Beberapa Adab Dalam Hubungan Kerja

Beberapa Adab Dalam Hubungan Kerja

  1. Hanya Mempekerjakan Sesama Muslim. 

Nabi saw. pernah bersabda: فلن أستعين بمشرك  (falan asta’iinu bimusyrikin) “…Aku tidak akan meminta bantuan  kepada orang musyrik.” [1]. ‘Umar bin Khattab r.a. sangat marah ketika Abu Musa al-Asy’ari  r.a. mempekerjakan seorang Nasrani sebagai juru tulis pada masa kepemimpinannya di Kufah. Terkecuali jika ia tidak menemukan seorang Muslim hingga ia terpaksa mengupah orang musyrik, itupun dengan syarat tidak memberikan kekuasaan kepada orang tersebut atas aset-aset kaum Muslimin.

Karena Allah Ta’ala berfirman:

وَلَن يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لِلۡكَـٰفِرِينَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ سَبِيلاً 

… dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (Q.S. An-Nisa: 141).

  1. Mempekerjakan Orang Yang Kuat dan Terpercaya

Hendaknya mempekerjakan seseorang yang pada dirinya sifat amanah, bagus agamanya, kuat dan layak, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَـٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِىُّ ٱلۡأَمِينُ

karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja [pada kita] ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”  (Q.S. Al-Qashash: 26).

Sebab orang yang memiliki sifat-sifat seperti ini akan mampu melaksanakan tugas dan lebih bertaqwa kepada Allah dalam tugasnya. Adapun yang memiliki sebagian sifat di atas dan tidak memiliki sebagian yang lain akan menyebabkan kekacauan sehingga pekerjaan tidak akan sempurna hasilnya sebagaimana yang diharapkan. Disebutkan dalam satu riwayat bahwa ‘Umar r.a. berkata: “Ya Allah aku mengadukan kepada-Mu kelemahan orang yang amanah dan penghianatan orang yang kuat.”

  1. Kemudahan Dalam Muamalah

Yang dimaksud adalah muamalah antara majikan dan pekerja yang diwarnai dengan kemudahan, kelembutan, dan penuh kerelaan hati. Islam sangat menganjurkan kemudahan dalam semua muamalah. Rasulullah saw. bersabda: “Allah merahmati orang yang mudah jika menjual, membeli dan menagih.” [2]

  1. Kesepakatan

Maksudnya adalah kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya, yakni tentang jenis pekerjaan, karakter dan perinciannya, serta upah yang pantas sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Kesepakatan ini akan memutuskan sebab-sebab perselisihan, menutup pintu masuk syaitan, serta mencegah kecurangan dan penipuan. Sebagaimana pula majikan tidak boleh memanfaatkan kefakiran pekerja atau memaksanya mengerjakan sesuatu hingga merugikan haknya, atau memberinya upah yang tidak pantas dan tidak sesuai dengan pekerjaan. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang pekerjaan beliau menggembala kambing, Beliau bersabda: “Aku menggembala kambing millik penduduk Makkah dengan upah beberapa Qirath.” [3]

  1. Tidak Boleh Mempekerjakan Seseorang untuk Perkara yang Haram

Seorang pekerja tidak boleh menerima pekerjaan yang di dalamnya terkandung kemarahan Allah ta’ala. Misalnya menjaga toko yang menjual barang haram seperti makanan tidak halal, minuman keras, majalah dan CD-CD porno, dan lain-lain. Demikian juga bagi majikan, janganlah mempekerjakan seseorang untuk membantunya melakukan pekerjaan yang haram. Hal demikian akan menambah dosa pada dosanya yang pertama, yaitu melakukan perbuatan haram, dengan dosa baru, yaitu mengikut sertakan orang lain dalam perkara haram tersebut.

Allah Ta’ala telah berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰ‌ۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٲنِ‌ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ‌ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam [mengerjakan] kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.  (Q.S. Al-Ma’idah: 2).

6 Amanah dalam Melaksanakan Tugas dan Pekerjaan

Sudah selayaknya seorang pekerja melaksanakan tugasnya dengan penuh amanat dan tidak berkhianat. Hendaknya ia bertakwa kepada Allah Ta’ala, bahkan ketika majika tidak ada. Ia harus tetap muraqabah (merasa dalam pengawasan) dengan Rabbnya dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.

Firman Allah Ta’ala:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِ‌ۚ

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (Q.S. An-Nisa: 58).

  1. Menyerahkan Hasil Keuntungan kepada Majikan

Seorang pekerja tidak boleh mengambil sesuatupun untuk dirinya karena itu merupakan penghianatan. Sebagaimana ia juga tidak boleh menyerahkan keuntungan kepada selain majikannya. Sesungguhnya itu adalah kedzaliman. Demikian juga hendaknya ia bersikap wara’ (berhati-hati ) dalam menerima hadiah yang diserahkan kepadanya disebabkan posisinya pada jabatan itu. Rasulullah saw. bersabda: “Seorang bendahara yang amanah, yang menunaikan apa yang diperintahkan kepadanya dengan senang hati, termasuk orang yang bershadaqah.” [4].

  1. Berbelas Kasih kepada Pegawai

Hendaknya seorang majikan tidak membebani pegawai dengan pekerjaan diluar kemempuan atau memikulkan kepadanya pekerjaan yang tidak sanggup ia kerjakan. Terkecuali jika majikan turun membantunya mengerjakan tugas yang berat itu. Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak mampu. jika kalian membebankan sesuatu kepada mereka, maka bantulah.” [5]

  1. Menunaikan Hak Pekerja

Hendaknya seorang majikan menunaikan hak-hak pekerja yang telah disepakati sebelumnya, segera setelah ia menyelesaikan tugasnya,

berdasarkan sabda Rasulullah saw    .أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.” [6]

Rasulullah saw. juga bersabda:

“Allah Ta’ala berfirman: ‘Ada tiga macam orang yang langsung Aku tuntut pada hari Kiamat: Orang yang membuat perjanjian atas nama-Ku lalu ia langgar; orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya; dan orang yang mempekerjakan orang lain, yang orang itu telah menyempurnakan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan gajinya (upahnya). [7]

  1. Menjaga Hak-Hak Pekerja yang Pergi (Tidak Hadir)

Hendaknya seorang majikan tetap menjaga hak-hak pekerja jika ia pergi sebelum ditunaikan haknya, baik karena sakit, pergi tiba-tiba, atau sebab lainnya. Seandanya upah pekerja itu bergabung dengan harta majikan dan terus bertambah keuntungannya ketika si pekerja pergi, hendaknya majikan menyerahkan upah itu berikut keuntungannya. Ini merupakan amal shalih dan bentuk penunaian amanah.

 

This entry was posted in AGAMA. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *