BENIH2X BUDAYA ORGANISASI

Menumbuhkan benih2x budaya organisasi

Tanamlah pikiran, engkau dapatkan tindakan; tanamlah tindakan, engkau dapatkan kebiasaan; tanamlah kebiasaan, engkau dapatkan karakter; dan tanamlah karakter, engkau dapatkan nasib.(Samuel Smiles )

 

Betapa dalamnya makna yang terkandung dalam ungkapan yang disampaikan oleh Samuel Smiles, seorang dokter yang juga politikus Inggris, satu setengah abad yang lalu, dalam menggambarkan proses menumbuhkan benih-benih budaya. Prosesnya berjalan begitu sederhana, perlahan, dan terus-menerus mengalir seperti air. Meskipun demikian, perjalanan panjang tersebut akan berakhir pada pencapaian yang paling bermakna bagi siapa pun juga, yaitu “perubahan” pada nasib sendiri!

Apa yang dikatakan Samuel Smiles itu berpangkal dari pikiran dan berujung pada nasib. Jika kita tiba pada suatu keadaan atau nasib, dan kita bertanya mengapa kita tiba di sesuatu nasib, maka jawabannya adalah marilah kita telusuri kembali apa saja yang telah kita lakukan selama ini.

 

Nasib, berarti diperoleh dari karakter yang kita miliki. Mengapa kita memiliki karakter seperti ini, berarti itu adalah buah dari kebiasaan yang kita lakukan. Mengapa kita melakukan kebiasaan seperti yang kita lakukan, itu berarti buah dari pikiran yang kita pilih dan anut.

Kita dapat mengambil contoh konkret dari keadaan (atau nasib) sebuah perusahaan yang telah memasuki masa jenuh sebagai akibat lamanya fase kemapanan. Ciri-ciri perusahaan seperti ini adalah: produk yang dihasilkan adalah produk kelas premium, memiliki konsumen yang loyal, biaya operasional relatif tinggi, memiliki pertumbuhan yang positif, dan para karyawan yang loyal. Itu semua menandakan perusahaan kian “menua”.

Tanda-tanda lain adalah makin banyaknya pesaing baru yang sudah tidak bisa lagi dipandang enteng yang menggunakan inovasi teknologi dan informasi yang makin canggih, serta teknik pemasaran lawan bisnis yang tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Akibat dari ini adalah cara-cara lama yang sudah dilakukan perusahaan dengan sukses kini sudah menjadi usang.

Pikiran-pikiran lalu mengisi benak manajemen. Adakah sesuatu yang salah dengan perusahaan ini? Hal-hal apa yang kira-kira tidak berjalan dengan baik? Bukankah kita dulunya adalah perusahaan terbaik, dan sukar dicarikan tandingannya?

Rasa gamang ini kemudian dijawab oleh manajemen untuk menggawangi programRevitalisasi Budaya Perusahaan”. Melalui media komunikasi yang tersedia di perusahaan, dipilihlah tema-tema kecil revitalisasi budaya perusahaan agar seluruh jajaran perusahaan dapat memahami dan dapat menerima (buy in) ide dari manajemen ini.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh perusahaan ini bisa diibaratkan sebagai suatu langkah permulaan sebagaimana disebut oleh Samuel Smiles di atas, yaitu pikiran. Pasalnya, dalam menciptakan perubahan-perubahan harus selalu dimulai dari dalam (diri). Dan, di dalam memulainya berupa sebentuk niat/pikiran baik untuk “berubah”. Pikiran-pikiran baik yang mulai terbina kemudian dipupuk terus hingga menjadi sebuah “tindakan”. Tindakan yang mestinya juga baik karena dimotori oleh niat yang baik.

Perusahaan kemudian memilih siapa-siapa yang dapat direkrut menjadi “agen perubahan” bagi budaya perusahaan. Agen-agen ini akan menyuarakan “tema-tema” dari revitalisasi budaya perusahaan dalam bentuk contoh-contoh nyata sikap/tindakan, pada divisi di mana agen-agen tersebut ditempatkan. Peran agen perubahan ini sangat penting bagi proses menumbuhkan sikap dan tindakan yang menjadi benih-benih budaya perusahaan. Mereka adalah tokoh-tokoh sentral penggerak dan penentu berhasil-tidaknya proses ini.

Awalnya, penempatan agen tersebut akan tidak mudah karena menimbulkan kecurigaan (terhadap kapasitas, tugas, dan kewajiban agen tersebut) dan ketidakpastian (bagi masa depan karyawan dan hasil yang diinginkan oleh manajemen). Hal ini dapat dimaklumi karena ini adalah konsekuensi dari adanya “perubahan”.

Hari demi hari berganti, agen-agen tersebut tanpa kenal lelah mempromosikan hal-hal atau sikap dan tindakan baru bagi perusahaan. Mereka mendatangi karyawan hingga ke bagian/unit terkecil, mengajak para karyawan untuk berdialog, bertukar pikiran, memperlihatkan kebiasaan mana yang harus tetap dipelihara (kebiasaan baik) dan kebiasaan apa yang harus segera ditinggalkan oleh jajaran karyawan (kebiasaan buruk). Meskipun pada awalnya sangat sulit, karena harus meninggalkan kebiasaan lama, tetapi perbaikan akan dapat dirasakan meskipun sedikit.

Masing-masing agen bersama manajemen tidak kenal lelah untuk terus meyakinkan bahwa perubahan akan menimbulkan perbaikan bagi perusahaan, dan hal ini memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Di sisi lain, manajemen mulai membenahi subsistem manajemen SDM yang menjadi sumber permasalahan di perusahaan. Pasalnya, sebaik apa pun budaya yang diterapkan di dalam perusahaan, tidak akan berhasil baik tanpa adanya sistem yang menjamin keberlangsungan budaya perusahaan. Perbaikan dan pembenahan “Sistem Remunerasi Perusahaan” menjadi pilihan manajemen perusahaan ini.

Inilah langkah-langkah akhir mendekati matangnya budaya perusahaan: Perusahaan telah menumbuhkan dan memelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik. Jajaran perusahaan tanpa ragu-ragu lagi menjalankan nilai-nilai perusahaan, serta tidak lupa saling mengingatkan teman-teman/rekanannya untuk tetap konsisten. Agen-agen yang telah direkrut pun tumbuh makin banyak. Bahkan, tanpa diminta, mereka merekrut lebih banyak lagi agen baru. Kebiasaan-kebiasaan baik telah terpupuk dan terpelihara dengan baik hingga menjadi nilai-nilai yang berakar kuat; dan menjadi karakter yang mudah sekali ditemui/dikenali bilamana kita bertegur sapa dengan karyawan perusahaan tersebut. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari kerja keras para agen, manajemen, dan karyawan yang ingin berubah.

Dengan kebiasaan dan karakter semua insan di dalamnya, dengan segala sesuatunya sudah baik, dengan rantai yang rusak/hilang telah diperbaiki, maka para penerus perusahaan dibekali atau diwarisi budaya yang solid serta karakter yang kuat. Sebab, hal itulah yang merupakan semangat yang menumbuhkan dan menggerakkan perusahaan. Perusahaan pun dapat berharap memiliki karakter organisasi yang diinginkan. Dan, dengan itu, maka hanya persoalan waktu sajalah nasib baik datang kepada mereka.

Kembali, kata-kata Samuel Smiles menutup perjumpaan kita ini: “Sow a thought, reap an action; sow an action, reap a habit; sow a habit, reap a character; and sow a character, reap a destiny”.  Penulis adalah Associate Partner Dunamis Organization Services.

(Wien’s : Sumber Alex Denni)

This entry was posted in BUDAYA ORGANISASI, EKONOMI, MANAJEMEN, ORGANISASI and tagged , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *