Monthly Archives: February 2014

Penyesuaian perkawinan

25 February 2014

Memasuki dunia perkawinan antara dua orang individu dalam sebuah perkawinan dan mulai berbagi dalam hal kehidupan baik perbedaan antara mereka dalam aspek psikolois, sosial, kebudayaan yang kemudian bercampur dalam cara tertentu sehingga membuat perkawinan menjadi unik. Pada pasangan perkawinan tradisional, posisi peran suami dan istri secara jelas dibedakan. Sementara perkawinan kontemporer lebih memiliki banyak pilihan dan alasan pilihan, sehingga perkawinan benar-benar ditandai oleh kebutuhan-kebutuhan yang unik dengan keinginan dan harapan-harapan yang unik pula.

komunikasi merupakan pusat cara kedua pasangan untuk hidup harmonis satu sama lain. Serentak setelah dua pasangan berkomunikasi, maka merek berbagi dalam sistem interaksi yang selalu berubah dan bergerak maju seraya terjadinya perubahan fase kehidupan pada masing-masing pasangan disamping berbagi perasaan, pengasuhan anak-anak, waktu-waktu yang menyenangkan dan waktu-waktu menghadapi masalah.

Masa transisi dalam awal kehidupan perkawinan diharapkan dapat dilalui dengan penuh romantisme dan membahagiakan. Untuk beberapa pasangan memang demikian kejadiannya, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa pasangan tersebut juga menghadapi beberapa kesulitan dalam masa transisi tersebut,biasanya berlanjut pada kehidupan selanjutnya dalam perkawinan. Pada umumnya dalam mencari titik temu dari berbagai perbedaan antar pasangan, akan memungkinkan kedua pasangan menghadapi berbagai dilema mendasar yang akan menciptakan permasalahan serius.

Perkawinan yang terdiri dari dua individu yang unik membawa history dari pengalaman-pengalaman, memori, dan cara bertingkah laku pada masa lalunya. Dimana perilaku masing-masing pasangan dibentuk an dipengaruhi oleh faktor genetik, fisiologis, psikologis, sosial dan budaya yang dibawa sejak lahir. Sehingga dapat dibayangkan sulitnya dua perbedaan yang mendasar dapat menyatu dengan harmonis dalam ikatan perkawinan yang mereka jalin karena sulit ditemukan cara yang membuat pendapat dan perasaan kedua pasangan terakomodasi. Kemampuan untuk mengekspresikan ide, perasaan dan mendengar pesan pasangan merupakan inti dari proses “Komunikasi”.

 

 

 

 

Reaksi Negatif Terhadap Otoritas Perempuan

25 February 2014

Diskriminasi berdasarkan gender adalah suatu yang illegal di berbagai Negara. Hasilnya, bisnis, sekolah, dan organisasi social tidak lagi menolak pelamar pekerjaan atau tes masuk hanya karena wanita (atau pria). Bahkan pada saat ini banyak wanita yang mampu menjadi pemimpin yang efekif. Wanita telah terpilih untuk menduduki jabatan di kantor-kantor besar, dalam beberapa contoh direktur perusahaan besar dan organisasi. Akan tetapi, bagaimana orang bereaksi terhadap wanita dengan posisi otoritas? Apakah orang-orang memandang mereka sama tinggi dengan pria? Jawaban terhadap kedua pertanyaan tersebut tampaknya adalah tidak. Bawahan sering kali menyatakan hal yang sa,a terhadap pemimpin perempuan dan laki-laki, mereka sebenarnya hal yang sama terhadap pemimpin perempuan dan laki-laki, mereka sebenarnya mendemostrasikan tingkah laku nonverbal yang lebih negative terhadap pemimpin wanita (Butler & Geis, 1990).

Fakta yang bahkan lebih mengganggu daripada hal ini adalah ketika wanita menjadi pemimpin, mereka cenderung menerima evaluasi yang lebih buruk dari bawahannya daripada pria. Hal ini khususnya benar bagi pemimpin perempuan yang mengadposi gaya kepimpinan yang dipandang   streotipe maskulin (otokratik, mengarahkan), di bidang mana sebagian besar pemimpin laki-laki, dan ketika orang yang mengevaluasi pemimpin tersebut laki-laki. Penelitian menyatakan bahwa wanita terus menerus menghadapi tekanan yang tersamar bahkan ketika mereka mencapai posisi kepemimpinan dan otoritas.

Proyeksi Komplementer

24 February 2014

Ketika berjalan sendirian di mala hari pada gang yang sempit, saat menelusuri jalan tersebut, ada rasa cemas dan takut. Suara-suara gaduh tikus pun dirasakan sebagai suatu yang terdengar sangat jelas dan menambah perasaan cemas pada diri sendiri. Saat melihat kearah ujung jalan, dan melihat seorang laki-laki berjaket berjalan menuju kitsa. Kecemasan yang dirasakan berubah menjadi perasaan takut. Laki-laki berjaket tersebut digambarkan sosok yang mengancam. Kita pun mencoba menambah irama jalan sedikit lebih cepat bakhan bertambah sampai berlari.

Kondisi tersebut di dalam istilah psikologis dinamakan kondisi proyeksi komplementer. Proyeksi komplementer adalah suatu kondisi berupa kecemasan, marah atau ketakutan dalam diri sendiri yang mempengaruhi gambaran ketika menilai orang lain. Saat muncul perasaan takut pada diri seseorang, maka orang tersebut akan menggambarkab orang lain yang mencurigakan, tidak dikenal, dan yang telah dipandang negative sebagai sesuatu yang mengancam.

Ketika kondisi cemas atau takut yang dirasakan penyebabnya bukan dari kesalahan internal, maka penyebab akan diproyeksi ke orang lain. Dengan kata lain, orang lain dijadikan sebagai penyebab rasa cemas dan rasa takut. Cara yang lebih dalam mengilustrasikannya dengan mempelajari proses proyeksi komplementer dengan penelitian eksperimen

Mengurangi dampak kesalahan-kesalahan dalam atribusi

21 February 2014

Pemahaman tentang suatu kondisi emosional seseorang dapat sangat bermanfaat dalam berbagai hal, dimana dapat memahami sifat-sifat individu yang lebih menetap dan mengetehui penyebab di balik perilaku tersebut.  Menurut para ahli psikologi sosial, bahwa tidak hanya mengetahui sebab akibat seseorang berperilaku  tapi yang lebih jauh kita ingin tahu bagaimana seseorang berbuat demikian. Proses  di mana kita mencoba mencari informasi ini disebut dengan Atribusi. Atribusi adalah suatu usaha untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus, juga penyebab dibalik perilaku kita sendiri (Baron & Byrne, 2009)

Atribusi sangat rentan terhadap kesalahan, padahal kesalahan ini bisa berakibat fatal baik bagi kita maupun bagi orang yang bersangkut. Maka ada perlunya untuk menghindari kekeliruan yang terjadi.

Bias Korespondensi : Kesalahan Atribusi Fundamental

Mengatribusikan perilaku orang lain pada faktor-faktor internal (disposisional), meskipun faktor-faktor eksternalnya (situasional) jelas-jelas ada dan mungkin berpengaruh. Untuk mengurangi kesalahan ini mencoba untuk berada di posisi orang yang sedang diatribusikan. Dengan kata lain, melihat dari sudut pandang orang tersebut. Setelahnya menyadari bahwa dari perspektif mereka, ada banyak faktor eksternal yang berperan dalam membentuk tingkah laku mereka.

Efek Aktor-Pengamat : “Saya berbuat begini karena pengaruh situasional, dan sebaliknya”

         Kesalahan ini ini biasanya lebih melihat diri kita dari  aspek-aspek eksternal, dan melihat orang lain dari aspek-aspek internal. Sehingga kesalahan dapat menyebabkan kesalahan menggeneralisasi orang dan sifat-sifat yang dimilikinya. Untuk menghindari kesalahan seperti ini, mencoba membayangkan diri sendir sebagai orang tersebut dan menanyakan pada diri sendiri, “Mengapa saya melakukan hal itu?”. Setelah itu kita akan menyadari bahwa ada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tingkah laku tersebut. Lalu  menanyakan kembali kepada diri sendiri, ” Apakah saya berbuat demikian karena sifat saya memang begitu, atau disebablan motif-motif yang lain yang tidak saya sadari?” Hal ini akan membantu untuk mengapresiasi penyebab-penyebab dari perilaku.

Bias Mengutamakan Diri Sendiri : “Saya Memang Bagus; Kamu Hanya Beruntung.”

         Kemungkinan kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mengatribusi kesuksesan pada faktor internal, seperti kemampuan diri atau kerja keras, namun mengatribusi kegagalan pada faktor eksternal seperti nasib atau kekuatan diluar diri. Kencenderungan ini dapat membuat terlalu berlebihan dalam mengukur kontribusi suatu proyek kerja kelompok, yang kemudian dapat memicu perselisihan yang tidak perlu terjadi dalam suatu kelompok. Hal ini dapat mengurangi kesempatan untuk mampu belajar mengambil hikmah dari suatu kegagalan. Cara mengurangi kesalahan ini cukup menyadari keberadaannya, jadi akan sadar bahwa kesuksesan tidak selamanya berasal dari faktor internal diri, dan bahwa kegagalan disebabka salah satunya oleh faktor dalam diri.