KEPEMIMPINAN

PERAN PEMIMPIN DALAM PENGEJAWANTAHAN BUDAYA

Publish by Wiwin.A. (Sumber : Th. Dewi Setyorini )

 

Abstrak

Keberadaan pemimpin dalam suat organisasi memiliki peran yang

sangat penting terlebih dalam situasi dimana terjadi ambiguitas peran.

Fungsi pemimpin tidak hanya sekedar membimbing dan mengarahkan

anak buah, namun yang terpenting adalah bagaimana pemimpin mampu

memberikan visi dan misi atau arah yang jelas kemana organisasi akan

dibawa. Dalam era dimana terjadi pergeseran budaya, maka tidak bisa

dipungkiri lagi ahwa dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki

kepekaan dan intuisi yang tajam sehingga anak buah tahu ke arah mana

mereka hendak menuju.

 

A. Pendahuluan

Era pembangunan telah berjalan sedemikian pesat dan hal ini tanpa dapat dipungkiri

telah membawa pada sejumlah dampak, baik dampak yang bersifat positif maupun negatif. Salah satu bukti yang menunjukkan pesatnya kemajuan itu adalah perdagangan dunia yang kini telah membawa perubahan-perubahan pada sistem pasar. Globalisasi yang dulu seIing didengung-dengungkan dan diyakini belum akan berpengaruh dalam waktu dekat, kini telah menunjukkan pengaruhnya yang sangat kuat. Melemahnya mata uang di beberapa negara Asia adalah satu bukti yang tidak dapat dipungkiri. Akhir-akhir ini orang dibuat terperangah dan terkejut dengan pukulan dolar terhadap mata uang negara. Dimulai dengan menurunnya nilai Baht yang kemudian diikuti negara-negara sekitarnya menunjukkan bahwa sistem pasar terbuka telah benar-benar dirasakan dan memaksa orang untuk menyadari serta mengambil langkah-langkah penting agar segala dampak yang terjadi dapat diantisipasi sedini mungkin.

Faktor lain yang pada akhirnya tidak dapat dihindarkan adalah batas-batas negara

menjadi kabur sehingga setiap negara tidak bisa lagi secara kaku memperhatikan sistem

yang mereka ambil. Budaya yang mendasari sistem yang ada pada akhirnya juga turut

memegang pengaruh yang sangat besar. Hal ini terlihat pada budaya yang berkembang di negara Indonesia sendiri. Jika pada masa lalu budaya gotong royong -yang terlihat sangat jelas pada masa perjuangan- masih sangat kuat melekat dalam diri orang-orang Indonesia, hal itu nampaknya kini harus dipertanyakan lagi. Gempuran yang sangat kuat terhadap nilai mata uang Indonesia mendorong orang-orang dari satu golongan tertentu untuk menyelamatkan diri sendiri tanpa memperhitungkan pihak lain. Hal ini menimbulkan suatu tanda tanya adakah nilai-nilai individual yang pada dasarnya bukan nilai-nilai bangsa telah merasuki bangsa yang terkenal akan semangat gotong-royongnya.

Budaya yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai, kebiasaan, ritual, mitos maupun

praktek-praktek yang terus berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat merupakan nafas

yang menjiwai dan mengarahkan perilaku para anggota (Robbins, 1996 ) semestinya

mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini budaya tidak hanya

sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya tersebut memiliki peran

sebagai pemberi identitas dan ‘normative glue’. Pemimpin dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya tersebut dapat dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para anggotanya.

Namun kenyataan justru menunjukkan bahwa peran pemimpin dalam hal ini

menjadi sangat tidak jelas sehingga anggota-anggotanya menjadi kehilangan kepercayaan

dan pada akhirnya kehidupan organsasi menjadi kehilangan keseimbangan. Jika

kepercayaan telah menipis, maka akibat yang timbul adalah nilai-nilai kebersamaan hilang dan masing-masing individu berusaha menyelamatkan diri masing-masing dalam situasi yang sangat rumit.Hal inilah yang perlu menjadi suatu bahan refleksi bersama: bagaimana sebenarnya peran pemimpin diterima dan dihayati oleh para anggotanya? Bagaimana peran pemimpin dalam penanaman budaya organisasi dan berbagai nilai kebersamaan? Bagaimana peran budaya di masa yang akan datang ketika situasi telah sedemikian kompleks. Berdasar pada renungan itulah, maka tulisan ini disusun dengan harapan orang kembali pada kekuatan yang dimiliki dengan menggali budaya yang ada guna menghadapi situasi yang menekan dan tidak jelas.

 

B. Pemimpin dan Kepemimpinan

Masalah kepemimpinan merupakan hal yang sangat luas dan menyangkut bidang

yang sangat luas dan memainkan peran yang sangat penting dalam bidang pemasaran,

pendidikan, industri, organisasi sosial bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap

masyarakat timbul dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin

sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin adalah orang kebanyakan. Tanpa adanya seorang pemimpin maka tujuan organisasi yang dibuat tidak

akan ada artinya karena tidak ada orang yang bertindak sebagai penyatu terhadap berbagai kepentingan yang ada. Jika melihat perkembangan berbagai teori mengenai kepemimpinan yang ada, maka timbul suatu kesadaran bahwa perkembangan teori kepemimpinan telah berkembang sedemikian pesat sejalan dengan perkembangan kehidupan yang ada. Kepemimpinan tidak lagi dipandang sebagai penunjuk jalan namun sebagai partner yang bersama-sama dengan anggota lain berusaha mencapai tujuan.

Berangkat dari pengertian kepemimpinan itu sendiri, sejak awal mula telah begitu

banyak ahli mencoba mendefisikannya dengan berbagai aspek dan pendekatannya. Istilah

ini pun telah sangat dikenal dalam kehidupan sehari-hari karena menyangkut bidang yang

sangat luas.

 

Stogdill (1950) yang telah lama berkecimpung dalam bidang ini menyatakan bahwa jumlah definisi tentang kepemimpinan dapat dikatakan sama dengan jumlah orang

yang telah berusaha mendefinisikannya. Ia sendiri mengartikan kepemimpinan sebagai

proses atau tindakan untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Fiedler (1967) adalah salah satu ahli lain yang banyak meneliti mengenai kepemimpinan menyatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap sekelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan.

 

 

Dari dua definisi yang telah diajukan tersebut secara jelas menunjukkan bagaimana

kepemimpinan tersebut diartikan, yaitu berkaitan usaha mempengaruhi dan menggunakan

wewenang. Pengertian tersebut memberi suatu pemikiran bahwa pemimpin dipandang

sebagai orang yang memiliki kecakapan lebih dalam usaha untuk memotivasi orang

melakukan sesuatu seperti yang diharapkan pemimpin. Lebih detail dalam bukunya Leadership in Organization, Yukl (1989) menjelaskan bahwa pada dasarnya fokus perhatian dalam berbagai penelitian mengenai kepemimpinan adalah mencoba mendalami determinan-determinan kepemimpinan yang efektif. Para ahli perilaku telah berusaha untuk mengembangkan apa sifat, perilaku, sumber kekuasaan, atau aspek-aspek situasi yang menentukan bagaimana sebaiknya pemimpin dapat mempengaruhi pengikut dan agar mereka mencapai sasaran kelompoknya. Jadi pada intinya, teori-teori terdahulu lebih meninjau kepemimpinan pada siapa yang memiliki keahlian untuk mempengaruhi, dan dalam konteks dimana pengaruh itu digunakan. Perbedaannya terutama terletak pada ketidaksetujuan mengenai identifikasi mengenai pemimpin dan proses kepemimpinan.

Lebih lanjut Yukl menguraikan, beberapa teori meyakini bahwa kepemimpinan tidak berbeda pada proses sosial yang terjadi diantara semua anggota kelompok dan kepemimpinan dipandang sebagai proses kolektif yang terbagi diantara para anggotanya.

Pandangan yang lain berpendapat bahwa pada dasarnya semua anggota kelompok memiliki peran tertentu yang mencakup peran kepemimpinan khusus. Intinya bahwa pemimpin dan kepemimpinan tidak bisa hanya dipandang sebagai proses mempengaruhi dengan kekuasaan yang dimiliki tetapi yang terpenting adalah bagaimana pemimpin menjadi partner bagi anggotanya guna mencapai tujuan bersama. Jadi efektif tidaknya pemimpin tergantung pada bagaimana anggota dilibatkan dalam pencapai sasaran organisasi. Salah satu teori mengenai kepemimpinan paling awal yaitu teori sifat memandang bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, yaitu : memiliki inteligensi yang tinggi, berkharisma, mampu membuat keputusan, antusias, memiliki kekuatan, berani, memiliki integritas, dan percaya diri. Banyak contoh mengenai pemimpin dengan karakteristik demikian, antara lain :

Mahatma Gandhi, Martin Luther, Jr., Joan of Arc, dsb. Namun pada kenyataannya, tidak

semua pemimpin memiliki kesemua karakeristik, ada diantara mereka yang hanya memiliki beberapa dari karakteristik tersebut namun telah mampu menggerakkan orang kebanyakan.

Teori ini mendasarkan pemikiran bahwa pemimpin itu dilahirkan. Pandangan teori yang lebih baru memperkenalkan kepemimpinan situasional, yaitu keberhasilan kepemimpinan melibatkan sesuatu yang lebih kompleks dari hanya sekedar sifat-sifat tertentu atau perilaku-perilaku yang diinginkan. Hubungan antara gaya kepemimpinan dan efektivitas kepemimpinan bergantung pada sejumlah kondisi, satu gaya kepemimpinan hanya tepat diterapkan pada satu kondisi atau situasi tertentu (Robbins dan Coultar, 1996). Jadi dengan demikian seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan kepekaan membaca situasi sehingga ia tahu mana gaya yang paling tepat yang harus dia munculkan dalam situasi tersebut. Dalam bukunya Absolute Leadership, Philip Crosby (1996) menyatakan bahwa berdasar pada pengalamannya pribadi selama bertahun-tahun- kualitas kepemimpinan tidak hanya sekedar kemampuan untuk merespon secara efektif terhadap situasi tertentu, tetapi  seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang diarahkan oleh kemutlakan tertentu  (certain absolute). Dia tidak membahas mengenai suatu gaya kepemimpinan tetentu, atau memberikan suatu resep bagi keberhasilan pemimpin, namun dia melihat praktek kepemimpinan sebagai suatu penjabaran dari keyakinan pemimpin yaitu suatu inti kompetensi personal yang tinggi yang sungguh-sungguh dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin pada hakekatnya harus memegang teguh suatu gambaran besar dalam pikirannya baik yang berkaitan dengan budget dan finansial, kualitas produk, pelayanan, customers, peers, bosses, dan suppliers. Dia tidak pernah kehilangan perhatian terhadap kenyataan bahwa kualitas kepemimpinan tumbuh dan tercipta dari hubungan dengan orang-orang lain dalam organisasi dan bahwa pemimpin harus meluangkan waktu untuk menjaga hubungan tersebut. Penekanan yang ada adalah menyentuh pada hubungan emosi tidak hanya pada rasio saja. Jadi kepemimpinan lebih menyentuh pada hati dan jiwa. Pemimpin yang sesungguhnya adalah seseorang yang mengetahui bahwa keberhasilannya tidak tergantung titlenya, tetapi pada pilihan yang mereka buat dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh. Dalam hal ini Phillip Crosby membantu orang untuk membuat pilihannya secara bijaksana. Lebih lanjut Crosby mengartikan kepemimpinan adalah secara sengaja menunbuhkan tindakan dalam diri orang dalam suatu cara yang terencana yang bertujuan untuk memenuhi agenda pemimpin. Dari definisi ini terkandung pengertian bahwa memilih orang secara berhati-hati dan mengarahkan mereka untuk mencapai tujuan yang ada dengan jelas dalam pikiran, mendorong orang untuk berusaha mencapai tujuan, mengarahkan untuk peka terhadap segala yang terjadi serta mengambil sikap tertentu untuk mengantisipasinya,

yang terakhir adalah bahwa pemimpin harus memiliki agenda yang jelas mengenai apa dan bagaimana kehendak mereka.

 

Kepemimpinan yang absolut menurut Crosby adalah kepemimpinan yang memiliki

1. Clear agenda, seorang pemimpin idealnya memiliki dua agenda : satu agenda bagi

dirinya sendiri, dan yang kedua adalah agenda bagi organisasinya. Tujuan dari agenda

organisasi adalah untuk menentukan kerangka kerja dari semua pekerjaan yang

dilakukan; sedangkan personal agenda berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh

pimpinan pribadi sesuai dengan apa yang memang sungguh-sungguh ia inginkan bagi

dirinya sendiri, dan hanya dia pribadi yang mengetahui. Dalam hal ini agenda tersebut

harus dapat diungkapkan dalam kalimat yang dapat dengan jelas diterima dan tujuan

yang dtentukan dapat diukur.

2. Personal Philosophy, seorang pemimpin hendaknya memiliki philosophi pelaksanaan

yang bersifat pragmatis dan dapat dipahami. Kerangka kerja dari pelaksanaan

philosophi tersebut diciptakan dari belajar, inovasi dan keputusan

3. Enduring Relationship, kehidupan organisasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah

transaksi dan hubungan. Kunci untuk menjaga suatu hubungan adalah adanya

penghargaan terhadap orang lain, memandang orang lain dengan cara yang positif dan

keinginan untuk bekerja sama. Orang lain dalam hal ini tidak hanya terbatas pada

anggota-anggota saja tetapi termasuk di dalamnya adalah customers, peers, coworkers,

maupun suppliers.

4. Worldly, mendunia (being ‘worldly’) berkaitan dengan budaya lain, tekhnologi, dan

pengumpulan informasi. Hal ini berarti pula bagaimana pemimpin mampu menfaatkan

tekhnologi-tekhnologi baru, memahami pasar global, penghargaan terhadap orang lain,

budaya, kondisi dan praktek-praktek bisnis yang berlangsung. Berarti pula mengetahui

apa yang sedang terjadi dan mengumulkan informasi yang bersifat up-to-date.

Dengan demikian jelaslah bagaimana pandangan Crosby mengenai kepemimpinan. Hal

ini terutama dilandasi oleh adanya tantangn di masa yang akan datang yang menuntut

adanya seorang pemimpin yang sungguh-sungguh memiliki komitmen dan prinsip hidup

yang tegas dan terarah.

Peter F. Drucker (1996) dalam bukunya mengenai the Leader of the Future lebih

menekankan mengenai bagaimana hendaknya seorang pemimpin hendaknya bersikap

dalam menghadapi dunia di masa yang akan datang. Dia mengatakan bahwa pemimpin

yang efektif tidak hanya sekedar mendelegasikan tugas, tetapi mereka pun melakukan apa

yang mereka delegasikan kepada anak buahnya. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa

‘kepemimpinan harus dipelajari dan dapat dipelajari’. Bukunya merupakan kumpulan pandangan dan pengalaman dari ahli maupun praktisi yang bergerak dalam kehidupan organisasi, yang dengan pandangan masing-masing memberi urun suara guna menghadapi kehidupan organisasi di masa yang akan datang. Dengan melihat percepatan akselerasi tekhnologi, kompetisi global, perubahan demografik telah menciptakan tipe organisasi baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Pendapat-pendapat di atas nampaknya telah mewadahi peran apa yang sebaiknya dibawakan oleh pemimpin. Pada dasarnya kepemimpinan menuntut kapabilitas yang tinggi. Pemimpin dalam hal ini menentukan dimana bisnis hendak berlangsung, sasran-sasaran yang hendak dicapai baik intenal maupun eksternal, aset dan skill yang diperlukan, kesempatan dan resiko-resiko yng dihadapi. Pemimpin dalam hal ini adalah ahli strategi yang memastikan bahwa sasaran organisasi akan dapat tercapai. Dalam hal ini perubahan sosial, inovasi tekhnologi dan meningkatnya kompetisi merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pemimpin. Oleh karena itu sangat dituntut bahwa pemimpin hendaknya memiliki talenta yang tinggi (Watson, 1996).

Pada akhirnya hanya pemimpin-pemimpin yang memiliki komitmen yang jelaslah

yang mampu menyelamatkan organisasi dari situasi yang kompleks. Pendapat-pendapat

memberi sumbangan yang jelas mengenai bagaimana pemimpin seharusnya bertindak

dalam setiap situasi yang dihadapi. Di atas kesemuanya itu, sebagaimana Schein

berpendapat bahwa setiap pemimpin hendaknya tidak melupakan akar budaya yang mereka miliki. Dengan menggali budaya yang dimiliki setidak-tidaknya orang mengetahui kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki sehingga mereka mengetahui sikap yang harus diambil, terutama jika situasi dan kondisi lingkungan sudah sedemikian rumit (crucial.)

C. Budaya Organisasi

Masalah budaya organisasi (Organization Culture) akhir-akhir ini telah menjadi

suatu tinjauan yang sangat menarik terlebih dalam kondisi kerja yang tidak menentu.

Budaya organisasi kembali digali guna menggali kekuatan-kekuatan diri yang telah dimiliki namun cenderung diabaikan. Pada saat lingkungan eksternal dianggap kurang mampu mengatasi masalah yang timbul, maka orang kembali menengok kekuatan yang ada meskipun hal itu diyakini pula tidak dapat menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Namun dengan menggali kultur yang ada, maka diharapkan dapat menggali kekuatan yang dimiliki.

Berikut ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan budaya, agar

diperoleh suatu gambaran mengenai budaya dengan berbagai aspeknya teruama dalam

konteks bagaimana budaya itu diinternalisasikan kepada para anggota-anggotanya sehingga dapat terejawantah dalam pola perilaku sehari-hari.

Budaya dalam suatu organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku

yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada di dalamnya dan

mengerahkan pada upaya mencari penyelesaian dalam situasi yang ambigu (Turner, 1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran bahwa setiap individu yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.

Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada hakekatnya tidak jauh

berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Budaya oleh Robbins dan Coultar (1996)

diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol, ritual, mitos, dan praktek-praktek yang terus berlanjut; mengarahkan orang untuk berperilaku dan dalam upaya memecahkan masalah. Lebih lanjut Deal dan Kennedy (1982) mengatakan bahwa budaya pada hakekatnya merupakan pola yang terintegrasi dari perilaku manusia yang mencakup pikiran, ucapan, tindakan, artifak-artifak dan bergantung pada kapasitas manusia untuk belajar dan mentarnsmisikannya bagi keberhasilan generasi yang ada. Dari pengertian ini dapat ditangkap bahwa budaya organisasi tidak bisa begitu saja ditangkap dan dilihat oleh orang luar, namun dapat dipahami dan dirasakan melalui perilaku-perilaku anggotanya serta nilai-nilai yang mereka anut. Tanpa dapat dipungkiri, Deal dan Kennedy menambahkan, nilai pada hakekatnya merupakan inti dari suatu budaya. Ia meerupakan esensi dari philosophi organisasi. Nilai memberikan suatu pengertian arah secara umum (sense of common direction) bagi semua anggotanya dan petunjuk bagi perilaku sehari-harinya. Semakin kuat nilai-nilai itu diinternalisasi, maka semakin kuat pula budaya mempengaruhi kehidupan mereka. Terkadang budaya itu sedemikian kuat dan kohesif, sehingga setiap orang tahu tujuan organisasi dan mereka mau bekerja untuk mencapainya. Beberapa ahli menggunakan istilah budaya (culture) dan  iklim (climate) secara bergantian, namun pada hakekatnya keduanya memiliki arti yang berbeda. Organizational climate memiliki pengertin mengenai apa yang dirasa dan diamati mengenai bagaimana organisasi menjalankan fungsinya; sedangkan organizational culture memiliki pengertin yang lebih mendalam, merupakan sebab utama bagi terciptanya gaya operasional organisasi (Schultz dan Schultz, 1994). Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa budaya organisasi mencakup aspek yang lebih luas dan lebih mendalam dan justru menjadi suatu dasar bagi terciptanya suatu iklim organisasi yang ideal. Budaya pada hakekatnya merupakan pondai bagi suatu organisasi. Jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh, maka betapapun bagusnya suatu bangunan, ia tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bagiaman budaya itu seharusnya dibentuk. Dari berbagai pendpat tersebut yang tidak bisa dipungkiri adalah peran pimpinan.

Ada sejumlah tahapan bila suatu perusahaan ingin membntuk kulturnya. Pertama-

tama perusahaan tadi harus melihat ke depan mengenai apa visinya, kemudian sistem nilai apa yang dimiliki, selanjutnya bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalam organisasi itu sendiri, dan akhirnya melihat bagaimana sumber dayanya (Republika, 1997).

Dalam hal ini Susanto (1997) memiliki pendapat bahwa budaya organisasi dapat

dihidupkan pertama-tama melalui seleksi, yaitu memperoleh anggota yang setidak-tidaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya organisasi yang ada; manajemen atas, dalam hal ini manajemen atas mempunyai peran yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui tindakan-tindakannya; sosialisasi, budaya yang ada hendaknya terus-menerus disosialisasi baik anggota baru maupun anggota lama, prosesnya dapat berupa orientasi dan pelatihan melalui cerita-cerita tentang pendiri, ritual-rital yang ada, simbol-simbol, dan sebagainya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendiri memiliki peran yang sangat besar, karena bagaimana visi dan misi organisasi yang bersangkutan tidak terlepas pada bagaimana nilai-nilai pendiri tersebut. Pada akhirnya nilai-nilai tersebut harus diaktualisasikan dan menjadi nafas bagi organisasi yang ada.

Schein (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) menambahkan bahwa

proses terjadinya budaya perusahaan (organisasi) melalui tiga cara :

(1) para wirausahawan mengambil dan mempertahankan bawahan-bawahan (anggota-anggota) yang berpikir dan merasakan cara yang mereka lakukan,

(2) mengindoktrinasi dan mensosialisasikan cara berpikir dan cara merasakan mereka,

(3) perilaku mereka sendiri adalah model peran yang mendorong anggota untuk mengidentifikasi dan menginternalisasi keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi mereka. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana pemimpin memiliki pengaruh besar karena harus dapat bertindak sebagai model bagi terciptanya nilai-nilai yang ada.

Budaya yang dimiliki oleh suatu organisasi memiliki peran yang tidak kecil. Heskett

dan Schlesinger (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) mengatakan bahwa

pemimpin turut berperan dalammenciptakan kondisi budaya yang menjamin penciptaan

prestasi kerja. Hal ini disebabkan anggota dengan jelas mampu membaca apa yang

dikehendaki dari mereka sehingga mereka tahu dengan tepat apa yang harus mereka

lakukan dan sadar dalam membawakan peran mereka.

Dalam harian Republika (1997), diterangkan bahwa ada beberapa keuntungan

sebuah perusahaan (organisasi) memiliki kultur, yaitu: menentukan etika kerja, memberi

arah pengembangan, meningkatkan produktivitas dan kreativitas dan mengembangkan

kualitas barang dan jasa yang dhasilkan.

Steere, Jr. (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) berpendapat bahwa

budaya memiliki peran dalam memberi identifikasi dan prinsip-prinsip yang mengarahkan perilaku organisasi dan dalam membuat keputusan, mengembangkan suatu metode sehingga individu dapat menerima feedback atas prestasi mereka, menjaga sistem reward dan reinforcement yang diberlakukan dalam organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana budaya mampu memberi uatu identitas dan arah bagi

keberlangsungan hidup organisasi.

D. Peran Pemimpin dalam Pengejawantahan Budaya

Kondisi yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia yang terlihat oleh betapa rentannya

masyarakat terhadap berbagai macam isu menunjukkan betapa lemahnya kohesivitas yang ada dan betapa lemahnya peran pemimpin sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan

berbangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bersifat paternalistik, sehingga

dalam hal ini peran pemimpin adalah sebagai bapak yang mengayomi dan membina anak

buahnya. Figur inilah yang pada akhirnya menjadi panutan bagi seluruh anggotanya. Istilah ing ngarso sung tuladha nampaknya tepat guna mengambarkan bagaimana pola hubungan antara pimpinan dengan anak buah. Efek yang timbul adalah jika panutan ini hilang atau kabur fungsinya, maka yang timbul adalah kegelisahan karena orang menjadi kehilangan pegangannya. Sejak awal ditegaskan bagaimana peran pemimpin dalam menciptakan budaya yang kondusif dalam organisasinya. Konsep metaphor budaya yang diperkenalkan oleh Morgan (1986) memberi sumbangan pemikiran bagaimana melihat organisasi dari pandangan pengejawantahan budaya (the view of enactment). Pandangan ini menekankan bagaimana  seseorang membentuk dan menyusun realitas sosial yang ada dan menekankan peran aktif seseorang dalam menciptakan dunia yang diinginkan. Pada akhirnya metaphor budaya ini mendasari suatu konsep bagaimana budaya membentuk realitas yang terus berkelanjutan dalam suatu organisasi dan memberi dasar bagi terbentuknya perilaku anggota-anggotanya.

Dalam hal ini peran pemimpin sangat besar karena dialah yang harus mensosialisasikan

nilai-nilai yang ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda keran didasari oleh

kepentingan yang berbeda sehingga akan tercipta nilai-nilai yang dihayati bersama.

Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat

hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Hal ini sejak awal telah diantisipasi oleh Crosby (1996). Ia menekankan perlunya seorang pemimpin untuk

memiliki agenda yang jelas yang menyangkut diri dan organisasi sehingga ia tahu kemana arah yang dituju. Agenda tersebut seyogyanya menyangkut tujuan jangka panjang dan strtaegi jangka pendek yang hendak dicapai dengan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika situasi menjadi rancu dan ambigu. Justru dalam kondisi inilah akan nampak bagaimana peran pemimpin tersebut.

Pendapat di atas sesuai dengan Steere, Jr. (dalam Hesselbein, Goldsmith, Beckhard,

1996), ia mengatakan bahwa bagian terpenting dari tugas seorang pemimpin adalah

bertanggung jawab dalam pembentukan dan pengembangan budaya perusahaan, yang

dilakukan dengan jalan: mengidentifikasi dan mengkomunikasikan nilai-nilai dan prinsip

dasar yang memandu jalannya perusahaan dan pembentukan keputusan organisasi,

menetapkan perilaku yang menjadi contoh dari nilai-nilai dan prinsip organisasi dengan

memberi teladan, serta menguasai budaya perusahaan secara keseluruhan, mengenal dengan baik segi positif dan negatifnya dan memperkuat nilai-nilai pada hal-hal yang diharapkan oleh organisasi. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya memiliki visi yang jelas, wawasan yang luas, pandangan yang jernih terhadap situasi yang dihadapi, dengan demikian ia dapat membuat suatu keputusan yang didasari oleh keinginan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dengan visi yang jelas, ia dapat mempengaruhi orang lain agar dapat memaksimalkan pengembangan pribadi dan organisasi. Kesemua ini tidak terlepas dari pengusaan pribadi ( personal mastering) yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang akan tercantum dengan jelas dalam agenda pribadinya (Steere, Jr.,Bornstein dan Smith, Weber, Schein, Pinchot, dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996). Pemimpin yang dapat menjadi pemimpin adalah seseorang yang memiliki personal philosophy yang teguh. Ia tidak akan mudah terpengaruh oleh situasi yang ada di sekitarnya. Meskipun lingkungannya berubah demikian cepat, namun ia tetap punya komitmen dan konsisten tanpa kehilangan arah yang hendak dituju. Personal philisophy ini tidak begitu saja dimiliki oleh seorang pemimpin, namun tumbuh melalui proses belajar, memiliki kemauan melakukan inovasi, dan paling akhir adalah keberanian untuk mengambil keputusan yang didasari oleh kedua hal di atas. Hal-hal di atas hanya dapat dilaksanakan jika ia memiliki kesabaran, konsisten terhadap prinsip-prinsip yang dimiliki, serta memiliki motivasi intrinsik (Crosby, 1996). Dengan falsafah hidup inilah, maka anggota-anggota akan dapat menilai kekuatan karakter yang dimiliki pemimpinnya

sehingga mereka tidak akan segan-segan mengikuti pemimpinnya. Pendapat di atas diteguhkan oleh Pinchot, Schein, Covey, Bolt, Steere, Jr., Bornstein dan Smith, Weber (dalam Hesselbein. Goldsmith dan Beckhard, 1996) yang berpendapat bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki kepribadian yang menonjol, komitmen yang jelas, bobot dalam skala efektivitas: tidak mengenal lelah, kreatif, kredibilitas, ketenangan, kompetensi, kepedulian, karakter, harga diri, semangat serta integritas yang tinggi. Kompetensi-kompetensi tersebut sangat penting mengingat hal mendasar yang melekat dalam peran pemimpin adalah dirinya sebagai arsitek budaya, tanggung jawabnya terhadap budaya yang tidak dapat didelegasikan kepada orang lain. Oleh karena itu seberapa besar nilai-nilai yang pada akhirnya tercipta pada budaya yang dimiliki organisasi akan diinternalisasi oleh anggota-anggotanya dan terejawantah dalam kehidupan organisasi. Dengan dasar inilah maka organisasi akan tetap hidup meskipun lingkungan berubah karena ia menjadi pondasi bagi bangunan organisasi. Kehidupan organisasi tidak terlepas dari interaksi antara satu orang dengan orang lain. Interaksi tersebut tidak hanya terbatas pada anggota dengan anggota, anggota dengan pimpinan, tetapi dalam arti luas interaksi tersebut melibatkan orang-orang dengan siapa organisasi melakukan transaksinya yaitu dengan klien atau customer, supplier, peers, dan sebagainya. Interaksi tersebut tentu saja tidak akan berlangsung lama jika tidak didasari

oleh adanya penghargaan antara satu dengan yang lainnya. Seberapa besar nilai-nilai

pelayanan dan sikap positif mendasari para anggotanya akan terbaca dalam konteks

hubungan yang terjalin. Dalam hal inilah pemimpin menjadi suatu model bagi para

anggotanya. Bagaimana ia bersikap tehadap orang lain, tidak hanya sekedar sebagai

pimpinan yang memberi perintah tetapi yang terpenting adalah kemampuannya untuk

menjalin secara harmonis dengan tidak hanya mengandalkan rasio semata tetapi mampu

menempatkan emosi pada tempat yang semestinya (Crosby, 1996).

Agar hubungan yang terjalin tetap terjaga dengan harmonis, Weber (dalam

Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) memberikan suatu saran yaitu bahwa

pemimpin harus memberi peluang yang lebih banyak bagi orang lain untuk mencoba dan

melakukan sendiri tanggung jawabnya. Ia juga harus memberi dorongan dan semangat

sehingga terbangkit motivasinya, menegakkan kerja sama dan melakukan pemberdayaan

pada orang lain. Dalam Developing Three-Dimensional Leaders, James F. Bolt (dalam

Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) berpendapat bahwa pemimpin perlu

mengembangkan tiga dimensi kepemimpinan yaitu dimensi bisnis, kepemimpinan dan

personal. Ketiga-tiganya memiliki kaitan yang sangat erat. Salah satu dimensi tersebut yaitu personal, seorang pemimpin diharapkan memiliki kemampuan self-empowered dan

integration of work and life yang berarti ia harus selalu memperhatikan baik kehidupan

pribadi dan kehidupan kerjanya sehingga diperoleh keseimbangan kerja dan sosial.

Disamping ketiga point di atas perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, maka yang

tak kalah pentingnya adalah bahwa pemimpin harus being “worldly”, dengan kata lain

pemimpin dapat memanfaatkan pengembangan tekhnologi baru, memahami budaya yang ada dan budaya yang lain, serta selalu tidak pernah berhenti untuk mengumpulkan

informasi-informasi yang penting (Crosby, 1996). Hal ini berarti pula bahwa bahwa

pemimpin diharapkan memiliki orientasi ke masa depan, mengingat masa depan memiliki

kompleksitasnya sendiri yang terkadang justru tak terbayangkan sebelumnya (Bornstein,

dalam Hesselbein, Goldsmith, dan Beckhard, 1996). Di atas semua itu, pada dasarnya yang sangat dituntut pada diri seorang pemimpin adalah self-leadership (Leider, dalam

Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996). Lebih lanjut dikatakan, bahwa tanpa self-

leadership tidak mungkin seorang pemimpin dapat memimpin orang lain. Seorang

pemimpin diharapkan dapat menjadi model peran bagi anggotanya karena tanpa dapat

dipungkiri dialah yang mengkoordinasi orang lain agar bersama-sama mencapai tujuan

bersama. Landasan utama bagi nilai-nilai kebersamaan itu adalah kepercayaan penuh

kepada pemimpin. Ketika kepercayaan itu menipis atau bahkan hilang sama sekali, maka

yang timbul adalah keresahan dan pada akhirnya akan timbul kekacauan. Pada dasarnya seorang pemimpin menurut Myers (1983) adalah seseorang yang berfungsi : membantu mendefiniskan dan mencapai tujuan kelompok, dalam hal ini pemimpin membuat kebijakan dan merumuskan tujuan; memantapkan kelompok terutama ketika timbul ketegangan, dalam hal ini andil pemimpin sangat besar dalam upaya mengurangi adanya perbedaan dan mengajak kelompok bekerja sama; memberikan simbol identifikasi, dalam hal ini pemimpin bertindak sebagi simbol sehingga kelompok dapat dimantapkan dalam suatu kesatuan. Berdasar pada hal itu, maka cukup jelas bagaimana sebenarnya peran pemimpin dalam penciptaan stabilitas sistem sosial. Ketika terjadi krisis nilai-nilai kebersamaan, maka pemimpin diharapkan mampu mengambil sikap sehingga arah tujuan yang hendak oyang akan dapat kembali diluruskan. Fenomena yang sedang berlangsung di Indonesia akibat goncangan terhadap nilai mata uang rupiah kini tidak lagi dipandang sekedar masalah moneter, namun ternyata lebih dalam dari hal itu. Krisis kepercayaan yang terjadi menunjukkan betapa masyarakat mengalami suatu krisis dan hal ini membawa dampak yang sangat luas. Rentannya masyarakat terhadap isu-isu yang beredar menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan satu pegangan ketika krisis terjadi. Dalam hal ini perlu dipertanyakan kembali: adakah nilai-nilai berbagi kebersamaan (shared meaning) telah sungguh-sungguh diinternalisasi oleh anggota-anggotanya, adakah pemimpin telah sungguh-sungguh menjadikan dirinya

sebagai model bagi proses belajar anggotanya, adakah budaya yang ada sungguh-sungguh terejawantah dalam pola perilaku anggota-anggotanya. Pertanyaan-pertanyaan hendaknya perlu direnungkan kembali ketika kepercayaan telah sedemikian rendah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat vital antara

budaya dan kepemimpinan. Keberhasilan seorang pemimpin justru akan dilihat dalam

pengaruh mereka secara langsung terhadap budaya organisasi. Pada dasarnya pemimpin

berperan dalam pembentukan budaya, budaya membantu membentuk anggota-anggotanya (Turner, 1994). Pengejawantahan budaya hanya akan dapat dilihat lebih dekat melalui perilaku-perilaku para anggota serta semangat yang mendorongnya.

Pada akhirnya disadari bahwa pemimpin hendaknya memiliki suatu komitmen yang

jelas, baik komitmen pada diri pribadi maupun komitmen terhadap organisasi. Jika nilai-

nilai yang dimiliki adalah nilai-nilai kebersamaan dan kesejahteraan bersama, maka hal itu akan sungguh-sunguh terlihat pada spirit yang ada pada anggotanya. Ketika peran ini

diabaikan, tidak akan heran jika keberadaan organisasi akan hancur karena justru orang

cenderung meninggalkan budaya kebangsaan yang dimiliki serta justru memakai budaya negara lain yang menurutnya dianggap lebih baik. Dalam situasi yang demikian, refleksi dan introspeksi perlu dilakukan semua pihak dan keberanian mengakui kekurangan adalah tindakan bijaksana sehingga dapat dipastikan anggota akan kembali timbul kepercayaan. Justru ketika pemimpin mau menyadari kelemahannya, maka pada saat itu dukungan dari anggota akan muncul karena pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat pemaaf yang mudah melupakan suatu kesalahan.

E. Penutup

Pemimpin adalah sekelompok kecil orang yang terpilih dari berjuta orang karena

potensi dan kemampuan yang mereka miliki. Tanpa dapat dipungkiri peran ini membawa

sejumlah tantangan yang harus diatasi karena di pundak mereka tujuan kelompok

diletakkan. Meskipun demikian keberhasilan dan kegagalan organisasi tidak semata-mata tergantung pada pemimpin, dalam hal ini partisipasi dan keinginan berkorban dari anggota memiliki andil yang tidak sedikit. Suatu organisasi hanya akan dapat berjalan sejauh nilai-nilai kebersamaan yang dimiliki sungguh-sungguh diinternalisasi dan budaya yang menjadi pondasi bagi keberlangsungan hidup organisasi benar-benar mempengaruhi setiap tindakan anggota. Dalam hal ini peran pemimpin tidak kecil dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Sejauh budaya tersebut tidak terlalu melenceng dari nilai-nilai yang dimiliki, maka proses pengejawantahan tidak akan berjalan begitu sulit. Pengejawantahan budaya bukanlah proses yang pasif. Namun ia melibatkan peran

proaktif dari orang-orang yang terkait. Hal ini memiliki arti bahwa orang dengan sadar

menerima budaya yang ada dan menjadi suatu dasar bagi perilaku kesehriannya.

Kuat lemahnya suatu budaya dalam organisasi akan terlihat pada sejauh mana

oganisasi mampu bertahan dalam situasi yang sulit. Disamping itu, kuat lemahnya budaya organisasi juga terletak pada sejauh mana anggota meletakkan kepercayaannya pada pemimpin mereka. Ketika dalam situasi yang turbulance, kepercayaan anggota lemah, maka hal itu merupakan indikasi bahwa peran pemimpin dipertanyakan dan budaya yang diinternalisasi mengalami suatu tantangan. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana sebenarnya peran pemimpin seharusnya. Kini yang terpenting dalam melihat teori-teori kepemimpin tidak lagi didasarkan pad pemimpin menggunakan emosinya dan tidak semata-mata mengandalkan rasio karena hal ini berarti dengan komitmen yang tinggi didasarkan pada hati nurani, pemimpin menjalankan perannya.

 

 

F. Daftar Pustaka

Crosby, P. 1996. The Absolutes of Leadership. San Francisco. Jossey-Bass Publisher.

Drucker, P.T. 1996. Foreward. Dalam The Leader of The Future. New York. The Drucker Foundation.

Fiedler, F.E. 1967. A Theory f Leadership Effectiveness. New York. McGraw-Hill.

Hesselbein, F., Goldsmith, M., dan Beckhard, R. 1996. The Leader of The Future. New

York. The Drucker Foundation.

Kennedy, D.L. 1996. Understanding Personal Power. Diambil dari Dynamics of

Leadership. Bombay. Jaico Publ. House.

 

Robbins, S.P., dan Coulter, M. 1996. Management (5thed.) New Jersey. Prentice Hall. Inc.

Schultz, D.P. 1982. Psychology in Industry Today. New York. MacMillan Publ. Co.

Stogdill, R.M. 1974. Handbook of Leadership. A Survey of Theory and Research. New

York. The Free Press

Suseno, F.M. 1991. Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup

Jawa. Jakarta. PT Gramedia.

Turner, C.H. 1994. Corporate Culture: How to Generate Organisational Strength and

Lasting Commercial Advantage. London. Piatkus.

Watson, C. M. 1996. Dynamics of Leadership. Bombay. Jaico Publ. House.

 

 

This entry was posted in EKONOMI, KEPEMIMPINAN, MANAJEMEN and tagged . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *