UMKM

MEMBANGUN JARINGAN USAHA

BAGI USAHA KECIL DAN MENENGAH

Abstract

 

   Small and Medium Enterprises (SMEs) have been recognized in the world that they play predominant roles not only to economic development, but also to social welfare improvement. In regard to the economic development, the roles of SMEs, are much more significant in developed countries compare to that of developing countries. Some examples can be seen such as in USA, Japan, Italy, and Chinese Taipei. APEC Report (2000) and The Italian Ambassador’s speech (1998) reported that export contribution of SMEs for developed countries has already reached more than 55%. In Italy, for instance, the export contribution of SMEs is 75%. Not only on export are SMEs playing significant roles. In terms of Gross Domestic Product (GDP), SMEs also play very dominantly in the above-mentioned countries. 

 

   Meanwhile, in developing countries, though more than 80% of the total business entities are SMEs, their contribution is still lower than that of the big businesses. In Indonesia, for instance, although 99.99% of business entities are SMEs, they contribute not more than 20% on export and 59.36 % on GDP. However, they employ more than 99% of the total man power (Urata, 2000). These figures have shown a lot of changes than that of before the crisis. It means that the economic crisis is blessing in disguise for SMEs. They still can maintain their business activities, while more than 99 % of big enterprises are collapse.

 

   Though recognized the important roles of SMEs, a lot of efforts need to be developed in order to strengthen competitiveness of SMEs, particularly facing the era of globalization. In the ASEAN region, we are facing AFTA (ASEAN Free Trade Area) in the coming year of 2003 and in the Asia-Pacific (APEC) region we still have enough time to trade and investment liberalization that is in the year of 2020. The future challenges of competition should be considered as opportunities for our SMEs to be able to compete in the globalization era and to do this one of the solutions might be through business networks.

 

   Business networks can be a solution to many of the problems faced by SMEs in emerging economies. There are some types of networks. Dean (1997) divided business networks into two different types that is hard networking and soft networking. Hatch (2000) classified networks into four, such as : (a) networks that configure enterprise value chains, creating economies  of scope; (b) networks that increase internal efficiency, enabling SME to realize scale of economies, (c) networks that generate management economies; and (d) networks that aggregate SME bargaining  power and help them gain access to markets.

 

 

 

 

 

A.        Pendahuluan

 

Tahun 2002 ini kita genap memperingati hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 57. Itu berarti sudah 57 tahun kita merdeka. Di camping itu, pada tahun ini dan seperti tahun lalu kita peringati seabad Bung Karno, pada tahun ini juga kita memperingati seabad usia Bung Hatta. Apa yang dapat dipetik dari kedua para pemimpin bangsa kita ini. Pemikiran-pemikiran besar beliau yang tertuang dalam konstitusi, diantaranya, belum banyak yang sempat kita wujudkan. Salah satu diantaranya adalah amanat yang tercantum dalam kalimat terakhir Pembukaan UUD’45 yang berbunyi: “…..serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selain itu, kita juga belum menjalankan dengan baik amanat Pasal 33 daripada UUD’45.

 

Jika disimak apa yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini, khususnya pada era Orde Baru, di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, tampak sekali upaya mewujudkan cita-cita tersebut Sangay jauh dari harapan. Bukan kesejahteraan dan kemakmuran yang berhasil kita wujudkan, justru sebaliknya yang terjadi. Ketimpangan social dan ekonomi semakin besar. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Tingkat pengangguran juga semakin bertambah. Ketergantungan pada bantuan luar negeri rasanya sulit dilepaskan. Ini semua terjadi karena salah urus di dalam penyusunan dan melaksanaan kebijakan dan program pembangunan yang dilaksanakan selama ini.

 

Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada segelintir orang atau kelompok untuk mengejar pertumbuhan yang tinggi dengan harapan terjadinya penetesan ke bawah tidak pernah terwujudkan. Justru sebaliknya yang terjadi, kemiskinan dan tingkat pengangguran bertambah terus setiap tahun. Sektor usaha kecil dan menengah yang diakui dunia mampu menjadi penopang ekonomi nasional tidak terperhatikan selama ini dan semakin tersisih dalam persaingan. Untung saja terjadi krisis yang menerpa bangsa ini pada pertengahan tahun 1997, membuat kita beralih memberikan perhatian pada UKM. Pertanyaannya sudahkah kita betul-betul  memberikan perhatian yang penuh pada UKM? Inilah yang harus diwujudkan terlebih lagi menghadapi tantangan yang semakin berat ke depan dalam era globalisasi dan otonomi daerah. Usaha kecil dan menengah harus mampu bersaing dengan pelaku ekonomi lainnya, baik di dalam dan luar negeri.

 

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing adalah pengembangan jeringan usaha. Melalui jeringan usaha ini akan terjadi penguatan posisi tawar para pelaku bisnis dalam mengembangkan bisnisnya.

 

 

B.        Mengapa Jaringan Usaha.

Harus disadari bahwa keberadaan usaha kecil dan menengah (UKM) sebagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa  diabaikan . Krisis moneter yang berawal pada pertengahan Juli1997 dan merembet pada Krisis ekonomi , politik dan sosial atau  lebih dikenal dengan nama krisis multidimensi telah membawa berkah tersendiri bagi kehidupan UKM. Kalau di masa lalu- baca jaman Orde Baru-kehadiran UKM sering dipinggirkan, kini telah diakui oleh semua pihak, khususnya pemeratan, untuk mendapatkan perhatian khusus. Kebijakan masa lalu yang beroientasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pemerintah hasil-hasil pembangunan telah dirasakan keliru. Orientasi pada pertumbuhan tersebut, ternyata tidak berhasil mengurangi jurang kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin,  antara wilayah barat dengan  wilayah  timur atau antara pelaku bisnis kecil – baca   pengusaha  kecil  dan  menengah  dengan  pelaku bisnis besar-baca konglomerat.

 

Kisah masa lalu dan krisis multidimensi yang terjadi selama ini telah membawa perubahan mendasar pada paradigma pembangunan nasional. Pemusatan ekonomi tidak lagi menjadi prioritas; justru sebaliknya kesempatan yang seluas-luasnya harus diberikan kepada semuanya tanpa harus mendorong suku, agama, ras, dan golongan. Ini berarti kesempatan bagi berkembangnya UKM semakin terbuka. UKM yang menguasai 99,99% dari seluruh usaha nasional harus diberdayakan agar mampu berperan lebih nasional harus diberdayakan agar mampu berperan lebih besar dalam perekonomian nasional. Mereka, yang kini jumlahnya besar tersebut mampu menyerap lebih dari 99% angkatan kerja saat ini harus mampu memberikan kontribusi yang besar juga dalam ekspor dan Produk Domestik Bruto (PDB).  Saat ini mereka masih menyumbang tidak lebih dari 20% dalam ekspor dan 59.36% dalam PDB. Kalau dilihat dari perjalanan negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Italia dan Taiwan yang sebagian besar ekonominya di dukung oleh UKM, maka kita harus berupaya mengembangkan UKM agar mampu berkiprah lebih besar  dalam perekonomian nasional.

 

Pada negara-negara maju tersebut diatas, peran UKMnya sudah melebihi peran Usaha Besar. Dalam ekspor, misalnya sudah lebih dari 55% merupakan kontribusi UKM di negara-negara tersebut. Bahkan di Italia, peran UKM dalam ekspor sudah mencapai lebih dari 75%.

 

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah apakah hal ini bisa dilakukan oleh UKM Indonesia? untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus optimis karena  kita memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan oleh  UKM. UKM harus didorong mengembangkan usahanya dengan berdasarkan sumberdaya lokal dan berorientasi ekspor. Dengan strategi pengembangan usaha berorintasi ekspor dengan menggali dari potensi sumberdaya lokal yang tersedia, khususnya pada sektor agrobisnis/agroindustri ini berarti kita telah mengembangkan  “comparative advantage” untuk dikembangkan menjadi “competitive advantage”. Kalau hal ini berhasil diwujudkan, maka UKM kita akan mampu bersaing menghadapi pasar dan investasi bebas pada era global mendatang.

 

Untuk lebih meningkatkan daya saing UKM memasuki pasar global tersebut, pengembangan jaringan usaha antara UKM, atau antara UKM dengan usaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri perlu terus dikembangkan. Upaya pengembangan jaringan usaha ini sangat penting dan strategi  terutama untuk meningkatkan skup ekonomi, efisiensi, pengelolaan bisnis yang efisien, dan memperluas pangsa pasar. Dengan demikian UKM akan memiliki kekuatan untuk bersaing dengan pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.

 

 

C.        Beberapa Konsepsi Jaringan Usaha

 

Keberhasilan pengembangan UKM di beberapa negara maju diantaranya karena jaringan usahanya (business networks) berkembang dengan baik. Ambil contoh di Taiwan, misalnya, ada dua konsep yang dikembangkan , yaitu: (a) untuk sektor industri dikenal dengan “satelite factory system” dan (b) untuk sektor non indutri jaringan usaha yang dikembangkan disebut  “cooperative exchange program”.  Konsep satelite factory system (John C.I NI, 1997) mengungkapkan identik dengan pola sub kontrak sebagaimana berkembang pada industri otomotif di Jepang. Industri-industri besar melakukan sub kontrak beberapa komponen yang dikerjakan oleh industri kecil dan menengah. Dalam kaitan ini, industri besar hanya memproduksi bagian-bagian penting dan merakit  produk yang dihasilkan. Di Taiwan, industri-industri yang mengembangkan sistem setelit antara lain industri perakitan mobil, indutri elektronik (ACER, SONY, Motorolla, dll),  dan industri mesin pesawat (Thunder Tiger).

 

Konsep cooperative exchange program, merupakan forum kerjasama informasi dan pengalaman dalam pengembangan usaha. Jaringan usaha seperti ini dilakukan secara multi sektoral. Misalnya, UKM yang bergerak di sektor pertanian melakukan kerjasama dengan sektor perdagangan dan jasa. Kerjasama usaha ketiga sektor  ini bermanfaat untuk memperoleh informasi harga atau informasi komoditi yang memiliki prospek cerah ke depan. Di samping tentunya untuk memasarkan produk yang dihasilkan.

 

Di Australia(John Dean, 1997) mengungkapkan pengalaman pengembangan jaringan usaha yang dirintis melalui proyek program network antara tahun 1991 dan 1993. Pilot proyek jaringan usaha di Australia dilaksanakan oleh “the National Industry Extension Service (NIES)” yaitu suatu joint venture antara pemerintah commonwealth dengan delapan negara bagian teritori. Dari pilot proyek tersebut, menurut John Dean dapat diklasifikasikan dua konsepsi jaringan usaha yang berkembang, yaitu “hard” dan “soft” networks. Hard networks merupakan jaringan usaha yang betul-betul terjadi secara solid dalam mengembangkan usaha. Sedangkan soft networks lebih kearah  jaringan usaha informal yang pada dasarnya untuk saling tukar-menukar informasi. Lebih jauh John Dean mengungkapkan  bahwa jaringan usaha hendaknya jangan dipaksakan, tetapi pemerintah tetap memberikan arahan dan para pelaku bisnis diberikan kesempatan untuk melakukan kerjasama usaha atas prakarsanya sendiri.

 

Beberapa contoh pengembangan jaringan usaha yang berhasil di Australia adalah :

 

1.                  Asia Pacific Design Group. Jaringan usaha ini dibentuk oleh 11 perusahaan yang bergerak dalam jasa konsultasi untuk seluruh aspek bangunan dan konstruksi

2.                  ATVC. ATVC adalah Automotive Trim and Upholstrey Contractors Network. Dimana 8 perusahaan membentuk jaringan usaha untuk memenangkan kontrak-kontrak tender pemasangan rel untuk Trim, dimana  yang selama ini selalu dimenangkan oleh Bridgestone dari Jepang atau Amerika Utara .

3.                  Daplar. Daplar merupakan jaringan kerjasama dari 4 perusahaan pembuat kabinet dan penyambungan yang memproduksi kitchen set dan kamar mandi. Jaringan usaha ini mampu memproduksi rangka-rangka rumah yang “knocked down”.

4.                  Ambulances to Asia . Jaringan ini menyediakan paket ambulances siap pakai untuk  layanan medis guna memenuhi permintaan di pasaran Asia.

5.                  Oz Electronics Manufacturing. Jaringan tersebut adalah kerjasama usaha antara 3 (tiga ) perusahaan elektronik kecil dimana menghadapi masalah yang  sama yaitu biaya komponen perusahaan tersebut yang tinggi yang dibutuhkan. Tanpa jaringan ini tampaknya mereka tidak mungkin bisa bertahan dalam menghadapi biaya tinggi tersebut.

 

Selain konsepsi jaringan usaha tersebut diatas, menurut pendapat C. Richard Hatch (2000) dalam  makalah yang disampaikan pada lokakarya di Manila yaitu “The ADB/OECD Workshop on SME Financing in Asia” mengemukakan beberapa konsep jaringan usaha, yang  secara umum terdapat 4 type jaringan yang berbeda, antara lain.

 

1.       Jaringan yang berkonfigurasikan kembali agar rantai perusahaan bermakna, untuk membuat scope bisnis yang ekonomis. Beberapa contoh jaringan usaha ini adalah di Denmark, 11 pembuat pakaian jadi membentuk  Christian Dior Line (CD-Line) untuk menggali kemampuan mereka dalam memenuhi perlengkapan untuk memproduksi jas, baju, assesoris dan retsleting. Sehingga perusahaan-perusahaan yang membentuk jaringan tersebut mampu membangun “image clothing” bagi perusahaan besar Eropa.

2.                  Jaringan yang meningkatkan efisiensi internal, memampukan UKM akan menyadari pentingnya skala ekonomi. Salah satu contoh yang berhasil mengenai hal ini adalah proyek perusahaan penghasil alat-alat pertanian di bagian Utara Argentina dekat Propinsi Mato Grasso di Brasilia. Jaringan tersebut dibentuk oleh karena adanya kondisi lahan yang mampu, mereka ingin mengembangkan pertanian yang efektif. Mereka mengembangkan konsep pemasaran bersama dan percobaan rekayasa desain untuk mengurangi integrasi vertical  agar proses produksi lebih  efisien. Jaringan ini secara perlahan berhasil menjadi  spesialisasi  manufaktur yang besar, meningkatkan sub-kontrak dan harga yang kompetitif.

3.                  Jaringan untuk mengembangkan pengelolaan yang ekonomis. Secara teori ekonomi, usaha besar akan memperoleh keuntungan dengan pengelolaan yang ekonomis —  adanya kemampuan menyebarkan biaya tinggi dari administrasi yang canggih, pembiayaan, dan aktivitas pemasaran melalui volume transaksi bisnis yang besar. Sementara itu produksi barang dan jasa yang didesentralisasi dapat menjadi efisien, manajer sekaligus pemilik yang terisolasi akan sama efektifnya dengan team pengelolaan yang tersebar. Beberapa contoh dari konsep ini adalah industri-industri kecil di Utara-Tengah Italia melakukan kerjasama dalam membiayai layanan “Business Development Services”

4.                  Jaringan untuk meningkatkan posisi tawar UKM membantu akses pasar. Jelas sekali akan terjadi perluasan karena adanya peningkatan skala usaha. Jaringan yang luas berarti pemasaran juga meningkat.

D.        Bagaimana membangun Jaringan Usaha

 

Membangkitkan UKM agar mau membangun jaringan usaha bukanlah pekerjaan yang mudah. Di Utara-Tengah Italia,  yang merupakan epicentrum gerakan jaringan, telah merintisnya sejak awal tahun 1980 an.  Sejak saat itulah awal bertumbuhnya jaringan usaha yang sukses di Emilia Romagna dan daerah sekitarnya. Keberhasilan tersebut telah memberikan perhatian bagi para cendikiawan dari kawasan Eropa dan Amerika.

 

Keberhasilan pengembangan  jaringan usaha di Italia  telah mempengaruhi  beberapa negara di dalam pengembangan UKM melalui kerjasama antar perusahaan. Pertama yang mempraktekkannya adalah  Amerika  Serikat, namun proyek yang paling sukses dan mungkin terbaik  adalah “the Danish National  Network Project”, yang dikembangkan oleh Denmark tahun 1989.

 

Apa yang dapat dipetik dari pengalaman negara-negara maju dalam mengembangkan jaringan usaha adalah  mengawalinya tidaklah mudah. Namun demikian, sekali berhasil akan mudah sekali untuk menularkannya.

 

Sebagai langkah awal yang perlu dilakukan adalah merubah kultur bisnis (changing business culture).  Inilah yang tidak mudah dilakukan yaitu merubah budaya berbisnis. Bukan saja UKM, usaha besarpun ada kecenderungan ingin  melakukan monopoli dalam bisnisnya. Terlebih lagi kalau mereka betul-betul sudah menikmati hasil yang besar  dan semakin besar dari  kegiatan bisnis yang dilakukan. Adanya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat   akan menjadi pembatas  untuk  mewujudkan persaingan bisnis yang lebih sehat. Undang-Undang ini akan menjadi salah satu aturan yang mendorong terjadinya kerjasama usaha antara pelaku usaha.

 

Guna lebih mempercepat proses terjadinya jaringan usaha antara UKM dan antar UKM dengan usaha besar, baik di dalam dan di luar negeri maka perlu ada media khusus untuk mengkampanyekan hal tersebut. Sebagaimana juga dilakukan negara-negara maju, proses untuk mendorong jaringan usaha harus dipromosikan lewat media cetak maupun elektronik. Melalui media inilah diinformasikan konsep jaringan usaha dan apa manfaatnya. Disamping itu juga perlu ada talk shows melalui  televisi atau radio, presentasi  pada asosiasi-asosiasi perdagangan, surat-menyurat langsung kepada UKM. Sebagai pembicara harus diambil orang-orang yang terkenal atau pengusaha  yang sudah sukses.

 

Setelah sosialisasi tersebut berhasil dan telah tumbuh kesadaran para UKM untuk  melakukan kerjasama  maka perlu dipikirkan mengenai pialangnya(brokers). Para pialang ini bisa dari kantor pemerintah, konsultan, pensiunan, atau sukarelawan pengusaha. Namun demikian akan lebih baik kalau ada layanan pengembangan bisnis (BDS) di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota, baik milik pemerintah,swasta, ataupun semi pemerintah . Konsultan  konsultan BDS ini sebaiknya juga mendapatkan pelatihan khusus mengenai pengembangan jaringan usaha. Di dalam pelatihan tersebut mereka diberikan studi kasus mengenai struktur dan fungsi  jaringan, teknik berorganisasi, resolusi konflik, perencanaan strategi kelompok, dan pengembangan pasar. Disamping itu juga perlu diberikan  kesempatan kerja lapangan untuk mencoba mempraktekkan teori melalui pengembangan jaringan rintisan.

 

 

E.        PENUTUP

 

Menghadapi tantangan globalisasi, UKM harus diberdayakan agar mampu bersaing dengan pelaku bisnis lainnya baik dari dalam maupun luar negeri-salah upaya penguatan daya saing UKM adalah melalui pembentukan jaringan usaha (business  networks). Di samping untuk penguatan daya saing, jaringan usaha juga bermanfaat untuk meningkatkan skup ekonomi, efisiensi, pengelolaan bisnis yang efisien, dan memperluas pangsa pasar.

 

Untuk mendorong tumbuh kembangkan jaringan usaha ini, sebagai langkah awal yang perlu dilakukan adalah merubah budaya bisnis (business culture). Setelah tumbuh kesadaran untuk melakukan kerjasama, maka perlu disiapkan para pialang (brockers) yang nantinya menyembatani pihak-pihak yang akan melakukan kerjasama usaha. Guna memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi para pialang, maka pelatihan dengan praktek lapang harus menjadi pendukung upaya penguatan tersebut.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.            C. Richard Hatch. 2000 Overcoming the limitations of size: Network Strategies for SME in Asia (Paper for the ABD/OECD workshop on SME Financing in Asia).

 

2.            John Dean. 1997. Business Networks and Strategic Alliances in Australia. Department of Industry, Science and Tourism, Australia.

 

3.            John C.I .NI. 1997. Strategic Alliance in Chinese Taipei.

 

4.            Meyanathan, Saha Dhevan, 1995. Industrial structures and the Development of small and Medium Enterprises Linkages; Examples From East Asia. Economic Development Institute of world Bank.

 

5.            Porter, Michael. 1990. Competitive Advantage of Nations. Mac Millan. Basingstone.

6.            The Central Agency of Statistics and the Ministry of cooperatives and SMEs. 1999. The Role of SMEs in G

(Publish by Win Sumber NN)

 

 

This entry was posted in ARTIKEL EKONOMI, EKONOMI and tagged , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *