar. H.A.R, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, cet.ke-3, Jakarta: Rineka Cipta,  2010.

IMPLEMENTASI MOBILE LEARNING DALAM PEMBELAJARAN, PELUANG DAN TANTANGANNYA

     Posted on Tue ,17/10/2017 by yani_ranius

Dosen Pengampu :

Dr. SUYITNO, M.Pd.

 

Oleh :

A Yani Ranius

Widyat Nurcahyo

BAB I. PENDAHULUAN

 A.   Latar Belakang

Era digital yang kita alami saat ini menuntut berbagai perubahan dalam berbagai segi kehidupan, baik secara individu, keluarga, kelompok masyarakat, negara, bahkan seluruh umat manusia. Lingkungan yang ‘cerdas’ menuntut manusia untuk merubah pola pikirnya, cara berpikir tentang permasalahan, cara menyerap informasi, cara mengantisipasi konsekuensi tindakan, bahkan mungkin harus merubah cara kerja otak.[1] Untuk dapat berhasil di abad ke-21, semua orang harus memiliki standar dan tingkat penguasaan keahlian yang tinggi. Orang juga perlu mendapatkan keterampilan kognitif dan sosial yang memungkinkan mereka menghadapi tantangan kompleks.[2]

Sementara itu, dengan perkembangan teknologi perangkat komunikasi dan peningkatan keandalan jaringan wireless broadband yang begitu pesat, perangkat mobile  saat ini dapat digunakan untuk mengirimkan teks, suara, video dan gambar animasi di manapun dan kapan saja. Berdasarkan laporan dari [We Are Social:2017] jumlah pengguna mobile  pada Januari 2017 adalah sebanyak 4.917 milyar, atau 66% dari penduduk dunia, meningkat sekitar 5% sejak Februari 2016, dengan perkembangan terbesar di Asia Pasific. Sementara jumlah pengguna mobile  internet aktif sebesar 3.448 milyar[3]

Kedua perubahan ini memungkinkan timbulnya mekanisme baru dalam training dan pembelajaran, yang disebut mobile  learning (m-learning). Mobile  learning merupakan model pembelajaran yang dilakukan berdasarkan jarak dan tempat atau lingkungan dengan dukungan teknologi yang dapat memudahkan pada saat pembelajar melalui fasilitas berbasis mobile /ponsel. Dengan dukungan dan fitur-fitur yang dimiliki, Mobile  learning diharapkan akan dapat menjadi alternatif belajar yang efisiensi dan efektifitas pada proses dan hasil belajar peserta didik.

Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di dalam dunia pendidikan terus berkembang. Berbagai strategi dan pola, yang pada dasarnya dikelompokan ke dalam bentuk sistem e-learning adalah pembelajaran dengan memanfaatkan perangkat elektronik dan media digital. Mobile  learning (m-learning) juga sebagai bentuk pembelajaran yang memanfaatkan perangkat dan teknologi komunikasi bergerak. Pemanfaatan ini merupakan penetrasi perangkat bergerak yang sangat tinggi, tingkat penggunaan yang relatif mudah, dan harga perangkat yang semakin terjangkau, dibanding perangkat komputer personal. Faktor utama sebagai pendorong yang semakin memperluas kesempatan penggunaan atau penerapan mobile  learning menjadikan sebuah kecenderungan baru dalam belajar, dan membentuk paradigma pembelajaran tidak terbatas waktu dan tempat.

Pada konsep pembelajaran mobile  learning membawa manfaat ketersediaan materi ajar yang dapat diakses setiap saat dan visualisasi materi yang menarik. Istilah m-learning atau mobile  learning merujuk pada penggunaan perangkat genggam seperti PDA, ponsel, laptop dan perangkat teknologi informasi yang akan banyak digunakan dalam belajar mengajar. Hal ini memfokuskan pada perangkat handphone (telepon genggam). Tujuan dari pengembangan mobile  learning sendiri dapat diartikan proses belajar sepanjang waktu (long life learning), siswa/mahasiswa dapat lebih aktif dalam proses pembelajaran. Apabila diterapkan dalam proses belajar maka mahasiswa tidak perlu harus hadir di kelas hanya untuk mengumpulkan tugas. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan tugas melalui aplikasi pada mobile  phone, yang secara tidak langsung akan meningkatkan kualitas proses belajar dan menghemat waktu.

Proses yang demikian dapat dilakukan jika memiliki fasilitas yaitu : a) kegiatan pembelajaran dilakukan dengan pemanfaatan jaringan internet (jaringan dapat saja dengan LAN atau WAN); b) tersedianya fasilitas mobile  learning yang merupakan layanan belajar yang akan gunakan oleh peserta belajar, misalnya ponsel/HP, atau bahan cetak; dan c) tersedianya dukungan layanan tutor untuk membantu peserta belajar bila mengalami kesulitan.

Mobile  learning sebagai media penyampaian, harus disadari bahwa Mobile  learning bukanlah faktor tunggal yang menentukan kualitas pembelajaran. Dukungan teknologi juga dapat menentukan agar dapat melakukan interaksi antar pengajar dan pelajar, dan melaksanakan proses belajar langsung kepada pelajar (student oriented). Pelaksanaannya dilakukan tidak hanya dukungan teknologi saja akan tetapi bergantung dari pendekatan pembelajaran yang digunkan oleh pengajar di dalam kelas. Cara pembelajaran seperti ini dapat dimaknai sebagai suatu penerapan teknologi informasi dan lingkungan sebagai fasilitas sistem pembelajar/siswa. Kondisi yang dimaksud bukan hanya tempat belajar, melainkan metode, media dan teknologi yang digunakan untuk menyampaikan informasi dan memandu studi pembelajar.

B.   Identifikasi Masalah

Meskipun orang telah belajar sambil bergerak selama ribuan tahun, apa yang kita maksud dengan “mobile  learning” adalah kemampuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain saat menggunakan perangkat mobile  untuk menerima dan berkontribusi pada berbagai sumber informasi digital.[4]

Sebagai masyarakat, kita telah menjadi lebih mobile , baik sebagai individu maupun kelompok. Kita adalah kaum nomad modern, beraktivitas sambil bergerak, tapi tetap terhubung dengan teman, keluarga, tempat kerja, dan berbagai sumber informasi. Perubahan ini menuntut kemampuan untuk bergerak sambil tetap terhubung, dan berdampak pada tempat dan waktu untuk belajar. Teknologi yang ada memungkinkan belajar di luar tempat statis yang dirancang khusus untuk pembelajaran, seperti ruang kelas dan laboratorium, serta membuat informasi untuk belajar tersedia kapanpun dibutuhkan.

Saat perangkat mobile  dan teknologi jaringan yang mendukungnya semakin kuat, dinamis, dan terjangkau, maka mobilitas menjadi isu sentral dalam pendidikan dan pembelajaran. ICT dalam pendidikan sejak lama telah membuat konsep teknologi yang digunakan dalam dua tempat terpisah, di sekolah dan di rumah. Namun dikotomi ini telah berubah dan tidak menggambarkan penggunaan teknologi mobile  saat ini. Sekarang orang hampir seluruhnya selalu membawa ICT, baik di rumah, sekolah, tempat kerja, kendaraan, bahkan di tempat tidur. Pengunaan teknologi tidak lagi dibatasi oleh tempat.

Karena perangkat mobile  telah ada dimana-mana, maka kesempatan pendidikan lebih bergantung pada konektivitas daripada perangkat keras. Prasyarat utama dalam pembelajaran mobile  adalah koneksi data ke internet yang cepat dan terpercaya. UNESCO telah merekomendasikan agar pemerintah bekerja sama dengan industri terkait untuk membangun dan menambah infrastruktur teknologi yang memberi kekuatan pada perangkat mobile  dan pembelajaran mobile . Yang juga penting adalah pemerintah harus mencari strategi untuk menyediakan akses yang sama terhadap konektivitas seluler, serta perangkat keras. Seorang siswa yang tidak dapat menggunakan jaringan seluler secara fungsional, tidak dapat memanfaatkan proses pembelajaran baru ini, walaupun telah memiliki perangkat fisik. Di seluruh dunia, teknologi dalam program pendidikan telah jauh bergeser dari ketergantungan pada teknologi fixed line dan menggabungkan teknologi seluler yang lebih baru, lebih murah, umumnya dalam bentuk tablet atau komputer laptop kompak. Pergeseran ini penting: teknologi mobile  yang dipelajari dari sekolah, memperluas kesempatan untuk belajar informal, dan membantu menjembatani pengalaman dalam dan luar sekolah.

Walaupun kesempatan terbuka sangat luas, proyek pembelajaran mobile  hanya terjadi di kantong-kantong kecil di dunia, program berskala besar yang menikmati dukungan pemerintah jarang sekali terjadi. Untungnya, ada beberapa pengecualian. Pemerintah Thailand, Uruguay, Rwanda, sebagai contoh, telah meluncurkan inisiatif yang berupaya memanfaatkan teknologi mobile  untuk mempercepat kemajuan pendidikan bagi warga negaranya. Inisiatif tersebut mendorong batas-batas teknologi di bidang pendidikan ke depan dan mengubah model pendidikan yang telah puluhan tahun dilakukan.[5]

Teknologi mobile  telah merubah secara permanen berbagai bidang seperti politik, bisnis, kedokteran dan lainnya, namun belum memiliki dampak besar pada pendidikan. Tantangan pada dekade berikutnya adalah memperluas dan memperbaiki jaringan yang memberi kekuatan dan kekuatan belajar mobile . Selain itu, dibutuhkan perubahan paradigma pembelajaran secara fundamental untuk memanfaatkan teknologi mobile .

C.   Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi permasalahan diatas, pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada implementasi m-learning, masalah dalam implementasi dan perkembangan m-learning ke depan.

D.   Rumusan Masalah

  1. Bagaimana implementasi m-learning saat ini?
  2. Apa saja masalah implementasi m-learning yang terjadi?
  3. Bagaimana peluang perkembangan m-learning di masa depan?

E.    Tujuan Penulisan

  1. Memberi gambaran implementasi m-learning dalam pembelajaran
  2. Memberi gambaran masalah yang terjadi dalam implementasi m-learning
  3. Memberi gambaran peluang perkembangan m-learning di masa depan

Bab II. Kajian Pustaka

A.   Media Pembelajaran

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses belajar mengajar.  Para pengajar dituntut agar mau dan mampu menggunakannya apalagi telah disediakan oleh sekolah, dan mungkin saja alat-alat tersebut telah menyesuaikan perkembangan dan tuntutan teknologi.

Disamping mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, pengajar juga dapat mengembangkan alat-alat yang tersedia untuk dapat membuat media pengajaran yang digunakannya untuk dikembangkan lagi dengan inovasi yang terbaru. Dengan demikian pengajar harus memiliki pengetahuan tambahan tentang media pengajaran dan harus memahaminya diantaranya (Hamalik, 1994 : 6)

  1. Media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar mengajar;
  2. Fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan;
  3. Seluk-beluk proses belajar;
  4. Hubungan antara metode mengajar dan media pendidikan;
  5. Nilai atau manfaat media pendidikan dalam pengajaran;
  6. Pemilihan dan penggunaan media pendidikan
  7. Berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan;
  8. Media pendidikan dalam setiap mata pelajaran;
  9. Usaha inovasi dalam media pendidikan.

Dengan demikian, dapat diyakinkan bahwa media adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada khususnya.

Media pengajaran digunakan dalam rangka upaya peningkatan atau mempertinggi mutu proses kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu harus diperhatikan prinsip-prinsip penggunaanya antara lain:

  1. Penggunaan media pengajaran hendaknya dipandang sebagai bagian integral dari suatu sistem pengajaran dan bukan hanya sebagai alat bantu yang berfungsi sebagai tambahan yang digunakan bila dianggap perlu dan hanya dimanfaatkan sewaktu-waktu.
  2. Media pengajaran hendaknya dipandang sebagai sumber belajar yang digunakan dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses belajar-mengajar.
  3. Guru hendaknya benar-benar menguasai teknik-teknik dari suatu media pengajaran yang digunakan.
  4. Guru seharusnya memperhitungkan untung ruginya pemanfaatan suatu media pengajaran.
  5. Penggunaan media pengajaran harus diorganisir secara sistematis bukan sembarang mengunakannya.
  6. Jika sekiranya suatu pokok bahasan memerlukan lebih dari macam media, maka guru dapat memanfaatkan multi media yang menguntungkan dan memperlancar proses belajar-mengajar dan juga dapat merangsang siswa dalam belajar.

Beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam pemanfaatan media pengajaran, yakni:

  1. Media pengajaran yang digunakan harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
  2. Media pengajaran tersebut merupakan media yang dapat dilihat atau didengar.
  3. Media pengajaran yang digunakan dapat merespon siswa belajar.
  4. Media pengajaran juga harus sesuai denga kondisi individu siswa.
  5. Media pengajaran tersebut merupakan perantara (medium) dalam proses pembelajaran siswa.

Penggunaan media pengajaran seharusnya mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:

  1. Guru harus berusaha dapat memperagakan atau merupakan model dari suatu pesan (isi pelajaran) disampaikan.
  2. Jika objek yang akan diperagakan tidak mungkin dibawa ke dalam kelas, maka kelaslah yang diajak ke lokasi objek tersebut.
  3. Jika kelas tidak memungkinkan dibawa ke lokasi objek tersebut, usahakan model atau tiruannya.
  4. Bilamana model atau maket juga tidak didapatkan, usahakan gambar atau foto-foto dari objek yang berkenaan dengan materi (pesan) pelajaran tersebut.
  5. Jika gambar atau foto juga tidak didapatkan, maka guru berusaha membuat sendiri media sederhana yang dapat menarik perhatian belajar siswa.
  6. Bilamana media sederhana tidak dapat dibuat oleh guru, gunakan papan tulis untuk mengilustrasikan objek atau pesan tersebut melalui gambar sederhana dengan garis lingkaran

Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang sangat penting adalah metode mengajar dan media pengajaran.  Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan salah satu metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media pengajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media, antara lain tujuan pengajaran, jenis tugas dan respon yang diharapkan siswa kuasai setelah pengajaran berlangsung, dan konteks pembelajaran termasuk karakteristik siswa.  Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi utama media pengajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru.

Media pembelajaran selalu terdiri atas dua unsur penting, yaitu unsur peralatan atau perangkat keras (hardware) dan unsur pesan yang dibawanya (message/software). Beberapa pakar dan organisasi juga telah memberikan batasan mengenai pengertian media, beberapa diantaranya mengemukakan bahwa media adalah :

  1. Teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Jadi media adalah perluasan dari guru (Schram, 1977)
  2. Sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun audio visual, termasuk teknologi perangkat kerasnya (NEA, 1969)
  3. Alat untuk memberikan perangsang bagi siswa supaya terjadi proses belajar (Briggs, 1970)
  4. Segala bentuk dan saluran yang dipergunakan untuk proses penyaluran pesan (AECT, 1977)
  5. Berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar (Gagne, 1970)
  6. Segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa untuk belajar (Miarso, 1989)

Dari berbagai pendapat diartikan bahwa (a) media pembelajaran merupakan wadah dari pesan, (b) materi yang ingin disampaikan adalah pesan pembelajaran, (c) tujuan yang ingin dicapai ialah proses pembelajaran.

Hamalik (1986) mengemukakan bahwa pemakaian media pengajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.

Secara umum, manfaat media dalam proses pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga pembelajaran akan lebih efektif dan efisien.  Tetapi secara lebh khusus ada beberapa manfaat media yang lebih rinci Kemp dan Dayton (1985) misalnya, mengidentifikasi beberapa manfaat media dalam pembelajaran yaitu :

  1. Penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan
  2. Proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik
  3. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif
  4. Efisiensi dalam waktu dan tenaga
  5. Meningkatkan kualitas hasil belajar siswa
  6. Media memungkinkan proses belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja
  7. Media dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap materi dan proses belajar
  8. Merubah peran guru ke arah yang lebih positif dan produktif.

Selain beberapa manfaat media seperti yang dikemukakan oleh Kemp dan Dayton tersebut, tentu saja kita masih dapat menemukan banyak manfaat-manfaat praktis yang lain.  Manfaat praktis media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar sebagai berikut :

  1. Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar
  2. Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya
  3. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang dan waktu

Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat, dan lingkungannya misalnya melalui karya wisata.

Dalam usaha memanfaatkan media sebagai alat bantu, Edgar Dale membuat klasifikasi menurut tingkat dari yang paling konkrit sampai yang paling abstrak.

Gambar.2.1. Kerucut Pengalaman – Edgar Dale

 

Klasifikasi tersebut kemudian dikenal dengan nama “kerucut pengalaman” dari Edgar Dale dan pada saat itu dianut secara luas dalam menentukan alat bantu yang paling sesuai untuk pengalaman belajar.

Dari kerucut pengalaman tersebut tergambar bahwa pengetahuan siswa akan semakin abstrak apabila pesan hanya disampaikan melalui kata verbal. Hal ini memungkinkan terjadinya verbalisme, dimana siswa hanya mengetahui tentang kata tanpa memahami dan mengerti makna yang terkandung didalamnya.

Menurut Heinich, media merupakan alat saluran komunikasi. Media berasal dari bahasa latin yang berarti perantara yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan penerima pesan (a receiver).  Heinich mencontohkan media ini seperti film, televisi, diagram, bahan tercetak (printed materials), komputer, dan instruktur. Contoh media tersebut dapat dipertimbangkan sebagai media pembelajaran jika membawa pesan-pesan (messages) dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.

Beberapa pengertian media pembelajaran sebagai berikut :

  1. Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau keterampilan belajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar.
  2. Sedangkan menurut Briggs (1977), media pembelajaran adalah fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti buku, film, video, dan sebagainya.
  3. Penjelasan dalam Nasional Education (1969) media pembelajatan adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras.
  4. Media pembelajaran merupakan proses komunikasi yang berlangsung dan dilakukan dalam suatu system, maka media pembelajaran sangat penting sebagai bagian dari komponen system pembelajaran. Tidak adanya media komunikasi maka tidak akan terjadi proses pembelajaran dan dengan proses komunikasi yang kurang baik juga tidak akan berlangsung secara optimal.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik

Secara umum media mempunyai kegunaan :

  1. memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis,
  2. mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga dan daya indera,
  3. menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar,
  4. memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori yang akan memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman & menimbulkan persepsi yang sama.

Secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai berikut:

  1. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).
  2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, seperti misalnya:
  3. Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik. Dalam hal ini media pendidikan berguna untuk:
  4. Konsep yang terlalu luas (gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-lain) dapat di visualkan dalam bentuk film, film bingkai, gambar, dan lain-lain.
  5. Objek yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat disajikan dengan model, diagram, dan lain-lain, dan
  6. Kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman film, video, film bingkai, foto maupun secara verbal;
  7. Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat, dapat dibantu dengan timelapse atau high-speed photography;
  8. Objek yang kecil-dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai, film, atau gambar;
  9. Objek yang terlalu besar, bisa digantikan dengan realita, gambar, film bingkai, film, atau model;
  • Menimbulkan kegairahan belajar
  • Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan;
  • Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.

Dale (1969:180) mengemukakan bahwa bahan-bahan audio-visual dapat memberikan banyak manfaat asalkan guru berperan aktif dalam proses pembelajaran. Hubungan guru-siswa tetap merupakan elemen paling penting dalam system pendidikan modern saat ini. Guru harus selalu hadir untuk menyajikan materi pelajaran dengan bantuan media apa saja agar manfaat berikut ini dapat terealisasi:

  1. Meningkatkan rasa saling pengertian dan simpati dalam kelas;
  2. Membuahkan perubahan signifikan tingkah lalu siswa;
  3. Menunjukkan hubungan antar mata pelajaran dan kebutuhan dan minta siswa dengan meningkatnya motivasi belajar siswa;
  4. Membawa kesegaran dan variasi bagi pengalaman belajar siswa;
  5. Membuat hasil belajar lebih bermakna bagi berbagai kemampuan siswa;
  6. Mendorong pemanfaatan yang bermakna dari mata pelajaran dengan jalan melibatkan imajinasi dan partisipasi aktif yang mengakibatkan meningkatnya hasil belajar;
  7. Memberikan umpan balik yang diperlukan yang dapat membantu siswa menemukan seberapa banyak telah mereka pelajar;
  8. Melengkapi pengalaman yang kaya dengan pengalaman itu konsep-konsep yang berkala dapat kembangkan;
  9. Memperluas wawasan dan pengalaman siswa yang mencerminkan pembelajaran nonverbalistik dan membuat generalisasi yang tepat;
  10. Meyakinkan diri bahwa urutan dan kejelasan pikiran yang siswa butuhkan jika mereka membangun struktur konsep dan system gagasan yang bermakna.

Sudjana dan Rivai (1992;2) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu:

  1. Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar;
  2. Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran;
  3. Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap jam pelajaran;
  4. Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, memerankan, dan lain-lain.

Encyclopedei of Educational Research dalam Hamalik (1994:15) merincikan manfaat media pendidikan sebagai berikut:

  1. Meletakkan dasar-dasar yang konkret untuk berpikir, oleh karena itu mengurangi verbalisme.
  2. Memperbesar perhatian siswa.
  3. Meletakkan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar, oleh karena itu membuat pelajaran lebih mantap.
  4. Memberikan pengalaman nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri dikalangan siswa.
  5. Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinyu, terutama melalui gambar hidup.
  6. Membantu tubuhnya pengertian yang dapat membantu perkembangan kemampuan berbahasa.
  7. Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain, dan membantu efisiensi dan keragaman yang lebih baik

Istilah media mula-mula dikenal dengan alat peraga, kemudian dikenal dengan istilah audio visual aids (alat bantu pandang/dengar). Selanjutnya disebut instructional materials (materi pembelajaran), dan kini istilah yang lazim digunakan dalam dunia pendidikan nasional adalah instructional media (media pendidikan atau media pembelajaran). Dalam perkembangannya, sekarang muncul istilah e-learning. Huruf “e” merupakan singkatan dari “elektronik”. Artinya media pembelajaran berupa alat elektronik, meliputi CD Multimedia Interaktif sebagai bahan ajar offline dan Web sebagai bahan ajar online.

Media pembelajaran, menurut Kemp & Dayton (1985:28), dapat memenuhi tiga fungsi utama apabila media itu digunakan untuk perorangan, kelompok, atau kelompok pendengar yang besar jumlahnya, yaitu :

  1. Memotivasi minat atau tindakan,
  2. Menyajikan informasi,
  3. Memberi instruksi.

Levie & Lents (1982) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu:

  1. Fungsi atensi,
  2. Fungsi afektif,
  3. Fungsi kognitif,
  4. Fungsi kompensatoris.
  5. a) Fungsi Atensi

Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Seringkali pada awal pelajaran siswa tidak tertarik dengan materi pelajaran atau mata pelajaran itu merupakan salah satu pelajaran yang tidak disenangi oleh mereka sehingga mereka tidak memperhatikan. Media gambar khususnya gambar yang diproyeksikan melalui overhead projector dapat menenangkan dan mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka terima. Dengan demikian, kemungkinan untuk memperoleh dan mengingat isi pelajaran semakin besar.

  1. b) Fungsi Afektif

Media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi yang menyangkut masalah social atau ras.

  1. c) Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaiaan tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.

  1. d) Fungsi Kompensatoris

Fungsi kompensatoris media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pembelajaran berfungsi untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.

Sebagai informasi, media pembelajaran dapat digunakan dalam rangka penyajian informasi dihadapan sekelompok siswa. Isi dan bentuk penyajian bersifat amat umum, berfungsi sebagai pengantar, ringkasan laporan, atau pengetahuan latar belakang. Penyajian dapat pula berbentuk hiburan, drama, atau teknik motivasi. Ketika mendengar atau menonton bahan informasi, para siswa bersifat pasif. Partisipasi yang diharapkan dari siswa hanya terbatas pada persetujuan atau ketidak setujuan mereka secara mental, atau terbatas pada perasaan tidak/kurang senang, netral, atau senang.

Pada pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan media sebagai alat bantu diperlukan juga kreativitas dari sang pengajar dalam hal penyampaian materi yang dipelajari. Selain dengan kelengkapan media juga harus didukung oleh kreatinya pengajar agar pada saat penyampaian siswa akan memiliki rasa menerima dari apa yang disampaikan. Menyimak pendapat Jumaris, (2013), Kreatifitas merupakan aktivitas mental karena berkaitan dengan pemahaman manusia terhadap lingkungannya secara terus-menerus dengan penuh ketekunan dan kesabaran yang menghasikan berbagai ide,  temuan, cara-cara baru, dan berbagai tindakan yang merupakan terobosan bagi suatu perubahan yang sangat bernilai dan bermakna bagi manusia dalam mengembangkan, mengatur, dan mengendalikan lingkungannya sehingga memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.

Beberapa pendapat yang menjelaskan tentang perkembangan media pembelajaran

  1. Schramm: “media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan (informasi) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.”
  2. Gerlach & Ely: “media pembelajaran memiliki cakupan yang sangat luas, yaitu termasuk manusia, materi atau kajian yang membangun suatu kondisi  yang membuat peserta didik mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Media pembelajaran mencakup semua sumber yang diperlukan untuk melakukan komunikasi dalam pembelajaran, sehingga bentuknya bisa berupa perangkat keras (hardware), seperti computer, TV, projector, dan perangkat lunak (software) yang digunakan pada perangkat keras itu.
  3. Oemar Hamalik (1994): “Mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan media pendidikan adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah
  4. Arief S. Sadiman, dkk (2007) mengemukakan bahwa kata media berasal dari bahasa Latin yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.
  5. Latuheru (1988:14), menyatakan bahwa media pembelajaran adalah bahan, alat, atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukasi antara guru dan siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdaya guna. Berdasarkan definisi tersebut, media pembelajaran memiliki manfaat yang besar dalam memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran.

Sistem adalah suatu totalitas yang terdiri dari sejumlah komponen atau bagian yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Pembelajaran dikatakan sebagai sistem karena didalamnya mengandung komponen yang saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Komponen-komponen tersebut meliputi : tujuan, materi, metoda, media dan evaluasi.

Sumber : http://aldin.staf.upi.edu/2013/09/16/media-pembelajaran/

Gambar Kedudukan media dalam pembelajaran

Media pengajaran digunakan dalam rangka upaya peningkatan atau mempertinggi mutu proses kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu harus diperhatikan prinsip-prinsip penggunaanya antara lain:

  1. Penggunaan media pengajaran hendaknya dipandang sebagai bagian integral dari suatu sistem pengajaran dan bukan hanya sebagai alat bantu yang berfungsi sebagai tambahan yang digunakan bila dianggap perlu dan hanya dimanfaatkan sewaktu-waktu.
  2. Media pengajaran hendaknya dipandang sebagai sumber belajar yang digunakan dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses belajar-mengajar.
  3. Guru hendaknya benar-benar menguasai teknik-teknik dari suatu media pengajaran yang digunakan.
  4. Guru seharusnya memperhitungkan untung ruginya pemanfaatan suatu media pengajaran.
  5. Penggunaan media pengajaran harus diorganisir secara sistematis bukan sembarang mengunakannya.
  6. Jika sekiranya suatu pokok bahasan memerlukan lebih dari macam media, maka guru dapat memanfaatkan multi media yang menguntungkan dan memperlancar proses belajar-mengajar dan juga dapat merangsang siswa dalam belajar.

Beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam pemanfaatan media pengajaran dalam PBM, yakni:

  1. Media pengajaran yang digunakan harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
  2. Media pengajaran tersebut merupakan media yang dapat dilihat atau didengar.
  3. Media pengajaran yang digunakan dapat merespon siswa belajar.
  4. Media pengajaran juga harus sesuai denga kondisi individu siswa.
  5. Media pengajaran tersebut merupakan perantara (medium) dalam proses pembelajaran siswa.

Penggunaan media pengajaran seharusnya mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:

  1. Guru harus berusaha dapat memperagakan atau merupakan model dari suatu pesan (isi pelajaran) disampaikan.
  2. Jika objek yang akan diperagakan tidak mungkin dibawa ke dalam kelas, maka kelaslah yang diajak ke lokasi objek tersebut.
  3. Jika kelas tidak memungkinkan dibawa ke lokasi objek tersebut, usahakan model atau tiruannya.
  4. Bilamana model atau maket juga tidak didapatkan, usahakan gambar atau foto-foto dari objek yang berkenaan dengan materi (pesan) pelajaran tersebut.

Jika gambar atau foto juga tidak didapatkan, maka guru berusaha membuat sendiri media sederhana yang dapat menarik perhatian belajar siswa.

Media Pembelajaran banyak sekali jenis dan macamnya.  Mulai yang paling kecil sederhana dan murah hingga media yang canggih dan mahal harganya.  Beberapa media yang paling sering dan hampir semua sekolah memanfaatkan adalah media cetak (buku),  selain itu banyak juga yang telah dimanfaatkan jenis media lain gambar, model, dan Overhead Projector (OHP) dan obyek-obyek nyata.  Sedangkan media lain seperti kaset audio, video, VCD, slide (film bingkai), program pembelajaran komputer masih jarang digunakan meskipun sebenarnya sudah tidak asing lagi.

Anderson (1976) mengelompokkan media menjadi 10 golongan sbb :

No Golongan Media Contoh dalam Pembelajaran
I Audio Kaset audio, siaran radio, CD, telepon
II Cetak Buku pelajaran, modul, brosur, leaflet, gambar
III Audio-cetak Kaset audio yang dilengkapi bahan tertulis
IV Proyeksi visual diam Overhead transparansi (OHT), Film bingkai (slide)
V Proyeksi Audio visual diam Film bingkai (slide) bersuara
VI Visual gerak Film bisu
VII Audio Visual gerak, film gerak bersuara, video/VCD, televisi
VIII Obyek fisik Benda nyata, model, specimen
IX Manusia dan lingkungan Guru, Pustakawan, Laboran
X Komputer CAI (Pembelajaran berbantuan komputer), CBI (Pembelajaran berbasis komputer).

 

B.   Konsep Mobile  learning

Mobile  learning didefinisikan oleh Clark Quinn (Quinn 2000) sebagai : “The intersection of mobile  computing and e-learning : accessible resources wherever you are, strong search capabilities, rich interaction, powerful support for effective learning, and performance- based assessment. E-learning independent of location in time or space”. Dari definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa mobile  learning merupakan model pembelajaran yang memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Makalah oleh Ogata dan Yano (2004) membahas konsep belajar dengan bantuan komputer (computer assisted learning), pembelajaran bergerak (mobile  learning), pembelajaran yang meluas (pervasive learning) dan pembelajaran di mana-mana (ubiquitous learning). Mereka berpendapat bahwa perbedaan mendasar antara belajar mobile  dan pembelajaran dibantu komputer desktop adalah bahwa pembelajaran mobile  secara mendasar adalah tentang meningkatkan kemungkinan pelajar untuk bergerak dan membawa lingkungan belajar bersama mereka.[6]

Sariola dkk. (2001) membahas konsep m-learning dari perspektif teori pendidikan. Definisi berbasis teknologi jelas tidak memadai, dan mereka juga mencoba memasukkan aspek teknologi. Mereka mengenalkan karakteristik ‘portabilitas’, yaitu peralatannya sangat ringan sehingga kita bisa membawa-bawa perangkat tersebut,  ‘wireless’, tidak menggunakan kabel pada peralatan, dan ‘mobilitas’, kita bergerak saat menggunakan teknologinya.

Mereka mengklaim bahwa mobilitas adalah karakteristik yang paling menarik dari sudut pandang pendidikan. Mengenai mobilitas, mereka mengajukan pertanyaan tentang ‘siapa’ yang bergerak, ‘mengapa’ dan ‘dimana’. Jika bergerak tidak berhubungan dengan aktivitas belajar, alasan seseorang bergerak mungkin tidak relevan dari sudut pandang pendidikan. Namun, tantangan institusi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan belajar bagi orang-orang yang bergerak (dan kita dapat menambahkan untuk mendukung guru yang terus bergerak sambil melanjutkan tugas mereka). Sariola dkk. (ibid.) mencatat bahwa melakukan aktivitas pendidikan sambil bergerak, juga berhubungan dengan aktivitas lain, misalnya kebijakan atau pengelolaan waktu rasional, perpindahan ke tempat yang relevan dengan subjek yang dipelajari, dan lain-lain.[8]

Pembelajaran mobile  learning mampu menjadikan handphone yang awalnya hanya untuk sms, telpon, atau internet menjadi alat belajar lengkap yang berisi pelajaran  yang terdiri dari materi, soal, contoh soal, dan try out dan dilengkapi berbagai fitur seperti search, jump to dan back. Mobile  learning merupakan model pembelajaran alternatif yang memiliki karakteristik yang unik yaitu tidak tergantung tempat dan waktu. Dengan HP konten pembelajaran dapat dikemas dalam bentuk yang lebih menyenangkan dan menantang. Mobile  learning dikembangkan dengan format multimedia yang menyajikan teks, gambar, audio, dan animasi. Konsep-konsep yang bersifat abstrak dalam pelajaran Fisika dapat divisualikasikan dengan bantuan simulasi dan diaplikasikan dalam HP. Konsep pembelajaran mobile  learning diharapkan dapat mendorong terwujudnya pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, gembira dan berbobot (PAIKEM GEMBROT). Potensi dan prospek pengembangan mobile  learning ke depan sangat terbuka lebar mengingat kecenderungan masyarakat yang semakin dinamis dan mobile  serta tuntutan kebutuhan pendidikan yang berkualitas dan beragam.

Taxler, J. (2009)[9] memandang bahwa definisi mobile  learning tidak hanya menambahkan keterangan ‘mobile ’ kepada kata ‘learning’, tetapi ‘mobile  learning’ merupakan konsep yang sama sekali baru dan berbeda. Perangkat mobile  tidak hanya menciptakan bentuk pengetahuan baru dan cara baru untuk mengaksesnya, namun juga menciptakan bentuk baru dari seni, penampilan, perdagangan dan aktifitas ekonomi, serta cara baru untuk mengaksesnya. Jadi, mobile  learning bukan tentang “mobile ” seperti yang telah dipahami sebelumnya, atau tentang “belajar” seperti yang dipahami sebelumnya, namun merupakan bagian dari konsepsi baru tentang mobile  di masyarakat. Pembelajaran yang semula hanya bisa dilakukan secara “just-in-case”, sekarang dapat dilakukan secara “just-in-time”, “just-enough”, dan “just-for-me”. Menemukan informasi daripada memilikinya atau mengetahuinya menjadi ciri khas pembelajaran mobile , dan ini mungkin akan membawa pembelajaran kembali ke masyarakat. Dengan demikian, mobile  learning secara khusus dapat ditempatkan sebagai pendukung pembelajaran yang personalized, authentic, dan situated.

Yang dimaksud dengan personalized learning adalah pembelajaran yang mengenali keragaman, perbedaan, dan individualitas. Personalized Learning yang didefinisikan dengan cara ini termasuk pembelajaran yang mengenali gaya dan pendekatan pembelajaran yang berbeda dan mengakui masalah sosial, kognitif, perbedaan fisik dan keragaman (dalam perancangan dan penyampaian antarmuka, perangkat, dan konten). Pembelajaran mobile  menawarkan perspektif yang berbeda secara dramatis dari pembelajaran e-learning konvensional yang dipersonalisasi karena mendukung pembelajaran yang mengenali konteks dan sejarah setiap siswa dan memberikan pembelajaran kepada peserta didik kapan dan di mana mereka menginginkannya.[10]

Situated Learning, berarti pembelajaran yang berlangsung dalam aktivitas, dalam konteks yang sesuai dan bermakna (Lave and Wenger 1991). Gagasan tersebut berevolusi dengan melihat orang-orang yang belajar di masyarakat melalui magang dan proses pembelajaran partisipatif. Namun, bisa diperluas untuk belajar di kebun (misalnya siswa botani), di bangsal rumah sakit (misalnya pelatihan perawat), dikelas (peserta pelatihan guru), dan dalam lokakarya (mahasiswa teknik), bukan melalui ceramah jarak jauh. Pembelajaran mobile  sesuai untuk mendukung pembelajaran konteks-spesifik dan pembelajaran langsung, dan ini adalah kesempatan besar bagi pembelajaran jarak jauh karena teknologi seluler dapat menghubungkan dan mensituasikan peserta didik.[11]

Sementara yang dimaksud dengan Authentic Learning, adalah pembelajaran yang melibatkan masalah dan proyek dunia nyata yang relevan dan menarik bagi peserta didik. Pembelajaran otentik menyiratkan bahwa pembelajaran harus didasarkan pada tugas otentik, siswa harus dilibatkan dalam eksplorasi dan penyelidikan, siswa harus memiliki kesempatan untuk wacana sosial, dan sumber daya yang cukup harus tersedia bagi siswa saat mereka berusaha menyelesaikan masalah yang berarti. Pembelajaran mobile  memungkinkan kondisi ini terpenuhi, memungkinkan tugas pembelajaran dibangun di seputar pengambilan data, kesadaran lokasi, dan kerja kolaboratif, bahkan untuk siswa pembelajaran jarak jauh yang secara fisik jauh dari satu sama lain.[12]

Bab III. Pembahasan

 A.   Implementasi M-learning dan Permasalahannya

Seperti telah dikemukakan dalam bab I, bahwa m-learning telah berkembang cukup lama, namun pada penerapannya hingga saat ini belum maksimal. Kita akan melihat perkembangan implementasi m-learning diberbagai belahan dunia, sebagaimana hasil penelitian Tsinakos pada tahun 2013[13].

  1. Canada

Pengunaan perangkat mobile  meningkat pesat selama dua tahun terakhir. Menurut Canadian Wireless Telecommunications Association, tingkat coverage jaringan wireless adalah 99%, dan akan melebihi 100% pada beberapa tahun ke depan. Pelanggan wireless mencapai 26 juta orang, dan diprediksi mencapai 30 juta orang pada satu tahun ke depan. Sekitar 50% pelanggan menggunakan smartphone.

Sejumlah proyek m-learning telah dilakukan di Canada dengan dukungan institusi pendidikan, perusahaan, bahkan dari provinsi. Sebagai contoh, provinsi Ontario telah mengatur penggunaan teknologi bantu bagi siswa dengan kebutuhan khusus yang teridentifikasi. Provinsi Alberta sedang mengembangkan panduan untuk penggunaan teknologi seluler yang bermakna di sekolah-sekolah. Di Manitoba, sebuah peraturan mengamanatkan para guru untuk membangun kemampuan muridnya dalam hal berpikir kritis, kreatif, dan etis dengan ICT, termasuk perangkat mobile .

Selain inisiasi oleh pemerintah provinsi, berbagai institusi pendidikan juga melakukan berbagai proyek m-learning. Diantaranya yang dilakukan oleh Athabasca University Library yang membangun website yang dapat diakses mobile  yang memungkinkan siswa mengakses materi dan sumber riset dari perangkat mobile  mereka. “The English Project” dirancang untuk meneliti efektifitas perangkat mobile  terhadap pengembangan kemampuan berbahasa Inggris dengan menerapkan pendekatan inovatif dalam penerapan berbahasa berbantu perangkat mobile . Selain itu dibuat Digital Reading Room yang mobile-friendly, memungkinkan siswa mengakses bahan pelajaran melalui perangkat mobile  mereka.

Di Algonquin College, untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat akan akses mobile  kepada bahan pelajaran, dibukalah Algonquin Mobile  learning Center yang menyediakan tempat khusus untuk penggunaan mobile , memfasilitasi m-learning dan kolaborasi antar siswa. Mereka juga menginisiasi proyek yang dinamakan “MyDesktop” yang secara remote menyediakan aplikasi komputer kepada perangkat mobile  siswa.

Proyek-proyek serupa juga dilakukan oleh George Brown College, University of British Columbia, Durham College, University of Ontario Institute of Technology, University of Toronto, Wilfrid Laurier University, Ryerson University, OCAD University, University of Waterloo, Conestoga College, Seneca College, McGill, dan berbagai sekolah di Canada

Walaupun proyek-proyek m-learning mulai mendapat perhatian di Canada, namun banyak terjadi hambatan yang memperlambat adopsi teknologi ini.

Pemerintah federal tidak memainkan peran penting dalam menentukan kebijakan di Kementerian Pendidikan Canada,  sehingga kebanyakan inisiatif m-learning hanya bersifat lokal. Akibat absennya kebijakan pendidikan yang spesifik untuk m-learning, biaya startup proyek m-learning bisa menjadi sangat besar, dalam hubungannya dengan biaya bandwith atau tidak tersedianya infrastruktur jaringan yang mencukupi.

Banyak keragu-raguan juga muncul di sekolah atau di lingkungan universitas terkait dengan masalah keamanan dan privasi siswa, serta menyangkut rasa takut menggunakan teknologi  yang merusak siswa.

Resistansi dari guru karena kurangnya keahlian atau kekurangan dukungan dan sumber daya untuk pengembangan, ditambah dengan peraturan yang melarang penggunaan perangkat mobile  di sekolah, juga menjadi masalah yang menghambat.

Selain itu, keterbatasan akses teknologi bagi siswa difabel juga menjadi isu sentral yang harus dipecahkan.

 

  1. USA

Mobile  phones dan smartphones sangat populer di USA, dengan tingkat penetrasi sebesar 104.6%. Jumlah pelanggan mobile  pada awal 2012 sebesar 331,6 juta orang. Penyebaran yang luas dan cepat ini merupakan peluang bagi pengembangan proyek m-learning.

Program-program m-learning di USA menggunakan dua pendekatan, yaitu menyediakan perangkat mobile  untuk siswa (OPD – Organization Provide Device) atau membolehkan siswa membawa perangkat mobile -nya sendiri (BYOD – Bring Your Own Device). Pendekatan gabungan juga muncul berupa proyek shared-cost (SCPD – Shared Cost Provided Devices).

Contoh sukses proyek OPD adalah Qualcomm’s Wireless Reach Initiative yang dimulai pada tahun 2006. Misalnya bagian dari inisiasi ini adalah Project KNect yang menyediakan smartphone bagi siswa dengan nilai matematika rendah sebagai jalan untuk meningkatkan keterlibatan dan prestasinya.

Pendekatan BYOD dicontohkan oleh Forsyth County School District di Georgia dengan pilot program yang dimulai dengan sejumlah kecil sekolah kemudian berkembang ke seluruh 20 sekolah. Dalam proyek ini, siswa diperkenankan membawa perangkat mobile -nya ke sekolah sebagai bagian dari proses belajar mengajar sehari-hari. Di sisi lain, proyek ini menyediakan dukungan bagi guru dalam bentuk pengembangan profesional dan dukungan instruksional dari media specialist di setiap sekolah.

Sebagai contoh SCPD, Saddleback Valley Unified School District di California telah berhasil melakukannya, dimana perangkat mobile  dibeli dengan membagi biaya dengan orang tua murid. Di sektor swasta, inisiatif seperti proyek Text4Baby yang menggandeng beberapa partner seperti U.S.Department of Health and Human Services, the National Healthy Mothers/Healthy Babies Coalition, Johnson & Johnson, mHealth provider Voxiva, dan beberapa institusi lain untuk berbagi biaya mengirimkan lebih dari 20 juta SMS kepada orang tua.

Di USA, kebijakan yang mendukung pelaksanaan m-learning sudah cukup banyak, diantaranya: The National Broadband Plan, National Educational Technology Plan, Common Core State Standards Initiative, LARK, dan lainnya.

Dalam pelaksanaan dengan pendekatan OPD, masalah yang dihadapi adalah besarnya biaya startup, penggunaan yang tidak benar, dan kehilangan perangkat. Sementara dalam pendekatan BYOD, masalah yang terjadi adalah ketidakseimbangan kemampuan mengakses smartphone, dan perbedaan perangkat.

Secara umum, kurangnya rencana pendidikan spesifik, kurangnya pedoman bagi guru dan siswa tentang cara penggunaan perangkat mobile  untuk kebutuhan pembelajaran, serta kurangnya sumberdaya broadband di dalam sekolah, menjadi faktor-faktor penghambat aktifitas m-learning.

Sebagai tambahan, keterbatasan hardware seperti kecilnya layar, dan keterbatasan penggunaan bagi siswa difabel juga menjadi faktor yang mempengaruhi. Selain itu, terpaparnya siswa kepada lingkungan berisiko yang mengandung materi tidak tepat, dan perilaku bermusuhan seperti cyber bullying, pelanggaran seksual atau potensi kecurangan saat ujian, juga menghambat adopsi m-learning di sekolah.

  1. Europe

Tingkat penetrasi mobile  di Eropa pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 119,5%. Namun tingkat yang tinggi ini tidak merata, seperti misalnya tingkat terendah hanya 9% di Romania dan Bulgaria.

Inisiatif m-learning di Eropa sebagian besar didanai oleh European Commission melalui Framework Program for Research and Development (FPs).

HandLER adalah sebuah proyek SCPD pada tahun 1998 yang bertujuan mengembangkan perangkat mobile  dan metodologi untuk memfasilitasi pembelajaran sepanjang hayat dalam beragam konteks. Mobile arn adalah sebuah proyek BYOD yang berjalan pada tahun 2002-2005 untuk meningkatkan blended learning bagi program MBA. Program eMapps menggunakan pendekatan BYOD mulai tahun 2005-2008 yang bertujuan membangun komunitas dimana anak-anak dapat membuat konten digital tentang kebudayaan, berkomunikasi dengan teman-temannya, dan mengintegrasikan ICT dalam pendidikan. Proyek OPD yang didanai oleh EU bernama M-learning, ditujukan khusus untuk meningkatkan pendidikan sektor publik dan swasta di UK.

Dalam skala nasional, beberapa proyek telah dijalankan, diantaranya di UK, MoLeNET, sebuah proyek berbasis SCPD menjalankan teknologi pembelajaran mobile  untuk mendukung pengajaran dan pembelajaran dan memfasilitasi retensi siswa dan menurunkan tingkat putus sekolah. Di Netherlands, program GIPSY berhasil mengintegrasikan praktik kerja lapangan dengan aktivitas kelas melalui perangkat mobile . ARena project berfokus pada Augmented Reality bagi siswa yang ingin menggunakan smartphone-nya untuk meneliti lingkungan sekitar. Denmark menginvestasikan hampir satu juta Euro untuk beberapa proyek m-learning. Swedia dan USA bekerja sama dalam proyek LET’S GO dalam bentuk OPD yang memungkinkan siswa kedua negara berkolaborasi dalam platform pembelajaran interaktif dan mobile . Di Switzerland, proyek berbasis OPD membagikan Apple iPhone 3G kepada siswa sebagai bagian dari lingkungan belajar pribadinya. Proyek nasional besar di Yunani dengan nama The University Mobile  Internet, menyediakan koneksi wireless 3G hingga 4GB data khusus untuk siswa, fakultas dan staf perguruan tinggi, dengan target 295.000 siswa sekolah, 29.000 siswa MSc dan PhD, dan 20.000 profesor.

Di sektor swasta, beberapa proyek mobile  besar telah dilaksanakan, antara lain Brent Council di London menjalankan program BYOD bagi 3000 karyawannya untuk menghasilkan lingkungan kerja yang paperless. Program serupa juga dilakukan oleh Leeds City Council UK kepada 33.000 karyawannya. Perusahaan Jerman, AWD, melakukan pendekatan BYOD untuk enterprise mobility management solution bagi lebih dari 1000 karyawannya.

Secara umum, m-learning di Eropa belum mendapat perhatian khusus dari kementerian pendidikan. Sehingga hambatan utamanya adalah kurangnya dukungan kebijakan dan investasi pemerintah, serta persepsi negatif tentang mobile -phone di lingkungan sekolah.

  1. Rusia dan Ukraina

Pada tahun 2012, 90% warga Rusia memiliki mobile  phone, walaupun hanya 43% yang berupa smartphones. Sementara di Ukraina, tingkat penetrasi mobile  pada pertengahan 2012 mencapai 120,4% dengan jumlah pengguna jaringan 2G sebanyak 11,6 juta orang dan jaringan 3G sebanyak 2,5 juta orang.

Sayangnya, di Rusia dan Ukraina, m-learning belum banyak dikembangkan. Beberapa proyek di sekolah hanya dalam rangka memperkenalkan m-learning, bukan untuk melaksanakannya secara penuh. Salah satu yang berskala nasional adalah yang dilakukan oleh operator mobile  MTS bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pemuda dan Olah Raga, mengembangkan serangkaian pembelajaran mobile  yang berfokus pada sarana komunikasi modern, telepon nirkabel dan isu keselamatan, untuk 4000 siswa di 146 sekolah di Ukraina.

Permasalahan yang dihadapi diantaranya adalah internet coverage terutama di wilayah pedesaan, institusi pendidikan kurang didukung dengan jaringan wireless, kurangnya sumber konten pendidikan, kurangnya tenaga ahli pengembangan konten mobile , dan pendanaan yang minim. Salah satu hambatan kritis lain adalah tidak tersedianya data penelitian di tingkat nasional terhadap hasil program-program inisiasi m-learning di berbagai tempat.

  1. Amerika Latin

Mobile  phones berkembang pesat di Amerika Latin, dengan penetrasi rata-rata sebesar 106%, walaupun terdapat ketidakseimbangan yang cukup mencolok dibeberapa negara. Sebagai contoh persentase populasi yang tidak terkoneksi di Venezuela mencapai 77% dan hingga 98% di Bolivia dan Nicaragua.

Sebagian besar inisiatif program m-learning di Amerika Selatan berbentuk OPD, seperti di Colombia dengan program ‘Programa Nacional de Alfabetizacion’ untuk menghapus buta huruf di daerah pedesaan, program ‘Mobile s for Supervisors’ di Argentina untuk membantu para guru melaporkan dan melacak data prestasi siswa, program ‘Puentes Educativos’ di Chile untuk meningkatkan pengetahuan siswa sekolah dasar dalam matematika, sains dan bahasa Inggris. Sebuah program yang diprakarsai oleh Stanford University bernama ‘Seeds of Empowerment’, membagikan perangkat mobile  yang disebut ‘TeacherMate’ kepada siswa dan sekolah di daerah pedesaan di 5 negara Amerika Latin. Program ini kemudian dikembangkan dua tahun kemudian dengan aplikasi interaktif mobile  yang mendukung iOS dan Android, sehingga siswa dan guru dapat mengakses konten pendidikan melalui smartphone mereka

Lebih dari 17 negara di Amerika Latin telah menginvestasikan banyak uang untuk program satu laptop/netbook satu siswa. Karena itu tidak ada kebijakan yang mengarah kepada evolusi ke m-learning dalam jangka waktu dekat. Peraturan yang membatasi penggunaan perangkat mobile  di sekolah juga merupakan faktor yang menghambat perkembangan m-learning di Amerika Latin. Hambatan lain adalah masalah infrastruktur dimana coverage jaringan 3G dan 4G masih sangat terbatas.

  1. Afrika dan Timur Tengah

Perkembangan mobile  phone di Afrika dan Timur Tengah cukup pesat seperti belahan dunia lainnya. Jumlah pelanggan mobile  di Afrika merupakan kedua terbesar di dunia setelah Asia, dengan tingkat perkembangan mencapai 30% per tahun. Di Timur Tengah, secara rata-rata tingkat penetrasi mobile  sebesar 125,5%, namun tidak terbagi secara merata antara negara kaya (mis. Emirat Arab, Qatar) dan negara miskin (mis. Palestina, Yaman).

Sedikitnya proyek m-learning di regional ini menunjukkan bahwa penetrasi teknologi mobile  di bidang pendidikan masih pada tahap awal. Beberapa proyek skala lokal telah dicoba dikembangkan namun dengan dukungan data hasil pelaksanaan yang minim. Beberapa contoh misalnya proyek LOLS (Life Orientation and Life Skills) berbasis BYOD di Afrika Selatan yang ditujukan bagi siswa kelas 8 dan 9 untuk pendidikan pencegahan HIV/AIDS. Project Alphabetisation de Base par Cellulaire (ABC) di Nigeria menggunakan pendekatan OPD untuk pembelajaran bahasa lokal Hausa dan Zarma melalui kurikulum digital dengan menggunakan pesan SMS. Di Senegal, Jokko, sebuah proyek SCPD bekerja sama dengan UNICEF memungkinkan siswa saling berkomunikasi melalui SMS untuk meningkatkan pembelajaran literasi dan pedagogik.

48 dari 53 negara di Afrika sudah memiliki sejenis kebijakan menyangkut pemanfaatan ICT dalam pendidikan, namun tidak secara spesifik mengarah kepada m-learning. Banyaknya daerah marjinal yang memiliki infrastruktur kurang memadai, serta kurangnya perangkat mobile  yang modern juga menjadi masalah yang menghambat. Selain itu, banyaknya sentimen negatif terhadap penggunaan perangkat mobile  juga semakin menghambat implementasi m-learning.

  1. Asia Pasific

Asia Pasific adalah regional yang penuh kontradiksi. Eksploitasi perangkat mobile  yang luar biasa di Jepang dan Cina, sementara di negara lain seperti Myanmar dan Nepal yang sangat rendah. Asia Pasific memegang porsi 57,7% pengguna mobile  diseluruh dunia, terutama di Cina dan India dengan populasi penduduk terbanyak. Penetrasi smartphones melonjak antara 40% – 400% dalam jangka waktu satu tahun di negara-negara Singapore, Malaysia, Thailand, Vietnam, Indonesia, Philippines, dan Kamboja.

Inisiatif m-learning di regional ini sangat bervariasi. Di negara-negara dengan infrastruktur ICT dan mobile  yang rendah, inisiatif yang dilakukan sebagian besar adalah untuk meningkatkan level pendidikan (literacy education). Sebagai contoh di Pakistan, sebuah proyek OPD bekerja sama dengan UNESCO ditujukan kepada 250 gadis pedesaan Punjab untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dengan menerima SMS harian.

Sementara itu di negara-negara dengan infrastruktur ICT dan mobile  yang cukup, proyek lebih ditujukan untuk mendukung pendidikan jarak jauh dan pelayanan pendidikan informal. Sebagai contoh di Indonesia, sebuah program OPD bernama ‘e-Sabak’ membagikan perangkat tablet kepada guru dan siswa di daerah 3T sebagai pengganti buku cetak. Selain itu, e-Sabak diharapkan juga menjadi layanan interaktif, dimana tidak hanya buku sekolah yang bisa diakses, melainkan juga bahan-bahan kuis yang diberikan oleh guru.[14]

Terakhir di negara-negara dengan infrastruktur ICT dan mobile  yang mapan seperti Australia, Jepang, dan Korea Selatan, proyek m-learning ditujukan untuk mempromosikan lingkungan belajar  masa depan.

Kebijakan pemerintah mengenai m-learning di regional ini juga bervariasi. Di negara-negara mapan, kebijakan pemerintah telah sangat mendukung berkembangnya m-learning. Namun di negara-negara berkembang, umumnya belum ada kebijakan yang spesifik mengenai m-learning, paling tidak sebatas pemanfaatan ICT saja. Secara keseluruhan, regional Asia Pasific sangat menerima perubahan dan akan berubah sangat cepat dimasa mendatang.

Permasalahan umum yang menjadi penghalang kemajuan m-learning adalah menyangkut kekhawatiran akan risiko terpaparnya siswa kepada konten yang tidak pantas, perilaku kekerasan seperti cyber bullying, kecanduan game, persepsi bahwa perangkat mobile  akan mengalihkan perhatian dari proses belajar mengajar, dan gangguan kesehatan seperti asthenopia (kelelahan mata).

Biaya dan ketersediaan perangkat, serta kurangnya dukungan dan pelatihan bagi guru juga menjadi faktor penghalang kemajuan m-learning terutama di Asia.

B.   Tantangan implementasi M-learning

Dari pemaparan implementasi m-learning diberbagai belahan dunia di atas, dapat ditarik benang merah beberapa permasalahan yang menjadi tantangan dalam implementasi, yaitu sebagai berikut:

  1. Kurangnya kebijakan yang mendukung

Salah satu hambatan paling kritis terhadap adopsi m-learning yang luas adalah kurangnya kebijakan pendidikan ditingkat nasional, yang menguraikan kerangka penggunaan perangkat mobile  yang sesuai sebagai bagian dari proses pendidikan sehari-hari.

Hal yang sangat sering terjadi adalah kepala sekolah atau institusi atau dewan pendidikan yang lebih luas, yang didasarkan pada kekaburan kebijakan pendidikan, mengadopsi skenario kasus terburuk yang melarang perangkat mobile  di sekolah atau lingkungan kerja.

  1. Pola pikir ragu-ragu (masalah kesehatan dan psikologis)

Kurangnya kebijakan pendidikan yang secara khusus menangani masalah m-learning menyebabkan efek samping lainnya. Di hampir semua wilayah, dewan sekolah, kepala sekolah, guru, dan orang tua melaporkan keragu-raguan tentang penyalahgunaan perangkat mobile  di kelas. Keraguan yang paling sering dilaporkan adalah masalah keamanan, terpaparnya siswa terhadap materi yang tidak pantas, perilaku bermusuhan seperti cyber bullying, pelanggaran seksual atau sexting, kecurangan potensial selama pemeriksaan sekolah dan kecanduan game.

Efek negatif pada kesehatan siswa dan perkembangan fisik mereka, memperkuat ambiguitas para pemain kunci mengenai kesesuaian penggunaan perangkat mobile  di sekolah.

  1. Keterbatasan sosial, ekonomi dan teknologi

Biaya startup yang tinggi untuk inisiatif m-learning, terutama program OPD adalah faktor penghalang. Bahkan dalam proyek SCPD, biaya komunikasi dan biaya perangkat seluler membatasi penerapan m-learning.

Masalah kesetaraan mengenai kemampuan siswa untuk mengakses ponsel modern seperti smartphone karena pendapatan rendah atau karena asal usul sosial-demografis, mungkin juga menjadi masalah selama proyek BYOD. Dilema semacam itu tidak hanya muncul di daerah miskin di Afrika tengah, atau di Afghanistan, Bhutan dan Nepal namun juga hadir di wilayah yang lebih kaya seperti Selandia Baru dan Amerika Serikat.

Di sisi lain, keterbatasan teknologi dapat terjadi di wilayah dengan coverage jaringan 3G atau 4G yang rendah. Selanjutnya, keragaman standar dan sistem operasi, bahasa pemrograman, format audio dan video, ukuran dan resolusi layar juga menjadi kelemahan dalam m-learning.

  1. Kekurangan SDM (tenaga ahli)

Karena m-learning masih dalam tahap awal, perencanaan pendidikan atau panduan khusus bagi guru dan siswa tentang bagaimana menggunakan perangkat mobile  mereka untuk tujuan pendidikan jarang dilakukan.

Kurangnya pelatihan dan dukungan bagi guru, kurangnya konten pendidikan berkualitas, kesulitan memasukkan konten pembelajaran yang ada ke perangkat mobile , memperkuat resistensi guru untuk mengadopsi m-learning di sekolah.

  1. Keterbatasan hardware

Keterbatasan perangkat terkait masa pakai baterai, antarmuka pengguna, memori perangkat, keterbatasan ergonomis – seperti ukuran layar, keyboard yang terlalu kecil untuk mengetik dan masalah keamanan, juga menjadi hambatan yang paling sering dilaporkan untuk m-learning.

Meskipun penghalang seperti itu paling tidak penting karena teknologi berkembang dengan cepat dan gadget baru yang lebih praktis dan canggih muncul setiap tahun, membuktikan bahwa perangkat seluler dan ponsel cerdas menyebar lebih cepat daripada teknologi apa pun dalam sejarah manusia.

C.   Peluang perkembangan

Elias (2010) dalam Tsinakos (2013) memuat 8 prinsip UID (Universal Instructional Design) yang sesuai untuk distance education (DE), yaitu:[15]

  1. equitable use;
  2. flexible use;
  3. simple and intuitive;
  4. perceptible information;
  5. tolerance for error;
  6. low physical and technical effort;
  7. community of learners and support; dan
  8. instructional climate.

Berdasarkan kedelapan prinsip UID tersebut, maka direkomendasikan beberapa peluang untuk mengembangkan m-learning, seperti tercantum dalam tabel berikut:

Tabel 3.1. Rekomendasi UID untuk M-learning

UID principles Online DE recommendations M-learning recommendations
Equitable use ·  Put content online

·  Provide translation

·  Deliver content in the simplest possible format

·  Use cloud-computing file storage and sharing sites

Flexible use ·  Present content and accept assignments in multiple formats

·  Offer choice and additional information

·  Package content in small chunks

·  Consider unconventional assignment options

·  Leave it to learners to illustrate and animate courses

Simple and intuitive ·  Simplify interface

·  Offer offline and text-only options

·  Keep learners’ interfaces simple

·  Keep code simple

·  Use open sites and software

Perceptible information Add captions, descriptors and transcriptions  
Tolerance for error ·  Allow students to edit posts

·  Issue warnings using sound and text

Scaffold and support situated learning
Low physical and technical effort ·  Incorporate assistive technologies

·  Consider issues of physical effort

·  Check browser capabilities

 

Use available SMS reader softwares and other mobile -specific assistive technologies
Community of learners and support ·  Include study groups and tools

·  Easy-to-find links to support

·  services

·  Encourage multiple methods of communication

·  Group learners according to technological access and/or preferences

Instructional climate Make contact and stay involved ·  Push regular reminders, requests, quizzes and questions to students

·  Pull in learner-generated content

Sumber: Elias, T. (2013)

Bab IV. Kesimpulan dan Saran

 A.   Kesimpulan

  1. M-learning telah banyak diterapkan oleh berbagai negara di seluruh dunia, namun terjadi disparitas penerapan antar negara.
  2. Disparitas yang terjadi disebabkan karena perbedaan faktor sosio-ekonomis dan geografis di negara-negara tersebut.
  3. Secara umum, penghambat dalam implementasi M-learning disebabkan oleh kebijakan pendidikan, pola pikir, keterbatasan teknologi dan sosial-ekonomi, sumber daya manusia, dan keterbatasan hardware.
  4. Perkembangan M-learning ke depan masih menjadi harapan yang terang karena perkembangan teknologi mobile yang masih terus meningkat dengan pesat.

B. Saran   

  1. Analisa dapat ditingkatkan lebih akurat bila menggunakan data dan informasi yang lebih uptodate.

DAFTAR PUSTAKA

Ally, M. (2009), Mobile  learning: Transforming the Delivery of Education and Training, AU Press, Edmonton

Anderson.R.H, (1976), Selecting and Develoving Media for Intraction, American Sosiety and Training and Developmen, Wescosin

Arief S. Sadiman, et al.  (2007), Media Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Azhar Arsyad, (2000), Media Pengajaran, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Dale (1969:180), dalam kutipan Arsyad (2002) Media Pembelajaran, PT. Raja Grafindo Perasada, Jakarta

Dias, A., et.al. (2008), An Introduction to Mobile  learning, Socrates Project, Ericsson.

Elias, T. (2013), Universal Instructional Design Principles for Mobile  learning, dalam Tsinakos, A. & Ally, M. (2013), Global Mobile  learning Implementations and Trends, China Central Radio & TV University Press, China

Heinich, R., Molenda, M., Russell, J. D., & Smaldino, S.E. (2002). Instructional   media and technology for learning, 7th edition. NewJersey: Prentice Hall, Inc

  1. Rayandra Asyhar, Dr. rer. nat. M.Si (2011), Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran, GP. Press, Jakarta.

Jumaris Matini, (2013), Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Ghalia Indonesia, Bogor. Indonesia

Levie, W.H. & Lentz, R. (1982). Effects of Text Illustrations: A Review of Research. Educational Communication and Technology: A Journal of Theory, Research, and Development, 30(4), 195-232. Retrieved October 4, 2017

Heinich, R, et. al. (2005), Instructional Technology and Media for Learning. Prentice Hall, New Jersey.

Oemar Hamalik. 1994. Media Pendidikan. Bandung: Cipta Aditya Bakti.

Quinn, C. (2000). mLearning. Mobile , Wireless, In-Your-Pocket Learning. Linezine. Fall 2000. Available at http://www.linezine.com/2.1/features/cqmmwiyp.htm.

Stobaugh, R. (2013), Assessing critical thinking in middle and high schools: meeting the common core, Routledge, USA

Sudjana, Nana dan Rivai Ahmad (2002), Media Pembelajaran, Sinar Baru Algensindo, Bandung

Supriatna, Dadang. 2009. Pengenalan Media Pembelajaran, Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak Kanak Dan Pendidikan Luar Biasa. Jakarta

Susilana, Rudi., Riyana, Cepi., (2008), Media Pembelajaran : Hakikat, Pengembangan, Pemanfaatan dan Penilaian, Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UP

Toffler, A. (1980), The Third Wave, Bantam Books, USA.

Trisna, http://3zna.blog.uns.ac.id/2012/04/25/peran-mobile-learning-untuk-pendidikan/25 April 2012

Tsinakos, A. & Ally, M. (2013), Global Mobile  learning Implementations and Trends, China Central Radio & TV University Press, China

Udell, C. & Woodill, G. (2015), Mastering Mobile  learning, John Wiley & Sons, Inc., USA

https://bahrurrosyididuraisy.wordpress.com/research/media-pembelajaran. Diakses 28 September 2017

http://www.guruit07.blogspot.com/2009/01/pengertian-media-pembelajaran.htm. Diakses 28 September 2017

http://aldin.staf.upi.edu/2013/09/16/media-pembelajaran. Diakses 28 September 2017

https://id.techinasia.com/kemendikbud-umumkan-program-esabak-perangkat-tablet-pengganti-buku-pelajaran-siswa-indonesia. Diakses 12 Oktober 2017

http://fitrianielektronika.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-media-pembelajaran-menurut.html. Diakses 28 September 201

Kebutuhan dan Disain Pembelajaran Multimedia Pendidikan

     Posted on Mon ,02/10/2017 by yani_ranius

Dosen Pengampu : Dr. Suyitno. M.Pd

1. Pendahuluan

Perkembangan teknologi komunikasi sekarang ini berjalan begitu cepat. Melalui televisi dan internet kita dapat mengetahui kejadian di belahan dunia manapun. Sekarang ini untuk komunikasi kita tidak perlu selalu bertatap muka langsung, tetapi bisa dilakukan dari jarak yang sangat jauh dan tampak seperti nyata. Perkembangan teknologi menyebabkan komunikasi semakin virtual. Komunikasi berlangsung serba cepat dan tidak terputus  dan tidak tergantung waktu (real time communication)

Hal tersebut berdampak pula dalam dunia pendidikan yang memerlukan cara baru dalam berkomunikasi, tidak hanya komunikasi langsung (tatap muka) tapi juga komunikasi tidak langsung (virtual) berbasis multimedia. Untuk dapat mengembangkan sebuah pembelajaran multimedia dalam bidang pendidikan perlu disusun tahap-tahap pembelajaran yang meliputi analisis, disain, pengembangan, implementasi dan evaluasi.

2. Pembahasan

2.1. Need Assessment

Need assessment adalah cara sistematik untuk menentukan kesenjangan antara keadaan nyata saat ini dengan keadaan yang dinginkan Need assessment juga didefinisikan sebagai proses sistematik untuk menentukan tujuan, mengidentifikasikan perbedaan antara kondisi nyata dengan kondisi yang dinginkan, dan menentukan prioritas tindakan yang akan dilakukan. (Lee, William W. & Owens, Diana L., 2004).

Model Dick and Carey (1990) merupakan salah satu model instruksional yang sesuai dengan kebutuhan dan sering digunakan dalam membuat rancangan pembelajaran Langkah-langkah dalam mengidentifikasi kebutuhan diuraikan sebagai berikut: mengidentifikasi kondisi sekarang, mendefiniskan pekerjaan yang diinginkan, mengurutkan tujuan sesuai dengan kepentingan, mengidentifikasi perbedaan-perbedaan, menentukan faktor-faktor positif dan menentukan prioritas tindakan. Need assessment perlu dilengkapi dengan kuisioner assesment, menetapkan prosedur pengumpulan data, menganalisis data menghasilkan informasi penting yang bermanfaat bagi pembelajaran.

Untuk melakukan analisis diperlukan upaya untuk mengumpulkan data dengan menggunakan berbagai teknik antara lain menggunakan kuisioner, wawancara, simulasi dan observasi. Kuisioner dapat menggunakan e-mail atau kuisioner tertulis. Wawancana dapat menggunakan telepon atau wawancana langsung. Simulasi dengan menggunakan maket atau peralatan/softwar

2.2. Front-End Analysis

Front-End Analysis adalah teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menjembatani kesenjangan yang ada antara kenyataan dan harapan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ada sepuluh analisis yang dapat dilakukan yaitu 1) Analisis peserta, 2) Analisis teknologi, 3) Analisis situasi, 4) Analisis tugas, 5) Analisis Isu 6) Analisis kejadian penting, 7) Analisis tujuan, 8) Analsis Media, 9) Analisis Data yang ada, dan 10) Analisis Biaya.

Berikut adalah penjelasan dari model Front End Analysis :

  • Analisis Peserta

Analisis peserta bertujuan untuk mengetahui latar belakang, karakteristik dan pengetahuan awal peserta didik. Beberapa data yang terkait dengan peserta adalah kemampuan bekerja sama, pengalaman pelatihan dengan komputer, kemampuan berbahasa, pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti dan kemampuan khusus yang relevan dengan tujuan pembelajaran.

Ada empat kegiatan dalam menganalisis peserta yaitu :

1)    Analisis demografi dan tuntutan khusus

2)    Menentukan sikap terhadap materi yang dikuasai

3)    Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang diperlukan

4)    Dokumen yang dimiliki

  • Analisis Teknologi

Analisis teknologi bertujuan untuk mengidentifikasi kemampuan teknologi yang dimiliki seperti telepon, e-mail, chat room technology, news group technology dan list server technology dengan cara melakukan analisis untuk mendukung kinerja, melakukan tes dan penilaian, mendistribusi dan pengiriman produk multimedia serta melakukan analisis tentang keahlian dan dokumen yang dimiliki.

  • Analisis Situasi

Analisis situasi bertujuan untuk menentukan dasar-dasar pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menguasai lingkungan kerja merupakan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan menganalisis lingkungan atau situasi kerja kita dapat merancang  strategi kerja untuk memaksimalkan proses distribusi dan pengiriman hasil kerja.

  • Analisis Tugas

Dalam melakukan analisis tugas, teori yang digunakan adalah teori belajar orang dewasa. Menurut Knowles ada beberapa komponen yang harus diperhatikan bagi orang dewasa dalam belajar. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, relevance. Orang dewasa dalam belajar akan memperhatikan hubungan topik yang dipelajari dengan kenyataan di dunia dimana pengetahuan tersebut digunakan. Kedua, involvement. Dalam belajar orang dewasa dituntut untuk aktif, tidak pasif dan tidak pula hanya mendengar instruktur menyampaikan materi. Ketiga, control over learning. Orang dewasa dalam belajar harus bebas menentukan dimana, apa dan bagaimana cara mereka belajar. Mereka tidak tergantung pada orang lain. Yang menentukan dirinya sendiri. Keempat, non-traditional learning situation. Orang dewasa dalam belajar membutuhkan privasi dan bersifat individual.

Berdasarkan komponen-komponen tersebut maka dalam mengembangkan pembelajaran berbasis multimedia harus memperhatikan hal-hal berikut; bagi orang dewasa belajar menjadi tidak efektif apabila levelnya ditingkatkan dari yang seharusnya dipelajari dan tujuan yang dibuat harus sesuai dengan kebutuhan belajar orang dewasa tersebut.

Untuk dapat melaksanakan analisis tugas ada beberapa proses yang harus dilalui yaitu: Pertama, menentukan posisi jabatan. Kedua, mengidentifikasi semua tanggungjawab yang saling terkait dengan pekerjaan yang dilakukan. Ketiga, mengidentifikasi langkah-langkah yang berkaitan dengan pekerjaan. Keempat, melakukan pekerjaan tersebut. Terakhir, mendokumentasikan semua hasilnya.

  • Analisis Isu

Ada tiga tahapan yang dapat dilakukan dalam analisis isu. Pertama, mengumpulkan data yang berasal dari peserta (pembelajar), teknologi, situasi yang dihadapi, tugas, dan analisis kejadian penting. Kedua, menempatkan data yang sesuai kedalam form analisis. Dalam hal itu dapat dipilah atas tiga bahagian yaitu organisasi, kinerja dan pelatihan. Ketiga, mendokumentasikan hasil-hasilnya.

  • Analisis Kejadian Penting

Analisis ini penting dilakukan untuk menentukan mana yang harus diajarkan dan mana yang tidak harus diajarkan. Hal itu dilakukan guna secara efektif dapat menetapkan kinerja yang dilakukan. Selain itu juga agar dapat mengetahui apa yang diharapkan termasuk solusi masalah yang dihadapi.  Dalam melakukan analisis kejadian penting ada beberapa proses yang harus dilalui yaitu; menetapkan tugas-tugas yang dianggap penting dalam pekerjaan, menetapkan tugas-tugas yang dianggap tidak begitu penting, menetapkan tugas-tugas yang tidak akan dilaksanakan dan mendokumentasikan hasil-hasilnya.

  •  Analisis Tujuan

Analisis tujuan dilakukan dalam rangka menentukan apa yang akan menjadi isi (materi pengetahuan), bagaimana agar efektif diukur keberhasilannya, memilih media yang digunakan. Dalam rangka membuat tujuan tersebut ada lima domain belajar yang perlu diperhatikan yaitu, kognitif, afektif, gerak, psikomotor dan metakognitif.

Prosedur analisis tujuan dapat dilakukan melalui proses-proses berikut:

1)  Menetapkan domainnya

2)  Menetapkan levelnya

3)  Menuliskan tujuan yang ingin dicapai

4)  Menuliskan tujuan kinerja

5)  Mendiskusikannya kedalam suatu kelompok

6)  Memilah tujuan antara dari tujuan kinerja

7)  Memilah tujuan pelajaran dari tujuan kinerja.

  • Analisis Media

Setelah berhasil menetapkan tujuan barulah kita selanjutnya dapat menetapkan media yang dibutuhkan. Media analysis (analisis media) menjadi sesuatu yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan pembelajaran. Ada beberapa tipe media yang dikemukakan Lee dan Owens yaitu:

1)      Instructur-led, bahan-bahan yang dipresentasikan oleh guru.

2)      Computer-based, berbagai macam bentuk bahan yang menggunakan komputer sebagai perantara.

3)      Distance broadcast, pembelajaran jarak jauh yang berbasis siaran seperti televisi, radio.

4)      Web-based, pembelajaran yang menggunakan internet sebagai basisnya yang disalurkan melalui jaraingan WAN (wide area networks) dan LAN (local are networks)

5)      Audiotapes, menggunakan rekaman suara yang sudah disiapkan misalnya kaset.

6)      Videotapes, menggunakan rekaman video yang telah disiapkan

7)      Performance support system dan electronic performance support system.

Untuk memperoleh media yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai prosesnya sebagai berikut:

1)      Melakukan penilaian berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi

2)      Menyimpulkan temuan

3)      Membuat ranking berdasarkan persentase dari yang tinggi ke yang rendah

4)      Membuat kekuatan dan kelemahan media untuk pembelajaran

5)      Bandingkan hasilnya dengan memperhatikan faktor biaya dan tetapkan media yang sesuai

6)      Cocokan media yang digunakan dengan tujuan yang ingin dicapai

7)      Mendokumentasikan hasil-hasilnya

  • Analisis Data

Analisis data dilakukan dalam rangka memecahkan masalah yang ditemui. Untuk melaksanakan analisis data ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan yaitu:

1)      Mengidentifikasi sumber informasi

2)      Mengumpulkan informasi dan bahan-bahan pembelajaran

3)      Mengevaluasi informasi berdasarkan tujuan, pembelajar dan kebutuhan

4)      Putuskan apakah akan membeli atau membuat

5)      Mengevaluasi apa yang sudah diputuskan

6)      Dokumentasikan hasil-hasilnya

  • Analisis Biaya

Analisis berikutnya yang harus dilakukan adalah cost analysis (analisa biaya). Proses yang dilakukan dalam analisis biaya adalah:

1)      Melaksanakan cost-benefit analysis

2)      Menetapkan return on investment

3)      Mendokumentasikan hasil-hasilnya

3. Desain Multimedia Pembelajaran

Desain adalah fase perencanaan dalam sebuah proyek multimedia. Perencanaan merupakan bagian yang sangat penting untuk meraih kesuksesan dalam proyek tersebut. Beberapa contoh proyek multimedia antara lain: e-learning, video dalam sebuah situs yang memerlukan banyak bahasa pemograman yang detail, kursus elektronik dan sebagainya.

Ada beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan dalam melakukan desain multimedia, antara lain:

1. Searchable Content Objects Reference Model (SCORM)

SCORM adalah model standar yang tujuannya, isi dari desain telah tersedia dan tidak perlu dimodifikasi lagi. SCORM juga merupakan standar untuk membagi isi desain menjadi bagian-bagian kecil yang dapat digunakan dan hanya dikembangkan satu kali saja.

2. Learning Management System (LMS)

LMS adalah sistem yang membantu administrasi dan berfungsi sebagai platform e-learning content. Beberapa fungsi dasar LMS adalah : catalog, registrasi dan persetujuan, menjalankan dan memonitor e-learning, evaluasi, komunikasi, laporan, rencana pelatihan dan integrasi.

Berdasarkan gambar, dalam merancang pembelajaran multimedia ada beberapa tahap yang perlu diperhatikan yaitu:

  1. Merencanakan Proyek

Ada tiga kegiatan dalam proses pembuatan rencana sebuah proyek yaitu:

1).  Dokumen informasi umum proyek

  1. Kegiatan ini mencakup:
  2. Menetapkan tujuan dan kebutuhan proyek
  3. Menentukan kinerja dan hambatannya
  4. Menetapkan hasil dan persyaratan tingkat tinggi kinerja.
  5. Batasan proyek atau masalah
  6. Asumsi yang berdampak pada waktu atau keberhasilan proyek

2)      Penyampaian daftar proyek. Kegiatan ini mencakup pengembangan, peninjauan dan pengakuan terhadap: audio script, storyboards, prototype screen interface, programming templates or models, video script, video broadcast schedule and script.

3)      Jadwal kegiatan proyek. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh anggota tim dalam kegiatan ini adalah: mengetahui aturan dan tanggung jawabnya, memperhatikan waktu, mengerjakan komponen project tepat pada waktunya. Selain itu ada dua aspek penting dalam penjadwalan kegiatan proyek yaitu review/peninjauan dan waktu. Review terdiri dari: peninjauan secara teknik/fungsional, peninjauan ID, peninjauan standard proyek, peninjauan editorial, dan peninjauan manajemen. Sedangkan aspek waktu meliputi : menentukan bagaiman data diperoleh, menentukan level dari sebuah data seharusnya dikumpulkan dan dianalisis, memutuskan siapa yang dapat mengakses waktu penelusuran informasi dan menentukan bagaimana waktu penelusuran diimplementasikan.

2. Tim Proyek.

Terdapat tiga kegiatan penting dalam proses mendefinisikan peraturan dan tanggung gung jawab bagi anggota tim proyek yaitu :

1)  Daftar peran tim. Sebagai sebuah tim, tentukan daftar peran dan tanggung jawab yang diperlukan oleh setiap anggota, kemudian pilihlah anggota yang sesuai untuk tugas-tugas khusus. Contohnya: audio producer or technician, author, creative director, editor, evaluation specialist, graphic artist, graphic designer, implementation representative, interactive designer, performance analyst, project manager, evaluator, sponsor, subject-matter expert, systems designer, system engineer, video editor, dan video producer.

2)  Daftar tugas proyek. Daftarkan seluruh tugas yang akan diperlukan dalam setiap fase proyek. Kemudian buatlah pengembangannya dalam setiap fase secara terpisah.

3)  Menetapkan peran dan tanggung jawab tim. Menetapkan anggota untuk bertanggung jawab terhadap beberapa hal (timeline, skills dan resource/sumber) atau satu hal saja tergantung dari besarnya proyek yang sedang dikerjakan.

3. Spesifikasi Media

Pada element multimedia terdapat dua bagian penting yang saling berkaitan yaitu teori dan praktek. Secara teori, ada 4 pendekatan yang dikembangkan yaitu: visual, auditory, olfactory (penciuman), tactile of kinesthetic.

Prosedur spesifikasi media dibagi menjadi beberapa macam kegiatan, antara lain:

1)      Mendefinisikan tampilan dan nuansa dari sebuah tema

2)      Mendefinisikan interface dan fungsi

3)      Mendefinisikan standar interaksi dan umpan balik

4)      Mendefinisikan treatment untuk video dan audio

5)      Mengindikasi standar design text

6)      Mempersiapkan standar design grafik

7)      Menentukan animasi dan special efek.

4.  Struktur Konten

Konten yang akan dituangkan dalm multimedia harus disesuaikan dengan analisi kebutuhan ketika saat merencanakan tujuan utama multimedia dibuat. Berdasarkan teori, prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam desain multimedia adalah :

1)      Menggunakan peninjauan dalam pembelajaran

2)      Meliputi pengenalan dan tujuan yang spesifik

3)      Memastikan keefektifan verbal content.

4)      Menggunakan contoh dan demonstrasi

5)      Membangun keberhasilan siswa

6)      Sesuai dengan audience

7)      Menjaga langkah cepat dengan variasi tertentu

8)      Transisi yang mulus

9)      Penugasan dan arah yang jelas

10)   Mempertahankan standar yang tepat

11)   Memantau, mensirkulasi dan memeriksa pekerjaan

12)   Menanyakan sebuah pertanyaan pada satu saat.

13)   Bekerja di umpan balik

14)   Ikuti umpan balik dengan teknik yang tepat.

15)   Materi harus memotivasi

16)   Hubungkan materi dengan dunia nyata

Prosedur struktur isi terdiri dari tiga kegiatan yaitu:

1).  Membagi isi ke dalam unit. Terdiri dari dua langkah yaitu :

  1. a) Mengkategorikan isi menjadi enam tipe informasi utama yaitu: konsep, proses, prosedur, prinsip, fakta dan system
  2. b) Mengatur informasi berdasarkan tugas pekerjaan.

2).  Memetakan informasi. Terdiri dari dua langkah yaitu:

  1. a) Membuat sebuah garis besar pelajaran. Contohnya: judul pelajaran, tujuan pembelajaran, rentang waktu pembelajaran, strategi pembelajaran dan presentasi, dsb.
  2. b) Membuat sebuah flowchart atau peta pembelajaran.

3).  Memilih SCORM. Terdiri dari tiga langkah yaitu:

  1. a) Menanyakan kepada vendor definisi kegunaan content object.
  2. b) Menanyakan LMS yang mana yang telah berhasil dijalankan oleh vendor.
  3. c) Meminta daftar pelanggan vendor.

Salah satu contoh ketika mendisain multimedia web atau e-lerning, maka perlu diperhatikan:

1) Tampilan.

Tampilan dalam mendisain harus menarik secara visual tetapi tidak mengganggu konten yang dimuat dalam multimedia

2) Interaksi.

Pengguna (user) dilibatkan untuk berinteraksi dengan program aplikasi. Pengguna dapat memindahkan atau menggeser objek tertentu dengan menggunakan mouse.

3) Kontrol.

Agar dapat memahami multimedia yang di desain maka perlu ada menu dipakai sebagai sajian dalam web tersebut, panel dipakai untuk memajumundurkan halaman, help untuk menolong apabila pengguna tentang tombol tertentu.

4) Susunan.

Dalam desain wed atau e-learning perlu menyusun materi atau konten dengan baik aga para pengguna dapat memahami dan mengikuti apa yang disajikan dalam multimedia tersebut.

5) Kontrol Konfigurasi

Pada proses kontrol konfigurasi hanya ada sebuah aktifitas yang dilakukan yaitu membuat rencana kontrol konfigurasi. Mengembangkan sebuah proses kontrol konfigurasi dalam pengembangan materi inti diperlukan untuk design, pengembangan dan peninjauan. Konfigurasi kontrol menjadi pengontrol terhadap rumusan rencana proyek yang sudah dilakukan dan sebagai quality-control process dalam multimedia itu sendiri.

4. Kesimpulan

Untuk menyusun atau merancang pembelajaran multimedia pendidikan perlu disusun langkah dengan menggunakan model yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dalam pendidikan. Salah satu model disain pembelajaran yang sesuai adalah Model Dick and Carey. Menurut Dick and Carey sebelum menyusun disain pembelajaran perlu dirumuskan tujuan pembelajar kemudian melakukan analisis kebutuhan dan dan mengidentifikasi kemampuan awal dari peserta, untuk selanjutnya merumuskan tujuan atau kinerja yang ingin dicapai. Dengan demikian semua yang dirancang akan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

 

Daftar Pustaka

Dick,W.,Lou Carey & Carey, James O 9 th  Ed.(2001). The Systematic design of instruction. Longman Publisher.

Lee, William W. & Owens, Diana L. (2004). Multimedia-based instructional design. San Fransisco: Pfeiffer.

Schwier, Richard A. @ Misanchuk Earl R. (1993).  Interactive multimedia instruction. Englewood Cliff, NJ: Educational Technology Publications.

KURIKULUM dan MUTU PENDIDIKAN

     Posted on Mon ,02/10/2017 by yani_ranius

Dosen Pengampuh : Prof. Dr. Bintang Sitepu

1. Pendahuluan

Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum mencerminkan falsafah hidup bangsa dalam bentuk kehidupan yang akan ditentukan oleh kurikulum yang disusun. Kurikulum harus dapat mengantisipasi perubahan ilmu pengetahuan yang didukung oleh teknologi sebab pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Kurikulum dapat akan meramalkan hasil pendidikan/pengajaran yang diharapkan karena akan menunjukan apa yang harus dipelajari dan kegiatan apa yang harus dialami oleh peserta didik. Kurikulum yang bukan sekedar buku pedoman melainkan segala sesuatu yang dialami peserta didik selama digunakan oleh sekolah.

Penerapan kurikulum yang baik seharusnya didukung oleh kebijakan pemerintah khususnya dalam hal pendanaan. Hampir setiap legislatif negara telah mengambil kontrol lebih besar atas kebijakan pendidikan disekolah. Sistem penilaian negara dan sistem akuntabilitas yang diciptakan di hampir setiap negara untuk menyediakan data pada kinerja dan untuk membandingkan sekolah. Negara mendorong kebijakan pendidikan, beberapa negara bahkan telah mulai menghubungkan pendanaan dengan hasil belajar siswa diharapkan. Bukti menunjukkan bahwa kebijakan ini mulai memberikan pengaruh kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah[1]

2. Konsep Kurikulum

UU No. 20 Tahun 2003 menegaskan kurikulum sebagai suatu perangkat rencana dan juga pengaturan tentang tujuan, isi, dan juga bahan pengajaran dan cara yang digunakan ialah sebagai suatu pedoman didalam suatu penyelenggaraan kegiatan dalam pembelajaran untuk dapat mencapai suatu tujuan pendidikan nasional[2]. Makna yang terkandung dalam pengertian diatas memuat komponen-komponen seperti tujuan, isi, struktur program, organisasi dan proses belajar mengajar. Tujuan Pendidikan Nasional mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan dalam perkembangan kehidupan manusia, maka dalam penyusunan kurikulum hendaknya menggunakan landasan yang kuat sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam dunia pendidikan sehingga dapat dijadikan pedoman pada penyelenggaraan pendidikan.

Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. berbangsa, dan bernegara di dalam negeri dan isu-isu mutakhir dari luar negeri yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia merupakan hal-hal yang harus segera ditanggapi dan dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum baru pada setiap jenjang pendidikan.

Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.

Kemajuan pendidikan dapat dilihat dari kemampuan dan kemauan dari masyarakat untuk menangkap proses pembelajaran dan kemajuan teknologi. Proses pembelajaran dengan kemajuan teknologi semakin membuat kehidupan di dunia semakin meluas akan tetapi semakin mengerut. Hal ini berarti berbagai masalah kehidupan manusia menjadi masalah global atau setidak-tidaknya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kejadian dibelahan bumi, baik masalah politik, ekonomi, maupun sosial. Dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, kurikulum memiliki peranan penting sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan hendaknya dapat memfasilitasi tercapainya sasaran pendidikan dan pembelajaran secara lebih efektif dan efisien.

  • Definisi Kurikulum

Istilah kurikulum sering dimaknai  plan for learning[3] (rencana pendidikan). Sebagai rencana pendidikan kurikulum memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, urutan isi dan proses pendidikan. Secara historis, istilah kurikulum pertama kalinya diketahui dalam kamus Webster (Webster Dictionary) tahun 1856. Pada mulanya istilah kurikulum digunakan dalam dunia olah raga, yakni suatu alat yang membawa orang dari start sampai ke finish. Kemudian pada tahun 1955, istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran disuatu perguruan.

Secara etimologi kata kurikulum diambil dari bahasa Yunani, Curere[4] berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari mulai start sampai finish. Pengertian inilah yang kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam bahasa arab, kurikulum sering disebut dengan istilah al-manhaj,berarti jalan yang terang yang dilalui manusia dalam bidang kehidupannya.

Untuk lebih memahami pengertian kurikulum, berikut ini adalah beberapa pengertian kurikulum yang ditinjau dari beberapa sudut pandang :

  • Menurut Saylor J. Gallen & William N. Alexander dalam bukunya “Curriculum Planning” menyatakan Kurikulum adalah “Keseluruhan usaha sekolah untuk mempengaruhi belajar baik berlangsung dikelas, dihalaman maupun diluar sekolah”.
  • Menurut B. Ragan, beliau mengemukakan bahwa “Kurikulum adalah semua pengalaman anak dibawah tanggung jawab sekolah”.
  • Menurut Soedijarto, “Kurikulum adalah segala pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan dan diorganisir untuk diatasi oleh siswa atau mahasiswa untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan bagi suatu lembaga pendidikan”.

Dari berbagai pengertian kurikulum diatas dapat disimpulkan bahwa kurikulum ditinjau dari pandangan modern merupakan suatu usaha terencana dan terorganisir untuk menciptakan suatu pengalaman belajar pada siswa dibawah tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan untuk mencapai suatu tujuan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu kurikulum, ialah:

  • Tujuan pendidikan nasional, dijabarkan menjadi tujuan-tujuan institusional, dirinci menjadi tujuan kurikuler, dirumuskan menjadi tujuan-tujuan instruksional (umum dan khusus), yang mendasari perencanaan pengajaran.
  • Perkembangan peserta didik merupakan landasan psikologis yang mencakup psikologi perkembangan dan psikologi belajar;
  • Mengacu pada landasan sosiologis dibarengi oleh landasan kultur ekologis.
  • Kebutuhan pembangunan nasional yang mencakup pengembangan SDM dan pembangunan semua sektor ekonomi.
  • Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta budaya bangsa dengan multi dimensionalnya.
  • Jenis dan jenjang pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya.

Sehubungan dengan banyaknya definisi tentang kurikulum, dalam implementasi kurikulum kiranya perlu melihat definisi kurikulum yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan 7 Nasional pasal 1 ayat (19) yang berbunyi: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

  • Peningkatan iman dan takwa;
  • Peningkatan akhlak mulia;
  • Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
  • Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
  • Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
  • Tuntutan dunia kerja;
  • Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
  • Agama;
  • Dinamika perkembangan global;
  • Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan.

  • Dimensi Kurikulum

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian kurikulum terus berkembang sejalam dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan. Namun berdasarkan hasil kajian, diperoleh beberapa dimensi pengertian kurikulum,  R. Ibrahim (2005) mengelompokkan kurikulum menjadi tiga dimensi, yaitu:

  1. Kurikulum Sebagai Substansi

Dimensi ini memandang kurikulum sebagai rencana kegiatan belajar bagi siswa di sekolah atau sebagai perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum dapat juga menunjuk pada suati dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar mengajar, jadwal dan evaluasi.

  1. Kurikulum Sebagai Sistem

Dimensi ini memandang kurikulum sebagai bagian dari sistem prsekolahan, sistem pendidikan dan bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya. Hasil dari suatu sistem adalah tersusunnya kurikulum.

  1. Kurikulum Sebagai Bidang Studi

Dimensi ketiga memandang kurikulum sebagai bidang studi, yaitu bidang study kurikulum. Hal ini merupakan ahli kajian para ahli kurikulum dann ahli pendidikan dan pengajaran. Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep – konsep dasar tentang kurikulum, melalui studi kepustakaan dan kegiatan penelitian dan percobaan, sehingga menemukan hal – hal baru, yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.

  •  Fungsi Kurikulum

Pada dasarnya kurikulum berfungsi sebagai pedoman atau acuan. Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran. Bagi kepala sekolah dan pengawas, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi atau pengawasan. Bagi orang tua, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar dirumah. Bagi masyarakat, kurikulum berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Sedangkan bagi siswa, sisiwa kurikulum berfungsi sebagi suatu belajar.

Selain itu fungsi kurikulum identik dengan pengertian kurikulum itu sendiri yang berorientasi pada pengertian kurikulum dalam arti luas, maka fungsi kurikulum memiliki arti sebagai berikut:

  1. Fungsi Penyesuaian

Fungsi penyesuaian mengandung makna kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifar well adjusted 11 yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

  1. Fungsi Integrasi

Fungsi integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral masyarakat ke jenjang yang lebih tinggi.

  1. Fungsi Diferensiasi

Mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan layanan terhadap perbedaan individusiswa. Setiap siswa memiliki perbedaan baik dari aspek fisik maupun psikis.

  1. Fungsi persiapan

Mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memprsiapkan siswa melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih.

  1. Fungsi pemilihan

Mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat kaitannya dengan fungsi diferensiasi karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa berarti pula diberinya kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.

  1. Fungsi diagnostic

Mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima potensi dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya. Maka diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri potensi yang dimilikinya aau memperbaiki kelemahan-kelemahannya.

3. Perbedaan & Perubahan Kurikulum di Indonesia

3.1. Perubahan Kurikulum di Indonesia

Perjalanan kurikulum pendidikan nasional yang dimulai sejak tahun 1945[5] telah beberapa kali mengalami perubahan seperti tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan yang sudah disiapkan oleh Pemerintahan Presiden Susili Bambang Yudhoyono melalui Kurikulum Tahun 2013 meski urung diterapkan. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.  Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Perubahan kurikulum tersebut tentu disertai dengan tujuan pendidikan yang berbeda-beda, karena dalam setiap perubahan tersebut ada suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai untuk memajukan pendidikan nasional kita.

Perubahan kurikulum di dunia pendidikan Indonesia beserta tujuan yang ingin dicapai dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Kurikulum 1947

Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya Rencana Pelajaran 1947. Ketika itu penyebutannya lebih populer menggunakan leer plan (rencana pelajaran) ketimbang istilah curriculum dalam bahasa Inggris. Rencana Pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan kolonialis Belanda. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Situasi perpolitikan dengan gejolak perang revolusi, maka Rencana Pelajaran 1947, baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu Rencana Pelajaran 1947 sering juga disebut kurikulum 1950. Susunan Rencana Pelajaran 1947 sangat sederhana, hanya memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis besar pengajarannya.

Rencana Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani. Mata pelajaran untuk tingkat Sekolah Rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan Madura diberikan bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni Suara, Pekerjaan Tangan, Pekerjaan Keputrian, Gerak Badan, Kebersihan dan Kesehatan, Didikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Agama. Pada awalnya pelajaran agama diberikan mulai kelas IV, namun sejak 1951 agama juga diajarkan sejak kelas 1.

Garis-garis besar pengajaran pada saat itu menekankan pada cara guru mengajar dan cara murid mempelajari. Misalnya, pelajaran bahasa mengajarkan bagaimana cara bercakap-cakap, membaca, dan menulis. Ilmu Alam mengajarkan bagaimana proses kejadian sehari-hari, bagaimana mempergunakan berbagai perkakas sederhana (pompa, timbangan, manfaat bes berani), dan menyelidiki berbagai peristiwa sehari-hari, misalnya mengapa lokomotif diisi air dan kayu, mengapa nelayan melaut pada malam hari, dan bagaimana menyambung kabel listrik.

Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh David Kirk & Richard Timing, yang mengkaji pendidikan jasmani dan budaya dalam membuat kurikulum. Pendidikan jasmani dalam kaitan dengan kebugaran fisik, kesehatan sangat berpengaruh dalam pendidikan, begitu pula budaya yang dikaitkan dengan gaya hidup penting untuk membentuk karakter peserta didik.

Pada perkembangannya, rencana pelajaran lebih dirinci lagi setiap pelajarannya, yang dikenal dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. Seorang guru mengajar satu mata pelajaran”. Pada masa itu juga dibentuk Kelas Masyarakat yaitu sekolah khusus bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan. Tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.

  1. Kurikulum 1952

Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

  1. Kurikulum 1964

Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana[6] yang meliputi pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

  1. Kurikulum 1968

Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.

  1. Kurikulum 1975

Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam ProsedurPengembangan Sistem Instruksional (PPSI).

Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

Pada tahun ini pengajaran matematika modern resminya dimulai. Model pembelajaran matematika modern ini muncul karena adanya kemajuan teknologi. Di Amerika Serikat perasaan adanya kekurangan orang-orang yang mampu menangani senjata, rudal dan roket sangat sedikit, mendorong munculnya pembaharuan pembelajaran matematika.

  1. Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan berpengertian. Teori Gestalt yang muncul sekitar tahun 1930, dimana Gestalt menengaskan bahwa latihan hafal adalah sangat penting dalam pengajaran namun diterapkan setelah tertanam pengertian pada siswa.

Dua hal tersebut di atas memperngaruhi perkembangan pembelajaran matematika di Indonesia. Berbagai kelemahan seolah nampak jelas, pembelajaran kurang menekankan pada pengertian, kurang adanya kontinuitas, kurang merangsang anak untuk ingin tahu, dan lain sebagainya. Ditambah lagi masyarakat dihadapkan pada kemajuan teknologi.

Akhirnya Pemerintah merancang program pembelajaran yang dapat menutupi kelemahan-kelemahan tersebut. Muncullah kurikulum 1975 dimana matematika saat itu mempunyai karakteristik sebagai berikut.

  1. Membuat topik-topik dan pendekatan baru. Topik-topik baru yang muncul adalah himpunan, statistik dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, penulisan lambang bilangan non desimal.
  2. Pembelajaran lebih menekankan pembelajaran bermakna dan berpengertian dari pada hafalan dan ketrampilan berhitung.
  3. Program matematika sekolah dasar dan sekolah menengah lebih kontinyu.
  4. Pengenalan penekanan pembelajaran pada struktur.
  5. Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya heterogen.
  6. Menggunakan bahasa yang lebih tepat.
  7. Pusat pengajaran pada murid tidak pada guru.
  8. Metode pembelajaran menggunakan meode menemukan, memecahkan masalah dan teknik diskusi.
  9. Pengajaran matematika lebih hidup dan menarik.
  10. Kurikulum 1984 (Kurikulum CBSA)

Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).

Kurikulum 1984 ini berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.

Pembelajaran matematika pada era 1980-an merupakan gerakan revolusi matematika. Revolusi ini diawali oleh kekhawatiran negara maju yang akan disusul oleh negara-negara terbelakang saat itu, seperti Jerman barat, Jepang, Korea, dan Taiwan. Pengajaran matematika ditandai oleh beberapa hal yaitu adanya kemajuan teknologi muthakir seperti kalkulator dan komputer.

Perkembangan matematika di luar negeri tersebut berpengaruh terhadap matematika dalam negeri. Di dalam negeri, tahun 1984 pemerintah melaunching kurikulum baru, yaitu kurikulum tahun 1984. Alasan dalam menerapkan kurikulum baru tersebut antara lain, adanya sarat materi, perbedaan kemajuan pendidikan antar daerah dari segi teknologi, adanya perbedaan kesenjangan antara program kurikulum di satu pihak dan pelaksana sekolah serta kebutuhan lapangan dipihak lain, belum sesuainya materi kurikulum dengan tarap kemampuan anak didik. Dan, CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) menjadi karakter yang begitu melekat erat dalam kurikulum tersebut.

Dalam kurikulum ini siswa di sekolah dasar diberi materi aritmatika sosial, sementara untuk siswa sekolah menengah atas diberi materi baru seperti komputer. Hal lain yang menjadi perhatian dalam kurikulum tersebut. Langkah-langkah agar pelaksanaan kurikulum berhasil adalah melakukan hal-hal sebagai berikut;

  1. Guru supaya meningkatkan profesinalisme.
  2. Dalam buku paket harus dimasukkan kegiatan yang menggunakan kalkulator dan computer.
  3. Sinkronisasi dan kesinambungan pembelajaran dari sekolah dasar dan sekolah lanjutan.
  4. Pengevaluasian hasil pembelajaran
  5. Prinsip CBSA dipelihara terus

Kurikulum 1994

Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.

Tahun 90-an kegiatan olimpiade matematika internasional begitu marak. Sampai tahun 1977 saja sudah 19 kali diselenggarakan olimpiade matematika internasional. Saat itu Yugoslavia menjadi tuan rumah pelaksanaan olimpiade, dan yang berhasil mendulang medali adalah Amerika, Rusia, Inggris, Hongaria, dan Belanda.

Indonesia tidak ketinggalan dalam pentas olimpiade tersebut namun jarang mendulang medali. Keprihatinan tersebut diperparah dengan kondisi lulusan yang kurang siap dalam kancah kehidupan. Para lulusan kurang mampu dalam menyelesaikan problem-problem kehidupan dan lain sebagainya. Dengan dasar inilah pemerintah berusaha mengembangkan kurikulum baru yang mampu membekali siswa berkaitan dengan problem-solving kehidupan. Lahirlah kurikulum tahun 1994.

Dalam kurikulm tahun 1994, pembelajaran matematika mempunyai karakter yang khas, struktur materi sudah disesuaikan dengan psikologi perkembangan anak, materi keahlian seperti komputer semakin mendalam, model-model pembelajaran matematika kehidupan disajikan dalam berbagai pokok bahasan. Intinya pembelajaran matematika saat itu mengedepankan tekstual materi namun tidak melupakan hal-hal kontekstual yang  berkaitan dengan materi.

Soal cerita menjadi sajian menarik disetiap akhir pokok bahasan, hal ini diberikan dengan pertimbangan agar siswa mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari.

  1. Kurikulum 2004 (KBK)

Kurikukum 2004 ini lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)[7]. Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies menurut  Scharg.[8] Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.

Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada:

  1. Hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna.
  2. Keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya. Tujuan yang ingin dicapai menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

Tahun 2004 pemerintah melaunching kurikulum baru dengan nama kurikulum berbasis kompetesi. Secara khusus model pembelajaran matematika dalam kurikulum tersebut mempunyai tujuan antara lain;

  1. Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkankesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi
  2. Mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.
  3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah
  4. Mengembangkan kemapuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan.
  5. Kurikulum 2006 (KTSP)

Kurikulum 2006 ini dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan, muncullah KTSP. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada.

Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.

  1. Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 diluncurkan secara resmi pada tanggal 15 Juli 2013. Kurikulum 2013 (K-13) merupakan kurikulum tetap diterapkan oleh pemerintah untuk menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang telah berlaku selama kurang lebih 6 tahun. Kurikulum 2013 masuk dalam masa percobaanya pada tahun 2013 dengan menjadikan beberapa sekolah menjadi sekolah rintisan.

Pada tahun 2014, Kurikulum 2013 sudah diterapkan di Kelas I, II, IV, dan V sedangkan untuk SMP Kelas VII dan VIII dan SMA Kelas X dan XI.

Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, dan aspek sikap dan perilaku. Di dalam Kurikulum 2013, terutama di dalam materi pembelajaran terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan. Materi yang dirampingkan terlihat ada di materi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn, dsb., sedangkan materi yang ditambahkan adalah materi Matematika.

Materi pelajaran tersebut (terutama Matematika) disesuaikan dengan materi pembelajaran standar Internasional sehingga pemerintah berharap dapat menyeimbangkan pendidikan di dalam negeri dengan pendidikan di luar negeri.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, nomor 60 tahun 2014 tanggal 11 Desember 2014, maka pelaksanaan Kurikulum 2013 dihentikan dan sekolah-sekolah untuk sementara kembali menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, kecuali bagi satuan pendidikan dasar dan menengah yang sudah melaksanakannya selama 3 (tiga) semester, satuan pendidikan usia dini, dan satuan pendidikan khusus. Penghentian tersebut bersifat sementara, paling lama sampai tahun pelajaran 2019/2020.

3.2 Perbedaan Kurikulum 2013 DAN KTSP

No Kurikulum 2013 KTSP
1 SKL  (Standar Kompetensi Lulusan) ditentukan terlebih dahulu, melalui Permendikbud No 54 Tahun 2013. Setelah itu baru ditentukan Standar Isi, yang bebentuk Kerangka Dasar Kurikulum, yang dituangkan dalam Permendikbud No 67, 68, 69, dan 70 Tahun 2013 Standar Isi ditentukan terlebih dahulu melaui Permendiknas No 22 Tahun 2006. Setelah itu ditentukan SKL (Standar Kompetensi Lulusan) melalui Permendiknas No 23 Tahun 2006
2 Aspek kompetensi lulusan ada keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan lebih menekankan pada aspek pengetahuan
3 di jenjang SD Tematik Terpadu untuk kelas I-VI di jenjang SD Tematik Terpadu untuk kelas I-III
4 Jumlah jam pelajaran per minggu lebih banyak dan jumlah mata pelajaran lebih sedikit dibanding KTSP Jumlah jam pelajaran lebih sedikit dan jumlah mata pelajaran lebih banyak dibanding Kurikulum 2013
5 Proses pembelajaran setiap tema di jenjang SD dan semua mata pelajaran di jenjang SMP/SMA/SMK dilakukan dengan pendekatan ilmiah (saintific approach), yaitu standar proses dalam pembelajaran terdiri dari Mengamati, Menanya, Mengolah, Menyajikan, Menyimpulkan, dan Mencipta. Standar proses dalam pembelajaran terdiri dari Eksplorasi, Elaborasi, dan Konfirmasi
6 TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) bukan sebagai mata pelajaran, melainkan sebagai media pembelajaran TIK sebagai mata pelajaran
7 Standar penilaian menggunakan penilaian otentik, yaitu mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil. Penilaiannya lebih dominan pada aspek pengetahuan
8 Pramuka menjadi ekstrakuler wajib Pramuka bukan ekstrakurikuler wajib
9 Pemintan (Penjurusan) mulai kelas X untuk jenjang SMA/MA Penjurusan mulai kelas XI
10 BK lebih menekankan mengembangkan potensi siswa BK lebih pada menyelesaikan masalah siswa

 

Itulah beberpa perbedaan Kurikulum 2013 dan KTSP. Walaupun kelihatannya terdapat perbedaan yang sangat jauh antara Kurikulum 2013 dan KTSP, namun sebenarnya terdapat kesamaan ESENSI Kurikulum 2013 dan KTSP. Misal pendekatan ilmiah (Saintifik Approach) yang pada hakekatnya adalah pembelajaran berpusat pada siswa. Siswa mencari pengetahuan bukan menerima pengetahuan. Pendekatan ini mempunyai esensi yang sama dengan Pendekatan Keterampilan Proses (PKP).  Masalah pendekatan sebenarnya bukan masalah kurikulum, tetapi masalah implementasi yang tidak jalan di kelas. Bisa jadi pendekatan ilmiah yang diperkenalkan di Kurikulum 2013 akan bernasib sama dengan pendekatan-pendekatan kurikulum terdahulu bila guru tidak paham dan tidak bisa menerapkannya dalam pembelajaran di kelas.

Kurikulum 2013 masih berlaku sampai sekarang walaupun dalam pelaksanaannya ada permasalahan, diantaranya:

  1. Tidak ada kajian terhadap penerapan Kurikulum 2006 yang berujung pada kesimpulan urgensi perpindahan kepada Kurikulum 2013.
  2. Tidak ada evaluasi menyeluruh terhadap uji coba penerapan Kurikulum 2013 setelah setahun penerapan di sekolah-sekolah yang ditunjuk.
  3. Kurikulum sudah diterapkan di seluruh sekolah di bulan Juli 2014, sementara instruksi untuk melakukan evaluasi baru dibuat 14 Oktober 2014, yaitu enam hari sebelum pelantikan presiden baru (Peraturan Menteri no 159).
  4. Penjelasan poin ini adalah, Pada Pasal 2 ayat 2 dalam Peraturan Menteri nomor 159 Tahun 2014 itu menyebutkan bahwa Evaluasi Kurikulum untuk mendapatkan informasi mengenai:Kesesuaian antara Ide Kurikulum dan Desain Kurikulum; Kesesuaian antara Desain Kurikulum dan Dokumen Kurikulum; Kesesuaian antara Dokumen Kurikulum dan Implementasi Kurikulum; dan Kesesuaian antara Ide Kurikulum, Hasil Kurikulum, dan Dampak Kurikulum. Kenyataannya, Kurikulum 2013 diterapkan di seluruh sekolah sebelum dievaluasi kesesuaian antara ide, desain, dokumen hingga dampak kurikulum.
  5. Penyeragaman tema di seluruh kelas, sampai metode, isi pembelajaran dan buku yang bersifat wajib sehingga terindikasi bertentangan dengan UU Sisdiknas.
  6. Penyusunan konten Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang tidak seksama sehingga menyebabkan ketidakselarasan.
  7. Kompetensi Spiritual dan Sikap terlalu dipaksakan sehingga menganggu substansi keilmuan dan menimbulkan kebingungan dan beban administratif berlebihan bagi para guru.
  8. Metode penilaian sangat kompleks dan menyita waktu sehingga membingungkan guru dan mengalihkan fokus dari memberi perhatian sepenuhnya pada siswa.
  9. Ketidaksiapan guru menerapkan metode pembelajaran pada Kurikulum 2013 yang menyebabkan beban juga tertumpuk pada siswa sehingga menghabiskan waktu siswa di sekolah dan di luar sekolah.
  10. Ketergesa-gesaan penerapan menyebabkan ketidaksiapan penulisan, pencetakan dan peredaran buku sehingga menyebabkan berbagai permasalahan di ribuan sekolah akibat keterlambatan atau ketiadaan buku.
  11. Berganti-gantinya regulasi kementerian akibat revisi yang berulang.

4. Kurikulum vs Mutu Pendidikan di Indonesia

Berikut 8 Standar Nasional Pendidikan berdasarkan kurikulum KTSP:

  • Standar Kompetensi Lulusan
  • Standar Isi
  • Standar Proses
  • Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
  • Standar Sarana dan Prasarana
  • Standar Pengelolaan
  • Standar Pembiayaan Pendidikan
  • Standar Penilaian Pendidikan

5. Fungsi dan Tujuan Standar Nasional Pendidikan:

  • Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu
  • Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
  • Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
  1. Standar Kompetensi Lulusan

Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) tersebut meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.

Peraturan menteri yang berkaitan dengan  standar kompetensi lulusan adalah:

  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 23 Tahun 2006 menetapkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
  • Permen Nomor 24 tahun 2006 – Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar Isi untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah.
  1. Standar Isi

Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi tersebut memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan.

Peraturan menteri yang berkaitan dengan  standar isi adalah:

  • Permen nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
  • Permen nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar Isi untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah.
  • Nomor 14 Tahun 2007 Standar Isi Program Paket A, Program Paket B, dan Program Paket C
  • Permendikbud no 64 tahun 2013 tentang standar isi.
  1. Standar Proses

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Selain itu, dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan.

Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

Peraturan menteri yang berkaitan dengan  standar proses adalah:

  • Permen Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.]
  • Permen Nomor 1 Tahun 2008 tentang Standar Proses Pendidikan Khusus
  • Permen Nomor 3 Tahun 2008 tentang Standar Proses Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Paket B, dan Paket C

6. Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan

Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:

  • Kompetensi pedagogik;
  • Kompetensi kepribadian;
  • Kompetensi profesional; dan
  • Kompetensi sosial.

Pendidik meliputi pendidik pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan. Tenaga kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.

Peraturan menteri yang berkaitan dengan  standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah:

  1. Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar pengawas Sekolah/Madrasah
  2. Nomor 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah
  3. Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
  4. Nomor 24 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah
  5. Nomor 25 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah
  6. Nomor 26 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Laboratorium Sekolah/Madrasah
  7. Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor
  8. Nomor 40 Tahun 2009 tentang Standar Penguji Pada Kursus dan Pelatihan
  9. Nomor 41 Tahun 2009 tentang Standar Pembimbing Pada Kursus & Pelatihan
  10. Nomor 43 Tahun 2009 tentang Standar Tenaga Administrasi Program paket A , Paket B, dan Paket C
  11. Nomor 42 Tahun 2009 tentang Standar Pengelola Kursus
  12. Nomor 44 Tahun 2009 tentang Standar Pengelola Pendidikan pada Program Paket A, Paket B dan Paket C
  13. Nomor 45 Tahun 2009 tentang standar Teknisi Sumber Belajar Pada Kursus dan Pelatihan

7. Standar Sarana dan Prasarana

Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Peraturan menteri yang berkaitan dengan  standar sarana dan prasarana adalah:

  • Nomor 24 Tahun 2007 Standar Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA
  • Nomor 33 Tahun 2008 Standar Sarana dan Prasarana untuk SDLB, SMPLB, dan SMALB
  • Nomor 40 Tahun 2008 Standar Sarana dan Prasarana untuk SMK/MAK

8. Standar Pengelolaan

Standar Pengelolaan terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni standar pengelolaan oleh satuan pendidikan, standar pengelolaan oleh Pemerintah Daerah dan standar pengelolaan oleh Pemerintah. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Pengelolaan adalah permen No 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

9. Standar Pembiayaan Pendidikan

Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya personal sebagaimana dimaksud pada di atas meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.

Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas meliputi:

  • Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,
  • Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
  • Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya

Peraturan menteri yang berkaitan dengan standar pembiayaan pendidikan adalah permen nomor 69 Tahun 2009 Tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB).

10. Standar Penilaian Pendidikan

Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:

  • Penilaian hasil belajar oleh pendidik;
  • Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
  • Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
  • Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas:
  • Penilaian hasil belajar oleh pendidik; dan
  • Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi.

Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud di atas diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

11. Kurikulum Masa Depan

  • Banyak menawarkan mata kuliah interdisipliner seperti biostatistika, biomolekuler, gizi dan olah raga
  • Menawarkan mata kuliah mengenai lanjut usia dan berbagai aspeknya
  • Mengenai keragaman budaya, pendidikan internasional & global untuk membangun pemahaman pebelajar akan emosi, sikap, perasaan diri sendiri atau orang lain
  • Memasukkan hal-hal seperti pengembangan metakognisi, cara berpikir otak kiri & otak kanan, dan manajemen emosi & stres

Berikut ini adalah beberapa solusi yang dapat dilakukan :

  1. Pendidikan agama di sekolah bukan sebagai penyampaian dogma atau pengetahuan pada siswa tetapi sebagai penginternalisasian nilai-nilai agama.
  2. Perlu pemisahan antara peserta didik laki-laki dengan perempuan pada tingkat sekolah dasar, mengingat berbedanya perkembangan kematangan fisik.
  3. Mengupayakan pendidikan  yang terus-menerus untuk mengembangkan potensi individu secara holistik dan terintegrasi serta menganut asas keseimbangan secara harmoi antara aspek intelektual, spiritual, emosional dan fisik, didasarkan pada keyakinan dan ketaatan kepada Tuhan.
  4. Mengubah paradigma dari pengajaran yang berbasis sistetik-materialistik menjadi religius. Solusi ini menunjukan akan berkurangnya kemerosotan moral. Dimana tidak akan ada lagi siswa cerdas yang tidak bermoral.
  1. Perlu pemberdayaan guru dalam pengimplementasian kurikulum. Kebijakan kurikulum 2013 membuat sistem pendidikan kita seperti pabrik dalam artian guru hanya boneka saja dan bekerja seperti mesin karena tidak perlu membuat RPP lagi, terkesan kemampuan guru diamputasi.
  1. Melakukan pemerataan pendidikan melalui pemerataan sarana dan prasarana ke sekolah terpencil, sehingga tidak akan ada lagi siswa di daerah terpencil yang terbelakang pendidikan.
  2. Menjalankan kurikulum dengan sebaik mungkin .
  3. Membersihkan organ-organ kurikulum darin oknum-oknum tak bertanggung jawab.
  4. Mengadakan studi kasus penelitan di setiap daerah Nusantara, agar dapat melahirkan pengalaman dan dokumentasi yang kuat dan efektif dalam pengembangan kurikulum. Studi kasus penelitian ini seperti “Mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat seperti yang dirumuskan dalam undang-undang, keputusan pemerintah, peraturan-peraturan daerah dan lain sebagainya, Menganalisis budaya masyarakat tempat sekolah berada, Menganalisis kekuatan serta potensi-potensi daerah, Menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja, Menginterpretasi kebutuhan individu dalam kerangka kepentingan masyarakat”.

Faktor sosial budaya sangat penting dalam penyusunan kurikulum yang relevan, karena kurikulum merupakan alat untuk merealisasikan sistem pendidikan, sebagai salah satu dimensi dari kebudayaan. Implikasi dasarnya adalah sebagai berikut:

  1. Kurikulum harus disusun berdasarkan kondisi sosial-budaya masyarakat. Kurikulum disusun bukan saja harus berdasarkan nilai, adat istiadat, cita-cita dari masyarakat, tetapi juga harus berlandaskan semua dimensi kebuadayaan seperti kehidupan keluarga, ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya.
  2. Karena kondisi sosial budaya senantiasa berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan masyarakat, maka kurikulum harus disusun dengan memperhatikan unsur fleksibilitas dan bersifat dinamis, sehingga kurikulum tersebut senantiasa relevan dengan masyarakat. Konsekuensi logisnya, pada waktunya perlu diadakan perubahan dan revisi kurikulum, sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial budaya yang ada pada saat itu.
  3. Program kurikulum harus disusun dan mengandung materi sosial budaya dalam masyarakat. Ini bukan hanya dimaksudkan untuk membudayakan anak didik, tetapi sejalan dengan usaha mengawetkan kebudayaan itu sendiri. Kemajuan dalam bidang teknologi akan memberikan bahan yang memadai dalam penyampaian teknologi baru itu kepada siswa, yang sekaligus mempersiapkan mempersiapkan para siswa tersebut agar mampu hidup dalam teknologi itu. Dengan demikian sekolah benar-benar dapat mengemban peran dan fungsinya sebagai lembaga modernisasi.

12. Kesimpulan

  • Secara sistem pendidikan di Indonesia, kurikulum sudah bagus walaupun masih berfokus pada outut yang seharusnya adalah outcomes.
  • Kurikulum yang ada di Indonesia harus disesuaikan dengan kebutuhan (need analisys) dari semua stakeholder (Pemangku Kepentingan)
  • Perlu memperhatikan faktor sosial budaya sangat penting dalam penyusunan kurikulum yang relevan, karena kurikulum merupakan alat untuk merealisasikan sistem pendidikan, sebagai salah satu dimensi dari kebudayaan.

13. Rekomendasi

Kurikulum saat ini hanya berfokus pada output saja, dan kurang memperhatikan dari sisi outcomes, sehingga perlu membuat kurikulum dengan pendekatan outcomes tentu saja disesuaikan dengan analisa kebutuhan (need analysis) dari semua stakeholder (pemangku kepentingan).

 DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Ronald H. 1983. Selecting and Developing Media for Instruction. New York: Van Nastrand Reinhold Company.

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:BSNP.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta:Dirjen Dikdasmen.

Hamalik,  Oemar, 1999. Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara

Ibrahim, R. (2005).  Perencanaan Pengajaran. Jakarta : RinekaCipta

Kirk, David & Richard Timming, 1990, Physical Education, Curiculum & Culture,Critical Issue in the Contemporary Crisis, Newyork, The Falmer Press

Murrary Print. 1993. Curriculum Design and Development, Australia: Allen & Unwin

Sudjana, Nana. 2005. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum  di Sekolah. Jakarta : Sinar Baru Algensindo.

T. Conley, David, 2003, Who Govern Our School ? Changin, New York : Teacher College

Kepemimpinan Dalam Organisasi Belajar

     Posted on Mon ,25/09/2017 by yani_ranius

Tugas Kuliah

Prof. Dr. Bintang Petrus Sitepu, M.A

 

Kepemimpinan Yang Efektif dan Dinamis

Suatu organisasi akan menjalani masalah berubah, waktu berubah, kemasayarakatan yang berubah, dan sikap-sikap manusiapun berubah, Pemimpin yang efektif dan dinamis seharusnya mempertimbangkan perubahan-perubahan tersebut. Sebagai pemimpin haruslah menyadari lingkungannya dan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya. Harus mengingat dan menyadari bahwa seorang pemimpin yang membawa pembaharuan dan bukan hanya melihat ke belakang. Sebagai seorang pemimpin selalu hadir dan ada diantara lingkungannya. Kemampuan akan mengkaji ulang permasalahan sebenarnya belum ditemukan suatu cara yang tepat untuk dapat memandu menjadi seorang pemimpin yang efektif dan yang dinamis.

Harus disadari akan siapa dirinya maka ia akan dapat mengembangkan gaya atau pola sendiri dalam kepemimpinan. Hal ini akan mendasari pada banyak hal dan akan bertemu dengan banyaknya jenis orang yang berbeda dan akan bertanggung jawab atas dan lingkungan dimana ia beraktifitas. Untuk dapat terus berjalan dan bertahan hidup, tentunya sebuah perusahaan akan memerlukan pemimpin yang bersifat efektif dan dinamis. Dengan demikian kepemimpinan yang diharapkan pada dunia di masa modernisasi ini.

Kepemimpinan yang efektif dan dinamis selalu dapat atau bisa dicapai jika ia mampu untuk beradaptasi dengan cepat dan efektif pada masa atau zaman saat ini dengan perubahan yang cepat. Kecepatan perubahan ini begitu cepat sehingga sulit untuk mempertahankan pada suatu tingkat yang komitmen yang sama, dengan demikian akan berubah dan berkembang sesuai dengan tuntutan yang terjadi.

Peter Senge (1990) dalam bukunya The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization  menyebutkan bahwa seorang pemimpin yang dinamis sejatinya memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan cara kerja dan berpikir menjadi jelas, perubahan cara kerja dan berpikir adalah manifestasi dari bagaimana sistem itu sendiri mendorong kembali, proses alami yang bergerak terhadap homeostasis. Kebanyakan inisiatif perubahan fokus hanya pada proses pertumbuhan dan tidak membatasi proses.

Dalam penjelasan ini, seorang pemimpin yang dinamis harus dapat  melakukan dan menjaga perubahan. Selanjutnya disebutkan ada tiga phase perubaha dalam sepuluh tahapan sbb:

– Memulai Perubahan

  1. Tidak punya waktu untuk hal perubahan (tidak membuang waktu untuk hal tidak perlu)
  2. Tidak membantu perubahan (tidak membantu untuk melakukan hak yang negative)
  3. Tidak relevan peruhaan (meninggalkan hal yang tidak relevan)
  4. Tidak hanya bicara perubahan (perubahan dengan bekerja

– Mempertahankan Momentum

  1. Hal ini adalah  kejadian (melihat peluang yang sedang terjadi)
  2. Hal ini tidak bekerja dengan sendirinya (menghindari atau membuang hal yang tidak produktif)
  3. Memiliki cara yang benar, ketidak mengertian (mereka tahu apa yang harus mereka lakukan, walaupun orang lain tidak memahaminya)

– Mendesain ulang Organisasi

  1. Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini ?. (memilih orang yang tepat untuk sebuah pekerjaan tertentu).
  2. Terus menciptakan kembali roda aktifitas (mereka senantiasa menjadikan organisasi terus berubah sesuai dengan tuntutan zaman)
  3. Kemana akan pergi ?, untuk apa di sini ?, (mereka selalu mempertanyakan setiap tahapan yang mereka lakukan, apakah sudah benar atau belum, sehingga menjaga organisasi tidak jatuh pada kondisi yang tidak baik,selalu mempertanyakan eksistensi mereka pada sebuah posisi, hal ini menjaga apakah mereka sudah benar berada pada sebuah keadaan tertentu

Lebih lanjut Peter Senge  menegaskan dinamika perubahan, interaksi antara faktor-faktor penguat dan faktor pertumbuhan membatasi. Tantangan perubahan yang  dinamis, non-linear, dan saling tergantung. Dia menggambarkan Proses yang seimbang dan  umpan balik kompensasi yang merupakan aspek alami dari proses pertumbuhan.

Daniel Theyagu seorang pembicara dan penulis buku tentang kepemimpinan mengatakan : “Becoming a leader is the easy part. But how you motivate yourself and have the ability to motivate others is going to be challenging.”

Menjadi pemimpin adalah bagian yang mudah, tetapi bagaimana cara memotivasi agar dapat menjadi seorang pemimpin yang unggul yang bukan hanya dapat memotivasi diri sendiri saja tetapi juga dapat memotivasi  orang lain juga. Dan Daniel menyatakan hal itu dapat diperoleh bila kita melakukan dan menerapkan 10 langkah untuk dapat menjadi pemimpin yang sempurna.

Berikut 10 langkah untuk dapat menjadi pemimpin yang unggul menurut Danie Theyagu :

  1. Memiliki pandangan yang jelas dan bertindak sesuai dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Diperlukan pembelajaran agar mau belajar untuk mengubah pola pikir untuk tetap kredibel dan efektif di dunia yang selalu ada perubahan.
  2. Tidak peduli apapun yang terjadi, selalu menjaga sikap mental yang positif untuk menghadapi tantangan apa pun, ingat bahwa untuk memimpin adalah agar berani dan karena berani akan mencoba.
  3. Memiliki rasa komitmen berkesinambungan untuk apa yang telah dilakukan. Bila akan tetap berkomitmen, maka orang-orang yang dipimpinya pasti akan mengikutinya.
  4. Sebagai seorang pemimpin harus memiliki energi, untuk dapat menghadapi tantangan yang datang secara mendadak dimana posisi sebagai seorang pemimpin dituntut untuk tetap menjaga kepala tetap dingin untuk dapat menyelesaikan segala sesuatu secara efektif.
  5. Melibatkan diri dalam diskusi untuk mengevaluasi dan menerangi masalah yang ada. Dimana harus menyelesaikan semua masalah dengan keputusan yang kita harus buat.
  6. Menciptakan lingkungan dan memperkaya untuk memotivasi diri sendiri dan pengikutnya.
  7. Mengatur waktu dan merencanakan apa yang harus dilakukan, ingat pepatah, “Jika kita gagal untuk merencanakan, maka kita berencana untuk gagal”
  8. Tanda sesungguhnya dari seorang pemimpin adalah kepercayaan. Kepercayaan adalah kualitas yang mendahului kepercayaan, ras, agama dan seks. Bila kita menunjukkan bahwa kita dapat dipercaya, maka orang akan mengikutinya sampai akhir.
  9. Atur hidup sebelum dia mulai mengatur kehidupan orang lain.
  10. Bertanggung jawab dan belajar untuk bertanggung jawab atas tindakan.

Sebagai pemimpin biasa mengalami situasi yang serba salah antara memilih untuk pengikutnya dan juga atasannya sendiri,  beliau akan bekerja dan mempercayakan untuk memimpin.  Terkadang situasi yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang sudah direncanakankan atau diprediksi, sebagai pemimpin dan juga owner atau pemilik dan ia bekerja di tempatnya sendiri. Tetapi pemikiran-pemikiran yang harus cepat segera diambil untuk menjadi suatu keputusan dalam suatu keadaan yang mendesak dan itu biasanya akan menimbulkan pro dan kontra bagi berbagai pihak dan itu akan menjadi suatu situasi yang sulit yang sering hadapi.

Daniel Theyagu nyatakan sebagai seorang ahli dalam kepemimpinan : “Becoming a leader is the easy part. But how you motivate yourself and have the ability to motivate others is going to be challenging.” Dimana menurut Daniel menjadi pemimpin itu memang suatu hal yang mudah tetapi bagaimana dapat memotivasi diri kita sendiri sebagai seorang pemimpin dan bagaimana dapat memotivasi orang lain, dan hal itu menjadi motivasi yang kuat untuk tetap dapat menjalankan akan posisinya sebagai seorang pemimpin yang baik.

Seorang pemimpin yang dinamis adalah ketika memiliki pandangan yang jelas dan bertindak sesuai dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Keadaan dapat berubah dengan cepat sesuai dengan keadaan atau kondisi yang terjadi di tempat kejadian, dengan tetap memiliki semangat dan memegang akan komitmen untuk tetap dapat memotivasi karyawan sekalipun perubahan yang terjadi begitu cepat terjadi yang diluar dari kemauan atau kehendak. Tentu dengan tidak melupakan akan keterlibatan dari semua orang termasuk juga karyawan tanpa membedakan ras, suku, agama ataupun perasaan terlepas dari suka atau tidak suka.

 

Referensi

Daniel Theyagu, http://www.lateralsc.com/dev/about (24 September 2017)

Kiseki, Iris . 1 Mei 2011.  Kepemimpinan Yang Dinamis . WWW.blogspot.

Senge, P. (1990). The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization. New York: Doubleday

Sitepu, B.P. Ledership. Bahan Kuliah Kepemimpinan dalam organisasi,Pascasarjana Universitas Negeri Jakarata.

 

Opini : Isu Kritis Dalam Pendidikan

     Posted on Mon ,18/09/2017 by yani_ranius

TUGAS KULIAH

Dosen Prof. Dr. Bintang Sitepu, M.A

1. PENGANTAR

Pendidikan merupakan suatu yang perlu mendapat perhatian oleh seluruh bangsa di dunia ini. Maju atau mundurnya suatu negara akan dipengaruhi oleh sumber daya manusianya oleh sebab itu kualitas sumber daya manusia akan dapat membangun negaranya. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat yang dimulai sejak lahir dan pada hakekatnya pendidikan adalah menyediakan lingkungan bagi perkembangan anak  karena di dalam lingkungan tersebut anak dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki dengan baik.( Jamaris, 2013)

Belajar adalah membangun penafsiran diri terhadap dunia nyata melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi, selanjutnya belajar merupakan proses aktif untuk membangunkan pengetahuan. Kemudian pengajaran juga suatu proses membangunkan pengetahuan dan mengkomunikasikan pengetahuan, sementara belajar terstruktur bukan merupakan suatu tugas, tetapi meminta peserta didik mempergunakan piranti secara aktual dalam situasi dunia nyata dan aktif mempelajari masalah-masalah serta berpikir reflektif.

2. ISU PENDIDIKAN

  • Issu kritis Aspek Masalah Kurikulum dan Pembelajaran.

Banyak permasalahan kurikulum dan cara pembelajaran yang dialami turut andil dan dampaknya berpengaruh terhadap pembelajaran dan pendidikan.

Pendapat penulis adalah :

  1. Terlalu komplek, kurikulum yang dijalankan di Indonesia dinilai terlalu kompleks hal ini berakibat bagi guru dan siswa yang akan terbebani dengan beragam materi yang harus dikuasainya. Siswa harus berusaha untuk memahami dan mengejar materi yang sudah ditargetkan.
  2. Seringnya berganti nama, perubahan nama walaupun sebatas perubahan nama kadang dijadikan sebagai lahan bisnis.
  3. Peralatan pendukung, minimnya peralatan pendukung menyebabkan kurangnya pemerataan pendidikan hal ini berkaitan dengan materi akan yang diajarkan.
  4. Dilaksanakan dalan satu tahun ajaran, kurikulum merupakan sebuah acuan yang dibuat secara nasional dan menjadi dasar pijakan setiap sekolah atau lembaga pendidikan yang ada dengan tujuan agar terjadinya persamaan pengatahuan siswa, namun dalam pelaksanaan kurikulum yang ada dijalankan dalan satu tahun ajaran pendidikan.
  5. Issu kritis aspek Pembelajaran

Skinner (1958) memberikan definisi belajar “Learning is a process progressive behavior adaptation”. Dfinisi tersebut menjelaskan bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Skinner percaya bahwa proses adaptasi akan mendatangkan hasil yang optimal apabila diberi penguatan (reinforcement). Ini berarti bahwa belajar akan mengarah pada keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Selain itu belajar juga memebutuhkan proses yang berarti belajar membutuhkan waktu hingga berhasil.

  1. Issu kritis aspek guru
  2. Rendahnya Kualitas Guru

Pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Berkaitan dengan paasal tersebut masih ada guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya.

  • Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru akan berperan dalam melaksanakan pendidikan yang akan membuat rendahnya kualitas pendidikan.

  1. Issu kritis aspek Siswa
  2. Faktor intern belajar, siswa akan mengalami beragam masalah dan berpengaruh ketika mereka dalam penyelesainya, mereka akan mengalami masalah atau kesulitan dalam belajar.
  3. Faktor ekstern belajar, proses belajar didorong oleh motivasi intrinsik siswa. Proses belajar dapat terjadi atau menjadi bertambah kuat bila didorong oleh lingkungan siswa. Dengan kata lain aktivitas belajar dapat meningkat bila program pembelajaran disusun dengan baik.
  4. Issu kritis aspek orang tua

Orang tua merupakan tempat anak menerima pendidikan yang pertama dalam proses menerima pengetahuan dan tidak hanya itu orang juga menjadi faktor utama yang terpenting dalam menentukan masa depan seorang anak, namun perkembangan pendidikan yang semakin pesat dan semakin rumit membuat orang tua sulit mengendalikan sikap dan menerapakan tanggung jawab untuk anaknya.

  • Issu kritis aspek pemerintah Daerah

Pemberlakuann UU otonomi daerah yang dimulai dengan diterapkannya UU nomor 22 tahun 1999 dan kemudian disempurnakan dengan UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dengan diserahkannya sejumlah kewenangan yang semula menjadi urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dengan demiklian akan terjadi perubahan dalam berbagai aspek pembangunan termasuk dalam aspek pendidikan.

  • Issu kritis aspek pemerintah pusat

Diantara persoalan yang hingga kini masih dialami bangsa Indonesia adalah isu seputar kebijakan pendidikan. Pendidikan di Indonesia belum semuanya mampu menghasilkan alumni siap kerja, para lulusan kurang mampu dan memiliki kualitas yang dapat diandalkan, para tamatan SMU/SMK dan Perguruan Tinggi minim terhadap kecerdasaan dan kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship).

Untuk mengatasi isu kritis perihal mutu (layanan) pendidikan, maka pihak-pihak terkait antara lain pemerintah, Civil Society, dan seluruh stakeholder di bidang pendidikan perlu bersinergi untuk mencari langkah-langkah strategis pencapaian mutu layanan pendidikan seperti diamanatkan oleh Pasal 31 Amandemen UUD 1945, Pasal 28 Konvensi Hak Anak (KHA), dan Pasal 12 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sekaligus menjadi arah dan dasar kebijakan pendidikan nasional.

 

3. MUTU PENDIDIKAN

Strategi yang perlu dilakukan dalam kegiatan peningkatan mutu pendidikan antara lain:

  1. Pendidikan dan pelatihan(off the job training). Pelatihan secara individual maupun dalam kelompok untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan terbaik dengan menghentikan kegiatan mengajarnya. Kegiatan pelatihan seperti akan memiliki keunggulan karena akan lebih terkonsentrasi dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
  2. Pelaksanaan tugas atau on the job training.Model ini dikenal dengan istilah magang. Pemagangan dapat dilakukan pada ruang lingkup lokal atau pada tempat lain yang memiliki mutu yang lebih baik.
  3. Lesson Studi. Kegiatan ini pada prinsipnya merupakan bentuk kolaborasi pendidik dalam memperbaiki kinerja mengajarnya dengan berkonsentrasi pada studi tentang dampak positif guru terhadap  kinerja belajar siswa dalam kelas.
  4. Penilitian Tindakan Kelas (PTK), kegiatan  ini dilakukan pendidik dalam kelas dalam proses pembelajaran. PTK dapat dilakukan sendiri dalam pelaksanan tugas, melakukan penilaian  proses maupun hasil untuk mendapatkan data mengenai prestasi maupun kendala yang siswa hadapi serta menentukan solusi perbaikan. Karena perlu ada solusi perbaikan. PTK sebaiknya dilakukan melalui beberapa putaran atau siklus sampai guru mencapai prestasi kinerja yang diharapkannya. Penelitian tindakan kelas ini merupakan salah satu sarana bagi pendidik untuk pengembangan profesi secara berkelanjutan.

 

4. RANGKUMAN

  1. Pelaksanaan pendidikan idealnya, pendidik yang efektif tidak membatasi diri hanya pada evaluasi yang formal dan terencana tapi secara berkelanjutan mengobservasi para anak didiknya dalam beragam konteks untuk mengumpulkan informasi mengenai pikiran, keyakinan, perasaan, dan hasil belajar.
  2. Pendidkan merupakan tantangan bagi pendidik untuk bisa mengambil keputusan. Seorang pendidik mungkin harus berpegang kuat pada pedoman pengajaran dan ketika seorang pendidik menjadi semakin berpengalaman, akhirnya akan mampu membuat keputusan-keputusan mengenai berbagai situasi dan masalah rutin secara cepat dan efesien serta akan memiliki banyak waktu dan tenaga untuk berpikir kreatif dan fleksibel mengenai cara-cara terbaik untuk mengajar.
  3. Di samping itu bahwa perubahan prilaku itu sebagai akibat belajar dari latihan (practice)  atau karena pengalaman (experience). Pada pengertian latihan dibutuhkan usaha dari individu yang bersangkutan, sedangkan dari pengertian pengalaman usaha tersebut tidak tentu diperlukan. Artinya adalah bahwa dengan pengalaman seseorang atau individu dapat berubah perilakunya, disamping perubahan itu dapat disebabkan oleh karena latihan.

 

Bahan Referensi

Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional

Jamaris, Martini, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, cet.ke-1, Bogor: Ghalia Indonesia, 2013

Rogers, Everett M, 1995, Diffusions of Innovations, Forth Edition. New York: Tree Press.

Skinner. 1958. Model Dan Media Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maping Daerah Tujuan Wisata Danau Ranau

     Posted on Sun ,27/03/2016 by yani_ranius

Berbicara masalah Objek Wisata kita selalu terpaku akan keindahan objek wisata baik didalam negeri seperti ; Bali, Jogyakarta, Lombok maupun diluar negeri seperti ; Singapore, Malaysia, Thailand sehingga kita memfokuskan diri untuk kesana dengan menabung uang yang tidak sedikit. Kita melupakan keindahan objek wisata di daerah sendiri yang sebetulnya tidak kalah jika dibandingkan dengan objek wisata didalam dan luar negeri.

Menjawab  pertanyaan mengenai destinasi wisata di Sumatera Selatan sulit mendapat jawaban yang tuntas, jika pertanyaan itu telah diperoleh melalui pemetaan wisata seperti;

  1. Berapa lama perjalanan
  2. Dimana tempat perhentian/ rest area setiap 2 jam perjalanan
  3. Objek wisata apa saja didaerah yang akan dituju dan daerah yang kita lalui
  4. Sarana Akomodasi
  5. Makanan, cindera mata sebagai Kenangan
  6. Masyarakat, Budaya daerah dan lain lain sebagainya.

Hal inilah yang akan dijalani oleh mahasiswa dan mahasiswi Universitas Bina Darma Palembang Program Studi Manajemen Perusahaan Konsentrasi Industri Pariwisata dan perhotelan terhadap ketertarikan untuk mengadakan kegiatan “Mengenal Daerah Wisata Sendiri”

Danau Ranau karena daerah ini memiliki objek wisata yang komplit seperti; Danau, Air terjun, Air panas, Pegunungan, Irigasi sawah, Kebun Teh, Tapak Sipahit Lidah dll, sayangnya informasi untuk menuju kesana informasinya masih minim.

Kegiatan ini akan sangat bermanfaat untuk mata kuliah seperti; Front Office, Housekeeping, Praktek Komunikasi, Tour and Travel sehingga hasil dari kunjungan ini, dapat dibuat paket wisata yang akan dijual ke travel agent maupun teman teman kuliah di Universitas Bina Darma. Sehingga nantinya kegiatan ini akan menjadi acuan “Wisata Pelajar” SMA, SMP dan SD di Sumatera Selatan. Juga akan melihat sarana Akomodasi adakah hotel yang layak, dapatkah rumah penduduk ditempati sebagai home stay, souvenir, makanan khas daerah. Disamping itu kegiatan ini berkaitan erat dengan mata kuliah Bahasa Inggris guna menghadapi persaingan di masyarakat Ekonomi Asean yang sudah dimulai di tahun ini.

Maksud dan tujuan kegiatan ini :

  1. Mengenal Daerah Wisata Sendiri
  2. Menimbulkan cinta kepada daerah wisata sendiri sehingga akan dilanjutkan ke daerah kabupaten lainnya.
  3. Menciptakan multiflier effect dari kegiatan Pariwisata yang dapat menjadi motor penggerak roda perekonomian perdesaan dalam rangka peningkatan kesejahteraan ekonomi kerakyatan.
  4. Memberikan wawasan, pengetahuan dan kesadaran pariwisata kepada masyarakat daerah wisata desa Pantai, Kotabatu, kec Warkuk Ranau Selatan Kabupaten OKU Selatan sehingga dapat diciptakan Desa wisata nantinya.

Jayalah Wisata Indonesia.