KEADILAN DALAM ISLAM

Keadilan Dalam Islam

 “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS Al Maa’idah :  8 )

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Bahkan Allah SWT memerintahkan kita untuk tetap berlaku adil meskipun kepada orang ataupun kaum yang kita benci. Allah juga memberikan derajat takwa kepada orang yang dapat berlaku adil. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, adil didefinisikan sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak atau berpihak kepada yang benar. Tapi adil tidak selamanya harus sama berat ataupun sama besar. Dalam praktiknya, adil juga dapat didefinisikan sebagai sikap pertengahan (moderat), proporsional dan juga menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Sebagai ilustrasi sederhana tentang keadilan, seorang siswa SD yang masih kanak-kanak tidak mungkin disamakan jumlah uang sakunya dengan seorang mahasiswa yang telah dewasa. Keadilan dalam memberikan uang saku tidak bisa diartikan dengan memberikan jumlah uang yang sama, tapi dengan memberikan uang saku secara proporsional, tepat sasaran dan juga sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Meskipun jumlah uangnya tidak sama, tapi kita semua sepakat bahwa hal tersebut adalah suatu keadilan.

Namun dalam beberapa pemberitaan terakhir, kesucian momentum hari raya Idul Fitri dinodai oleh sejumlah kasus diskriminasi, pelecehan dan kekerasan atas nama agama. Setidaknya ada dua peristiwa penting yang saling berkaitan satu sama lain. Dan kedua peristiwa tersebut semakin menguji kedewasaan kita dalam beragama, terutama terkait penegakkan nilai-nilai keadilan dalam kebebasan beragama.

Peristiwa pertama adalah peristiwa penusukan dan penganiayaan terhadap dua orang jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Ciketing Bekasi. Dua orang korban tersebut adalah Asia Lumban Toruan alias Sintua Sihombing dan Luspida Simanjuntak. Akibatnya Sintua Sihombing mengalami luka tusuk di bagian perut sebelah kanan dan Luspida Simanjuntak menderita luka memar di pelipis sebelah kanan. Peristiwa penusukan dan penganiayaan ini diduga terkait penolakan rencana pembangunan gereja di tengah lokasi perumahan penduduk yang mayoritas beragama Islam.

Reaksi keras langsung bermunculan dari berbagai pihak. Bahkan Presiden SBY memerintahkan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri untuk segera menangkap pelaku penusukan. Selain itu Presiden SBY juga menginstruksikan kepada Menkopolhukam Djoko Suyanto dan Menteri Agama Suryadharma Ali untuk mengambil langkah cepat yang dinilai perlu untuk menjamin kebebasan beragama.

Peristiwa kedua adalah rencana aksi pembakaran Al-Qur’an oleh Pendeta Terry Jones di Florida Amerika. Rencana pembakaran Al-Qur’an tersebut merupakan bentuk protes terhadap rencana pembangunan masjid dan pusat kebudayan Islam hanya beberapa blok dari Ground Zero, lokasi serangan WTC 9/11 di New York. Meskipun pada akhirnya rencana pembakaran Al-Qur’an ini dibatalkan, sekelompok kecil nasrani konservatif tetap melakukan aksi merobek Al-Quran di luar Gedung Putih, Sabtu (11/9). Mereka melakukan tindakan ini sebagai bentuk protes “perayaan Islam” dalam peringatan tragedi 9/11.

Penegakkan Keadilan

Nurul Huda Maarif dalam salah satu tulisannya menjelaskan bahwa Islam memberikan kebebasan penuh bagi siapapun untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya. Termasuk keyakinan yang berbeda dengan Islam sekalipun. Konsekuensinya, kebebasan mereka ini tidak boleh diganggu-gugat. Bukti kebebasan ini tergambar dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 256 yaitu: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat..”

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pilihan kepercayaan apapun yang kita anut, semua memiliki konsekuensinya masing-masing. Kesadaran untuk memilih keyakinan harus pula dibarengi oleh kesadaran akan konsekuensinya. Sehingga, pilihan kita betul-betul sebagai “pilihan yang bertanggungjawab” dan “bisa dipertanggungjawabkan.” Dan salah satu konsekuensi memilih keyakinan adalah beribadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. Oleh karena itu, negara harus dapat melindungi hak beribadah setiap warga negaranya tanpa terkecuali, baik kaum minoritas maupun kaum mayoritas.

Kunci dari penegakkan keadilan terletak pada pemahaman kita bahwa keadilan dalam Islam itu universal dan tidak mengenal boundaries (batas-batas), baik batas nasionalitas, kesukuan, etnik, bahasa, warna kulit, status (sosial, ekonomi, politik), dan bahkan batas agama sekalipun. Pada orang yang berbeda keyakinan dan bahkan hewan sekalipun, keadilan harus tetap ditegakkan.

Dalam surat Al Maa’idah ayat 8 Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.”

Bahkan dalam keadaan perang sekalipun, Rasulullah SAW senantiasa berwasiat kepada pasukannya untuk berlaku adil. Jangan membunuh secara kejam, jangan membunuh anak laki-laki, wanita dan orang lanjut usia, jangan menebang pohon yang sedang berbuah, jangan membunuh binatang ternak kecuali sekadar keperluannya saja. Dan yang terpenting adalah jangan mengganggu orang yang sedang beribadat di dalam biara atau gereja, jangan menghancurkan tempat ibadah, dan senantiasa harus menegakkan hukum secara adil.

Maka terhadap dua peristiwa diskriminasi, pelecehan dan kekerasan atas nama agama ini, kita semua bersepakat bahwa keadilan harus tetap ditegakkan. Setiap perkataan dan perbuatan harus dimintai pertanggungjawabannya dan diadili sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Jangan lagi ada diskriminasi dan perbedaan perlakuan di hadapan hukum. Karena hal tersebut dapat melukai rasa keadilan masyarakat yang pada akhirnya akan menjatuhkan supremasi hukum itu sendiri. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan masyarakat akan cenderung bersikap anarkis dan main hakim sendiri.

Keadilan, dalam hal apapun, akan membuahkan kedamaian dan kesejahteraan. Inilah inti kemaslahatan bagi umat. Dan ini lebih mungkin dilaksanakan oleh para pemimpin atau pemerintah. Untuk itu, setiap pemimpin harus memahami konsep tasharruf imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah atau kebijakan pemimpin bagi warganya harus diorientasikan untuk kemaslahatan mereka. Selain itu, setiap pemimpin juga harus sadar bahwa Sayyidul qaum khadimuhum atau pemimpin umat adalah pelayan bagi mereka. Pemimpin harus melayani umatnya untuk mendapatkan keadilan ini yaitu keadilan untuk dapat beribadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. Karena itu, keadilan yang berujung pada kedamaian dan kesejahteraan harus dikejar terlebih dahulu ketimbang urusan pribadi ataupun golongan.Wallahua’lam bishshawwab.***

( PUBLISH ByWIEN’S SUMBER : oleh: Syamsul Ma’arief
Ketua Umum KAMMI Daerah Bandung)

 

 

This entry was posted in AGAMA and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *